JEDA BERITAPAGI
SABTU, 10 FEBRUARI 2018
HALAMAN
19
HER Cerita Pendek Arpan Rachman 1975-1977 Komik Biola
S
EJAK kecil, di umurku empat tahun, aku senang sekali pergi ke rumah Wak Cak. Beliau kakak kandung ayahku – yang paling tua – anak sulung Yai. Rumahnya tak jauh. Hanya berseberangan saja letaknya dari rumah panggung kami di Jalan Limbungan. Di rumahnya, pagipagi. Aku sudah datang menampakkan diri. Biasa, pingin sarapan. Berdua saja. Bukannya di rumahku sendiri ibu tidak masak. Tapi kesan pagi bersama Wak Cak selalu menimbulkan nuansa yang berbeda. Terasa lain dari yang lain. Ia suka menyantap aneka panganan yang bervariasi. Mulai dari godo-godo dengan cuko, nasi goreng, hingga bubur havermout. Bubur itu tak pernah absen sebagai makanan penutup yang disantapnya. Rasanya? Ugh, kupikir tak enak! Apakah rasa bisa dipikir? Incaranku yang paling utama bukan sarapan pagi. Soalnya di meja makan Wak Cak cuma diam. Sibuk mengunyah melulu! Di sela-sela kunyahannya, dia akan menawari aku kalaukalau mau tambah. Hanya dengan menunjuk panganan di depannya. Disertai mimik muka yang menyenangkan. Betapa diamnya, alangkah tenangnya. Tapi agak lucu. Seperti badut ulang tahun. Hanya terhias senyum saja. Usai sarapan, saat yang paling kutunggu. Beliau melakukan dua tindakan: mengantar aku kembali pulang atau membiarkan aku menguntitnya naik tangga sampai ke kamarnya di lantai atas. Isi kamarnya adalah surga kecil bagi seorang anak berumur 4 tahun: buku! Dijejerkan, wuiih... berderet-deret di lemari terbuka. Bukan main banyaknya! Ia memandangku dengan aneh. Ekspresi yang sedikit takjub. Apabila memergoki di belakang punggungnya: aku sudah ikut masuk ke kamarnya tanpa diundang. Lantas dengan amat baik hati dia memilih beberapa komik. Sama semuanya: karya H.C. Andersen. Judulnya yang beda-beda. Tangannya terulur memberi komik. Momen itu sangat ajaib. Tak lupalupa dalam kenanganku seumur hidup ini. Hatiku bersorak girang. Suasana di sekitar pun langsung lenyap, tenggelam. Seolaholah segenapnya hanyut ke dalam komik. Dibuai dibesarkan kisah dalam buah karya gubahan pengarang dari Denmark itu aku menjadi pecandu buku yang gila-gilaan. Komik senantiasa penuh gambar dan katakata dalam balon atau kotak sebagai dua tanda. Pertama, kata-kata dalam balon adalah kalimat langsung yang diucapkan tokoh-tokoh dalam komik itu. Kedua, kata-kata dalam kotak merupakan jalan ceritanya. Asyiknya lagi, jika aku serius membaca, tidak pedulikan sekeliling. Ia membubuhkan keajaiban dalam cerita yang sedang kuhayati: main biola. Lagunya klasik-klasik
apalah judulnya tak ada yang kutahu persis semua. Satu-dua kali dia alunkan Canon in D Minor karya Johann Pachelbel dan Sonata-nya Beethoven. Sudah, begitu saja, hebatnya. Wak Cakku yang kucinta Pujaan hatiku Kesayangan ayah dan bunda dan handai taulanku
Sampai tamat ke ujung cerita. Semuanya diselingi lantunan musik. Kadangkadang melodi semata: gitar, piano atau biola. Tak jarang pula lengkap dengan orkestra. Bunyi melangut, yang menyayat kalbu. Apalagi dalam adegan seru. Misalnya, saat kedua tokoh utamanya jatuh cinta, kejar-kejaran mobil, di medan perang, hantu sedang gentayangan.
Itu yang harus dikatakan dari kekaguman ini menurut sebuah lagu. Sejak itu aku terpukau dengan dia. Di pikiranku: jika W.R. Supratman Nomor 1 tentu Oetih Awaloeddin Nomor 2 dalam kelihaian bermain alat musik gesek ini. Ya iyalah, Oetih, itu nama asli Wak Cak. Beranjak remaja, aku tahu bahwa itulah kesenian. Film di bioskop juga dibuat memakai rumus yang senada. Seperti dicontohkan Wak Cak semasa aku kanakkanak. Cerita di komik, diiringi lagu pada biola. Film berbentuk sebuah cerita yang disajikan, dimainkan oleh tokohtokohnya. Adegan dimulai, konflik dan drama dibangun, peristiwa digambarkan.
*** 1985-1987 Orang Jalan PIKIRANKU begitu pasti. Tak jua berubah. Kalau W.R. Supratman Nomor 1 tentu Wak Cak Nomor 2 di bidang mahir menggesek alat musik biola. Segenap imajinasi runtuh mana kala akhirnya kutahu bahwa W.R. Supratman sudah lama diciptakan pemerintah menjadi nama sebuah jalan. Pada saat remaja, di usia yang belum tujuh belas tahun, baru kusadari tersebutlah itu semua. Bahwa seorang yang berjasa besar bagi satu negeri dapat kemungkinan untuk diabadikan suri teladannya kepada generasi masa depan. Bisa apa saja dia menjelma: jalan, stadion, bandara, berwujud rumah
sakit, gedung, dan bahkan kota. Washington, contohnya, berasal dari nama orang juga. W.R. Supratman Nomor 1 sebagai nama jalan kudapati dari sebuah label. Itu label dicetak tinta emas di atas kertas, yang bagian belakangnya lengket mengandung lem. Label itu ditempelkan ke sebuah buku pelajaran Geografi. Terlukis nama pemilik buku. Di sampulnya, warna beludru. Her... Siswa putri di sekolah kami. Rumahnya terletak di jalan pemain biola itu rupanya, nomornya juga sama. Tepat menerangkan sebenderangbenderangnya imajinasiku dulu sewaktu bocah. Aku yang laju tertarik pada Geografi? Pada biola atau putri itu? Tak kutahulah – entah. Yang pasti aku mau tahu di mana rumahnya. Ingin tahu apa dahulu ruas jalan di depan rumahnya pertama kali diresmikan oleh keturunan W.R. Supratman mewakili pemerintah. Pakai acara gunting pita, memecahkan butir kelapa. Namun, belakangan, aku surut sendiri. Tatkala menyadari dia seolah-olah jelmaan seorang putri
yang sungguh-sungguh bersemayam di atas awan. Tiap hari diantarjemput mobil sedan. Bapaknya tokoh politik yang termasyhur jujur dan berwibawa di dewan. Lah, membingungkan, bukan? Awalnya biola, pertengahan cerita menyinggung soal Geografi, ujung-ujungnya penasaran siapa gerangan dirinya. Kemudian, segera kusimpulkan: pasti ini gara-gara H.C. Andersen. Dia putri dekat kaca dari dinding sebelah itu seakan wujud yang berganti rupa berubah nama: Little Mermaid, Snow Queen, The Girl Who Trod on the Loaf, Beauty of Form Beauty of Mind, The Loveliest Rose in the World – pokoknya itu semua. Benar-benar ada di dunia nyata! Itu ajaibnya... Ah kau, H.C. Andersen. Kau itu cuma komik! Kukutuki imajinasiku yang bertekuk lutut di sudut kerlingnya. Tapi malah jadi ingat sebuah lagu lagi: Wanita dijajah pria sejak dulu Dijadikan perhiasan sangkar madu Namun ada kala pria tak berdaya Tekuk lutut di sudut kerling wanita Satu nomor di biola
karya komposer Ismail Marzuki, masih kuingat, suka dimainkan Wak Cak. Tapi lagu itu juga yang membuat aku tak pernah mau lagi datang ke rumahnya. “Karena,” bantahku, “Menurut Geografi: Indonesia dijajah Belanda. Bukan wanita dijajah pria. Coba carikan aku bukunya kalau ada peristiwa itu dan di mana terjadinya, Cak?” “Mengapa kau sekarang senang membantah,” tutur Wak Cak lembut woles. “Itu cuma lagu tahu!” 2015-2017 Di Timur, Memori DIIRINGI lagu itu, aku tidak sering lagi membantah. Hingga langkah kecilku terbawa angin ke luar rumah, menjauh dari kampung halaman, sampai ke timur. Arah di mana terbitnya matahari. Bukan ke Jepang. Di timur, pada sebuah kota bernama Makassar – tapi kota ini bukan berasal dari nama orang – kutemui kembali kawan lamaku yang kental. Di Jalan W.R. Supratman, dia menjabat wakil kepala kantor di sana. Kantor Pos. Cuma bukan Nomor 1.
Hanya di Nomor 3 dia berkantor. Jalan dari nama violis itu, yang Nomor 1, diisi markas legiun veteran dahulu. Tapi lantas disulaplah markas milik pemerintah itu berubah wujud menjadi sebuah yayasan swasta. Di atasnya didirikan sebuah perguruan tinggi. Para veteran yang tua-renta entah kini bermarkas ke mana. Urusan mencari tahu, akulah salah satu pemburu yang mengaku paling gigih. Kategori veteran sudah diriku ini barangkali. Semenjak 4 tahun sampai 46 tahun, bayangkan. Jadi empat puluh dua tahun menurut hitungan totalnya. Aku tidak bisa lepas dari urutan memori membayangkan akan dia. Aih, kenangan itu, Her :layaknya komik dan biola! Jati Kramat, 20 Januari 2018 Arpan Rachman jurnalis freelance, yang juga menulis cerpen dan esai. Alumni South East Asian Press Alliance program di Filipina (2014) dan English for Journalism di CourseraUniversity of Pennsylvania (2016).
PUISI-PUISI CHAERU Celah di Dinding Suara menerobos masuk Angin tertahan di baliknya Aku mendengar hingar-bingar Dari sebuah televisi tua Pada celah-celah dinding itu Kulihat darah mengalir pelan Menyusul sulur-sulur beracun Dan tumbuh pula berbagai bunga Permukaannya mengelupas Pelan-pelan Sambil membelah detik-detik Mataku menangis Tapi, Hatiku tidak
Remang pada Bulan Ia berjalan-jalan mengulur waktu Katanya, aku rindu Aku? Aku diam saja disini, Ada waktu yang juga harus kupintal Ini kata dalam kereta Kurenda pula ujung-ujungnya Pada cahaya kuambil terangnya Dan pada malam sebagai dasar warnanya Lingkar datar adalah pandanganku padamu Sebuah bola yang jauh-jauh kelu
Kau terlampau silau pada terangnya Kau terlalu takut di baliknya Katamu, aku selalu di sini; pda remang-remang antara matahari dan malam
Saya ini jawaban, tanpa harus ditanyatanya Saya ini lahir hanya untuk ada
bintiknya Kertas itu setiap hari kita tumpuktumpuk
Seperti itu saja Saya ini, Tulang rusuk Di sebuah gurun
Padanya kita umpamakan lembarlembar pakaian
Kertas Kita
Tanpanya kita ini binatang yang telanjang Meski demikian, kukuh kita berkeras; tak semua manusia itu jalang
Saya ini adalah cerita yang gagal
Sungging terlampias Terbahak-bahak kita puas Sebelum roti masuk perut pun kita suruh dunia tahu
Saya dimulai tapi tak diakhiri Saya ini akhir, tanpa sejelas-jelasnya awal
Segala rekam jejak kita catat pada carik-carik kertas Berpendar-pendar dalam bintik-
Tunggu, tunggu saja keretanya sampai Doaku, semoga disana kau tak lagi kedinginan
Tulang Rusuk di Sebuah Gurun
Kertas kita adalah sejarah hidup Yang dahulu hanya dimiliki degup pada dada Kini, jantung punya sesuatu, yang bisa-bisa buat ia cemburu
Dahaga Para Pendaki Pada gunung-gunung kaca Kamu mencari sangkar-sangkar lebah Kami menunggu dan berharap cemas di rumah Kamu pergi dengan segumpal doa Kami menyiram bunga dan memperhatikan rumput-rumput tumbuh liar Kamu mempelajari lekuk lereng agar bisa ditaklukkan Kami tidak harus tahu segala permasalahan Kamu pulang, derik pintu lirih memanggil Kami segera datang, siaga menyambut dengan segelas air