SKMA Edisi Juli-Agustus 2017

Page 5

MEDIA

Ilmiah Populer

AESCULAPIUS

JULI

JULI - AGUSTUS 2017

5

KESMAS

Dilematik Pemberian ASI Eksklusif bagi Ibu Pekerja

B

Banyak ibu yang bekerja sulit memberikan ASI eksklusif bagi si kecil. Apa masalahnya dan bagaimanakah solusi yang tepat?

eragam manfaat ASI, baik pada ibu maupun pada si kecil, sudah banyak disampaikan melalui berbagai media. Akan tetapi, angka pemberian ASI eksklusif di Indonesia nyatanya masih tergolong rendah. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2012, cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan masih fluktuatif, misalnya pada tahun 2002, cakupan pemberian ASI eksklusif menunjukkan angka 40% lalu turun menjadi 32% pada tahun 2007. Selanjutnya, pada tahun 2012, cakupan pemberian ASI eksklusif kembali naik secara signifikan menjadi 42%. Di sisi lain, laporan dinas kesehatan provinsi tahun 2013 menunjukkan rata-rata cakupan pemberian ASI eksklusif mencapai 54,3%. Meskipun demikian, angka tersebut masih jauh dari target nasional sebesar 80%. Salah satu tantangan terbesar pemberian ASI eksklusif di Indonesia adalah keterbatasan waktu sang ibu dan fasilitas untuk menyusui yang belum memadai, terutama bagi ibu yang bekerja. World Health Organization (WHO) merekomendasikan agar bayi diberikan ASI eksklusif selama enam bulan, dilanjutkan dengan pemberian ASI dan makanan pendamping ASI (MPASI) sampai usia dua tahun. Di sisi lain, berdasarkan survei Badan Pusat Statistik

(BPS) tahun 2013, pekerja wanita menduduki 38% angkatan kerja dan 25 juta jiwa di antaranya berada pada usia reproduktif. Pemberian ASI eksklusif secara rutin oleh ibu dengan waktu kerja delapan jam tentu akan sulit dilakukan, apalagi jika disertai minimnya kesempatan untuk memerah ASI, tidak tersedianya ruang laktasi, dan kurangnya pengetahuan mengenai manajemen laktasi pada ibu bekerja. Meski sudah diimbau oleh pemerintah, ruang laktasi masih minim ditemukan di beberapa daerah, seperti Klaten, Purwokerto, kelvin/MA Banjarnegara, dan Palembang. Sebagian besar kantor, baik instansi pemerintah maupun swasta, belum menyediakan ruang laktasi yang memadai bagi pegawai perempuan yang sedang

menyusui. Tempat-tempat umum, seperti terminal, stasiun, dan puskesmas juga masih ada yang belum dilengkapi dengan ruang laktasi. Padahal, ruang laktasi sangat diperlukan dalam mendorong pemberian ASI eksklusif. Ruang laktasi berperan dalam memfasilitasi ibu menyusui, memerah ASI, dan menyimpan ASI. Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan secara rutin, produksi ASI ibu dapat menurun. Penyediaan ruang laktasi sendiri harus memenuhi beberapa standar tertentu, misalnya harus dilengkapi dengan pendingin udara, meja, kursi, dan kulkas, untuk menunjang suasana yang bersih dan nyaman. Oleh karena itu, masalah yang sering menjadi kendala utama penyediaan ruang laktasi adalah biaya.

Selain minimnya ketersediaan ruang laktasi, kurangnya pengetahuan mengenai pentingnya pemberian ASI eksklusif juga merupakan penyebab utama rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia. Banyak ibu yang masih memberikan susu formula pada anaknya yang berusia di bawah dua tahun karena menganggap susu formula memiliki nilai gizi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ASI. Anjuran budaya dan tuntutan lingkungan sekitar juga tak jarang membuat ibu memberikan MPASI sebelum anak berusia enam bulan dengan harapan dapat menambah nilai gizi dari ASI. Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah, tenaga kesehatan, dan sektor industri untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi ibu-ibu menyusui. Alokasi anggaran yang cukup diperlukan untuk menyediakan ruang laktasi yang memadai di setiap fasilitas umum dan tempat kerja. Selain itu, program sosialisasi mengenai pentingnya ASI eksklusif dan manajemen laktasi hendaknya disusun lebih inovatif dan efektif agar dapat meningkatkan cakupan pemberian ASI eksklusif secara signifikan, khususnya pada ibu bekerja. abdillah

INFO OBAT

Terbinafin: Sembuh dan Tetap Sembuh Lebih Lama Sembuh dari infeksi jamur dan mencegahnya kembali? Terbinafin mungkin jawabannya.

D

ermatofitosis atau ring worm disebabkan oleh jamur golongan dermatofita (Trycophyton, Epidermophyton, dan Microsporum) yang menyerang jaringan berkeratin. Secara klinis, penyakit ini diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, di antaranya tinea pedis, tinea capitis, dan tinea unguium. Selain menghindari kelembaban di lokasi infeksi, tata laksana yang dapat dilakukan adalah memberikan obat antifungal. Salah satu antifungal terbaik yang dapat dipilih adalah terbinafin. Terbinafin merupakan alilamin sintetik yang diindikasikan untuk dermatofitosis A dan infeksi jamur irun/M mukokutan lainnya. Obat ini tersedia dalam bentuk oral maupun topikal, dan di Indonesia dijual dengan nama dagang Interbi, Lamisil, dan Termisil. Individu yang hipersensitif, menderita penyakit hati yang aktif atau kronik, dan sedang menyusui dikontraindikasikan. Selain itu, penggunaan terbinafin oral untuk wanita hamil dan penderita gangguan ginjal atau hati memerlukan perhatian yang khusus. Sebetulnya, terbinafin tidak berbeda jika dibandingkan dengan obat antifungal lain dalam hal mencapai kesembuhan mikologis di akhir terapi. Namun, alilamin seperti terbinafin, butenafin, dan naftifin

terbukti memiliki efikasi yang lebih baik dibandingkan antifungal lain. Salah satu komponen dalam penilaian efikasi ini adalah sustained cure, yaitu keadaan sembuh yang dipertahankan setidaknya selama empat belas hari. Bagaimana terbinafin dapat lebih baik dalam mempertahankan kesembuhan? Efek ini diduga disebabkan oleh sifat fungisida dan keratinofiliknya. Komponen utama membran sel jamur adalah ergosterol. Zat ini berperan dalam fluiditas dan integritas membran. Selain itu, ergosterol memiliki sifat menyerupai hormon yang dapat memicu pertumbuhan jamur. Penghambatan ergosterol tentunya akan mengganggu kehidupan jamur. Oleh karena itu, ergosterol dijadikan sebagai target obat-obat antifungal, termasuk terbinafin dan obat antifungal lain, seperti azol. Azol menghambat biosintesis ergosterol melalui inhibisi 14Îą-demethylase. Tidak seperti azol, terbinafin membunuh jamur dengan menghambat skualen epoksidase yang terlibat dalam biosintesis ergosterol. Akibatnya, proses sintesis membran sel menurun karena ergosterol yang menurun. Selain itu, pertumbuhan jamur secara keseluruhan juga menurun karena ketiadaan peran hormonal ergosterol. Selain penurunan ergosterol, inhibisi

enzim skualen epoksidase akan menyebabkan akumulasi skualen. Adanya akumulasi zat toksik menyebabkan terbinafin tergolong sebagai fungisida, bukan fungistatik seperti azol. Sifat fungisida berperan dalam pencegahan kambuh/relapse, sehingga kesembuhan dapat dipertahankan lebih lama. Selain sifat fungisidanya, sifat keratinofilik terbinafin juga berperan dalam mempertahankan kesembuhan. Sifat ini membuat terbinafin terdeposisi pada jaringan berkeratin yang baru terbentuk. Terbenafin dapat bertahan berminggu-minggu hingga berbulan-bulan di jaringan ini sehingga dapat mencegah munculnya infeksi baru untuk beberapa waktu walau pemberiannya dihentikan. Terbinafin oral terdistribusi secara ekstensif di cairan dan jaringan perifer, seperti di kuku, rambut, stratum corneum kulit, dan air susu ibu. Interaksi obat yang signifikan belum ditemukan dan terbinafin tidak mempengaruhi sistem P450. Namun, pemberian bersama rifampisin dapat menurunkan konsentrasi terbinafin dan pemberian bersama simetidin memberikan efek sebaliknya. Metabolisme terbinafin terjadi di hati untuk dikonversi metabolit inaktif. Karena ekskresinya melalui urin, dosis untuk penderita gangguan ginjal perlu disesuaikan. Dosis terbinafin oral untuk dewasa adalah 250 mg satu kali sehari dengan durasi tergantung penyakit antara 2-12 minggu. Krim terbinafin 1% dapat diberikan satu hingga dua kali sehari selama 1-2 minggu. Durasi ini lebih singkat dibandingkan clotrimazol yang memerlukan waktu 2-4

minggu. Penggunaan terbinafin tergolong aman. Efek samping sediaan oralnya jarang terjadi, yaitu gangguan saluran pencernaan dan pusing. Namun, dapat pula terjadi efek samping yang fatal, yaitu gagal hati dan sindrom Stevens-Johnson. Iritasi lokal, rasa terbakar, dan eritema dapat muncul dalam penggunaan sediaan topikalnya. Terbinafin terbukti merupakan salah satu antifungal terbaik untuk masalah dermatofitosis dan infeksi jamur mukokutan lainnya. Namun, seperti antifungal lain, hasil yang diharapkan pada akhir terapi adalah kesembuhan mikologis. Oleh karena itu, pemilihan antifungal kembali disesuaikan dengan availabilitas dan pertimbangan ekonomisnya. abdillah Nama generik : Terbinafin Nama dagang : Interbi ÂŽ, Lamisil ÂŽ Termisil ÂŽ Indikasi : dermatofitosis dan infeksi jamur mukokutan lainnya Kontraindikasi : hipersensitivitas, penyakit hati aktif atau kronik, gangguan hati atau ginjal, dan ibu hamil Cara pemberian : oral (dewasa) 250 mg satu kali sehari selama 2-12 minggu (tergantung penyakit). krim 1% satu hingga dua kali sehari selama 1-2 minggu Sediaan : oral dan topikal


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.