Laporan Utama
Carut Marut Keluarga Mahasiswa KM UGM dinilai bermasalah sehingga tidak mendapatkan SK Rektor yang bermuara pada intervensi.
Daniel.bal
S
etelah hiruk-pikuk Pemilihan Raya (Pemira) rampung pada pertengahan Desember lalu, berbagai masalah datang menyelimuti Keluarga Mahasiswa (KM) UGM. Sistem pemerintahan mahasiswa UGM yang terdiri dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), dan Dewan Perwakilan Fakultas (DPF), kini tidak mendapatkan legitimasi dari rektorat. Hal ini disebabkan oleh surat mandat Kongres KM UGM telah dikembalikan kepada rektorat melalui Suryo Kuncoroyakti, Ketua Badan Pekerja Kongres (BP Kongres) periode 2010. Surat mandat itu dikembalikan lantaran kongres ricuh. Menurut Aji Prakoso, Menteri Advokasi Kampus BEM KM UGM, bahwa pimpinan sidang kongres yakni Mac Rizal terlibat adu mulut dengan beberapa peserta kongres. Mac kemudian memanggil Satuan Keamanan dan Ketertiban Kampus (SKKK) untuk membubarkan kongres. Namun, hal itu disangkal oleh Dwinda P. D., Anggota Komisi IV DPM KM UGM yang turut mengikuti jalannya sidang saat itu. Menurutnya, para peserta sidang lah yang membubarkan diri setelah berkompromi dengan SKKK. Keributan tersebut menjadi alasan bagi rektorat untuk meminta kembali surat mandat dari ketua BP Kongres. “Suryo menyerahkan surat tersebut tanpa
8
persetujuan DPM dan DPF terlebih dahulu,” ungkap Ikhsanudin, Ketua Komisi II DPM KM UGM. Ia menambahkan, Suryo mengembalikan surat itu ketika sudah dicopot dari jabatannya sebagai ketua BP Kongres. Lantas keabsahan surat mandat itu pun dipertanyakan oleh M. Reza S. Zaki, Sekretaris BP Kongres yang kini menjabat sebagai Ketua DPF. Menurutnya, surat itu seharusnya ditandatangni ketua dan sekretaris BP Kongres. Namun yang menandatangani justru ketua BP Kongres dan pimpinan sidang yang juga telah dicopot dari jabatannya. Selain itu, terdapat kesalahan lain dalam surat mandat. Antara lain nomor surat yang salah dan isi surat tidak menyertakan perihal pelantikan DPF KM UGM. “Bagaimana mungkin rektor bisa mendisposisi surat mandat yang cacat hukum seperti itu,” kritiknya. Buyarnya kongres juga menyebabkan AD/ART KM UGM tidak sempat dibahas. Implikasinya, hingga kini KM UGM masih menggunakan AD/ART tahun 2007. Ikhsan juga mengungkapkan bahwa Drs. Haryanto, M.Si., Direktur Kemahasiswaan Direktorat Kemahasiswaan (Dirmawa) UGM, menginginkan perubahan tiga aspek dalam AD/ART KM UGM. Perihal tersebut turut dibenarkan oleh Dirmawa yang menyatakan bahwa lembaga
mahasiswa intra kampus harus mengonsultasikan AD/ART dengan rektorat. Menurut Ikhsan, tiga tuntutan Dirmawa terdiri dari penghapusan kata independen dalam AD/ART KM UGM. Independensi di sini bagi rektorat terkait urusan pendanaan. Padahal makna independensi KM bagi Aji merupakan sikap terhadap kebijakan rektorat. Kedua, permasalahan larangan presiden mahasiswa (presma) mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama menjabat. “Saya membolehkan presma KKN, kenapa harus ada larangan seperti itu?” tanya Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng, Ph.D, Rektor UGM, sebagaimana diungkapkan Zaki. Pada kesempatan lain, presma yang terpilih pun menyanggah, “Jika KKN sekarang, akan banyak kewajiban yang saya telantarkan,”. Tuntutan ketiga dari Dirmawa yakni rencana penghapusan partai mahasiswa. Pihak rektorat mengkhawatirkan kecenderungan partai mahasiswa pada salah satu partai politik nasional. Namun rektorat menawarkan sistem lain melalui pencalonan presma independen layaknya UI dan ITB. “Saya setuju mengenai hal tersebut, bandingkan saja kinerja DPF yang independen dengan DPM yang terdiri dari banyak partai” tukas Zaki. Di sisi lain, Aza menolak ketentuan penghapusan sistem partai di UGM. Menurutnya, melalui sistem tersebut KM mampu mencontoh dunia perpolitikan di Indonesia. Jika negara tidak menggunakan sistem partai maka KM pun tidak. “Partai politik itu penting sebagai pembelajaran sebelum terjun ke masyarakat,” tegasnya. Keinginan rektorat agar KM mengubah AD/ART belum juga terlaksana. Kondisi ini disebabkan oleh agenda kongres kedua yang dilaksanakan di Fakultas Hukum hanya membahas pelantikan presma, anggota DPM dan DPF. Kongres itu pun hanya dihadiri belasan peserta. “Padahal, Zaki selaku pimpinan sidang telah mengirim pesan pendek kepada seluruh peserta,” ungkap Dwinda. Kongres kedua juga dianggap tidak sah oleh rektorat. Namun Ikhsan menolak hal itu karena seluruh persyaratan keabsahan kongres berdasarkan AD/ART KM UGM telah terpenuhi. “Kongres kemarin sah karena diakui oleh tiga lembaga KM,” tandasnya. Ia pun menaksir jika kongres itu tidak sah, maka semua partai pasti menolak untuk bergabung dengan DPM. Selain mempermasalahkan keabsahan kongres kedua, rektorat juga menyatakan Presiden BEM KM UGM, Aza El Munadiyan, tidak memenuhi kualifikasi. Isu awal yang digulirkan ialah IP Aza 1,96. Menurut Haryanto, seharusnya Aza sudah drop out. Isu tersebut juga dituliskan di media nasional Kompas edisi Jumat, 29 Januari 2010 “BEM UGM Nekat Lantik Presiden Terpilih”. Pemberitaan tersebut berujung pada pelaporan Aza terhadap Haryanto ke kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Situasi tersebut juga tidak dibenarkan oleh Komisi Pemilihan Raya Mahasiswa (KPRM), UU Pemira memang tidak menyebutkan mengenai ketentuan IP presma. “Mulanya kami berniat mencantumkan persyaratan IP presma dalam UU Pemira, namun
dibatalkan karena ditentang oleh semua kontestan,” ujar Prima Yustisia, Ketua KPRM. Seolah tak mengaku turut serta dalam penentangan tersebut, Aza justru tidak mempermasalahkannya asalkan ada aturan yang jelas sebelum Pemira berlangsung. “Jika dari awal sudah ada persyaratan IP Presma minimal 3,00, tentu partai Bunderan tidak akan mencalonkan saya,” Aza beralasan. Menanggapi permasalahan tersebut, bulan ini program kerja (proker) pertama Komisi I DPM mengagendakan ketentuan IP calon presma sebagai salah satu pembahasan. Mereka berencana mencantumkan syarat IP minimal 3,00 bagi calon presma dari jurusan sosial dan 2,75 dari jurusan eksakta. Fakta ini justru mengundang kritik, “Butuh waktu lima bulan bagi DPM untuk merumuskan proker. Bandingkan dengan kami yang telah melaksanakan beberapa mega proyek”sindir Zaki selaku ketua DPF. Pihak DPM sendiri beralasan, banyaknya partai menghambat tercapainya satu keputusan. “Banyak tarik-menarik dan tawar-menawar kepentingan. Pemilihan Ketua DPM saja membutuhkan waktu tiga minggu,” ungkap Muhammad Irham Fuady. Pria yang menjabat sebagai Sekretaris dewan DPM KM UGM itu juga menambahkan, pembahasan tata tertib yang menjadi rel kinerja DPM baru diselesaikan pada akhir Maret. Sebagaimana diatur dalam Tata Tertib DPM, salah satu tugas lembaga ini adalah legislasi. Minimal ada tiga undang-undang yang dibentuk dalam setahun, diantaranya UU Pemira. Prima mengatakan bahwa DPM periode sebelumnya tidak cekatan dalam merumuskan undang-undang ini. “Saya hanya memiliki waktu satu bulan untuk mempersiapkan Pemira, Badan Pengawas pun baru dibentuk dua minggu sebelum kampanye,” terang Prima. Alhasil, Pemira tahun lalu tidak berjalan mulus. Selain itu, KPRM lalai menggelar pemilihan anggota DPF. “Kami terlalu terpaku pada pemilihan presma dan DPM”, ungkap Prima. Tercatat hanya satu orang yang mendaftar sebagai kontestan calon anggota DPF. Padahal, sebagaimana tertuang dalam AD/ART-nya, DPF memiliki peran sentral sebagai legislatif. Ironisnya, fungsi DPF kini terkesan merebut porsi BEM sebagai eksekutif. Dalam prokernya, DPF mengagendakan diskusi bertema Keadaaan Sosial Politik Indonesia. “Jika tidak melakukan kegiatan tersebut, kami dianggap tidak melakukan apa-apa,” dalih Zaki. Berbagai permasalahan yang mewarnai KM UGM menjadi alasan rektorat untuk tidak menurunkan SK bagi ketiganya. Dampak signifikan dari absennya SK ialah tidak turunnya dana. Padahal proker dan agenda KM harus tetap dijalankan. Hal itu semata-mata bentuk pertanggungjawaban kepada konstituen yang telah memilihnya dalam Pemira. [Ay, Ham]
10 Juni 2010
9