Raden Saleh: Maestro Lukis yang Terlupakan

Page 1

REPUBLIKA

RADEN SALEH S

iapakah Raden Saleh itu? Bila pertanyaan ini diajukan kepada anak-anak sekolah atau bahkan orang dewasa, pasti banyak sekali yang akan menggelengkan kepala. Mereka dijamin tak akan mengenalnya. Begitu juga ketika ditanya apakah pernah tahu atau mendengar adanya lukisan yang “mencengangkan”—lukisan “Penangkapan Diponegoro”—yang kini berada di ruang kerja presiden di Istana Negara, pasti hal ini pun jarang sekali mengetahuinya. “Ketika saya meliput di Istana dari zaman Bung Karno hingga awal Orde Baru, lukisan ‘Penangkapan Diponegoro’ itu belum ada. Lukisan itu baru datang sekitar akhir tahun 70an. Nah, ketika sudah dikembalikan ke Indonesia, lukisan itu kini tergantung atau disimpan di ruang kerja presiden,” kata Alwi Sihab yang kini sering menjadi narasumber bagi rombongan yang meminati kunjungan ke berbagai situs sejarah di sekitar Jakarta, termasuk Istana Negara. Memang, meski Istana Negara pada harihari tertentu dibuka untuk umum, tapi pasti tak semua orang yang datang ke Istana dapat masuk ke dalam ruang kerja presiden secara leluasa. Alhasil, publik yang pernah melihat seperti apa lukisan itu masih sangat terbatas.

Beruntung, mulai 2 Juni hingga 17 Juni 2012, Galeri Nasional Indonesia yang letaknya persis di seberang Stasiun Gambir, Jakarta, akan menggelar perhelatan besar pameran lukisan karya Raden Saleh. Bahkan, seperti yang ditegaskan Direktur Galeri Nasional Indonesia, Tubagus Andre Sukmana, lukisan “Penangkapan Diponegoro” yang kini dipajang di ruang kerja presiden itu dipastikan bisa dinikmati oleh publik. Bukan hanya itu, koleksi beberapa lukisan Raden Saleh lainnya, yang sekarang tersimpan di Istana Bogor dan Istana Negara Yogyakarta, serta beberapa karya lukisan dia yang telah menjadi milik pribadi dari beberapa orang, akan turut dipamerkan. ‘’Kami sendiri memang sudah lama menantikan adanya pamerankarya dia. Sekitar 40 lukisan Raden Saleh akan dipajang pada pameran kali ini,” kata Direktur Galeri Nasional Indonesi,a Tubagus Andre Sukmana. Diakui Andre, untuk menggelar karya ini jelas bukan soal mudah. Apalagi, banyak sekali karya Raden Saleh sudah punya nilai ekonomi dan historis yang sangat tinggi. Dan, dia pun merasa beruntung organisasi tertentu, seperti Goethe-Institut Indonesia, Kedutaan Besar Federal Jerman di Indonesia, dan perusahaan mobil BMW turun tangan dengan memprakarsai adanya pameran tersebut. Pada sisi lain, memang sebenarnya nama Raden Saleh sudah begitu akrab dengan publik Indonesia, khususnya Jakarta. Sebuah ruas jalan di kawasan Cikini tertera atas namanya. Di salah satu sisinya memang ada rumah peninggalan dia yang kini menjadi Rumah Sakit P.G.I Cikini. Bekas rumah Raden Saleh kini menjadi kantor direksi dan ruang perawat. Namun, ruang lantai atasnya sekarang dibiarkan kosong karena terancam ambruk karena kayu-kayu telah banyak lapuk. Beberapa waktu sebelumnya ruangan itu masih sempat dipakai sebagai kantor, namun dengan alasan keamanan karena takut ambrol ruangan itu tak dipakai lagi. Sementara itu, sisa peninggalan Raden Saleh juga kini sudah bersalin rupa. Sebagian halaman rumahnya kini menjadi Taman Ismail Marzuki (TIM) dan kompleks kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), hotel, perkantoran, hingga rumah sakit yang dikelola Persekutuan Gereja Indonesia (PGI). Dahulu, di kompleks ini pun ada kebun binatang yang juga merupakan peninggalan Raden Saleh. Tapi, ini pun kini sudah tidak ada lagi, karena lokasi kebun binatang itu kemudian dipindahkan ke Ragunan, Jakarta Selatan. Penanda bahwa di sekitar Cikini sempat ada kebun binatang masih tersisa dengan sebuah ruas jalan yang bernama Jalan Kebun Binatang yang letaknya di seberang kolam renang Cikini (kini menjadi Hotel Formula 1). “Kompleks rumah Raden Saleh itu memang sangat luas. Lingkupnya mulai dari IKJ dan TIM, hingga terus ke Rumah Sakit PGI Cikini, sampai ke tepian jembatan Kali Ciliwung yang kini ada masjidnya. Kompleks rumah ini dijual Raden Saleh sebelum pindah ke Bogor. Dia menjualnya kepada sahabatnya yang juga keturuan Arab, yakni Sayid Abdullah bin Alwi Alatas. Lalu pada tahun 1897, rumah itu dibeli oleh Yayasan Kristen yang bergerak pada pelayanan kesehatan. Yayasan ini milik Ratu Emma setelah itu kemudian berdiri rumah sakit sampai sekarang,” kata Alwi Sihab. Selain jejaknya terlacak di kawasan Cikini, sebenarnya jejak Raden Saleh juga terlacak di Bogor. Raden Saleh sempat mengontrak sebuah rumah di dekat Kebun Raya Bogor, yang kini menjadi Bogor Trade Mall. Sedangkan, makam Raden Saleh juga berada di kota hujan itu, tepatnya di Kampung Empang, Bogor. Dia dimakamkan berdampingan dengan istrinya yang seorang ningrat dari keraton Yogyakarta

23

MAESTRO LUKIS YANG TERLUPAKAN ■ Oleh Muhammad Subarkah

Selama ini Raden Saleh adalah sosok seniman yang terkesan dilupakan oleh para pembuat kebijakan negeri ini. Padahal karya dia telah menjadi kazanah bangsa.

dan juga putri seorang pemimpin perang Pasukan Diponegoro, Raden Ayu Danudirdja. “Pada 1953 makam Raden Saleh dipugar Presiden Soekarno. Kemudian, pada 2007, Galeri Nasional pun memugar makam itu kembali. Dan, pada 2010 Presiden Yudhoyono menganugerahi bintang Maha Putra untuk Raden Saleh,” ujar Alwi. Bila dilihat dari buku-buku sejarah, sosok Raden Saleh memang tidak dikenal. Bahkan, Budi N D Dharmawan, dalam tulisannya di majalah National Geographic Indonesia menyebut, sosok ini sebagai “Pelukis Sang Raja yang Kesepian”. Apalagi, beberapa pemerhati seni lukis Indonesia juga masih meragukan mengenai tanggal pasti kelahirannya, apakah lahir pada 1807, 1811, atau 1814? Namun, meski masih ada perbedaan tahun lahir, tapi semua sepakat bila Raden Saleh itu lahir di Semarang, Jawa Tengah. Berdasarkan catatan yang ditulis Dharmawan, Raden Saleh semasa kecil tinggal bersama ibunya di Terbaya, di rumah seorang pamannya yang menjadi Bupati Semarang, Raden Surahadimanggala V. Keluarga Saleh ini masih keturunan Kiai Ngabehi Kertabasa Bustam, seorang pembantu bupati di Semarang dan pendiri keluarga besar Bustaman. Leluhur mereka berasal dari keturunan Arab dari Handramaut, Yaman Selatan. Raden Saleh diindikasikan ditinggal mati ayahnya semenjak kecil. Mengutip tulisan Dharmawan, Raden Saleh belajar melukis semenjak usia sembilan tahun. Dia belajar melukis dibawah bimbingan seorang seniman asal Belgia, Antonine Auguste Joseph Payen. Setelah Payen pulang ke Brussel pada 1926 atas rujukan dia, Raden Saleh kemudian menjadi pegawai magang di kantor Residen Priangan di Cianjur sembari terus belajar melukis.

SELASA, 5 JUNI 2012

Pada Maret 1929, Raden Saleh kemudian pergi ke Belanda. Selama tinggal di Belanda biaya hidupnya ditanggung Kementerian Tanah Jajahan. Dalam hal ini, Dharmawan menyebut Raden Saleh sebagai “anak negara”. Pada periode ini Raden Saleh belajar melukis di bawah pelukis potret Cornelis Kruseman dan juga penulis pemandangan Andries Scelfhout. Meskipun belajar pada seniman top Belanda, Raden Saleh ternyata kerap kali merasa jengah. Dia sering mengalami kebingungan atau “gegar budaya”. Ini karena dia kerap kali diminta melukis potret orang Eropa atau melukis adegan

dalam Injil. Akibatnya, dia gundah karena meski sudah tinggal dan mendapat pendidikan layaknya orang Barat, Raden Saleh tetap merasa dirinya sebagai orang Jawa dan beragama Islam. Untunglah, keresahan tidak berlangsung terlalu berlarut-ralut. Pada suatu kesempatan ketika melawat ke sejumlah museum di Jerman, dia memutuskan untuk menetap di Dresden. Karena merasa cocok dengan sikap terbuka warga Dresden, ia memutuskan untuk tinggak di kota kecil itu. Karena merasa posisi dirinya diakui, kreativitasnya pun melimpah. Berbagai studi sketsa aneka binatang yang dahulu dilakukan di Den Haag, Belanda, kini dimatangkanya menjadi sebuah lukisan yang punya mutu tinggi, seperi lukisan “Upaya Terakhir” yang mengisahkan kecemasan seorang lelaki Arab yang tengah berpegangan pada ranting sebuah pohon di tepi jurang sementara kuda yang ditungganginya tengah diterkam seekor singa. Dharmawan malah dengan berani menyebut masa tinggalnya di Dresden adalah masa kelahiran kembali Raden Saleh untuk menjadi seniman sesungguhnya. Dharmawan menambahkan, selain tinggal di Belanda dan Jerman, Raden Saleh juga di beberapa negara lainnya, seperti Prancis, Inggris, dan Italia. Namun, khusus di Dresden Raden Saleh punya jejak tersendiri, yakni adanya sebuah masjid yang dibangun oleh Mayor Serre untuk Raden Saleh. Masjid itu dikenal dengan sebutan Masjid Biru. Raden Saleh mengembara di Eropa selama 23 tahun. Pada 1852, dia pulang ke Batavia. Karena tergelitik dengan kisah Perang Diponegoro, setahun kemudian dia peri ke Magelang untuk melihat langsung lokasi rumah Residen Kedu, di Magelang yang menjadi tempat penangkapan Diponegoro. Saat itu, dia melakukan obervasi untuk melukis kembali suasana penangkapan Diponegoro yang pernah pula dilukis oleh Nicolaas Pienaman atas pesanan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock. Dahulu, malahan Raden Saleh pernah melihat pembuatan lukisan itu yang diberi nama oleh Pienaman sebagai “Penyerahan Diponegoro” ketika dia berada di Belanda. Dan, setelah melakukan obersevasi maka pada 1857 lukisan “Penangkapan Diponegoro” yang berukuran 112x178 sentimeter bershasil diselesaikan dan kemudian diserahkan kepada Raja Willem III di Den Haag. Lukisan itu memang baru pulang ke Indonesia pada 1978 atau setelah 121 tahun menjadi milik Kerajaan Belanda.

Suasana keterasingan publik akan sosok Raden Saleh itulah yang kini dicoba untuk dihilangkan. Budayawan Goenawan Mohamad mengatakan, adanya pameran ini diharapkan dapat membuka lagi pemahaman akan sosok maestro lukis ini. Apalagi, memang selama ini Raden Saleh adalah sosok seniman yang memang terkesan dilupakan oleh para pembuat kebijakan negeri ini. “Mudahan-mudahan pameran ini bisa memperkenalkan kembali sosok Raden Saleh yang sudah dilupakan orang itu. Dan, mudahanmudahan pemerintah sadar bahwa karya-karya Raden Saleh ini adalah khazanah kekayaan spiritual dan artistik dari bangsa ini,” tegas Goenawan Mohamad. ■

Muhammad Subarkah


24

REPUBLIKA

SELASA, 5 JUNI 2012 arrestgoogle.com

“Penangkapan Diponegoro” karya Raden Saleh

JEJAK DIPONEGORO di Kanvas Lukisan

■ Oleh Muhammad Subarkah

“Penyerahan Diponegoro” karya Pieneman. arrestgoogle.com

Meski mendapat banyak fasilitas dari Pemerintah Belanda, Raden Saleh ternyata memiliki sikap antikolonial. Kenyataan ini terekam dalam karya lukis monumentalnya, “Penangkapan Diponegoro”.

“M

engapa saya tak boleh pulang?’’ Pertanyaan ini diajukan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock ketika dia diminta tak usah lagi pulang ke Matesih (tempat pasukan gerilya berkumpul). Dia saat itu disarankan De Kock agar tetap tinggal di Wisma Residen Magelang bersamanya. “Alasan saya menahan adalah saya ingin agar semua persoalan diselesaikan pada hari ini,’’ jawab De Kock atas pertanyaan Diponegoro. Tentu saja, jawaban itu menyinggung ‘sang pangeran’. Dia pun kaget bila maksud kedatangannya untuk bersilaturahim itu malah dijadikan ajang penangkapan terhadap dirinya. Panglima perangnya, Mertonegoro, yang saat itu berada di dekatnya juga langsung menyela dengan nada gusar. Dia meminta kalau ada pembicaraan soal politik, dibicarakan pada hari yang lain. Tapi, De Kock menolaknya dengan tegas. “Tidak. Hal itu tak dapat diterima. Dia suka atau tidak, saya ingin menyelesaikannya sekarang!’’ Dia kemudian beralasan bahwa sebenarnya sang pangeran sudah diberi waktu berpikir sebulan lamanya, yakni selama bulan puasa. De Kock mengaku, tak bisa menunda-nunda lagi penyelesaian politiknya dengan Diponegoro karena perang harus segera diakhiri. “Atas nama Gubernur Jenderal saya ingin perang diakhiri secara menyeluruh dan tuntas,’’ ujarnya lagi. Tak puas dengan sikap De Kock, Diponegoro langsung menyergah. “Hai, apa-apa ini?’’ katanya. Dia pun segera meminta mendatangkan seorang perwira penghubung tentara Belanda, Kolonel Clerens, dan Ali Basah (Sentot Prawirodirjo). Ia mengatakan, keduanya menyatakan pertemuan ini tujuannya hanya untuk membina hubungan keluarga, bukan penangkapan atau penyerahan. Namun, De Kock kembali menolak permintaan itu seraya mengatakan kepada Diponegoro, “Tuan permintaan itu sudah terlambat!’’ Mendengar jawaban De Kock

seperti itu, kemarahan Diponegoro semakin memuncak. “Hai Jenderal! Anda ini benar-benar dursila (jahat). Mengapa Anda sekarang mengatakan terpaksa terburu-buru, padahal sebelum ini, selama bulan puasa, Anda tidak punya tanda-tanda mempunyai pikiran yang demikian? Tapi, sekarang jelaslah bahwa hati Anda buruk ...!’’ Diberondong pertanyaan ini, De Kock yang duduk di sebuah kursi yang berada di depan Diponegoro tetap berusaha menjawabnya setenang mungkin. Dia kemudian berkata panjang lebar. Banyak alasan yang ia ungkapkan meski pada intinya tujuan hanyalah satu, menangkap Diponegoro! De Kock terus menjawab segala pernyataan Diponegoro meski dengan muka menunduk karena merasa sangat malu. “Jika yang demikian itu sampai terjadi, itu hanyalah kecurangan Anda. Saya tidak takut mati. Dalam semua pertempuran, saya luput dari kematian. Sedangkan mengenai pengikut saya, mereka hanya melaksanakan perintah saya. Memang benar sudah tidak ada lagi (yang tersisa) kecuali terbunuh. Saya tidak berniat menghindarinya,’’ tegas Diponegoro kepada De Kock. Ditantang begitu, De Kock dengan muka kuyu menanggung malu menjawabnya, “Sesungguhnya, tuan saya tidak bermaksud membunuh Anda .…’’ Sembari berkata seperti itu, De Kock kemudian memberikan isyarat agar pasukannya yang saat itu berada di sekitar rumah karesidenan segera masuk dan melucuti sekitar seratusan prajurit yang mendampingi Diponegoro datang ke Wisma Residen itu. Setelah Diponegoro berhasil dilucuti, dia kemudian dinaikkan ke atas sebuah kereta kuda untuk dibawa ke tempat pengasingan. Dari Magelang, perjalanan Diponegoro menuju Ungaran, lalu ke Semarang, setelah itu berlayar ke Batavia, lalu ke Manado, dan akhirnya ke Makassar.

Penggalan kisah itulah yang menjadi cerita di balik lukisan “Penangkapan Diponegoro” karya Raden

Saleh. Kisah ini diringkaskan dari sebuah artikel yang ada dalam buku karya sejarawan Inggris, Peter Carey, berjudul Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan lama di Jawa, 1785-1855. Untuk persisnya, peristiwa ini terjadi pada perayaan hari raya Idul Fitri yang jatuh pada Ahad, 28 Maret 1830. Saat itu Diponegoro datang menemui De Kock dengan maksud melakukan kunjungan silaturahim seusai melaksanakan puasa Ramadhan. Namun, dalam pertemuan yang berlangsung sekitar pukul 08.00 pagi itu, ternyata merupakan hari terakhir bagi Diponegoro untuk menghirup udara bebas. De Kock memanfaatkan pertemuan itu sebagai ajang untuk menangkap sang pemimpin perang Jawa. Bila dirunut dalam tulisan Peter Carey, peristiwa penangkapan itu memang dramatis. Diponegoro, yang mulai awal tahun 1830, pun sudah merasa kekuatan tempurnya merosot drastis. Panglima perang kebanggaannya, Sentot Prawirodirjo, sudah tertangkap. Perlawanan tak lagi besar. Diponegoro pun hanya bisa hidup berpindah tempat, dengan terus memutari area sekitar Bagelen barat, agar bisa menghindari penangkapan. Meski begitu, sebenarnya dia pun sadar perang mendekati titik akhir. Mungkin dalam benak Diponegoro, pertemuan di rumah Residen Kedu tersebut hanya sekadar penjagaan awal sebelum melakukan perundingan. Dia tidak menyangka justru ditempat itulah akan ditangkap. Dan, kalau itu terjadi, dia sebenarnya memilih tidak mau datang karena baginya lebih baik mati dalam medan pertempuran daripada menyerahkan diri. “Wirang (terhina)!’’ begitu kata Diponegoro ketika menulis cerita tentang peristiwa penangkapannya. Keberanian sikap itulah yang terekam kuat bila memandang lukisan ‘Penangkapan Diponegoro’-nya Raden Saleh. Judul asli lukisan ini adalah “Ein Historische Tableau, die Gefangennahme des Javanischen Hauptlings Diepo Negoro” (Suatu lukisan [cat minyak] bersejarah, penangkapan pemimpin Jawa Diponegoro). Peter Carey menulis, lukisan ini diselesaikan di studio Raden Saleh

di Cikini pada 1857 atau selang tujuh tahun setelah Diponegoro wafat. Lukisan ini kemudian dia serahkan kepada Raja Belanda, Willem III (bertakhta 1849-1890). “Karya ini memperlihatkan emosi yang luar biasa. Seorang Diponegoro yang jelas tampak berang berdiri tegak di bagian tengah lukisan, baru saja menaiki tangga Wisma Residen. Terlihat dia berusaha keras mengendalikan gejolak hatinya. Tatapannya sarat dengan tekad membara. Tangan kirinya terkepal melintang di pinggang. Ia merentangkan tangan kanannya untuk menghibur seorang perempuan Jawa yang menangis,’’ tulis Carey ketika mengomentari soal lukisan “Penangkapan Diponegoro” itu. Menurut dia, gambaran yang berbeda dalam lukisan itu diperlihatkan oleh De Kock dan para perwira tentara Belanda lainnya. Tatapan mereka kosong seolah menatap kejauhan. Cocok dengan suasana perundingan, mereka tampak malu karena membohongi Diponegoro. Carey kemudian membandingkan dengan karya “Penyerahan Diponegoro” yang dilukis oleh Pieneman. Dalam lukisan itu, Pangeran dilukis berdiri satu anak tangga lebih rendah daripada penglima tinggi tentara Belanda yang sedang berjaya itu. Ini berbeda dengan Raden yang melukis Diponegoro di tingkat setara. Hal lainnya, pada lukisan Pieneman, terlihat angin kencang yang mengibarkan bendera Belanda secara dinamis. De Kock pun tampak mendongak dan sangat percaya diri bahwa kini dia telah keluar sebagai pihak pemenang perang. Kenyataan itu juga diakui kurator pameran karya Raden Saleh yang digelar di Galeri Nasional Indonesia, Werner Kraus. Menurutnya, memang ada perbedaan yang sangat kontras antara lukisan “Penyerahan Diponegoro” versi Pieneman dan lukisan “Penangkapan Diponegoro” versi Raden Saleh. Pada lukisan Pieneman, wajah petinggi tentara Belanda terlihat mendongak yakin dan matanya menatap tajam ke depan. Sedangkan dalam lukisan Raden Saleh, wajah mereka terlihat kuyu dan tatapan matanya kosong. Selain itu dalam lukisan Pieneman, postur tubuh dan kepala perwira Belanda dilukisnya dengan menyalahi anatomi. Kepala dibuat besar seperti layaknya proporsi para raksasa. “Raden Saleh melukis kepala tentara Belanda layaknya raksasa seperti dalam pewayangan,’’ ujar Kraus. Bukan hanya itu, lanjut Kraus,

lukisan Pieneman tidak dilukis dengan merujuk pada realitas. Seniman Belanda ini hanya melukis di dalam studio tanpa pernah sekali pun datang ke Jawa. Ini berbeda dengan Raden Saleh yang sebelum melukis datang langsung ke Wisma Karesidenan yang ada di Magelang itu. “Saya lihat pada persoalan realitas. Raden Saleh melukis itu dengan datang langsung ke Magelang. Sedangkan, Pianeman melukisnya dalam sebuah studio di Belanda. Bahkan, dalam hal ini Pieneman tak pernah sekalipun pergi ke Jawa. Jadi, ide dan rekonstruksi lukisan Pieneman itu tidak riil,’’ ujarnya. Selain itu, lanjut Kraus, dalam lukisan “Penangkapan Diponegoro”, Raden Saleh memberikan isyarat keberpihakan dirinya atas perjuangan sang pangeran dari Kerajaan Jawa Selatan itu. “Raden Saleh meletakkan De Kock pada sisi kiri Diponegoro. Ini melambangkan Raden Saleh menganggap jenderal ini layaknya perempuan yang kalau berjalan selalu letaknya di sebelah kiri lakilaki. Jadi, memberikan sinyal bahwa siapa sebenarnya yang benar-benar bersikap kesatria layaknya seorang lelaki itu. Jawabnya, Diponegoro adalah sang lelaki itu, sedangkan De Kock adalah si perempuan itu.’’

Dalam banyak episode hidup Raden Saleh, kedekatan emosi sang pelukis ini memang amat dekat dengan Diponegoro. Apalagi semasa dia hidup, sebagaimana layaknya orang Jawa lainnya, dia pasti tahu adanya perang Jawa itu. Meski terasa absurd karena dia dibesarkan dan hidupnya ‘dibiayai’ oleh pemerintah kolonial, rasa hormatnya kepada Diponegoro tak bisa dihapus begitu saja. Dia bahkan dengan gagah berani menikahi salah seorang ningrat Jawa yang merupakan putri salah satu pemimpin tentara Diponegoro, Raden Ayu Danudirja, pada 1867. “Setelah menikahi putri salah satu pemimpin perang Diponegoro itu, dia menjual tempat tinggalnya di Cikini, kemudian pindah ke Bogor. Nah, bersamaan dengan kepindahannya, pada saat itu Raden Saleh dicurigai oleh pemerintah kolonial sebagai salah satu penggerak perlawanan rakyat di Bekasi. Tapi, tuduhan itu kemudian tak terbukti. Raden Saleh kemudian meninggal pada Jumat siang, 23 April 1880. Dia memang dimakamkan di Kampung Empang, Bogor,’’ katanya. ■


REPUBLIKA

25

SELASA, 5 JUNI 2012

SEMAKIN LANGKA Semakin Mahal ■ Oleh Muhammad Subarkah

Dok Film

Langkanya lukisan Raden Saleh ini membuat karyanya terus diburu para kolektor. Tak heran kalau sering kali meletupkan berita adanya pemalsuan dan pencurian atas lukisannya.

M

eski kini namanya terdengar sayupsayup, tetapi sebenarnya kebesaran nama Raden Saleh berulang kali menuai kehebohan. Contoh ini, misalnya, terjadi sekitar September 1996. Saat itu media massa heboh memberitakan raibnya lukisan potret seorang gubernur jenderal Belanda karya Raden Saleh yang tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Para pejabat terkait, seperti Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Wardiman, Menteri Pariwisata Joop Ave, dan Kapolri Jenderal Dibyo Widodo saat itu dibuat sibuk menanggapi dan mencari hilangnya lukisan itu. Tak hanya itu, publik seni internasional juga ikut mengamatinya. Bahkan, balai lelang Christie’s International Singapore Ltd yang saat itu tengah mempersiapkan lelang pameran lukisan maestro seniman lukis di Singapura ikut dibuat kebatkebit. Apalagi, dalam lelang itu rencananya akan digelar beberapa lukisan Raden Saleh. Publik lukisan pun sempat ragu mengenai keabsahan lukisan yang akan dilelang tersebut. Apalagi, dalam katalog lukisan yang akan dijual itu juga terdapat lukisan seorang gubernur jenderal Belanda yang saat itu diributkan hilang dari ruang penyimpanan koleksi Museum Nasional. “Ya, waktu itu kasus pencurian lukisan Raden Saleh menjadi polemik nasional dan juga menuai perhatian internasional. Lukisan itu dicuri dengan cara dilepas dari bingkainya. Tapi, beberapa bulan ke depan pencuri lukisan itu tertangkap. Pelakunya “orang dalam” petugas museum dan beberapa orang petugas keamanan. Lukisan itu akhirnya ditemukan dan kini masih tersimpan dengan baik,” kata Direktur Galeri Nasional Indonesia, Tubagus Andre Sukmana.

Namun, bukan hanya kasus pencurian itu yang membuat heboh. Masih pada tahun yang sama atau beberapa bulan sebelum meledaknya kasus tersebut, sosok Raden Saleh pun sempat membuat terperangah publik Indonesia. Waktu itu, beberapa koran di Jakarta dengan bangga menulis: Lukisan “Berburu Kijang (The Deer Hunt)” karya Raden Saleh yang seabad lebih “disimpan” di Eropa kembali ke Tanah Air. Lewat acara lelang Christie’s, lukisan yang dibuat pada 1846 “diboyong” oleh pengusaha Indonesia seharga Rp 4,6 miliar. Uniknya, meski telah berhasil memulangkan lukisan itu ke Tanah Air pelukisnya, belakangan si pembeli yang kemudian diindikasikan berprofesi sebagai bankir malah merasa waswas sendiri. Ini karena lukisan tersebut dia “curigai” sebagai lukisan palsu alias bukan karya asli Raden Saleh— maestro naturalis yang juga dijuluki “Rem-

brandt of Indonesia” itu. Sontak kabar ini tersebar luas. Kalangan seniman lukis Indonesia yang saat itu tengah mengalami masa booming rezeki kemudian dibuat repot dengan munculnya silang pendapat mengenai keaslian lukisan tersebut. Pada satu pihak mengatakan asli, pihak lainnya menyatakan palsu, sedangkan yang lainnya mengambil sikap tengah: lukisan itu asli, tapi memang Raden Saleh melukisnya tidak hanya satu. Polemik ini akhirnya hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Pengamat seni rupa Sudarmadji dalam sebuah wawancara di rumahnya pada saat itu mengakui, pascapelelangan di Singapura tersebut memang banyak terdengar dugaan bahwa “Berburu Kijang” karya Raden Saleh yang dilelang itu palsu. “Saya pun sedang menunggu-nunggu kepastian bahwa lukisan Raden Saleh yang laku di Singapura itu palsu,” kata kurator yang mengaku hafal betul ciri-ciri lukisan Raden Saleh yang dianggap sebagai salah seorang gurunya. Ketika polemik soal pencurian dan pemalsuan karya lukis Raden Saleh dimintakan komentarnya kepada kolektor sekaligus pengelola lelang Sidharta Auctioner, Amir Sidharta, ia menyatakan, kasus seperti itu sudah banyak terjadi. Ini karena lukisan Raden Saleh diperkirakan mencapai 300 buah, harganya sudah sangat fantastis. Paling murah lukisan itu berharga Rp 4 miliar. “Tak hanya pencurian, pemalsuan pun sudah banyak terjadi. Maksud pemalsuan ini adalah ada orang yang menggambar karya Raden Saleh semirip mungkin dan kemudian memalsukan tanda tangannya. Kenyataan ini memang ada,” kata Amir. Pernyataan Amir memang tidak mengada-ada. Bila dikaji melalui situs pencari Google.com, di situ akan terlihat penawaran yang aneh-aneh terkait dengan jual beli lukisan karya Raden Saleh. Di salah satu laman ada sebuah penawaran yang cukup masuk akal. Sebuah Lukisan potret “Pakubowono IX” ditawarkan dijual dengan harga Rp 1 miliar. Tetapi, di samping itu ada juga penawaran lukisan Raden Saleh yang sangat mengada-ada. Bayangkan, ada seseorang yang berani mengklaim akan menjual lukisan Raden Saleh “Berburu Banteng” dengan membanderol harga hanya Rp 57 juta. “Makanya, kalau tidak waspada bisa tertipu. Kebanyakan lukisan Raden Saleh itu berada di tangan kolektor orang Eropa. Hanya sekitar 100 lukisan yang berada di tangan orang kita. Nah, mudahan-mudahan dalam beberapa hari ini ada pameran lukisan Raden Saleh maka publik Indonesia diharapkan bisa banyak tahu menge-

nai sosok dan karya Raden Saleh itu,” ujar Amir. Memang sampai hari ini lukisan Raden Saleh terserak di mana-mana. Banyak di antaranya tersimpan di keluarga orang Eropa karena pada masa hidupnya Raden Saleh memang dekat dengan tokoh, pejabat, atau kaum ningrat di berbagai kerajaan Eropa. Contohnya, bila ada lukisan dia mengenai sosok Gubernur Jenderal Belanda Van den Bosch, ini karena dia memang teman karib dengan pejabat ini. Raden Saleh memiliki hubungan akrab dengan Bosch, terutama berkaitan dengan urusan tunjangan tahunan Pemerintah Belanda kepadanya. Malahan, Kerajaan Belanda adalah satu pihak yang paling banyak mengoleksi lukisannya. Selain di museum Kerajaan Belanda, karya pelopor lukisan realis modern Indonesia itu banyak terse-

judul “Penangkapan Pangeran Diponegoro’ dan “Berburu Singa”. Sedangkan, di Museum Fatahillah Jakarta tersimpan satu buah, di Museum Adam Malik ada dua lukisan karyanya dengan objek pemandangan dan potret. Kabarnya di Keraton Yogyakarta juga banyak tersimpan lukisan Raden Saleh. Tetapi, judul dan jumlahnya masih belum bisa diketahui dengan pasti. Sedangkan, di kalangan salah satu ahli warisnya, Ir Priyono, ada lukisan Raden Saleh yang bergambar potret pamannya, Bupati Majalengka. Di beberapa keluarga sang pelukis yang kini tinggal di Pekalongan juga ada beberapa karyanya. “Langkanya lukisan Raden Saleh memang membuat lukisannya berharga sangat mahal. Apalagi, karya pelukis ini memang masih terus menjadi barang buruan banyak kolektor,” tandas Amir Sidharta. ■

bar di berbagai tempat, di beberapa museum luar negeri dan dalam negeri. Lukisan lelaki kelahiran Semarang tahun 1807 itu juga banyak berceceran menjadi koleksi pribadi. Bahkan, Keraton Yogyakarta dan Surakarta ikut pula menyimpannya. “Untuk keraton yang ada di Yogyakarta dan Surakarta, lukisan Raden Saleh adalah lukisan potret para bangsawan. Sedangkan, di museum Belanda lukisan dia dengan berbagai tipe juga bertebaran,” kata Sudarmaji saat itu.

Di Indonesia, menurut catatan buku Tokoh-Tokoh Pelukis Indonesia yang diterbitkan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, lukisan Raden Saleh yang bisa terlacak tak lebih dari 20 buah. Di Istana Negara Jakarta terdapat dua lukisan dengan

Antara Dresden dan Pinggir Ciliwung vianews.com

eski berpendidikan modern Barat, ternyata jiwa Raden Saleh tak bisa lepas dari masjid. Sewaktu tinggal di Dresden, Jerman, ada seorang sahabatnya, Mayor Serre, yang pada 1848 sempat membangunkan sebuah paviliun kecil mirip masjid. Bangunan ini, seperti yang ditulis dalam artikel Budhi N D Dharmawan di National Geographic Indonesia kini dikenal sebagai “Masjid Biru”. Paviliun ini semenjak 1996 oleh Pemerintah Jerman telah dimasukkan ke dalam daftar monumen bersejarah. Di pintu masjid itu tertoreh salah satu kutipan Raden Saleh beraksara Jawa berbunyi, “Hormatilah Tuhan dan cintailah sesama manusia.” Tak hanya di Jerman, jejak masjid Raden Saleh juga masih tersisa. Tepatnya di tepi Jl Raden Saleh di dekat jembatan Ciliwung. Masjid itu bercat hijau. Selain sebagai tempat ibadah, di kompleks masjid itu juga berdiri madrasah. Beberapa tahun silam, saat berkunjung ke Jakarta, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice sempat berkunjung ke tempat itu. Tujuannya, mencari tahu mengenai sosok pendidikan Islam di Indonesia. Pemerhati sejarah Betawi, Alwi Shahab, mengatakan, tak beda dengan yang di Jerman, masjid itu memang oleh Pemeritah DKI Jakarta kini sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Menurut dia, pada awalnya masjid itu tidak berada di situ, tetapi berdiri di dekat rumah Raden Saleh yang kini menjadi kantor Rumah Sakit Persekutuan Gereja Indonesia (PGI). “Antara tahun 1945-1950, bahkan masjid itu hampir saja dirobohkan dengan alasan akan dijadikan

M

Masjid Al Makmur peninggalan Raden Saleh di pinggir Ciliwung, Jakarta.

Handramaut, cucu Abdullah ini, yakni Haidar Alatas, pernah menjabat sebagai perdana menteri dan juga menjadi tokoh pemersatu Yaman Utara dan Yaman Selatan. Sedangkan, keturunannya di Indonesia salah satunya adalah mendiang Menteri Luar Negeri Ali Alatas.” Menurut Alwi, perhatian ● Masjid Biru Raden Saleh Raden Saleh terhadap ajaran di Dresden Islam memang tak pernah blogspot.com luntur. Bahkan, sikapnya semakin tampak ke luar ketika memrumah sakit. Tapi, karena para topersunting putri bangsawan Yogjakoh Islam, seperti Haji Agus Salim, karta, anak salah satu pimpinan memprotes keras bila masjid samLaskar Diponegoro, Danudirja. Bahpai tak ada maka akhirnya urung dikan, adik Raden Saleh ada yang merobohkan. Pada saat itu, suasana nikah dengan salah satu habib yang sempat panas. Orang Betawi sudah menjadi tokoh pendiri pengajian mengancam akan mengamuk bila Kwitang, Habib Ali Alhabsyi. masjid sampai tak ada,” kata Alwi Menurut Alwi, meski Raden Shahab. Saleh sebagai penganut Islam yang Alwi mengakui, bila dilihat pada taat, sikap hidupnya ternyata sangat rekam jejak para sahabat dekat humanis. Dia tidak menganut cara Raden Saleh, bila sikap antikolonial pandang Islam yang sempit. “Ini dia Raden Saleh begitu tinggi, itu mabuktikan ketika dia menjual rumah suk akal. Sahabatnya yang juga itu kepada pengurus Yayasan Ratu pembeli rumah Raden Saleh yang Ema. Pada mulanya, rumah beserta di Cikini itu adalah lahan yang ada di Cikini dilepas Sayid Abdullah bin dengan harga 100 ribu gulden. Alwi Alatas. Dia Tetapi, ketika tahu bahwa tempat adalah tokoh getinggalnya itu akan dijadikan rumah rakan Pan Islam sakit maka langsung dia potong Indonesia. “Di harga rumahnya dengan setengahnya. Akhirnya, rumah itu hanya dia jual dengan harga 50 ribu gulden.” Melihat jejak itu, lanjut Alwi, maka menjadi dapat dimengerti bila jiwa Raden Saleh sangat anti dengan penjajahan. Saat itu, sebagai “orang pemerintah”, Raden Saleh jelas mempertaruhkan posisinya ketika mengawini anak seorang mantan pemimpin tentara Diponegoro. Sikap seperti inilah yang kemudian juga dibawa ketika melukis penangkapan Diponegoro di Magelang itu. “Di masjid yang ada di pinggir Ciliwung itu masih terlihat lambang Syarikat Islam. Masjid ini dahulu memang menjadi salah satu tempat kegiatan pergerakan nasional ini. Dan, masuk akal bila ketika hendak di robohkan tokoh Syarikat Islam, seperti Agus Salim, memprotesnya,” tandas Alwi Shahab. Dan, memang di tengah bising suara kendaraan yang melintas di depan masjid itu kadang kala orang pun tak sadar bahwa ada jejak yang begitu penting di tempat itu. Bagi yang tahu sejarah, bila memandang masjid itu, gambaran Raden Saleh memang terasa ada, meski wujudnya tak ada. “Yang pasti, di masjid itulah dahulu, pada 1930-an, ibuku belajar mengaji,” kata H Teguh Setiawan, warga Cengkareng kelahiran Kampung Kwitang, Jakarta. ■ muhammad subarkah wordpress.com


26

REPUBLIKA

SELASA, 5 JUNI 2012

RADEN SALEH

Pelopor Seni Rupa Indonesia R Werner Kraus adalah seorang peneliti di Pusat Seni Asia Tenggara di Passau, Jerman. Dia meneliti mengenai sejarah seni rupa Indonesia dan dalam penelitiannya yang dilakoninya selama 25 tahun, dia tertambat pada sosok Raden Saleh. Menurut dia, Raden Saleh adalah orang Indonesia modern pertama yang tinggal dan berkarier cemerlang di Eropa. Alasannya, karena sebelum kedatangan dia, meski banyak orang Indonesia yang tinggal di Eropa, kebanyakan mereka bukanlah orang terdidik dan punya posisi penting. “Sebelum Raden Saleh, memang ada orang Indonesia di Eropa, tapi kebanyakan mereka hanya menjadi pem-

D

Anda meneliti Raden Saleh sekitar 25 tahun. Apa yang membuat Anda tertarik untuk menelitinya? Ini awalnya ketika 25 tahun silam, saya ketika itu studi di Universitas Cornell Amerika Serikat. Di perpustakaan universitas itu, suatu saat saya melihat buku yang menulis tentang Raden Saleh. Di situ saya kaget ketika ditulis bahwa Raden Saleh pernah hidup di sebuah kota kecil di mana saya dilahirkan, yakni Dresden di Jerman. Saya bertanya-tanya, masak ada orang Indonesia 100 tahun lalu sudah ada yang tinggal di kota kelahiran saya itu? Untuk itu, saya kemudian mencari tahu mengenai siapa sosok Raden Saleh itu. Saya juga bertanya-tanya di dalam pikiran yang ada di belakang otak saya mengapa dia sampai di sana? Nah, maka saya kumpulkan bahan-bahan dan informasi untuk mencari tahu mengenai siapa dia sebenarnya. Di situ, saya juga mencari tahu mengenai cerita-cerita tentang dia, misalnya, melalui puluhan surat (sekitar 60 surat) yang ditulis Raden Saleh sendiri dalam bahasa Belanda, Jerman, Melayu, dan Prancis. Jadi, dia memang mampu berbahasa dan menulis dalam banyak bahasa. Siapa sih Raden Saleh itu? Raden Saleh adalah orang Indonesia pertama yang ‘modern’. Dia adalah orang Indonesia pertama yang pergi ke Eropa. Sosok dia adalah pengecualian sebab waktu itu, orang Indonesia yang pergi ke sana hanyalah mereka yang bekerja sebagai pembantu, babu, dan orang berpofesi sejenis lainnya. Tapi, ini beda dengan Raden Saleh. Dia adalah orang Indonesia yang berpendidikan sangat baik yang pergi ke Eropa saat itu. Dia tinggal di Eropa selama 23 tahun di berbagai negara di Eropa, seperti Belanda, Jerman, Prancis, Inggris, dan Italia. Dia tinggal di sana untuk melakukan berbagai aktivitas perjalanan dan pendidikan yang baik. Untuk itu, saya menyebut dia saat itu adalah orang Indonesia modern yang pertama kali datang ke Eropa. Meski begitu, mengapa Raden Saleh tidak begitu dikenal oleh bangsa Indonesia? Saya pikir karena dia itu lahir pada waktu yang ‘tidak tepat’. Sebab, saya yakin bila dia lahir 100 tahun kemudian maka Raden Saleh akan menjadi seorang pe-

bantu atau babu belaka,” ujarnya. Meski punya nama besar di Eropa, Kruas mengakui sosok Raden Saleh belum begitu dikenal. Dalam peran sejarah pembentukan nasionalisme Indonesia, dia juga terdengar samar-samar. Ini mungkin terjadi karena sewaktu dia hidup, sosok Indonesia masih belum ada. Meski begitu, sikap antikolonialnya sudah terlihat sangat kental, misalnya, ketika dia melukis tentang penangkapan Diponegoro di Magelang itu. “Dia lahir dalam masa yang ‘tidak tepat’. Dan, saya yakin, seandainya Raden Saleh lahir 100 tahun kemudian, dia pasti menjadi pemimpin bangsa Indonesia karena sikapnya yang antipenjajahah itu.”

mimpin bangsa. Tapi, dia lahir ketika Indonesia masih belum mengenal gerakan nasionalis (gerakan kemerdekaan). Akibatnya, politikal opini tidak terlalu mengangkat namanya. Padahal, dia punya peran yang sangat berarti yang kedua saling berdekatan. Salah satu sisi Raden Saleh, dia punya latar belakang sebagai seorang yang bergaya Belanda dan salah satunya lagi adalah sosok orang Jawa. Jadi, Raden Saleh berada dalam posisi yang sangat kritikal di antara dua posisi itu. Dan, dia memainkan posisi ini dengan cara sangat cerdas karena dia mampu hidup dalam dua posisi itu dan sekaligus mengelola ekstremitas dari dua kultur itu. Atas dasar apa sehingga Anda kemudian menyebut dia sebagai pelopor seni rupa modern Indonesia? Apakah itu karena dia adalah orang Indonesia pertama yang bersinggungan langsung dengan kehidupan seni modern Eropa? Raden Saleh itu sebenarnya tidak hanya sebatas sebagai pelopor seni rupa Indonesia. Dia memang sempat hidup lama di Eropa yang saat itu layaknya sebuah ‘universitas besar’. Dan, ketika dia tinggal di Eropa, berhasil menampilkan dirinya sebagai sosok yang khusus, yakni sebagai salah satu orang yang berpendidikan. Kepeloporan lainnya bisa dilihat dari apa yang telah dilakukannya. Misalnya, di rumahnya, dia juga mempelajari psikologi, matematika, kepurbakalaan. Dan, kebiasaan ini dia tetap bawa ketika kembali di Indonesia. Ketika dia kembali ke Jawa, dia juga ikut memberi perhatian pada pengumpulan fosilfosil purbakala. Banyak fosil yang dikumpulkannya, misalnya, tentang fosil binatang seperti fosil gajah purba atau fosil purbakalanya lainnya. Dan, saat itu Raden Saleh sudah memperkenalkan hal-hal yang baru kepada bangsa ini. Jadi, di sinilah saya katakan Raden Sa-

leh adalah orang modern pertama dalam banyak wajah atau sisi. Jadi, dia tak hanya kepeloporan dalam seni rupa, tapi juga dalam bidang lainnya. Ini, misalnya, diketahui dari beberapa pamannya yang saat itu menjabat sebagai bupati Magelang dan Majalengka yang sempat mendatanginya untuk mencari tahu bagaimana cara membuat taman seperti yang ada di Eropa. Jadi, dia kemudian menunjukkan bahwa taman itu tak selalu identik dengan bungabunga, tapi juga menamaninya aneka tanam obat dan aneka jenis tumbuhan lain secara lebih scientific, misalnya, dengan mencontoh gaya Kebun Raya Bogor. Jadi, di sini kepada paman-pamanannya yang menjadi bupati, dia mengajari bagaimana membuat taman yang lebih baik dengan menambahkan berbagai pengetahuan tentang biologi. Dan, dia mengajari pamannya dengan sikap gembira. Kebiasaan ini terus dilakukan ketika dia punya rumah di Batavia. Saat itu, para bupati Bandung dan Cianjur sempat mengirimkan anak lelakinya untuk tinggal di rumah Raden Saleh itu. Tujuannya untuk mendapat pendidikan dari Raden Saleh mengenai fashion, matematika, bahasa Belanda, dan lainnya. Di sinilah Raden Saleh mendapat banyak respek dari para bangsawan Jawa. Lalu, apa yang membuat Raden Saleh ternyata juga menjadi ikon nasionalisme Indonesia? Ya itu karena famili Raden Saleh sangat punya hubungan dekat dengan Diponegoro. Dia tumbuh dan besar di Semarang dan pamannya adalah wakil bupati di Semarang. Ketika Diponegoro akan pergi ke Belanda, mempunyai masalah keamanan di mana Raden Syukur ditangkap Belanda dan diasingkan, begitu juga salah satu pamannya ditangkap dan diasingkan pula. Saat itu, Raden Saleh berusia muda dan dia tak tahu persoalan. Dan, dia baru tahu ketika tinggal di Paris, dia membaca artikel panjang tentang Diponegoro. Dia di situ bahwa Diponegoro dibuang ke Makassar dan diberlakukan dengan sangat buruk di sana. Saat itu, memang di Eropa tak tahu soal siapa Diponegoro. Dan, mereka tahu setelah adanya artikel, termasuk artikel ini membuat sangat marah Pemerintah Belanda dengan meminta melarang pemuatan artikel di surat kabar itu. Di sini, Raden Saleh baru lebih paham mengenai siapa Diponegoro itu. Dan, beberapa tahun setelah Diponegoro wafat pada 1855, Raden Saleh pun pulang. Dia kemudian ingin tahu mengenai apa yang terjadi dengan Diponegoro seperti apa yang ditulis dari artikel itu. Dia kemudian minta izin kepada pemerintah kolonial untuk pergi ke Magelang karena di kota itulah Diponegoro ditangkap. Dan, meski sempat tak diizinkan, dia baru beberapa tahun kemudian bisa ke sana dan melukis “Penangkapan Diponegoro” pada 1867. Dan, lukisan “Penangkapan Diponegoro” itulah yang kemudian menjadi sebuah lukisan yang punya arti sangat penting. Bagaimana keterkaitan lukisan Raden Saleh terhadap berbagai karya lukisannya? Kalau kemudian kembali pada sisi nasionalisme, memang pada saat Raden Saleh hidup, nasionalisme tentang Indonesia belum dikenal. Jadi, di sini memang ada semacam kesalahpahaman bila dikaitkan dengan nasionalisme Indonesia yang baru muncul pada abad 19 itu. Saat itu, negara Indonesia belum ada. Aceh masih merdeka. Jadi, Raden Saleh memang belum mengatakan tentang nasionalisme karena pemikiran mengenai negara Indonesia masih belum ada. Meski begitu, dengan melihat keadaan yang ada, di sini Raden Saleh sudah berteriak lantang tentang arti perlawanan terhadap. Kolonialisme. Perlawanan itulah yang dia ungkapkan dengan jelas dalam surat-suratnya. Sekarang ini kan banyak dugaan mengenai beredarnya lukisan palsu Raden Saleh. Bahkan, sempat heboh bahwa ada lembaga negara yang menyimpan lukisan itu. Nah, bagaimana Anda bisa tahu mengenai mana lukisan asli dan mana yang palsu? Memang soal lukisan Raden Saleh asli dan palsu sempat menjadi isu panas di Indonesia. Tapi, untuk kasus lukisan Raden Saleh itu, sebenarnya mudah saja untuk membedakan mana lukisan tuanya yang asli dan mana yang palsu. Ini berbeda, misalnya, dengan lukisan Sudjojono yang ternyata malah lebih sulit untuk menelitinya. Kalau Raden Saleh tinggal diuji dalam penelitian ilmiah mengenai bahan yang dipakainya, tinggal uji pigmen catnya atau kanvasnya di laboratorium. Kami pun punya masalah soal ini sekitar 10 tahun silam. Hal itu adalah ketika Balai Lelang Christie’s melelang lukisan Raden Saleh pada lelang besar. Di situ, ada lukisan Raden Saleh yang sama dengan yang dikoleksi oleh Putra Masagung yang dia sempat beli dengan harga mahal satu juta dolar AS. Akibatnya, untuk memastikan mana yang asli lukisan Muhammad Subarkah/Republika

itu kemudian dibawa untuk diuji di sebuah laboratorium di London. Nah, kemudian ternyata diketahui lukisan itu memang ada dalam dua versi atau kopi. Dan, ternyata memang lukisannya bukan palsu atau dibuat repronya oleh seniman yang sama. Ada dua versi lukisan “Penangkapan Diponegoro”. Satu karya seniman Belanda dan satunya karya Raden Saleh. Apa yang menarik dari dua lukisan itu? Yang saya lihat menarik adalah pada persoalan tekniknya. Pada lukisan karya Pienam atau pelukis Belanda, Jenderal De Kock dilukis dengan sangat berwibawa, namun dia dilukis dalam sebuah studio di Belanda setelah pulang dari Jawa. Sosoknya digambar berada di atas sosok Diponegoro. Dan, ketika dilukis oleh Raden Saleh, ia melihat langsung Pienam melukis De Kock. Dan, di situ antara Diponegoro dan De Kock dilukisan pada letak yang sama. Nah, ini beda ketika De Kock dilukis oleh Raden Saleh. Dia meletakkan De Kock pada sisi kiri Diponegoro. Ini melambangkan Raden Saleh meletakkan De Kock layaknya perempuan yang selalu letaknya di sebelah kiri laki-laki. Diponegoro dilukis dengan sikap sangat kuat, mukanya sejajar, dan mendongak ke arah De Kocok. Ekspresinya pun tidak menunduk, tapi terlihat sangat marah. Jadi, dia dalam lukisan “Penangkapan Diponegoro” memberikan sinyal bahwa siapa sebenarnya yang benar-benar seorang lelaki itu. Jawabnya, Diponegoro adalah sang lelaki itu sedangkan De Kock diletakkan ‘layaknya’ perempuan karena berada di sisi sebelah kiri. Sedangkan, pada lukisan Pienam terlihat bendera Belanda—merah, putih, biru—berkibar dengan gagah di tiangnya sewaktu Diponegoro ditangkap. Selain itu, Diponegoro digambar dengan wajah tertunduk sedangkan De Kock dilukis dengan muka mendongak karena merasa menang. Sedangkan, dalam lukisan Raden Saleh dilukis dengan sikap tegak dan muka sangat marah karena mereasa dikhianati. Jadi, dua lukisan itu sangat berbeda nuansanya. Sisi penggambaran De Kock dan tentaranya versi Raden Saleh dilukis dengan kepala besar mirip raksasa. Ini perbedaan lainnya. Bagaimana dengan sudut lukisan “Penangkapan Diponegoro” versi Raden Saleh? Saya lihat pada persoalan realitas. Raden Saleh melukis itu dengan datang langsung ke Magelang. Sedangkan, Pienam melukisnya dalam sebuah studio di Belanda. Bahkan, dalam hal ini Pienam tak pernah sekalipun pergi ke Jawa. Jadi, ide dan rekonstruksi lukisannya itu tidak real, ini yang beda dengan Raden Saleh yang ketika hendak melukis itu datang langsung ke Magelang. Bagaimana pengaruh Raden Saleh terhadap dunia seni lukis Indonesia? Di dunia lukis Indonesia memang terkesan adanya kekosongan antara masa Raden Saleh dan masa Persagi yang dipimpin oleh Sudjojono. Tapi, ini ternyata tak sepenuhnya benar. Ini karena Raden Saleh itu punya beberapa orang pelukis yang menjadi muridnya. Pelukis ini berasal dari kalangan pribumi Jawa. Ini bisa dilihat dari beberapa surat dari Kartini yang menyebut tentang beberapa nama para pelukis pribumi itu. Salah satu di antaranya Kartini menyebut saudaranya Rukmini sebagai pelukis yang baik. Rukmini ini juga diduga selain terpengaruh dari gaya pelukis Belanda, dia juga terpengaruh oleh Raden Saleh. Munculnya generasi pelukis pribumi ini juga terpengaruh karena ketika hidup Raden Saleh juga membuat buku pelajaran melukis untuk anak-anak sekolah. Selain Rukmini, juga ‘murid’ atau penerus Raden Saleh juga ada pelukis asal tatar Sunada, Raden Minharjo, dan juga ada Raden Broto seorang guru dari Bandung. Selain itu, juga ada beberapa pelukis beretnis Cina yang juga menjadi dahulu sempat belajar melukis kepadanya. Ada juga pelukis yang juga masih saudara anak sepupu Raden Saleh, yakni Raden Salikhin. Dia banyak melukis, terutama tentang lukisan mengenai tumbuh-tumbuhan dan bunga-bunga. Mengapa Raden Saleh terlihat juga suka memakai serban? Ketika beberapa tahun tinggal di Belanda, ia berdandan ala orang Eropa. Namun, ini beda ketika tinggal di Dresden yang merupakan sebuah kota kecil di Jerman yang sangat artistik karena sejumlah seniman tinggal di kota itu. Dan, di situ malah dia kerap kali berbusana ala orang Jawa yang sangat berbeda ketika tinggal di Belanda. Dia berdandan ala pangeran Jawa seperti juga memakai serban itu. Apalagi, setelah tiga tahun tinggal di sana, posisi dia sebagai seniman benar-benar diakui. Maka, identitasnya sebagai orang Jawa tidak lagi menjadi persoalan karena kini semua orang di Dresden sudah tahu siapa dia, yakni Raden Saleh sebagai seorang seniman atau seorang pelukis yang berkualitas. Apakah dia memakai serban karena terinspirasi gaya busana Pangeran Diponegoro? Ya mungkin dia mendapat ide inspirasi dari gaya berpakaian Diponegoro juga mengenakan serban itu. Jadi, bisa saja terpengaruh Diponegoro karena pada saat itu tak ada satu orang pun yang tinggal di Jawa berpakaian seperti dia. Ini mungkin saja terjadi karena adanya ‘hubungan’ tertentu antara Raden Saleh dan Diponegoro. ■ muhamamd subarkah


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.