Media Indonesia - 22 Desember 2010

Page 13

Kesehatan | 13

RABU, 22 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA

Pilah Pilih Obat Pelangsing

Satu Hati Bernilai Tinggi Efektivitas cangkok hati dalam menolong pasien mencapai 90%. Namun, operasi berbiaya mahal ini belum berkembang di Indonesia. Amalia Susanti

P

EKAN lalu, tim dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk pertama kalinya sukses melakukan cangkok hati pada dua pasiennya. Dalam operasi itu, RSCM bekerja sama dengan tim dari Hepatobiliary and Pancreatic Diseases First Affliated Hospital Zhejiang University School of Medicine, China, serta RS Puri Indah, Jakarta. Operasi pertama dilakukan pada pasien berumur 44 tahun dengan donor hati dari anaknya yang berusia 18 tahun. Pasien terindikasi mengalami pengerasan (sirosis) hati akibat hepatitis B kronis. Dalam operasi itu, seluruh hati pasien diangkat dan diganti dengan hati sisi kanan donor. Cangkok hati berikutnya dilakukan pada anak berusia 6 tahun dengan donor hati dari ayahnya yang berusia 33 tahun. Anak itu didiagnosis menderita hepatitis autoimun hingga mencapai tahap sirosis. Dalam operasi, seluruh hati pasien juga diangkat dan di-

gantikan sebagian hati kiri ayahnya. Sampai saat ini, kedua pasien dan pendonor dalam kondisi stabil. RSCM menjadi salah satu dari segelintir RS di Indonesia yang pernah melakukan cangkok hati. Sebelumnya, cangkok hati pernah dilakukan di RS dr Karyadi Semarang dan RS dr Soetomo Surabaya pada pasien anak-anak. Di Indonesia, cangkok hati memang belum berkembang layaknya cangkok ginjal. Padahal, jika ditilik dari profil kesehatan hati masyarakat Indonesia, bisa dipastikan tingkat kebutuhan terhadap operasi ini tergolong tinggi “Saat ini diperkirakan ada sekitar 20 juta penderita hepatitis B dan C di Indonesia, dan setengah dari penderita ini berpotensi berkembang menjadi penyakit hati kronik,” ujar ibu negara Ani Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya di acara The 3rd ChinaIndonesia Joint Symposium on Hepatobiliary Medicine and Surgery di, Jakarta, Kamis (24/6). Itu belum termasuk jumlah bayi penderita atresia billier yang di Jakarta saja mencapai

25 sampai 30 bayi per tahun. Kasus hepatitis B, C, dan atresia billier yang tidak tertangani dengan baik akan mengalami sirosis hati. Data global menunjukkan, sekitar 30% kasus hepatitis B dan C berkembang menjadi sirosis. Sementara itu, kasus atresia billier yang tidak tertangani dalam jangka dua bulan juga bisa berkembang jadi sirosis. Ketika hati sudah mengalami sirosis, jaringannya mengeras dan mati, tidak ada solusi lain kecuali mengangkat hati yang rusak itu dan menggantinya dengan jaringan hati sehat. Selama ini pasien yang ingin melakukan transplantasi hati harus berobat ke luar negeri. P re s i d e n D i re k t u r R S C M Akmal Taher mengakui operasi transplantasi hati di Indonesia memang masih sangat terbatas baik teknik operasi maupun obat-obatan. “Kita memerlukan tenaga ahli untuk alih teknologi. Kerja sama ini menjadi bagian dari transfer of knowledge agar selanjutnya Indonesia bisa melakukan operasi secara mandiri,” ujar Akmal di Jakarta, pekan lalu. Bila tujuan itu tercapai,

masyarakat Indonesia akan sangat diuntungkan terutama dari segi penghematan biaya. Mengingat biaya operasi cangkok hati memang terbilang sangat mahal. Selama ini pasien yang melakukan cangkok hati di Singapura harus mengeluarkan dana sekitar Rp3 miliar. Sementara bila di Indonesia sudah dapat melakukan cangkok hati secara mandiri, menurut Akmal biayanya bisa dipangkas jadi sekitar Rp600 juta-Rp700 juta.

Efektif Pada kesempatan sama, pakar cangkok hati dunia dari First Affliated Hospital, Zhejiang University School of Medicine, Hangzhou, China, Prof Shu-Sen Zheng mengungkapkan, cangkok hati merupakan cangkok organ yang paling sulit. Tindakan medis yang kompleks itu membutuhkan sistem dan tim dokter yang solid dari berbagai disiplin ilmu. “Meski begitu, operasi transplantasi hati tergolong sangat efektif menolong pasien. Angka ketahanan hidup (survival) hing ga lima tahun sesudah operasi pada pasien mencapai 85%-90%. Sesudah ope-

rasi pasien dapat hidup dan ber aktivitas dengan normal bahkan di China ada pasien cangkok hati yang berhasil menjadi juara Olimpiade dan mempunyai kekuatan fisik yang baik,” ujar Zheng. Zheng menjelaskan, pada awalnya cangkok hati menggunakan donor dari mayat (cadaver), tetapi karena fenomena ketidakseimbangan jumlah pendonor mayat dengan calon penerima hati (resipien), dikembangkan teknik transplantasi hati dengan donor dari manusia hidup. Zheng menambahkan, donor hati dapat dilakukan orang yang sehat dan bergolongan darah sama dengan calon resipien. Seseorang dapat mendonorkan hingga 60% organ hatinya. “Sisa hati pendonor yang 40% akan pulih dan normal kembali setelah jangka waktu enam bulan,” jelas Zheng. Jika menilik tingginya kasus penyakit hati di Indonesia, sudah selayaknya pengembangan cangkok hati di Tanah Air mendapat dukungan dari seluruh pihak terkait. (S-3) amalias@mediaindonesia.com

Pemicu Laten Kanker Nasofaring KANKER nasofaring tidak terlalu populer jika dibandingkan dengan kanker paru, payudara, rahim atau otak. Padahal, kasusnya lumayan banyak. Pemicunya pun mudah dijumpai di lingkungan sekitar. Menurut dokter spesialis penyakit telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) RS Kanker Dharmais, Budianto Komari, kanker nasofaring adalah jenis yang paling kerap dijumpai di area THT. Kanker ini tumbuh dirongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. “Kasus kanker nasofaring merupakan jenis terbanyak nomor satu dalam lingkup THT dan nomor empat dalam lingkup kanker secara umum,” ujar Budianto di Jakarta, beberapa waktu lalu. Di Indonesia, penderita nasofaring terhitung sampai dengan 2005 mencapai lebih dari 2.000 orang, terdiri dari kaum dewasa dan anak-anak. Bahkan, tercatat ada anak berusia enam tahun mengalami kanker nasofaring. “Dari tahun ke tahun penderita anak-anak terus bertambah,” kata Budianto.

ANTARA/NYOMAN BUDHIANA

PENGAWET: Konsumsi makanan berpengawet seperti ikan asin dan makanan kalengan menjadi salah satu pemicu timbulnya kanker nasofaring. Penyebab utama dari kanker nasofaring belum diketahui secara pasti. Namun, selain karena faktor genetis, ada beberapa faktor yang diduga kuat jadi penyebab, antara lain virus epstein-barr. Sebenarnya, virus itu dijumpai pada hampir setiap manusia karena terdapat pada udara bebas. “Namun, virus terse-

but ‘tertidur’ sehingga tidak akan menimbulkan efek apa pun. Persoalan muncul ketika virus itu ‘bangun’ karena suatu pemicu,” lanjut Budianto. Salah satu elemen yang bisa memicu virus epstein-barr jadi berbahaya adalah polusi udara, seperti asap kendaraan dan asap pabrik. Asap rokok juga bisa jadi memicu, tetapi ke-

mungkinannya kecil karena asap lebih dominan menyebabkan kanker paru-paru. Menurut penelitian, jika dibandingkan dengan perempuan, laki-laki lebih dominan terkena penyakit nasofaring. Perbandingannya 2,81 : 1. Hal itu diduga disebabkan laki-laki lebih dominan bekerja lapangan, seperti di pabrik yang ber-

polusi udara, sementara perempuan lebih banyak be kerja kantoran. Selain polusi, faktor lainnya adalah kebiasaan mengonsumsi makanan yang diawetkan atau makanan kaleng. Sebagai contoh, kasus kanker nasofaring banyak dijumpai pada masyarakat China Selatan yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Studi ilmiah menemukan kaitan kondisi itu dengan kebiasaan mayoritas penduduknya mengonsumsi ikan asin. Pasalnya, ikan asin mengandung zat nitrosamin, suatu zat yang menjadi pemicu kanker. “Makan ikan asin atau ma kanan kaleng boleh saja, asal tidak berlebihan,” lanjut Budianto. Jika menilik faktor penyebabnya, pencegahan yang paling efektif adalah dengan menghindari polusi udara dan menerapkan pola makan sehat. Langkah itu penting dilakukan sejak dini pada setiap keluarga. “Variasi makanan sangat penting. Usahakan selalu mengonsumsi makanan berbahan segar,” pesan Budianto. (*/S-3)

UPAYA mengatasi obesitas kadang tak cukup dengan diet dan olahraga semata. Penggunaan obat-obatan kadang juga diperlukan. Di pasaran, ragam obat pelangsing banyak ditawarkan. Bagaimana memilih yang terbaik? Dokter spesialis gizi yang mendalami masalah diet dan pelangsingan, Johanes Chandrawinata mengungkapkan, obat penurun berat badan terbagi dalam dua jenis. Pertama, jenis obat yang bekerja di otak. Obat ini menekan nafsu makan, meningkatkan rasa kenyang, dan menaikkan metabolisme. Kedua, jenis obat yang bekerja lokal di usus dengan cara menghambat penyerapan lemak. Dua jenis obat itu dapat digunakan. Namun, berdasarkan efektivitas dan efek sampingnya, Johanes lebih menganjurkan obat yang bekerja lokal di usus. “Obat yang bekerja dengan menghambat penyerapan lemak di saluran cerna secara klinis terbukti lebih baik karena obat yang bekerja di sistem saraf pusat bisa menimbulkan berbagai efek samping yang berbahaya terutama bila digunakan dalam jangka panjang,” jelas Johanes di Jakarta, beberapa waktu lalu. Memang, obat penghambat serapan lemak juga memiliki efek samping, antara lain, mulas, feses berlemak, dan lebih sering buang air besar. Namun, efek samping itu terbilang lebih ringan ketimbang efek samping obat penekan nafsu makan yang bersifat sistemis. Baru-baru ini, salah satu jenis obat penekan nafsu makan jenis sibutramine bahkan izin edarnya ditarik karena terbukti menimbulkan gangguan jantung. ’’Obat yang bekerja sentral yang aman dikonsumsi antara lain diethylpropion, namun penggunaannya juga hanya

boleh jangka pendek,’’ imbuh Johanes. Apa pun jenisnya, lanjut Johanes, obat penurun berat badan tergolong obat keras. Penggunaannya harus dengan resep dokter. Johanes menjelaskan, penggunaan obat untuk orang yang obesitas ini memiliki kriteria tertentu, antara lain nilai indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 30 dan disesuaikan dengan riwayat penyakit pasien. Nilai IMT didapat dengan cara membagi berat badan (kg) dengan kuadrat dari tinggi badan (meter). Walau demikian, menurut Johanes, cukup banyak pasien yang IMT-nya belum 30 tetapi sudah minta diresepkan obat penurun berat badan. Hal itu dibolehkan, dengan pertimbangan, pada beberapa orang sudah mengalami penumpukan lemak di perut walaupun IMT-nya masih di bawah 30. ’’Penumpukan lemak di perut menjadi faktor risiko diabetes dan penyakit kardiovaskular,’’ jelas Johanes. Johanes mengingatkan, obesitas adalah penyakit dengan faktor genetik. Penyakit ini tergolong kronis dan sulit dikendalikan. Itu sebabnya, penatalaksanaan obesitas juga bersifat jangka panjang. Namun, selama ini penanganan obesitas identik dengan diet mengurangi porsi makan yang dianggap menyiksa sehingga sering gagal. Masyarakat juga sering terjebak pada tawaran langkah kilat yang menjanjikan penurunan berat badan berkilokilo dalam waktu singkat. ’’Itu harus disikapi dengan hati-hati. Idealnya, terapi obesitas dilakukan dengan pengaturan pola makan sehat, perubahan perilaku, olahraga untuk meningkatkan pengeluaran energi, serta obat-obatan yang aman dan tepat,’’ pungkas Johanes. (*/S-3)

AP/STUART RAMSON

PENYAKIT KRONIS: Obesitas merupakan penyakit kronis yang penanganannya membutuhkan waktu lama.

INFO Senam Bersama RSAB Harapan Kita SENAM bersama menjadi kegiatan rutin RS Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita, Jakarta. Kegiatan yang berlangsung tiap Jumat itu sudah berjalan hampir setahun dengan fasilitator bergiliran dari RSAB Harapan dan RS Jantung Harapan Kita. Menjelang hari ulang tahun ke-31 RSAB Harapan Kita yang jatuh hari ini, Jumat lalu senam rutin tersebut diselenggarakan lebih meriah dengan memanggil instruktur ternama guna membangkitkan animo peserta yang lebih besar. Dan terbukti, kegiatan mingguan tersebut menjadi ramai diikuti para karyawan dan pasien. “Kegiatan senam ini diharapkan dapat menambah kinerja karyawan dalam memberikan pelayanannya demi menggapai misi RSAB menjadi rumah sakit terkemuka,” ujar Direktur Utama RSAB Harapan Kita Hermien Widjajati Meryono. (*/S-3)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.