puluhan tahun, terutama konflik antara HPH dan perusahaan yang didukung negara dengan masyarakat setempat. Falsafah yang terkandung dalam UUPK 1967 tidak berbeda secara signifikan dengan Undang-undang Kehutanan kolonial pada tahun 1865. Walaupun kemudian pemerintah Indonesia tidak pernah mengakuinya.
Paradigma Jahat Ahli Kehutanan Ahli kehutanan telah dilatih untuk mengadopsi pemahaman yang jahat; �Hutan negara memberi manfaat terbesar bagi masyarakat, kehutanan ilmiah merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumber daya yang rasional dan efisien, dan memajukan pertumbuhan ekonomi melalui produksi hutan untuk negara merupakan komponen kunci bagi peran para sarjana kehutanan� (Peluso dalam “Righ Forest, Poor Peole: Resource Control and resistance in Java�, yang diterbitkan oleh University of California Press, 1992). Pada masa kolonial, Dinas kehutanan berusaha mengendalikan dan mengeksploitasi hutan di luar jawa secara terpusat melalui peraturan kehutanan yang seragam. Ahli kehutanan dilatih untuk mengadopsi paradigma di atas dan secara tak langsung memandang rendah cara pengelolaan sumber daya yang berbeda yang dilakukan oleh institusi lain. Mereka meyakini supremasi pengelolaan hutan berdasarkan kaidah ilmiah yang mereka buat. Pemahaman ini tertanam amat dalam di sebagian besar pembuat kebijakan sehingga mereka hampir tidak dapat menerima gagasan tentang pengelolaan hutan yang bersifat lebih rasional. Sebagai agen negara, birokrat kehutanan juga dicekoki dengan