kertas_posisi_no_09

Page 1


PERLUASAN SAWIT BERBUAH PETAKA Sketsa Perlawanan Petani atas Penyingkiran dan Pengingkaran Hak Atas Sumberdaya Agraria di Dataran Toili Kabupaten Banggai

Tulisan sederhana yang mungkin dapat menjadi alasan “pencemaran nama baik� ini didedikasikan kepada Eva Bande dan 23 orang Petani Toili yang terpenjara karena perjuangan mereka melawan penindasan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan Kuasa Modal Murad Husein dan Menantunya Herwin Yatim untuk kesejahteraan bagi para pengikutnya di dalam tubuh lembaga kenegaraan yang agung serta penderitaan dan nestapa yang tak terperi bagi Petani Toili

1


PERLUASAN SAWIT BERBUAH PETAKA Sketsa Perlawanan Petani atas Penyingkiran dan Pengingkaran Hak Atas Sumberdaya Agraria di Dataran Toili Kabupaten Banggai Mohammad Syafei Kira-kira bulan Maret 2009, Pak Marsub dengan Anaknya Tulus sedang dalam perjalanan berburu di lokasi hutan dekat tanaman kelapa warga. Secara kebetulan mereka bertemu dengan Murad Husein yang dikawal oleh Buldoser dan awaknya. Murad Husein bertanya kepada pak Marsub, “Siapa punya pohon kelapa itu? (sambil menunjuk pepohonan kelapa). Dijawab Pak Marsub, “punya teman saya Pak”. Dijawab Murad Husain lagi dengan nada tinggi tak bersahabat, “suruh dia cabut pohon kelapa itu dan pindah dari sini, karena ini bukan tanah 24 (maksudnya Desa Bukit Jaya unit 24) tapi punya HGU, ini sudah diselesaikan dengan Kepala Desa 24”. “Iya pak, kata pak Marsub dengan rasa takut karena pengawal Murad yang memasang muka bengis. (Catatan Diskusi bersama petani Bukit Jaya, April 2009) Suasana hati Pak Marsub dalam percakapan itu dapat mewakili suasana hati rakyat petani yang berjumpa secara sengaja maupun kebetulan dengan Bos Besar PT KLS (Kurnia Luwuk Sejati). Suasana mental terintimidasi seakan-akan muncul begitu saja tanpa bisa dibendung oleh rakyat Toili umumnya ketika berhadapan Raja Sawit Sulawesi Tengah itu. Dalam kesempatan yang berbeda, di beberapa desa di Kecamatan Toili, ketika hal menyangkut percakapan itu disampaikan, kesan serupa hadir demikian adanya, alasan-alasan munculnya suasana mental seperti itu tidak dilandasi alasan yang kuat. Di antara para petani itu, terdapat sebagian kecil yang mununjukkan rasa geramnya, bahkan beberapa di antaranya mengumpat tidak keruan, karena objek kemarahannya itu hanya sanggup dibayangkan saja. Dalam hati saya bergumam, sedemikian burukkah dampak penindasan tanpa hati yang dilakukan oleh Kuasa Modal ini sehingga rakyat Toili terpenjara oleh rasa takut mereka. Mungkinkah rakyat Toili dengan mental yang sedemikian ini, bisa memperoleh hak-hak mereka atas sumber daya agraria. Sadarkah mereka atas penyingkiran terang-terangan dari sumber penghidupan mereka satu-satunya, yang akan berdampak panjang, kemiskinan berkelanjutan bagi anak-cucu mereka? Beberapa bulan sebelumnya, dalam rangka merayakan Idul Fitri di Luwuk, melalui koran lokal, saya dan Eva Bande (istri saya) membaca berita mengejutkan. Seorang Kepala Desa dari Kecamatan Toili Barat ditangkap dan dipenjarakan oleh Kepolisian setempat pada tanggal 20 September 2008 (di Lapas IIb Luwuk, sebagai titipan Polres), karena melakukan Pencemaran Nama Baik Direktur PT BHP (Berkat Hutan Pusaka) bernama Herwin Yatim, salah seorang menantu Murad Husein. Kejadian aneh ini kemudian telah mengundang simpati Eva Bande yang kemudian dibantu oleh LBH-Sulteng dan Walhi Sulteng mencoba mengeluarkan Kepala Desa itu dari tahanan dan melakukan investigasi lebih jauh latar belakang kejadian aneh itu. Pendeknya, kasus ini dilatarbelakangi ulah PT BHP yang melakukan pembabatan hutan dan penanaman Sawit di sejumlah wilayah Desa dalam Kecamatan Toili Barat. 2


Pembabatan Hutan hingga di bantaran sungai itu meresahkan masyarakat karena dianggap merusak lingkungan dan bisa menyebabkan banjir, sehingga melalui Forum Kepala Desa Toili Barat yang diketuai oleh Kepala Desa Makapa, I Nyoman Sumerta, kelakuan buruk perusahaan tersebut dilaporkan kepada Bupati. Pelaporan resmi para kepala desa tersebut, diterima oleh direktur PT BHP sebagai pencemaran nama baik, dan berbuah penangkapan dan penahanan Kepala Desa itu. Kisah nyata kedua dapat melahirkan asumsi sederhana. Suasana mental rakyat Toili bukan sekadar disebabkan rasa takut kepada sosok Murad Husein maupun Herwin Yatim, melainkan kekhawatiran rakyat yang tidak merasa dilindungi oleh aparatur negara baik pemerintah daerah maupun kepolisian setempat, ketika mereka menunjukkan perlawanan atas ketertindasan mereka. Kepala Desa yang diberi mandat kuat oleh rakyat maupun Undang-undang pun dengan sangat mudahnya dijebloskan ke dalam penjara, apalagi rakyat biasa. Kejadian seperti ini sudah berulang-ulang terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang antara tahun 1990an hingga sekarang. Karena itulah rakyat yang umumnya petani di dataran Toili, terperangkap oleh suasana mental “ketakutan�, karena salah bicara dan bersikap di hadapan Raja Sawit dan menantunya itu dapat dipenjarakan dengan sangat mudahnya. Tulisan ini disuguhkan dalam bahasa yang lugas, apa adanya, sedapat mungkin tidak merujuk pada alas teoretik dan-atau menguraikan konteks tanpa dibatasi oleh aliran pemikiran tertentu. Seluruh informasi yang disampaikan di dalam kertas posisi ini diperoleh dari catatan-catatan lapangan yang berserakan, tidak teratur rapi, karena energi banyak tersedot oleh berbagai kasus insidental dari sumber masalah yang sama: PT KLS. Kertas Posisi kali ini, dengan demikian kiranya dapat dimaklumi sebagai media “pengungkapan fakta� sedemikian rupa, agar terkesan sedikit sistematis. Tulisan ini diawali dengan kedua fakta di atas, sebagai perwakilan dari banyaknya fakta yang membentuk sebuah kesatuan makna mengenai penguasaan seseorang terhadap sebuah tatanan kehidupan masyarakat, baik yang terlibat dalam hubungan produksi secara langsung maupun tidak langsung dengan sang kuasa modal. Maksud memulai dengan fakta itu, adalah hendak mengundang suasana mental saudara pembaca sejak awal, agar dalam pembacaannya kemudian setidaknya menunjukkan keberpihakan terhadap nasib rakyat. Sebaliknya, bagi pembaca lainnya, mungkin saja tulisan ini, sejak awalnya telah mengundang kontroversi dan meneruskan pembacaan untuk/agar bagian mana dari tulisan ini akan menjadi catatan penting untuk dijadikan alas hukum atau kritik dengan maksud yang tentu masih gelap. AKTOR-AKTOR UTAMA Ibarat sebuah drama dengan judul besar Sengketa Agraria Berbuah Petaka, sepertinya lebih enak bila dimulai dengan memperkenalkan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Berbeda dengan cerita drama dalam sebuah media hiburan, tidak ada pembagian peran yang dibagi-bagikan berdasarkan skenario yang dikendalikan seorang sutradara. Peran-peran Aktor dalam drama ini muncul sebagai panggilan sejarah, panggilan kemanusian dan di sisi lainnya panggilan sifat buruk manusia 3


yang asli dan tidak dibuat-buat, keserakahan, ketidakpuasan, serta kesenangan merampas hak orang lain dan menyaksikan penderitaan orang lain sebagai kebahagiaan. Murad Husein, saat ini mungkin berusia 72 Tahun. Dia adalah seorang pengusaha asal Sa’dan Toraja Provinsi Sulawesi Selatan, pemilik PT Kurnia Luwuk Sejati (PT KLS) yang bergerak di sektor Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Banggai dan Kabupaten Morowali. Di Kabupaten Banggai sekitar tahun 1990-an (waktu itu belum terpisah dengan Kabupaten Banggai Kepulauan), Murad Husein memulai kiprahnya dengan usaha kopra, tetapi belum sebagai pemilik usaha seperti sekarang ini. Lama kelamaan entah bagaimana ceritanya, Murad Husein kemudian memiliki usaha sendiri, termasuk membangun usaha kontraktor lewat CV Kurnia yang berpusat di Palu. Diketahui kemudian, Murad Husein mulai merintis usaha Perkebunan Kelapa Sawit seluas 6.010 Ha di Kabupaten Banggai dengan alas hukum SK. HGU No. 15/HGU/1991 dari Badan Pertanahan Nasional tanggal 2 Oktober 1991. Saat ini diperkirakan perkebunan sawit yang dikelolanya telah mencapai 12.000 Ha termasuk yang terdapat di Kabupaten Morowali. Dalam perjalanan karir bisnisnya, kehidupan Murad Husein juga dihiasi karir politik sebagai Bendahara DPD Golkar Sulteng dan menjadi anggota MPR-RI. Pada tahun 1997-1998 ketika Indonesia mengalami krisis, Dia telah menukarkan uang pribadinya USD 5 juta dolar (kurs Rp. 5000). Penukaran (bukan sumbangan) uang pribadi ini merupakan cerita yang sampai saat ini telah melambungkan nama Murad Husein sebagai orang kaya yang baik hati, kebaikan hati yang hampir setiap tahun selalu diingatkan kepada publik oleh media massa, baik diminta oleh yang bersangkutan, keluarga, atau pihak keluarga dan kerabat yang bermaksud menggunakan “kebaikan hati-nya� itu untuk kepentingan politik memperoleh simpati rakyat. Pada sekitar tahun 1991-1992 Murad Husein telah mendorong perusahaannya PT KLS berkongsi dengan PT Inhutani I mendirikan sebuah perusahaan bernama PT Berkat Hutan Pusaka (PT BHP). PT KLS memiliki saham 60% dan PT Inhutani I 40%, mungkin karena ini, maka Direktur PT BHP ditunjuk dari pihak PT KLS, dalam hal ini menantu Murad Husein sendiri, bernama Herwin Yatim. Herwin Yatim, sebagaimana mertuanya, dia pernah menjadi fungsionaris Partai Golkar, dan sempat menjadi anggota DPRD dari partai ini pada periode 1999-2004, tetapi tidak cukup setahun, karena dipecat oleh pimpinan partai akibat konflik internal. Belakangan Herwin Yatim atas dorongan dan dukungan mertuanya, mencalonkan diri menjadi kandidat calon wakil Bupati Banggai tahun 2006, tetapi gagal. Pada pemilu tahun 2009 Herwin Yatim kembali ke pentas Politik melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan berhasil duduk sebagai anggota DPRD Kabupaten Banggai sampai sekarang. Meskipun telah memegang posisi ketua Komisi A di DRPD Banggai, kelihatannya politisi ini enggan melepas jabatan Direktur-nya di PT BHP, sebagaimana yang diharuskan oleh UU No 3 tahun 2003 tentang Susduk Anggota MPR/DPR/DPRD.

4


Murad Husein (MH) dan Herwin Yatim (HY) merupakan aktor yang berperan sangat penting dalam cerita berjudul Perluasan Sawit Bebuah Petaka ini. Peran mereka berdua telah memberi bukti yang telah dicatat oleh sejarah, bahwa peribahasa kuno “kuasai dan jajahlah” peninggalan imperialisme-kolonialisme masih hidup dan berjaya di zaman yang sampai di ujung desa terpencilpun telah kenal bahkan pakai BlackBerry. Keduanya dalam trend demokrasi paling anyar, Pemilu Langsung, Pilpres Langsung, dan Pilkada Langsung telah membuktikan kepada publik se-nusantara, bahwa di Kabupaten Banggai, baik Rakyat, para Kepala Desa, Camat, oknum pejabat Pemerintah Daerah, oknum Polisi, oknum Tentara berpangkat tinggi, Jaksa bahkan Hakim dapat dibuat tak berkutik oleh UANG. Mereka berdua saling mendukung serta mengisi kelebihan dan kekurangan, kalau yang seorang sedang diserang oleh media massa, yang seorang lagi segera berbuat kebajikan bagi rakyat. Apabila seorang yang berbuat kebajikan bagi rakyat itu dianggap sekadar basa-basi politik untuk mengatasi kelakuan yang seorang lagi, maka biasanya media massa lokal dibuat bungkam dengan iklan-iklan yang berstandar puluhan bahkan ratusan juta yang menguasai halaman-halaman utama berita. Segala hal baik yang pernah dilakukan diulang-ulang kembali ke publik, termasuk soal penukaran (bukan sumbangan) uang pribadi USD 5 juta dengan Mata Uang Rupiah. Biasanya paket-paket beritanya diwakili oleh judul KIPRAH KLS dan sejenisnya. Upaya saling dukung antara kedua aktor ini, akan segera disaksikan pada tayangan nyata dalam pentas sandiwara politik Pilkada Banggai 2011-2015. Rupanya, menurut isu yang berkembang di kota Luwuk, Herwin Yatim, yang dalam sebuah media lokal dinyatakan mirip aktor Mandarin Chou Yun Fat, setelah berhasil merebut kedudukan Ketua DPC-PDIP Kabupaten Banggai, akan didorong menjadi Wakil Bupati Banggai. Kalau ini berhasil, maka semakin komplitlah kerjasama mertua-menantu ini, menguasai sektor non-pemerintahan, legislatif maupun eksekutif. Sebagai pimpinan puncak DPC-PDIP tentu Herwin Yatim akan mengawal setiap pengambilan keputusan di Legislatif melalui Fraksi PDIP, dan dalam urusan perizinan “dalam negeri” Banggai akan dipengaruhi melalui kedudukannya di eksekutif bila menang Pilkada. Skenario yang hebat untuk mereka dan mengerikan bagi rakyat. I Nyoman Sumerta (kurang lebih 39 Tahun), adalah Kepala Desa Makapa Kecamatan Toili Barat yang dipercaya oleh kepala-kepala desa di Kecamatan tersebut menjadi Koordinator Forum Kepala Desa Toili Barat. Seperti dikisahkan di atas I Nyoman Sumerta ditahan oleh Polres Banggai karena melakukan Pencemaran Nama Baik terhadap Herwin Yatim, Direktur PT BHP. Pengawalan terhadap kasus perusakan lingkungan oleh PT BHP yang dikawal oleh Kepala Desa ini kemudian mengalami stagnasi setelah dia terpilih menjadi Anggota DPRD Kabupaten Banggai dari PDIP duduk bersama dalam satu Fraksi bersama Herwin Yatim yang pernah menjebloskannya ke dalam penjara. Yusuf Ahmad (56 tahun), adalah salah seorang warga Desa Singkoyo dari Dusun Agro peserta Transmigrasi Swadaya Mandiri dengan pola Agro Estate melalui proyek transmigrasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah pada tahun 1996 melalui Departemen Transmigrasi dan Permukiman Perambah Hutan (PPH). Proyek Transmigrasi Agro Estate tersebut dilaksanakan atas kerjasama antara Pemerintah dengan pihak swasta yang dalam hal ini adalah PT KLS milik Murad 5


Husein, yang dalam dalam perjanjian kerjasama antara kedua pihak, lahan yang dimanfaatkan untuk lokasi transmigrasi tersebut adalah lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT KLS melalui mekanisme penyerahan lahan HGU yang kemudian akan dikelola dengan sistem Inti dan Plasma. Pada tanggal 19 September 2008, PT KLS melakukan penggusuran secara paksa lahan pertanian milik Yusuf Ahmad dan warga lainnya dengan menggunakan peralatan berat berupa Buldoser dan Chain saw, sehingga tanaman milik warga yang berupa pohon coklat, pisang, durian, rambutan, kelapa, pete, alpokat dan lainnya menjadi rusak dan mati. Berbagai usaha Yusuf Ahmad dan saudara-saudara petani peserta Transmigrasi Agro Estate ini mengalami hambatan dan tekanan dari Murad Husein melalui peran aktoraktor sewaannya, lalu melaporkan masalah mereka ini kepada Eva Bande yang ketika itu sedang dalam upaya mengawal kasus lainnya di Desa Tou Kecamatan Toili yang juga terkait dengan PT KLS dan kasus pembabatan hutan di bantaran sungai dalam wilayah Kecamatan Toili Barat. Nasrun Mbau (38 Tahun) adalah Putra Asli Komunitas Tau Ta’a yang juga menjabat Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Singkoyo Kecamatan Toili sejak 2007 sampai sekarang. Semula Nasrun Mbau bekerja sebagai petani Plasma dan menjadi ketua di Bloknya, tetapi setelah dianggap membangkang, hasil panen Nasrun Mbau dan sejumlah petani Plasma lainnya tidak dibeli oleh PT KLS. Perjuangan Nasrun Mbau untuk memperoleh hak-hak petani Plasma dan tanah adat tidak berhenti setelah hasil panen Kelapa Sawitnya tidak dibeli perusahaan. Kasus Penggusuran Lahan Peserta Transmigrasi Agroestate telah memperkenalkannya dengan Eva Bande dan kawan-kawan aktivis dari LBH Sulteng, Walhi Sulteng, SPHP Sulteng, dan LBH Luwuk. Dalam perkembangannya kemudian, telah didirikan organisasi petani yang dipimpin oleh Nasrun Mbau, yang bernama Persatuan Petani Singkoyo (PEPSI). Muhammad Arif Bennu (61 tahun) berasal dari daerah Palopo Sulawesi Selatan, yang telah menjadi warga Desa Moilong puluhan tahun lamanya. Masyarakat Moiling memandang beliau sebagai tokoh yang sangat dihormati dan disegani, baik dalam kedudukannya sebagai salah satu Imam Desa maupun sebagai Ketua Kelompok Tani Toddopuli yang kemudian menjadi Serikat Petani Toddopuli Moilong. Meskipun Desa Moilong dikenal cukup luas sebagai tempat bersarangnya preman langganan Murad Husein yang kerap kali digunakan untuk menakuti-nakuti masyarakat, tetapi Pak Arif tidak pernah gentar dan bersurut menjuangkan hak-hak petani di Desa Moiling yang dirampas PT KLS. Perkenalan beliau dengan Eva Bande dan kawan-kawan aktivis lainnya, melalui sejumlah rapat atas undangan Nasrun Mbau. Ribut Warso, Badaruddin, Kholil, Sutrisno, I Nyoman Suwarna, adalah beberapa tokoh utama di Desa Piondo. Ribut Warso adalah pimpinan pertama SPP (serikat petani Piondo). Rumah Mas Ribut ini awalnya adalah tempat ngumpul para tokoh dan warga Piondo membicarakan berbagai persoalan menyangkut Kiprah PT KLS maupun masalah lainnya bersama kawan-kawan aktivis. Dari tempat itu pula digagas dan dibentuk Serikat Petani Piondo (SPP). Karena anak Mas Ribut harus melanjutkan sekolah di Sausu, maka kemudian mereka pindah sekeluarga di sana. Pimpinan SPP kemudian diserahkan kepada Badaruddin (mantan ketua BPD Piondo 2001-2006). Badarudin, Kholil (sekarang sekretaris BPD Piondo), Sutrisno, dan I Nyoman Suwarna adalah Badan Pimpinan Organisasi (BPO) SPP yang kuat pengaruhnya 6


dalam pengelolaan organisasi maupun mengorganisir kepentingan masyarakat Desa Piondo. Waras (30 tahun) dan Tulus (29 tahun), kedua pemuda ini berasal dari Desa Bukit Jaya. Mereka berdua adalah pengurus Serikat Petani Bukit Jaya, yang sampai saat ini masih sangat bingung menghadapi kepala desanya sendiri yang dianggap kaki tangan PT KLS. Kepala Desa Bukit Jaya sering mempengaruhi masyarakat dan menakutnakuti masyarakat yang ingin bergabung dengan organisasi petani. Meski demikian, semangat Waras dan kawan-kawan untuk memperluas dukungan masyarakat Bukit Jaya untuk memperjuangkan hak-hak mereka tidak bersurut. Eva Bande, 32 Tahun, adalah putri asli Banggai. Ayahnya Hanafi Bande (pensiunan Polisi) berasal dari Batui dan Ibunya (almarhumah) Zahra Basalama berasal dari Banggai Kepulauan (keturunan Arab-Manado). Eva Bande adalah salah seorang Badan Pimpinan KPKP-ST (Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah), termasuk sejumlah peran yang dipercayakan kepadanya, antara lain: Koordinator Forum Kawasan Timur Indonesia (FKTI) Wilayah Provinsi Sulawesi Tengah (2007-2009); Koordinator Koalisi untuk Pembebasan Perempuan (KUPP) Sulteng (2008-2010); Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS-Sulteng, 2009-2010). Dalam rentang waktu 12 tahun (1998-2010) hidup Eva Bande diwarnai perlawanan terhadap ketimpangan sosial dalam berbagai isu dan kasus, mulai dari kasus Tambak di Batui (1999), pendampingan organisasi perempuan adat Ngata Toro (2000), sengketa Agraria di Dongi-dongi (2000-2001), kasus kekerasan terhadap perempuan di Palu, Buol, Tolitoli (2002), lalu di akhir tahun 2002 memasuki wilayah Konflik di Poso untuk pendampingan perempuan korban kekerasan TNI-POLRI dan Sipil hingga tahun 2007. Saat berlibur di tempat kelahirannya di Kabupaten Banggai tahun 2008 bertemu dengan kasus penangkapan I Nyoman Sumerta dan kasus-kasus lainnya di Kecamatan Batui, Toili, Toili Barat, hingga sekarang (2010) Eva Bande masih dalam sikap melawan terhadap segala bentuk penindasan terhadap rakyat baik oleh institusi negara maupun pemilik modal yang serakah. KISAH-KISAH PENYINGKIRAN RAKYAT Serakahnya Kuasa Modal di Toili Barat1 Kisah ini dimulai pada suatu saat di bulan September 2008. Ketika itu, Eva Bande membaca Surat Kabar Luwuk Pos yang memuat berita penahanan I Nyoman Sumerta Kepala Desa Makapa Kecamatan Toili Barat yang dipercaya sebagai Koordinator Forum Kepala Desa (FORKADES) Toili Barat oleh sesama kepala desa di Kecamatan ini. Berita itu aneh dan ganjil. Seorang Koordinator FORKADES Toili Barat memperjuangkan kejahatan PT KLS yang melakukan penebangan hutan di bantaran 1

Dalam Kisah ini, PT KLS dan PT BHP akan digunakan bersama-sama maupun sendiri-sendiri, tetapi sebenarnya baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri tetap berkaitan dengan dua aktor utamanya: MURAD HUSEIN dan HERWIN YATIM. Selama kisah di Areal Konsesi HTI diulas, meski tidak menyebut KLS, harap selalu dihubungkan dengan KLS atau Murad Husein.

7


aliran sungai di atas Bendungan Mentawa (Toili Barat) dipanggil polisi (Polsek Toili) melalui surat No POL: S.PGL/219/IX/2008/RESKRIM sebagai tersangka tindak pidana Penghinaan. Pemanggilan dan penetapan sebagai tersangka itu merupakan tindak lanjut atas laporan Ir. Haji Herwin Yatim, MM yang dimuat dalam surat laporan Polisi NO. POL: LP/55/K/IX/2008/SEK-TOILI Tanggal 5 September 2008. Pada waktu itu Nyoman Sumerta belum menghadap karena masih terus melakukan pengawalan kasus, baik lewat pertemuan dengan Pihak Pemda (Dinas Kehutanan) dan Pihak PT BHP (Herwin Yatim) sampai pengecekan lokasi sengketa. Toh dari proses-proses ini tidak menghasilkan penyelesaian yang memuaskan FORKADES Toili Barat, justru, Herwin Yatim mengadukan kembali Nyoman Sumerta dengan tuduhan lain, Pemalsuan Tanda Tangan. Sebagaimana laporan sebelumnya, laporan ini secepat kilat ditindaklanjuti oleh Polsek Toili dengan surat panggilan sebagai tersangka kepada Nyoman Sumerta. Pada akhirnya Nyoman Sumerta baru dapat menghadap di Polsek Toili tanggal 18 September 2008 dan kemudian dalam waktu dan tempo yang sesingkat-singkatnya, I Nyoman Sumerta dijebloskan ke dalam Rumah Tahanan Negara (Rutan) IIB Luwuk sebagai titipan Polres. Keanehan lain yang unik dan lucu, Herwin Yatim maupun I Nyoman Sumerta adalah fungsionaris Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang ikut dalam kompetisi Pemilu Legislatif Kabupaten Banggai dari dapil yang sama periode 20092014. Bila Herwin Yatim adalah pengurus DPC-PDIP (Wakil Sekretaris) yang kurang lebih baru satu tahun menjadi anggota partai ini, maka I Nyoman Sumerta adalah kader loyal yang sudah lebih dari 5 tahun anggota partai dan dipercayakan menjadi Ketua DPAC-PDIP Kecamatan Toili Barat. Eva Bande yang juga tercatat sebagai anggota dan pengurus DPD-PDIP Prov Sulteng merasa prihatin, lantas menjenguk Nyoman Sumerta di penjara. Dari penuturan Nyoman Sumerta di kantor Polres Luwuk itulah diketahui latar belakang penahanannya. Eva Bande memutuskan untuk membantu mengeluarkan Nyoman Sumerta dari tahanan. Komnas HAM (Ridha Saleh) waktu itu dihubungi untuk diminta pendapatnya, Direktur LBH-Sulteng (Ahmar Welang, S.H) dihubungi untuk dimintai kesediaannya membantu mengeluarkan Nyoman, dan Walhi Sulteng-pun diminta untuk melakukan investigasi lebih jauh terhadap kejahatan lingkungan yang dilakukan PT BHP di Toili Barat. Syukurlah pada akhirnya Nyoman Sumerta diberikan Penangguhan Penahanan sampai batas waktu yang tidak diketahui, meski tidak sempat ikut meramaikan Idul Fitri, dan bersikap menindaklanjuti perjuangannya melawan kejahatan lingkungan di Kecamatan Toili Barat. Lepas Lebaran 2008 itu, LBH Sulteng yang diwakili Etal Syahrudin, Saraswati, dan Advokat LBH Sulteng serta Walhi Sulteng yang diwakili Ahmad Pelor, datang ke Toili Barat untuk melakukan investigasi kasus kejahatan lingkungan PT KLS/PT BHP2 di Toili Barat sekaligus mengurus kepastian status hukum Nyoman Sumerta.

2

Untuk mengetahui lebih jauh tentang PT BHP bisa dilihat pada sejumlah informasi yang telah dipublikasi oleh Yayasan Tanah Merdeka (YTM), dalam Seputar Rakyat, edisi 1 tahun 2010; Kertas Posisi 08 Transisi Kapital di Sulawesi Tengah: Pengalaman Industri Perkebunan Sawit yang ditulis oleh Arianto Sangaji, tahun 2009.

8


(1) I Nyoman Sumerta bersama Eva Bande- Balai Desa Karya Makmur; (2) Ahmad Pelor {Walhi Sulteng, Advokat LBH Sulteng, Eva Bande di Balai Desa Karya Makmur; (3) Anggota ForkadesBalai Desa Karya Makmur; (4) Anggota Forkades diskusi malam di rumah warga desa Makapa Toili Barat. Foto-foto itu diambil pada bulan 7 Oktober 2008.

Ini adalah penggalan pernyataan I Nyoman Sumerta pada pertemuan di Balai Desa Karya Makmur tanggal 7 Oktober 2008: “Kami masyarakat Toili Barat sesuai dengan isi surat Forkades kemarin mengkomplain penebangan yang ada diseputaran HTI, dengan dasar (alasan) karena penebangan itu mengakibatkan pengurangan Debet Air di Bendung Mentawa, airnya semakin kecil. Dasar Kedua, Kami di Toili dan Toili Barat di dalam Tata Ruang merupakan areal pertanian khususnya Pangan dan merupakan lumbung beras di Kabupaten Banggai ini. Maka dari itu kami berani menyurat kepada Bupati yang tertanggal 17 Juni 2008. Namun dipertengahan jalan, kami mendapat kendala, dari pemda sudah direspons tetapi ternyata mendapat kendala, yang saya rasakan sendiri, yakni Penahanan Saya di Polres Banggai. Saya Pribadi sebagai Ketua Forkades merasa merugikan negara setelah dipordeo, karena makan gratis, minum kopi gratis, minum kolak gratis, sementara kami tidak kerja‌Harapan kami dengan kedatangan teman-teman LSM baik dari LBH maupun Walhi, kiranya dengan bantuan ini, tatanan kehidupan pertanian di Toili Barat ini bisa menjadi lebih baik, untuk peningkatan taraf hidup masyarakat di sini. Makan untuk Hidup istilahnya, bukan Hidup untuk Makan. Untuk selanjutnya kami mohon masukan dan penjelasan dari kawan-kawan LSM serta masyarakat yang hadir pada kesempatan iniâ€?.

Pasca pertemuan tersebut, kurang lebih seminggu lamanya investigasi dilakukan oleh wakil dari Forkades bersama kawan dari Walhi dan LBH Sulteng. Dari hasil investigasi awal itu diyakini bahwa PT BHP telah nyata-nyata melakukan aktivitas perusakan lingkungan, penggusuran lahan masyarakat bersertifikat, dan melakukan berbagai upaya menyingkirkan petani dari sumber-sumber hidup mereka. Dalam Sebuah wawancara Hi. Muhammad Faisal (Kepala Desa Pertama Karya Makmur) menjelaskan:

9


Seingat saya pada tahun 1990-an, PT Astra datang kemari untuk mengukur lahan yang akan dijadikan HTI. Pada saat itu masyarakat yang keberatan mendatangi pelaksana dari perusahaan tersebut dengan membawa sertifikat mereka. Masyarakat yang memiliki sertifikat pada saat itu secara bersama-sama menyampaikan keberatan. Mungkin karena mendapat tekanan seperti itu, PT Astra tidak jadi masuk. Tidak lama setelah itu, Perusahaan Pak Murad Husein (kami tidak pasti apakah yang masuk itu perusahaan KLS=Kurnia Luwuk Sejati atau BHP= Berkat Hutan Pusaka) masuk ke sini. Perusahaan itu datang langsung begitu saja, seingat saya tidak ada sosialisasi... seingat saya pada tahun 1993, sebagian masyarakat yang memiliki lahan tetapi tidak memiliki modal untuk mengolah tanah ada yang menjual tanahnya, tetapi ada juga yang tidak menjual. Waktu itu ketika dibangun jalan HTI, sebagian tanah masyarakat yang bersertifikat terbelah oleh jalan, bahkan ada lahan masyarakat yang ditanami oleh tanaman HTI seperti Sengon dan yang lainnya...�

Sejak awal memulai kegiatannya PT KLS melalui PT BHP telah melakukan perampasan hak-hak masyarakat, bukan saja desa Karya Makmur, tetapi semua desa di Toili Barat yang berbatasan langsung dengan areal HTI (sekitar 15-an Desa) yang diukur secara sepihak, tanpa sosialisasi. Belakangan baru diketahui bahwa yang disangka oleh masyarakat PT KLS yang membuka hutan dan membuat jalan itu ternyata adalah PT BHP dalam program HTI Trans Bumi Harapan. Kejahatan Kuasa Modal dalam program HTI-Trans ini sungguh luar biasa, tidak manusiawi untuk rakyat yang menjadi peserta program dan melecehkan Negara dengan tidak mematuhi aturan perundangan yang menjadi alas pengurusan program Transmigrasi Pola HTI. Bayangkan saja, 300-an orang petani yang didatangkan dari Jawa dan sebagian kecil dari daerah Banggai dibuat terlantar hidupnya oleh pemilik dan direktur PT BHP. Dijanji menjadi karyawan industri tetap dengan gaji yang lebih layak dari PNS (pegawai negeri sipil), disediakan rumah yang layak huni, fasilitas umum yang sangat memadai, peralatan kerja, dan lain-lain yang semuanya indah terdengar dan dibayangkan. Setiba di lokasi, baru melihat lokasi permukiman, fasilitas yang jauh dari memadai, rumah hunian yang tak layak, gaji yang hanya mendekati angka 250 ribu bahkan ada yang lebih kecil dari nilai itu, membuat mental seluruh peserta program transmigrasi hancur luluh bercampur marah dan merasa tertipu habishabisan. Salah seorang bekas peserta Transmigrasi yang tak mau disebut namanya, bahkan menyatakan secara blak-blakan: “.... kalau dari saya sih pak, apa yang saya alami ini, saya anggap penipuan, tidak manusiawi, yang punya perusahaan itu betul-betul tidak punya perasaan sebagai manusia lagi, kita yang udah susah hidup begini masih ditipunya.... terus terang pak, waktu baru beberapa bulan di sini, kalau gak salah ingat tahun 1993 atau 1994, saya ikut kabur waktu teman-teman lain pada kabur.... siapa yang bisa tahan hidup dengan sembako sangat kurang dari pas-pasan hanya untuk 1 tahun saja, gaji hanya 200an ribu aja...?... siapa sangka kita seperti dijajah saja, teman-teman ada yang ditangkap di pelabuhan dan dipaksa kembali ke Bumi Harapan yang ternyata hidup tanpa harapan...... sedih pak kalau diingat-ingat mending saya nambang seperti sekarang....�

Pada tahun 1997-an aktivitas HTI sempat ditutup karena 200-an orang pesertanya tidak tahan hidup dalam perbudakan ala Murad dan Herwin melalui PT BHP. Akibatnya kemudian sang kuasa modal merasa rugi karena kayu-kayu balsah dan 10


sengon yang mereka hasilkan dari perbudakaan itu ternyata tidak laku. laku Banyak yang membusuk dipinggir jalan-jalan jalan jalan tak beraspal dan di dalam hutan buatan itu. PT Inhutani pun memilih mundur daripada terikut-ikut terikut ikut dalam skandal penipuan terhadap rakyat miskin tersebut. Belakangan sang Kuasa Modal menggunakan alat-alat alat beratnya ya mulai membabat hutan hingga ke bantaran sungai, bukan sebaliknya membuat hutan industri tetapi menggunduli pinggiran sungai dan ditanami sawit. Tanpa memikirkan nasib petani sawah yang berharap banyak terhadap suplai air dari bendungan Mentawa, demi mengembalikan gembalikan kerugian yang menurut Murad Husein sekitar 20 Miliar, hendak menyawitkan kawasan sekitar bahkan dalam areal HTI yang batas-batasnya batas memang tak jelas dari awalnya. Penggusuran dan penanaman sawit berlangsung selama bertahun-tahun bertahun tanpa dapat dicegah oleh masyarakat, masyarakat bahkan ketika para kepala desa bersatu dalam FORKADES. Sampai ketika tim investigasi Forkades yang dibantu Walhi Sulteng memasuki wilayah HTI dan daerah-daerah daerah daerah aliran sungai yang digunduli, pada awalnya bingung menegaskan gundulisasi si hutan itu dilakukan oleh KLS atau BHP. Sebab ketika sampai di lokasi kantor HTI yang ada di situ adalah bangunan rusak tak berpenghuni sama sekali, terkesan kuat selama bertahun-tahun bertahun tahun tahun tak ada manusia yang tinggal apalagi bekerja di situ. Sementara para penunggang alat-alat alat penggusur hutan menyatakan diperintah Bos BHP, Herwin Yatim.

Gambar Kantor PT BHP yang terletak di Desa Bumi Harapan, diambil pada bulan Oktober 2008. Kantor ini sudah ditinggalkan sejak tahun 2000, sejak itu HTI dianggap tidak tidak aktif oleh masyarakat.

11


Upaya investigasi lebih jauh direncanakan lebih matang lagi pada awal tahun 2009, termasuk membuat peta kawasan aliran sungai yang telah dirusak dan lahan petani yang telah dibantai oleh PT KLS/BHP untuk Kecamatan Toili Barat. Sangat disayangkan rencana itu tidak berlanjut, karena upaya “pecah-belah dan jajahlah” ala’ kolonialisasi Belanda yang menjadi kebiasaan PT KLS/BHP berhasil melemahkan soliditas FORKADES dan merusak kredibilitas rakyat terhadap pemimpinnya di desa. Ada beberapa kepala desa dalam wilayah Kecamatan Toili Barat yang dicurigai masyarakatnya sendiri menjual lahan milik warga dan hutan desa kepada Murad Husein. Entah kecurigaan itu betul atau sekadar isu untuk merusak kredibilitas rakyat terhadap kepala desa oleh perusahaan, atau benar demikian adanya, tetapi rakyat sulit membuktikannya. Namun, ada juga yang diyakini oleh masyarakat, dan melaporkan adanya Jual beli tanah itu kepada pemerintah daerah, tetapi tidak mendapat respons yang baik bahkan diacuhkan. Alasan pemerintah daerah, lahan tersebut tidak dijual kepala desa, tetapi memang merupakan areal HTI. Sementara dari pihak Perusahaan lahan-lahan itu sudah dibeli dari kepala desa yang tetap berpendirian tidak menjual tanah-tanah tersebut. Sementara di desa lain, malah rakyat sendiri yang terpaksa menjual murah tanahnya karena sudah lebih dulu digusur perusahaan dan ditanami sawit. Sebenarnya di antara anggota FORKADES ada yang berusaha konsisten melanjutkan perjuangan menghentikan penggundulan hutan dan penggusuran paksa lahan masyarakat maupun wilayah desa yang dipersiapkan untuk lahan Pengembangan KK Transmigrasi. Usaha itu lama kelamaan tergilas oleh Pemilu 2009. Tokoh Utama FORKADES menjadi salah satu calon kuat dari Toili Barat dari PDIP, sementara tokoh-tokoh FORKADES lainnya tidak semua mendukung sang koordinator, karena terikat hubungan famili dengan calon lain. Jadilah perjuangan melawan penjahat lingkungan menjadi jualan politik di mana-mana. Sementara itu penjahat lingkungannya sendiri mencalonkan diri sebagai salah satu kontestan. Pemilu 2009 telah usai, I Nyoman Sumerta dan Herwin Yatim telah duduk dalam Komisi yang sama, dari Fraksi yang sama, di DPRD Kabupaten Banggai. Kasus HTITrans di Toili Barat pun seiring berjalannya waktu dan berubahnya watak manusia karena perubahan situasi dan status seakan lenyap ditelan angin. Suara-suara kritis rakyat, pun terdengar sayup bernada penyesalan yang mendalam. Harapan yang mulai kelihatan terang dan membumi, semakin redup dan menuju langit. Meski begitu, di beberapa tempat, di warung kopi, di sawah, dan tempat-tempat yang jauh dari ramai, rasa marah yang terpendam masih kadang muncul diselingi harapan yang sekadar diungkap saja tanpa ekspresi. Kata salah seorang informan (tak sedia disebut namanya), “... yah ini salah kita juga pak, udah pernah ditipu berkali-kali, masih juga bisa ditipu berkali-kali lagi... kalau ini sih bukan lagi karena bodoh mas, tapi kuawalat barangkali, ditipu teman sendiri, pahit rasanya mas....”

12


Kiprah PT KLS dan PT BHP di Toili Desa Singkoyo Yusuf Ahmad bercerita: “...penggusuran itu dilakukan tanpa ada pemberitahuan secara tertulis kepada saya, pokoknya saya datang untuk menggarap kebun saya waktu itu, kebun saya sudah menjadi rata dengan tanah dan sudah ditanami sawit-sawit baru... tanaman saya yang digusur macam-macam pak, ada coklat, ada pohon Kelapa dalam, ada Pohon kapuk, dan tanaman-tanaman seperti merica yang tidak terlalu banyak sebagai sampingan untuk menutupi kalau musim panen coklat itu selesai...pohon coklat saya jumlahnya mencapai kurang lebih 2100 pohon, sedangkan kelapa 2 Pohon dan kapuk 2 Pohon juga. Kalau tanaman-tanaman yang lain saya sudah tidak tahu berapa jumlahnya... rata-rata pertahun saya bisa dapat 7 juta sampai 8 juta tapi itu tinggal kenangan pak, karena sekarang mau dapat 20 ribu satu hari saja susah sekali ditengah kami tidak mempunyai kerja lain, selain mengharapkan kebun yang telah digusur oleh perusahaannya pak Murad itu....�

Hari Jumat Tanggal 19-20 September 2008, PT KLS atas perintah Murad Husein melakukan penggusuran secara tiba-tiba kebun kakao dan tanaman-tanaman seperti pisang, durian, rambutan, kelapa, Petai dan lainnya di atas lahan bersertifikat milik masyarakat di lokasi Program Transmigrasi pola Agroestate Desa Singkoyo. Penggusuran tanpa rasa kemanusiaan itu dilakukan dengan alat berat perusahaan yang diawaki orang bayaran PT KLS, Jakob Salusu, Subandi, Toni, dan dikawal oleh oknum kepolisian Polsek Toili yakni Piter dan Wayan Gede. Eva Bande mendengar informasi ini melalui seorang kawan bernama Rasta yang bertugas sebagai tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Rasta lalu memperkenalkan Slamet Boiman teman seprofesinya yang terkait kasus Agroestate. Slamet Boiman kemudian memperkenalkan Eva dengan Yusuf Ahmad ketika mereka (Eva dan Rasta) berkunjung ke dusun Agroestate, lalu menindaklanjutinya sembari mengawal persoalan FORKADES versus PT KLS dalam kasus Penggusuran Bantaran Sungai program HTI-Trans. Melalui beberapa kali pertemuan, Eva Bande memperoleh informasi lebih detil mengenai kasus Agroestate. Awalnya lahan yang sekarang menjadi sengketa adalah bagian dari HGU PT KLS. Adanya program Transmigrasi Swakarsa mandiri dengan Pola Agroestate tahun 1995 telah mengundang PT KLS untuk mengikutinya (lewat tender) dan kemudian mendapat persetujuan pemerintah. Lewat Program ini PT KLS melepas HGU-nya seluas 275 Ha dan memperoleh dana kompensasi sebesar 800 juta (sebelum moneter merupakan jumlah yang cukup besar) diambil dari dana APBN untuk keperluan pembebasan lahan dan pembangunan perumahaan. Sebagai program uji coba, maka peserta dibatasi hanya 100 KK, yang terbagi atas 50 KK yang berasal dari luar daerah dan 50 KK peserta lokal. Sesuai ketentuan, di atas lahan yang sudah dilepas itu, 50 Ha-nya dimanfaatkan untuk lahan tanaman pangan dan fasilitas umum (seperti sekolah, pos layanan kesehatan, sarana ibadah), 25 Ha untuk perumahan dan sisanya untuk tanaman coklat (kakao). Setiap peserta 13


Transmigrasi secara total akan mendapat lahan seluas 2 Ha, dengan pembagian, Ÿ Ha untuk rumah dan pekarangan, ž Ha untuk lahan tanaman pangan, dan 1 Ha untuk tanaman Kakao. Perusahaan Wajib membangun perumahan yang layak huni dan melakukan penanaman Kakao, sedangkan tanaman pangan akan dilakukan sendiri oleh para pesertanya kelak bila sudah menempati jatahnya masing-masing. Demi menyukseskan program ini pemerintah melakukan sosialisasi melalui brosurbrosur dengan isi yang sangat menarik, yang mampu mengundang keinginan kuat para calon peserta. Betapa tidak, seorang peserta bisa memiliki rumah yang layak dan siap huni, pekarangan yang cukup luas, lalu mendapat 1 Ha Kakao yang sudah berproduksi. PT KLS yang telah merasa melaksanakan Proyeknya mulai dari membangun rumah, fasilitas umum, dan menanam kakao dengan baik, lalu menyerahkan kepada Pemerintah Daerah lewat Surat Penyerahan tertanggal 3 Januari 1999. Demikianlah, pada tahun 1999 didatangkan peserta Transmigrasi Agroestate yang berasal dari luar daerah (Jawa) ke lokasi Agroestate. Setiba di lokasi, betapa kecewanya mereka, karena gambaran indah dalam brosur yang masih mereka bawa serta bertolakbelakang dengan kenyataan di hadapan mereka. Di lokasi mereka temukan rumah yang dibuat asal jadi, di lahan-lahan yang akan mereka kelola berserakan kayu-kayu bekas tebangan yang tidak dibersihkan, dan ironisnya kakao yang menurut brosur siap produksi ternyata sudah banyak yang mati, dan bahkan ada yang baru ditanam. Melihat kenyataan ini, 21 peserta yang berasal dari luar tanpa pikir panjang langsung kembali ke daerah asalnya. Sisanya mencoba bertahan dan mengolah lahan yang serba tidak layak itu, sembari mulai membayar kredit angsuran bulanan atas lahan, yang tidak jelas jumlah total yang harus dilunasi dan sampai kapan waktu penyelesaian kredit tersebut. Dalam Perjalanannya sebagian warga menjual tanahnya karena tidak mampu mengolah kepada penduduk lokal dan melanjutkan kredit sisanya, sebagian lagi menjual kepada warga kota luwuk. Di sisi lain program yang menggiurkan karena brosur yang sangat menarik, ternyata membuat warga yang bukan petani pun ingin jadi peserta. Ternyata kemudian di belakang hari, terdapat oknum Pegawai Negeri Sipil yang terdaftar namanya sebagai peserta lokal, ada pula terdaftar atas nama anak kecil, dan sejumlah salah urus lainnya dari pihak Disnakertrans. PT KLS yang tanpa melihat kesalahannya sendiri membangun rumah, fasilitas umum, dan kebun kakao yang tidak layak, merasa dikerjai oleh Pemerintah dan di belakang hari membuat ulah melakukan penggusuran lahan masyarakat. Sungguh ironis bagi peserta yang sudah kepalang tanggung menanam kembali kakao yang rusak dan mati, serta telah mengelola tanaman pangan. Tanaman mereka dilahan harapan itu tiba-tiba habis rata dengan tanah akibat penggusuran tanpa hati oleh PT KLS dengan alas Surat Keterangan dari Disnakertrans tanggal 10 September 2008 No.593/710/Nakertrans. Sungguh sebuah kerjasama yang baik antara Perusahaan Lokal dan Pemerintah Lokal (baca: daerah).

14


Gambar 1 dan 2 lahan warga yang digusur oleh PT KLS. Setelah digusur langsung ditanami sawit. Gambar 3 dan 4 Rumah peserta Trans yang dibangun oleh PT KLS, merupakan salahh satu syarat yang harus dipenuhi PT KLS, sama sekali tidak sesuai dengan sosialisasi lewat brosur.

Masyarakat telah mengadukan ulah tak manusiawi PT KLS kepada Pemerintah Daerah, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Banggai. Pengaduan masyarakat ini, ditindalanjuti dengan surat Disnakertrans tertanggal 15 Oktober 2008 yang berisi penghentian penggusuran lahan warga selama belum ada kesepakatan antara kedua pihak (masyarakat dengan perusahaan). Tetapi surat itu diacuhkan oleh PT KLS, penggusuran demi penggusuran terus dilakukan. Nestapa dan sakit hati yang dalam seperti dialami oleh Yusuf Ahmad di atas juga dirasakan 26 orang petani peserta Transmigrasi Agroestate lainnya, antara lain Sudarmaji, Slamet Boiman, Moh. Yusuf, Hj. Darawati, Hisam Urusi, Tukijo Gumbreg, Suwandi, Kallony, Alimuddin, Zulkifli, Sudirman, Ratno, Jadid Saus, Robert Ruka, Sumardi, dan lainnya. Aksi massif penghancuran hidup petani tetap saja berlangsung, karena itu pada tanggal 21 Oktober 2008 masyarakat mengadukan lagi persoalan ini kepada pihak terkait, Kepolisian dan Disnakertrans. Tetapi usaha masyarakat belum membuahkan hasil. Celakanya oknum di Polres Banggai, ketika masyarakat mengadukan tindakan PT KLS, malah menjatuhkan mental masyarakat dengan pernyataan, bahwa tidak ada guna melaporkan Murad Husein karena dia orang kaya dan bisa menggugat balik masyarakat. Akibatnya, masyarakat yang melapor merasa tertekan dan tidak jadi melaporkan tindakan Murad Husein (tidak sampai membuat BAP). Pada waktu itu masyarakat juga difasilitasi oleh Dinas Tenaga Kerja bertemu dengan pihak PT KLS (Murad Husein), Polsek Toili, dan BPN. Murad Husein dengan 15


angkuhnya menyatakan di dalam forum yang dihadiri perwakilan Disnakertrans dan BPN (Badan Pertanahan Nasional) Banggai, bahwa Dia (Murad Husein) akan melaporkan masyarakat secara pidana dan perdata. Dengan lantang disampaikan kemudian, masyarakat akan didenda 15 juta pertahun selama 10 tahun, apabila bersikeras mempertahankan lahan tersebut. Permasalahan itu dibahas lebih mendalam di sebuah pertemuan dengan masyarakat peserta Trans-Agroestate bersama Eva dan kawan-kawan dari LBH Sulteng, juga saya sendiri ikut hadir. Ketua BPD Singkoyo, Nasrun Mbau ikut terlibat dalam rapat. Pada kesempatan itu, Nasrun Mbau juga menceritakan masalah pencurian tanah adat Desa Singkoyo oleh PT KLS. Tetapi, karena pada saat itu fokus rapat mengenai kasus Agroestate, maka masalah yang diceritakan oleh Nasrun Mbau itu akan didiskusikan setelah rapat selesai. Sambil menunggu diskusi tindak lanjut kasus Agroestate, saya dan Nasrun Mbau memisahkan diri dari forum diskusi, dan membicarakan masalah pencurian tanah adat Singkoyo di teras rumah warga yang menjadi tempat diskusi. Tanah adat Desa Singkoyo telah lama diolah PT KLS menjadi perkebunan sawit pola Inti, tetapi masyarakat belum menyadarinya. Adalah Toni Dewanto, Mantan Karyawan PT KLS yang sudah 16 Tahun menjadi karyawan yang memberikan informasi ini kepada Nasrun Mbau. Toni Dewanto bertugas melakukan pengukuran sampai penggusuran di wilayah HGU. Ketika diperintah untuk melakukan penggusuran di lokasi yang menjadi wilayah Desa Singkoyo, Toni Dewanto keberatan, karena tidak enak hati dengan masyarakat. Karena keberatan tersebut Pak Toni lalu dimarah bahkan diusir oleh Murad Husein. Pengusiran ini menyinggung perasaan Toni Dewanto yang merasa tidak dihargai meski sudah mengabdi selama 16 tahun. Dia lalu mengundurkan diri dari Perusahaan. Dengan bantuan Pak Toni, masyarakat Singkoyo mengetahui pelanggaran Batas Wilayah HGU dari PT KLS itu. Sebagai Pegangan, Pak Toni Memberikan Peta HGU yang dibuat pada tahun 1997. Dengan terbongkarnya kasus perampasan Tanah Adat tersebut, Toni Dewanto diadukan oleh Murad Husein kepada Polisi dan langsung ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik. Nasrun Mbau lalu membantu Toni Dewanto menghindari upaya Polisi memenuhi perintah Murad Husein. Untuk waktu yang cukup lama Toni Dewanto diamankan oleh Nasrun Mbau di sebuah tempat di luar wilayah Kabupaten Banggai. Tanah Desa Singkoyo (sebelah Selatan dan Utara HGU) yang sudah dikelola KLS yang dimasukan INTI kurang lebih 1519 Ha., dari Posisi Camp Divisi 3 ke arah Gunung Babi. Di areal Tanah tersebut belum ada kesepakatan Jual Beli antara masyarakat dengan PT KLS, padahal di areal tersebut bukan termasuk Areal HGU sesuai pengukuran jarak dari Sungai Singkoyo.

16


Peta ini merupakan hasil Pemetaan yang dilakukan oleh Masyarakat bersama FRAS Sulteng dibantu oleh Mapala Santigi Fisip-Untad dengan sumber daya: Citra Landsat TM7 Thn 2003; Peta Perkebunan Sulawesi Tengah, Bakosurtanal Thn 2007; Peta Aliran Sungai Sulawesi Tengah, Bakosurtanal Thn 2007; Peta PT Kurnia Luwuk Sejati; Hasil Survey Lapangan Petani Singkoyo; dan Hasil Survey Lapangan FRASSulteng thn 2009.

Desa Tou Akhir bulan Januari 2009, Eva Bande mengunjungi Desa Tou karena mendengar masyarakat yang umumnya hidup dari hasil laut ini terlibat sengketa tanah juga yang melibatkan PT KLS. Agak aneh terdengar, lalu informasi ini coba digali lebih jauh. Desa Tou adalah salah satu kawasan hidup komunitas Bajau tertua di Kecamatan Toili. Mereka bahkan mengambil ikan di luar wilayah perairan desa, termasuk hingga di wilayah Banggai Kepulauan. Suatu ketika melalui proses administrasi pertanahan, Desa ini digabungkan dengan Desa Saluan, sehingga menjadi dusun IV Desa Saluan. Penggabungan ini mungkin didasari jumlah penduduk yang tidak tetap. Belakangan Desa Tou kembali dimekarkan dan berdiri sendiri. Pada tahun 1982 Kepala Desa A.H. Matuliang (alm) mengadakan pembagian tanah di lokasi Tumpu (nama lokasi tanah yang dipersoalkan) terletak di Km 16 dan 19 di Kecamatan Toili kepada seluruh Kepala Keluarga (KK), dengan masing-masing mendapatkan jatah 2 Ha. Tetapi pada waktu itu belum diterbitkan Surat Keterangan Pemilikan Tanah yang dibuat di atas kertas segel (masyarakat lalu menyebutnya dengan istilah SEGEL). Setelah masa jabatan Kepala Desa Saluan A.H. Matuliang berakhir (karena meninggal dunia), maka kepemimpinannya lanjutkan oleh Bapak Nasrun M.S. yang waktu itu 17


menjabat sebagai sekretaris Desa. Sebagai Kepala Desa (pelaksana tugas), Bapak Nasrun M.S lalu melanjutkan pembagian tanah yang belum dituntaskan oleh A.H. Matuliang (alm). Nanti pada tahun 1997-1998 Kades Nasrun M.S., menerbitkan Segel atas jatah tanah bagi kepala keluarga di dusun Tou. Dalam perkembangannya, karena terbujuk oleh penjelasan pemerintah Desa Saluan agar menyerahkan saja lahan mereka kepada PT KLS untuk ditanami kelapa sawit, maka masyarakat menurut saja aturan pemerintah desa tersebut. Tetapi, setelah dicek ke lokasi (Tumpu) ternyata jatah lahan milik masyarakat Tou sebagaimana yang tertera di kertas Segel tidak ada, karena di lokasi tersebut tercatat nama lain dan tanah tersebut sudah menjadi milik PT KLS. Kepemilikan PT KLS atas tanah itu, bukan dijual atas nama Masyarakat Tou, tetapi nama orang lain. Jadi tanah itu dijual oleh oknum tidak bertanggungjawab bukan atas nama masyarakat Tou. Masyarakat desa Tou telah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan lahan tersebut, melalui kepala desa, camat, dan Bupati Banggai, tetapi sampai saat ini hanya berbuah janji, tanpa kepastian. Lahan yang tertuang dalam kertas Segel saat ini telah dikelola menjadi Sawit, dan karena itu masyarakat juga menagih hasil dari pengolahan di atas lahan tersebut. Desa Bukit Jaya Awal Maret 2009, Eva Bande dan saya yang sedang bertamu di rumah Pak Salam (Unit 11) kedatangan seorang petani asal Desa Bukit Jaya bernama Waras dan seorang temannya Tulus, yang bermaksud menceritakan masalah yang mereka alami. Mereka meminta Eva Bande untuk datang berkunjung ke Desa Bukit Jaya dan mendengar lebih jelas permasalahan Desa ini. Pada saat itu, dijelaskan kepada Waras dan Tulus, bahwa saat itu agenda-agenda pertemuan sangat padat dan berasal dari desa-desa yang berbeda, dengan musuh yang sama, yaitu PT KLS. Karena itu, kepada mereka diminta sabar untuk beberapa hari ke depan, setelah agenda-agenda yang sudah terjadual diselesaikan lebih dulu. Akhir Maret 2009, setelah rapat umum petani Toili di Rumah Adat Desa Singkoyo, Eva Bande, Ariestal, Sujarwadi, Nasrun Mbau, dan saya sendiri berkesempatan datang mendengar langsung kasus yang dialami masyarakat di Bukit Jaya. Desa ini terletak cukup jauh dari jalan umum yang dibuat oleh proyek Transmigrasi. Kondisi jalannya tidak bisa dibilang baik, tak beraspal dan berbatu, bahkan waktu itu kami dihadang hujan lebat sehingga agak lama baru sampai di rumah warga tempat pertemuan. Kurang lebih 15 orang warga yang hadir, tanpa Kepala Desa, yang memang diketahui kemudian merupakan kaki tangan perusahaan yang sangat loyal. Secara bergantian warga yang kumpul menceritakan kasus yang mereka alami. Peserta transmigrasi Desa Bukit Jaya (Unit 24) dimulai 17 Desember 1981 secara bertahap, hingga kurang lebih mencapai 500-an KK. Sesuai ketentuan, setiap peserta Transmigrasi akan mendapat jatah 2 Ha. Pembagian jatah lahan tidak sekaligus tetapi dibagi sesuai dengan jatah yang ditetapkan Proyek Transmigrasi. Pembagiannya adalah, Setiap KK mendapat 1 Ha lahan Usaha satu, Ÿ Ha untuk lahan permukiman, dan ž Ha untuk lahan Usaha dua. Pada tahun 1982 warga transmigrasi 18


di Desa Bukit Jaya seluruhnya mendapat jatah lahan 1 Ha dengan memegang sertifikat “Hak Pakai”. Sebagian KK (11 KK) mengeluhkan jatah lahan untuk mereka hanya mencapai 1 ¼ Ha saja, mereka merasa belum mendapat jatah ¾ Ha sampai sekarang. Pembagian Lahan Usaha Satu ternyata bermasalah. Pada tahun 1989, dengan alasan Pemutihan, Kepala Desa waktu itu (Zainuddin, Almarhum) mengumpulkan semua Sertifikat “Hak Pakai” untuk diputihkan menjadi Sertifikat “Hak Milik”. Ternyata kemudian, sampai saat ini sertifikat “HAK MILIK” tidak pernah kembali kepada Masyarakat. Sepengetahuan warga yang hadir saat pertemuan itu, sertifikat yang kembali hanya kurang lebih 50-an KK, yakni mereka yang menjadi keluarga kepala desa waktu itu, dan tokoh masyarakat yang disegani di desa. Lahan Usaha Dua juga bermasalah. Menurut ketentuan yang diketahui masyarakat, bahwa setiap KK mendapatkan sertifikat HAK Milik untuk lahan tersebut, akan tetapi sampai sekarang mereka tidak tahu menahu bagaimana status tanah tersebut. Pada tahun 1992 Proyek Hutan Tanaman Industri (HTI) masuk dengan tanpa sosialisasi kepada masyarakat dan langsung menggusur hutan Alam produktif yang menjadi lahan jatah warga di Desa Bukit Jaya. Masyarakat bingung lahan yang dijatah untuk mereka itu digusur diam-diam. Kepada orang per orang karyawan proyek menyatakan kepada masyarakat bahwa lahan yang digusur itu akan ditanami Sengon dan Balsah. Masyarakat pada saat itu gelisah dan bingung entah mau mengadu kemana, karena penggusuran berjalan Terus. Belakangan baru diketahui bahwa Proyek tersebut ditangani oleh PT Berkat Hutan Pusaka (BHP) yang dipimpin oleh Herwin Yatim, menantu Bapak Murad Husein pemilik PT KLS. Waktu itu orang proyek menghasut masyarakat yang sudah terlanjur digusur tanahnya. Mereka menyatakan kepada masyarakat, bahwa daripada sertifikatnya “Nganggur” dan “Bayar Pajak” lebih baik dijual kepada Perusahaan (BHP). Ternyata Sertifikat warga hanya dibayar 75 ribu rupiah. Bahkan cukup banyak masyarakat yang hanya mendapat 35 ribu rupiah untuk 1 sertifikat. Lebih parah lagi ada yang hanya menerima 25 ribu untuk 1 sertifikat seluas ¾ Ha. Sesuai peraturan Proyek HTI tidak boleh dilaksanakan di atas lahan warga/masyarakat dan/atau di Hutan Produktif. Sementara lahan yang digunduli oleh HTI itu adalah Hutan Alam yang sangat produktif. Di dalamnya terdapat berbagai kayu berkelas seperti Palapi, Cendana, Meranti, dan Nantu. Jadi masyarakat sepakat, sebenarnya penggusuran itu adalah Illegal Loging yang berkedok HTI. Pada saat Pemilu 2004 Herwin Yatim yang waktu itu di Partai Golkar menjanjikan mengembalikan Sertifikat dan Lahan masyarakat bila dia duduk sebagai anggota DPRD Banggai. Ternyata pada Pemilu itu Suara Herwin Yatim mencapai 80%, tetapi janjinya tidak ditepati. Dia telah membohongi masyarakat. Pada saat Herwin Yatim menjadi calon wakil bupati pada Pilkada Banggai 2006, Herwin Yatim menjanjikan lagi akan mengembalikan sertifikat masyarakat. Kembali untuk kesekian kalinya Herwin Yatim membohongi masyarakat, karena setelah Pilkada, ternyata tidak juga dikembalikan.

19


Resah dan kesal atas janji palsu itu, membuat warga menagih janji kepada Herwin Yatim, yang hasilnya justru masyarakat diminta membayar 2 juta rupiah untuk satu sertifikat. Kini lahan jatah masyarakat ž Ha itu sebagian besar telah ditanami Sawit dan sebagian kecil diolah masyarakat meski tanpa sertifikat, karena lahan tersebut tidak dikelola dengan baik oleh Proyek HTI yang sudah mati suri ketika itu. Masih ada lagi kasus yang dihadapi masyarakat di Desa Bukit Jaya, yakni kasus Lahan Pengembangan KK. Pada tahun 1998 Bapak Imam Syafi’i diangkat oleh pemerintah Desa Bukit Jaya menjadi Juru Ukur untuk lahan Pengembangan KK di desa ini. Lahan pengembangan KK itu direncanakan seluas 300 Ha. Setiap Ha-nya dibebankan 15 ribu rupiah kepada warga calon pemilik lahan untuk biaya pengukuran. Kurang lebih satu bulan pengukuran selesai dan sebagian kecil KK yang mendapat jatah mulai mengolah tanah yang dijatahkan kepada mereka itu, dengan tanaman Coklat dan Kelapa Dalam. Saat sedang mengolah lahan, mantan Kepala Desa (Subiakto) menyatakan bahwa lahan tersebut bukan wilayah Unit 24 (desa Bukti Jaya) melainkan lahan HGU. Padahal lokasi tersebut sebenarnya masuk dalam wilayah Desa Singkoyo (dulu merupakan induk desa). Pemerintah Desa Singkoyo dan masyarakat, sebagaimana disampaikan oleh Nasrun Mbau, tidak keberatan lahan tersebut diolah masyarakat, tetapi sangat keberatan bila ditanami Sawit oleh Perusahaan KLS. Niat baik Pemerintah Desa Singkoyo itu bahkan dibuktikan dengan menerbitkan SKPT (surat keterangan pembebasan tanah) untuk 50-an KK. Akhir tahun 2007 lahan yang belum diolah masyarakat seluruhnya digusur oleh PT KLS tanpa pamit dan tanpa rasa kemanusiaan. Tanah yang telah diolah masyarakat pun diminta untuk dicabut dan dipindahkan oleh Murad Husein. Tidak berperasaan, sebab dapat dikatakan seluruh warga di desa Bukit Jaya adalah Buruh Tani, karena bekerja di lahan tak bertuan. Sebuah Desa yang tidak memiliki Lahan Usaha untuk menjadi sumber penghidupan warganya secara layak. Desa Moilong Kasus Desa Moilong mirip dengan Desa Tou, karena sebetulnya kedua desa ini tadinya berasal dari satu Desa, yakni Desa Saluan. Tahun 1982, tanah sebagian masyarakat sudah ada yang diserahkan oleh PT. Palopo Timber terkait dengan kontrak kerja pengelohan kayu sampai tahun 1986. Sampai waktunya, sebagian masyarakat mengelola kembali tanah-tanahnya seperti semula. Sebagai upaya mengantisipasi perkembangan penduduk, dikeluarkan kebijakan oleh pemerintah daerah untuk dilakukan pengukuran dan pendaftaran tanah bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan usaha tani. Pertama kalinya dilaksanakan pengukuran tanah kurang lebih 800 Ha untuk masyarakat Desa Saluan, dan disusul dengan pengurusan sertifikat pada tahun 1990. Sekitar tahun 1992 sertifikat baru keluar, tetapi hanya 140 lembar dari 400 lembar yang diusulkan. Warga diwakili Moh. Arif dan beberapa tokoh masyarakat mempertanyakan hal itu kepada Badan Pertahanan Nasional (BPN) Palu. Kepada wakil masyarakat tersebut dijanjikan sertifikat lainnya akan menyusul, tetapi setelah ditunggu beberapa tahun kemudian 20


tidak selembarpun sertifikat susulan itu diserahkan kepada masyarakat. Padahal pengukuran 800 Ha itupun belum memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat yang membutuhkan tanah. Antara tahun 1995-1996, meskipun sertifikat susulan belum ada, diambil inisiatif melakukan pengukuran kembali areal baru seluar 2000 Ha. Setelah pengukuran selesai, masyarakat mendesak pihak kehutanan supaya menyerahkan secara resmi lahan tersebut. Akhirnya tahun 1997 surat penyerahan resmi pun dikeluarkan dan ditandatangani oleh pihak Kehutanan Pusat, waktu itu Bapak Ir. Banjar Yulianto, MM. Pada tahun 2004-2005, sejumlah orang yang tidak bertanggungjawab menjual lahan yang telah susah payah diukur tersebut kepada PT KLS hingga kurang lebih mencapai 914 Ha. Orang-orang tidak bertanggungjawab tadi, memberi alasan kepada masyarakat pemilik sertifikat, bahwa sertifikat tersebut dikumpulkan untuk pendataan tanah. Sebagian masyarakat memberikan alas haknya yang asli berupa sertifikat dan segel. Diketahui kemudian, ternyata PT KLS sudah menanami lahanlahan bersertifikat milik masyarakat itu dengan kelapa sawit. Sebelum ditanami sawit, terlebih dulu PT KLS mengolah kayu log di lahan masyarakat. Lahan masyarakat yang sudah ditanami coklat, tomat, kopi, jambu mente dan tanaman lain, sekitar 15 Ha ikut digusur oleh PT KLS tanpa ganti rugi serupiahpun. Termasuk dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab, setelah dipastikan oleh masyarakat, adalah Kepala Desa, anggota BPD, Camat dan oknum-oknum lain. Dari penjualan tanpa pamit itu, yang dianggap sah sekitar 400 Ha, karena sebagian masyarakat tidak menyerahkan sertifikat asli untuk lahan seluas kurang lebih 514 Ha, terdiri atas 60 sertifikat asli, 30 SKPT dan kurang lebih 200 segel (surat keterangan tanah di atas kertas segel). Sejak tahun 2007, diwakili Moh. Arif, masyarakat sudah menuntut sesuai alas hak yang mereka miliki kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Banggai, baik kepada Bupati secara langsung maupun melalui BPN di Luwuk. Di samping itu juga menyampaikan laporan kepada Kapolres Luwuk dan Dinas Perkebunan Kabupaten Banggai atas ulah PT KLS tetapi tidak membuahkan hasil. Di awal bulan september 2009, Moh. Arif Bennu datang menghadiri pertemuan petani bersama Eva Bande dan kawan-kawan LSM lainnya di Desa Singkoyo. Waktu itu, Moh. Arif menyatakan diri siap berada di depan untuk berjuang melawan penindasan kepada petani. Lalu, pada saat memperingati Hari Tani, digelar sebuah aksi yang kurang lebih diikuti 1500-an orang Petani dari Toili ke kota Luwuk (sekitar 100-an Km), di mana masyarakat Moilong juga turut serta. Sebagai respons perusahaan terhadap aksi itu, pada tanggal 1 Oktober 2009, PT KLS mengeluarkan surat kepada beberapa petani sawit yang mengikuti unjuk rasa. Surat yang ditandatangani Murad Husein itu memuat pernyataan, bahwa perusahaan tidak akan pernah membeli Tandan Buah Segar (TBS) Sawit mereka. Moh. Arif mendapat tekanan yang lebih parah lagi, PT KLS memaksa membongkar rumah tempat tinggalnya karena lahan itu dianggap milik PT KLS, dan bila tidak dilakukan sendiri oleh Moh. Arif, maka pembongkaran itu akan dilakukan oleh perusahaan secara paksa.

21


Desa Piondo Pada tanggal 7 April 2009, Sucipto warga Piondo menyampaikan informasi kepada masyarakat di Desa Piondo, bahwa dia diberitahu salah seorang sopir Buldoser PT KLS hari kamis atau minggu lahan yang diolah oleh masyarakat Piondo akan digusur. Informasi ini membuat warga menjadi panik. Beberapa anak muda di Piondo bersama-sama Waras dan Tulus warga dari Desa Bukit Jaya menyampaikan informasi tersebut kepada Eva Bande. Mendengar informasi itu, Eva Bande agak bingung, karena pada saat yang sama tumpukan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh PT KLS kepada petani di berbagai desa seluruhnya bersifat mendesak, karena penggusuran dilakukan secara sporadis di tempat berbeda, dan cukup sering dilakukan pada saat yang bersamaan (paralel), sehingga agak sulit untuk mengantisipasi dan meresponsnya secara cepat. Sementara itu masyarakat belum terorganisir dengan baik. Untuk laporan ini, sekelompok anak muda Piondo dan Bukit Jaya diminta kesediaan mereka untuk menyiapkan kawan-kawan mereka lainnya untuk mengantisipasi tindakan brutal PT KLS itu di Piondo. Dari laporan itulah pertama kali Eva Bande berkenalan dengan lebih dekat dan langsung kasus penyingkiran petani di Desa Piondo. Peserta transmigrasi masuk di Desa Piondo (unit 25) kira-kira pertengahan 1983 kurang lebih 200an KK tahun 1984 dengan pembagian tanah 1 Ha Lahan Usaha Satu, ¾ Lahan Usaha dua dan ¼ Lahan Pekarangan. Masyarakat memegang sertifikat untuk lahan-lahan tersebut. Pada pertengahan tahun 1983 telah dilaksanakan Transmigrasi Umum yang didatangkan dari berbagai daerah dalam beberapa gelombang, antara lain: Gelombang 1 dari Nusa Tenggara Barat; Gelombang 2 dari propinsi Jawa Tengah yakni Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pemalang. Gelombang 3 dari Kabupaten Blitar Jawa Timur; gelombang 4 Kabupaten Sragen Jawa Tengah. Masyarakat peserta transmigrasi itu umumnya adalah petani yang tidak memiliki tanah di daerah masing-masing, karena itu seluruh petani memiliki tekad yang sama untuk mengubah nasib lebih baik di daerah tujuan transmigrasi. Seluruhnya peserta transmigrasi yang masuk di Unit 25 (sekarang Desa Piondo) berjumlah 250-an Kepala Keluarga (KK). Setiap KK, berdasarkan aturan dari Departemen Transmigrasi mendapat jatah lahan 2 Ha., yang terbagi atas: Lahan Pekarangan (LP) ¼ Ha, Lahan Usaha (LU) Satu 1 Ha, Lahan Usaha (LU) Usaha 2 seluas ¾ Ha. Lahan Usaha Satu letaknya berada di dalam desa, sedangkan Lahan Usaha dua berada di luar desa. Lahan Usaha dua (kurang lebih 30 persen), merupakan lahan yang tidak produktif, tanah berbatu-batu tidak cocok untuk perkebunan rakyat. Karena itu tidak diolah oleh sebagian masyarakat. Hanya sebagian kecil di pinggiran desa yang ditanam kelapa dalam oleh warga. Meski demikian, karena sudah terlanjur ditempatkan, melalui “Lotre” pembagian lahan tetap dilakukan. Itulah sebabnya, terdapat sebagian warga yang mendapatkan lokasi yang kurang baik kualitas tanahnya. Mereka yang terlanjur mendapat lahan yang tidak layak diolah, terpaksa memilih menjadi perotan atau usaha lainnya, daripada harus bertani.

22


Masuknya program HTI di Desa Piondo tidak diketahui oleh masyarakat, tidak ada sosialisasi sama sekali, datang secara tiba-tiba melakukan kegiatannya membantai hutan produktif yang sedianya menjadi lahan usaha dua (alternatif) dan areal yang dipersiapkan menjadi lahan pengembangan KK. Sebagaimana yang berlaku bagi desa lainnya, untuk mengantisipasi pertumbuhan penduduk setiap desa dapat membuka lahan pengembangan, maka Desa Piondo telah memiliki lahan persiapan untuk 200 kepala keluarga. Ketika masyarakat mulai membuka hutan-hutan yang menjadi lahan usaha dua pada tahun 1996, terjadi ketegangan dengan proyek HTI yang mengklaim wilayah tersebut sebagai lokasi HTI. Demikian juga ketika masyarakat mulai mengelola lahan pengembangan, terjadi tarik menarik yang tidak sehat dengan pihak PT KLS. Persoalan Lahan Usaha Dua dan Lahan Pengembangan yang terlanjur digusur dan yang belum sempat digusur oleh perusahaan dibahas dalam sebuah pertemuan bersama PT KLS dengan pemerintah Desa Piondo, unsur Kecamatan, dan awasi oleh pihak Kepolisian. Dalam pertemuan itu warga dipersilakan untuk mendaftarkan diri bagi yang mau lahannya disawitkan, alias dipetaniplasmakan, dengan pertimbangan, mereka berhutang 32 juta yang dicicil selama 20 tahun, setelah itu baru diserahkan secara penuh kepada masyarakat. Hanya sebagian masyarakat yang mau demikian, tetapi sebagian besar tidak bersedia. Adalah wajar masyarakat menolak mengikuti tawaran perusahaan, karena sebelumnya mereka telah menghitung secara matematik untung ruginya menjadi peserta Plasma Sawit (lewat teman-teman di Singkoyo). Beginilah perhitungan yang merugikan itu: Harga TBS 815 rupiah perkilogram. Satu Blok (kira-kira 18 hektar) diolah oleh 13 orang petani. Panen terjadi setiap 2 minggu. Hasil 1 Blok kira-kira 5 ton. Dihitung sesuai jumlah orang peserta Plasma dalam blok yang sama secara total adalah Rp. 40.762.000 (empat puluh juta tujuh ratus enam puluh dua ribu rupiah). Dari jumlah itu dipotong 40 persen kredit ke PT KLS sisanya menjadi 2.445.720, lalu dipotong biaya operasinal 600 ribu, meliputi biaya OP (angkutan langsiran 30 ribu per-langsir) tergantung TBS, konsumsi operator perusahaan 30 ribu, biaya panen satu tandan 500 rupiah untuk buruh angkut (biasanya 250 ribu 2 sampai 3 orang buruh). Masih ada lagi potongan 180 ribu untuk pengurus Blok (adminsitrasi dll.) yang dipilih dari 13 orang anggota Blok (terdiri atas ketua, sekretaris, dan bendahara) masing-masing mendapat 60 ribu sebagai upah mengurus pupuk, panen, pengangkutan dan lainnya. Jadi anggota tinggal terima hasil bersih, yaitu masingmasing mendapat pembagian sisa dari seluruh pemotongan tadi: Rp.1.542.723 (satu juta lima ratus empat puluh dua ribu tujuh ratus dua puluh tiga rupiah) yang dibagi kepada seluruh anggota blok (13 orang) sesuai dengan jumlah pohon yang dimiliki. Rata-rata satu orang petani plasma memiliki 100 pohon dengan luas kurang dari 2 Ha sampai 198 pohon dengan luas lebih dari 2 Ha dan kurang dari 3 Ha. Kalau 100 pohon mendapat Rp. 65.300 (enam puluh lima ribu tigas ratus rupiah) dan untuk 198 mendapat Rp. 129.200, perkali panen. Bila Panen terjadi setiap 2 minggu, maka dalam satu bulan untuk yang 100 pohon mendapat kurang lebih 130 ribu rupiah, dan yang 198 pohon mendapat kurang lebih 258 ribu rupiah. Dengan demikian, untuk berharap menjadi sejahtera menjadi petani Plasma hanya mungkin bila memiliki 10 Ha lebih, dan tentu saja sangat tidak mungkin dipenuhi oleh jatah tanah bagi para Transmigran. 23


Dalam praktiknya warga yang tidak bersedia ikut jadi Petani Plasma, lahannya digusur juga oleh PT KLS secara sepihak baik bersertifikat maupun tidak. Penggusuran semakin menggila oleh PT KLS di Desa Piondo sejak tahun 2008 hingga sekarang. Akibat penggusuran demi penggusuran tanpa melihat tapal batas HTI (yang sering dipindah-pindah) itu, kini masyarakat Desa Piondo tidak memiliki lagi lahan pengembangan KK, padahal masyarakat Piondo terus bertambah tahun demi tahun. Lahan pengembangan yang sudah sempat ditanami coklat, kelapa dalam, jati, durian, pisang, pete, rambutan, jahe, ludes digilas Buldoser dan Eksavator. Tanaman warga diambil orang-orang yang melaksanakan perintah sang kuasa modal. Kisah-kisah penyingkiran petani dari sumber-sumber penghidupan mereka di atas hanya sebagian kecil yang dapat diungkap. Masih banyak cerita nestapa rakyat di berbagai desa yang berbatasan langsung maupun tidak langsung dengan HGU dan HTI PT KLS/BHP, tetapi semua cerita itu belum dapat dikumpulkan secara lebih utuh. Penggalian data dan informasi yang serba terbatas oleh waktu dan jebakan kondisi yang tak diinginkan menghambat maksud yang belum kesampaian ini. Akan tetapi, cukup patut dinyatakan di sini, bahwa saya meyakini di banyak desa itu, telah berlangsung situasi hidup yang kurang lebih sama, karena pembuat skenario, aktor sampai pemain figurannya berasal dari dua orang paling utama, Murad Husein dan Herwin Yatim. Sejumlah Fakta kejahatan dan pelanggaran PT KLS dan PT BHP telah dicatat oleh FRAS SULTENG dari sumber-sumber yang dapat dipertangungjawabkan, sebagai berikut: 1. Penggusuran Lahan Transmigrasi Agro-Estate, Desa Singkoyo Kecamatan Toili. 2. Penyerobotan tanah adat masyarakat Tau’Taa seluas ¹ 1.519 Ha di Desa Singkoyo Kecamatan Toili. 3. Perluasan Sawit di SM Bangkiriang yang diperkuat SK Bupati Banggai bernomor 503/10.52/BPN seluas kurang lebih 4.000 Ha kepada PT. KLS. 4. Upah Buruh yang sangat rendah (kurang lebih 1000-an orang) dengan upah pokok sebesar Rp. 400.000 sampai Rp. 450.000 perbulan, dan buruh harian 20,000/hari, jauh dari standard Upah Minimum Propinsi sebesar Rp. 720.000. 5. Di wilayah Desa Singkoyo perkebunan Sawit milik Murad Husain telah ditanam di pinggiran Sungai. Bahkan sekarang sawit-sawit milik Pengusaha ini telah membelah sungai di Desa Singkoyo, sudah terbentuk anak sungai dalam kebunkebun sawit yang mengarah langsung ke permukiman penduduk. Keadaan ini sangat berbahaya di kemudian hari, karena setiap tahun wilayah Toili menjadi langganan Banjir. 6. Pencemaran lingkungan yang parah, karena pembuangan limbah perkebunan yang tidak sesuai standard pengelolaan lingkungan. 7. Telah terjadi penyerobotan lahan warga Desa Moilong dan Desa Tou yang beralas Hak, yang kemudian dijadikan Perkebunan Inti. 8. Hubungan Inti-Plasma tidak bersifat kemitraan sebagaimana UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Masyarakat tidak memegang Surat Perjanjian Kerjasama, sehingga masyarakat tidak memiliki pegangan yang sah untuk

24


menuntut realisasi kewajiban-kewajiban perusahaan sesuai dengan isi perjanjian yang sebagian besar dilanggar oleh PT KLS. 9. Harga TBS Rp. 814 (delapan ratus empat belas rupiah). Dalam menentukan status Tandan Buah Segar (TBS) sepihak yang sangat merugikan petani. Meskipun petani telah mengikuti prosedur serta meyakini hasil panen mereka adalah Tandan Buah Segar, umumnya perusahaan menyatakan hasil petani tersebut adalah Tandan Buah Mentah (karena panen terlalu cepat) atau Tandan Buah Busuk (karena panen terlambat). Atas dasar penilaian sepihak itu, PT KLS menetapkan harga yang sangat tidak adil terhadap hasil panen Sawit para petani. 10. PT KLS TIDAK MEMBELI hasil panen kelapa sawit petani Plasma, hanya kerena mereka menuntut keadilan baik sendiri-sendiri, berkelompok, maupun melalui organisasi tani yang dibentuk. 11. Akad Kredit dan perjanjian kerjasama petani Plasma dan INTI Perkebunan PT KLS tidak jelas statusnya hingga kini. Sudah sepuluh tahun petani menjadi Plasma dan setiap bulan dalam tahun-tahun berjalan dipotong untuk kredit yang tidak pernah mereka pegang catatannya. Tidak ada transparansi perusahaan atas hal ini. Status masyarakat sampai kini masih berhutang kepada perusahaan entah sampai kapan. 12. Selain harga hasil panen dipotong untuk kredit, juga dipotong untuk perbaikan jalan. Kenyataannya kini, sepanjang beroperasinya HGU PT KLS (1997) tidak memperbaiki sarana dan prasarana sesuai janji PT KLS. 13. Berdasarkan hasil pemeriksaan dari Dinas Perkebunan Kabupaten Banggai pada tanggal 14 s/d 21 Agustus 2009 untuk Rekapitulasi Penilaian Usaha Perkebunan Pada Tahap Operasional di bagian Sub Sistem Legalitas mendapatkan nilai terendah = 0 (nol), hal ini menyangkut Izin Usaha Perkebunan yang tidak dimiliki oleh PT. Kurnia Luwuk Sejati (Buku Penilaian 2009 Dirjenbun). 14. PT KLS telah merampok Pupuk Bersubsidi dan Solar Bersubsidi. Masyarakat pada tanggal 27 September 2009 menangkap satu buah truk PT KLS yang berisi 53 jergen yang berkapasitas 35 liter/jergen solar, dengan mengambil solar-solar tersebut di SPBU desa Singkoyo, yang tidak lain SPBU tersebut adalah milik anak kandung dari direktur PT. KLS Murad Husain. 15. Hampir bersamaan dengan program transmigrasi pada tahun 1980-an, di Kecamatan Toili dan Toili Barat, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah ditetapkan sebagai Lumbung Padi Kabupaten Banggai. Penetapan kawasan HTI pada tahun 1996 telah menyerobot lahan warga desa Piondo (program transmigrasi) yang telah menempati lahan tersebut sejak tahun 1982. Karena itu, warga kehilangan lahan pertanian mereka, yang bahkan sampai saat ini masih mengalami masalah berlapis, kehilangan tanah akibat klaim areal HTI oleh PT KLS, dan penggusuran lahan pengembangan warga transmigrasi 16. PT. Berkat Hutan Pusaka didirikan berdasarkan Akte Notaris Imah Fatimah,SH. Nomor: 129 tanggal 28 Agustus 1992 yang disahkan oleh Menteri Kehakiman dengan SK Nomor: C2-8921 HT.1 tahun 1992 tanggal 30 Oktober 1992. PT.BHP adalah perusahaan patungan antara PT. Inhutani I (persero) dengan kepemilikan saham 40 % dan PT. Kurnia Luwuk Sejati dengan kepemilikan saham 60 % yang bergerak di bidang pembangunan transmigrasi (HTI Trans), namun sekitar tahun 2007 PT. KLS mengakuisisi seluruh saham milik PT. Inhutani I, sehingga keseluruhan saham dikuasai oleh PT. KLS. Pengusahaan HTI oleh PT. BHP di Kecamatan Toili seluas 13.400 (tiga belas ribu empat ratus) Hektar berdasarkan 25


izin HP. HTI dari Menteri Kehutanan RI dengan Nomor : 146/Kpts-II/1996, tanggal 4 April 1996. Kegiatan PT. Berkat Hutan Pusaka berdasarkan izin Menteri Kehutanan RI atas Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemungutan, pengolahan dan pemasaran; Kawasan hutan yang dikelola oleh PT. Berkat Hutan Pusaka untuk HTI adalah hutan produktif yang masih banyak terdapat tegakan pohon, dan PT. Berkat Hutan Pusaka telah memungut hasil hutan kayu di kawasan tersebut untuk dipasarkan. Hal ini bertentangan dengan ketentuan yang di atur dalam PP No. 7 tahun 1996 (Pasal 5 ayat 1) tentang Hutan Tanaman Industri; PT. Berkat Hutan Pusaka sejak tahun 1992 s.d. tahun 1998 telah memperoleh Dana Reboisasi berupa pinjaman dengan bunga 0 % dari pemerintah melalui Departemen Kehutanan untuk pembangunan HTI di lokasi tersebut sebesar Rp.8.280.966.085,- (delapan milyar dua ratus delapan puluh juta delapan ratus enam puluh enam ribu delapan puluh lima rupiah), dan terkait masalah keuangan negara ini PT. Berkat Hutan Pusaka pernah diperiksa pro-justitia oleh aparat penegak hukum terkait dengan Dana Reboisasi yang tidak dikembalikan ke Kas Negara, namun belum jelas penanganannya hingga saat ini. Sejak tahun 2000, kegiatan HTI PT. Berkat Hutan Pusaka di areal sudah tidak ada lagi, karena perusahaan sudah tidak lagi beroperasi; 17. Saat ini PT. Kurnia Luwuk Sejati mengklaim lahan bekas HTI milik PT. Berkat Hutan Pusaka sebagai kawasan yang bebas dikelolanya sebagai kawasan budidaya perkebunan kelapa sawit berdasarkan persetujuan Departemen Kehutanan. 18. Sejak tahun 2004 hingga saat ini PT KLS telah mengalihfungsikan lebih dari 1000 Ha areal HTI menjadi Perkebunan Sawit termasuk menanam sawit hingga di bantaran sungai Topo, sungai Toili dan bendungan Mantawa yang merupakan sumber air untuk mengairi ribuan hektar sawah di Kec. Toili dan Toili Barat. Selain itu aktivitas PT. KLS juga telah mengakibatkan banjir tahunan di dataran Toili. Penebangan liar yang dilakukan PT KLS melalui HTI termasuk membabat hutan dan kayu di bantaran sungai ini, melaggar UU Kehutanan No. 41 tahun 1999, dan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah diubah dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. 19. Untuk kepentinggan pembukaan dan penggunaan jalan koridor, PT. KLS telah melakukan penimbunan sungai Topo yang secara langsung mendorong perubahan bentang alam pada kawasan hutan, hal ini juga telah melanggar ketentuan yang diatur dalam UU Kehutanan No. 41 tahun 1999, dan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah diubah dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. 20. Land clearing yang dilakukan oleh PT. KLS pada areal HTI untuk kemudian ditanami dengan kelapa sawit dilakukan dengan cara membakar. Upaya Perlawanan Upaya perlawanan petani di setiap wilayah hidup sebagaimana cerita di atas bukan tidak dilakukan sejak dulu, tetapi tentu saja harus ditempatkan sesuai dengan konteksnya. Bukan melawan negara atau aparat negara maksud mereka. Para petani 26


melawan penindasan, melawan kemiskinan, melawan tirani, termasuk melawan rasa takut mereka sendiri untuk berani mengambil sikap ketika hak kewargaan mereka diambil orang lain. PT KLS atau PT BHP bukan representasi negara, bukan pula organisasi negara yang diberi tugas kelembagaan atau perintah jabatan yang dilaksanakannya. Perilaku PT KLS atau PT BHP adalah manifestasi (perwujudan) watak seorang individu kaya raya, seorang manusia sebagaimana manusia lainnya, tetapi dengan watak yang berbeda sama sekali dari orang-orang lainnya. Kalau diambil misal dari mitos agama wahyu maupun agama bumi, Iblis akan berbuat baik, penuh kasih dan perhatian kepada para pengikutnya di muka bumi, bahkan tidak jarang sang iblis bersikap baik kepada manusia yang bukan pengikutnya meski penentangnya sekalipun. Tujuan Iblis tidak lain, adalah asal menerima “godaannya� dia sudah puas, karena telah berarti menjadi pengikutnya. Repotnya para pengikut iblis kadang bahkan sering justru lebih iblis dari iblis itu sendiri. Seburuk-buruknya Iblis tidak pernah secara langsung memerintahkan anak buahnya (atau dilakukannya sendiri) menghancurkan hidup seorang manusia, tetapi justru manusia itu sendiri yang menghancurkan hidupnya. Ibarat sebuah Mitos, apa yang dialami rakyat tani Toili dan Toili Barat (untuk tulisan ini belum dipisahkan Kecamatan Moilong dengan Kecamatan Toili) adalah sebuah akibat dari watak seorang manusia, yang kalau bertindak, orang lain menganggap sebuah kebaikan dan berkah dan orang lainnya merasakan nestapa yang tiada taranya. Rasa takut manusia baik pengikutnya maupun bukan terhadap pemilik PT KLS dan PT BHP serta sejumlah perusahaan lainnya ini, bahkan membuat manusiamanusia lainnya itu, lebih takut padanya daripada murka TUHAN. Rasa takut para pengikutnya baik dari lembaga resmi pemerintahan maupun tidak resmi, sematamata karena enggan kehilangan sumber rupiah kecil maupun besar. Sedangkan rasa takut dari mereka yang bukan pengikutnya adalah perintah yang keluar dari mulut sang kuasa modal melalui pengikutnya untuk menghancurkan sumber-sumber hidup manusia lainnya, bahkan mengancam nyawa orang lain. Perlawanan demi perlawanan dari tahun ketahun oleh seseorang, sekelompok orang terhadap perampasan hak hidup di berbagai desa itu, ibarat lilin yang sangat mudah padam ketika tertiup angin. Hampir semua jalan dicoba. Mulai dari melaporkan nasib mereka kepada pemerintah desa (umumnya kepala desa), ke pemerintah kecamatan, kepolisian sektor kecamatan (Polsek), sampai pemerintah kabupaten dan kepolisian kabupaten (Polres), anggota sampai unsur pimpinan DPRD, semuanya menemui jalan buntu, karena rupanya mereka adalah pengikut sang kuasa modal. Mudah sekali upaya rakyat yang diwakili tokoh-tokohnya ini dipatahkan. Orang Agroestate merasa berjuang sendiri dan merasa perjuangan mereka hanya untuk mereka sendiri. Orang Singkoyo (lokal), orang Tou, orang Bukit Jaya, orang Moilong, Orang Piondo, orang Mekarsari, orang Rata, orang Toili, orang Toili Barat, orang Batui, tenggelam dengan derita masing-masing, terjerat pesimisme, terikat dengan lingkup lokalitas masing-masing, dan tergantung pada individu tertentu. Pendeknya semua upaya itu tidak terorganisir sedemikian rupa dengan baik.

27


Meskipun upaya pengorganisasian sempat dilakukan dalam tahun-tahun yang lampau, tetapi kekuatan yang mulai tumbuh kuat itu terjebak dalam lingkaran kekuasaan sang Pemodal. Meskipun pengorganisasian yang lampau sempat membangun harapan rakyat dari berbagai “lokalitas� tadi, tetapi mereka belum menjadi bagian dari masalah bersama dan menjadi bagian dari perjuangan itu sendiri, karena pengorganisasian itu belum sepenuhnya berakar dari kekuatan rakyat yang agung. Kegagalan masa lampau itu menjadi bahan refleksi awal ketika Eva Bande mulai terpanggil melalui kasus yang dihadapi I Nyoman Sumerta dari Toili Barat, pengaduan Yusuf Ahmad, Nasrun Mbau Singkoyo, laporan dari Bukit Jaya, Tou, Moilong, Piondo, dan lain-lain yang tidak sempat dikunjungi. Kalau sampai semua aduan itu diproses atau diintervensi satu demi satu, sampai kasus kejahatan lingkungan, pencurian BBM bersubsidi, perampokan pupuk bersubsidi, sungguh merupakan sebuah perjuangan yang sudah dibayangkan gagal dari awalnya. Kawankawan yang penuh dedikasi terhadap penderitaan rakyat, dari organisasi non pemerintahan (Ornop/LSM) yang telah berkunjung beberapa kali ke Toili, pun telah memberi masukan yang cerdas dan layak ditindaklanjuti. Perlawanan di Toili haruslah merupakan perlawanan rakyat yang terorganisir, dalam arti, rakyat sendiri yang mengorganisir diri mereka atas nama cita-cita, harapan, tujuan praktis maupun strategis, atau sekadar mempertahankan hak yang masih mereka miliki, bahkan merebut kembali hak mereka yang telah dirampas paksa. Tidak sedikit rapat untuk setiap kasus dilakukan, mulai dari rapat soal Penangkapan Nyoman Sumerta, perusakan lingkungan (bantaran sungai) Toili Barat, Agro estate, kasus singkoyo, kasus Tou, kasus Bukit Jaya, kasus Piondo, kasus BBM, kasus Bangkiriang, kasus pupuk bersubsidi, kasus buruh, dll. Tidak sedikit pula surat-surat resmi tak resmi dilayangkan kepada lembaga pemerintahan, mulai dari tingkat desa sampai di level nasional, bukan sedikit pula surat-surat permintaan dukungan disampaikan kepada lembaga non pemerintahan resmi tidak resmi. Demikian adanya pula, surat-surat dan laporan langsung kepada pihak kepolisan dan tentara, mulai dari level kecamatan, kabupaten, provinsi sampai ke markas besar di Jakarta. Semua itu berbuah janji akan ditindaklanjuti. Sekadar ilustrasi yang diambil dari kisah nyata, dalam sebuah pertemuan yang difasilitasi oleh Pemda untuk mempertemukan warga Argoestate dengan Pihak KLS (dihadiri Murad Husein sendiri), Polsek Toili, Anggota DPRD, Camat Toili, dan Kuasa Hukum KLS, waktu itu tanggal 17 Desember 2008 Eva Bande ikut hadir karena diajak oleh warga Argoestate. Sang Kuasa Modal dengan sangat angkuhnya, dengan mulut berbusa-busa dan suara yang besar justru menuduh rakyat mencuri lahan HGU-nya, tidak seorang pun dalam pertemuan itu berani memotong bicaranya. Rakyat yang berharap dimediasi, justru jadi bulan-bulanan caci maki Murad Husein hampir tanpa jedah. Ketika itu, Eva Bande menyela, karena tidak tahan dengan sikap diam anggota DPRD, Polsek, Camat yang membiarkan warga dicacimaki sedemikian rupa. Secara baik-baik dan sistematis Eva Bande menjelaskan duduk soalnya, termasuk hak-hak peserta trans Agroestate. Belum tuntas penjelasan Eva Bande, Murad Husein mencakmencak berteriak, pak Polisi tangkap orang ini provokator, bicara sembarangan, siapa dia ini (dan seterusnya tak etis untuk diungkap disini ....) Murad tak menyangka, 28


belum sempat ucapannya berhenti, Eva Bande berteriak lantang sambil menghadapi para Polisi, Anggota DPRD yang diam membisu, meladeni debat tak keruan arahnya itu, diselingi ancaman serta caci maki Murad Husein yang semakin tak terkontrol. Beberapa hari setelah itu, ketika Yusuf Ahmad dan Nasrun Mbau berjumpa dengan saya, menyatakan, “baru itu Murad dapat batunya, dia dapat lawannya, seorang perempuan....”. Kelihatannya sikap dan caci maki tak beraturan dari Murad Husein yang dihadapi Eva Bande dengan sama lantang tanpa gentar itulah yang menumbuhkan harapan warga Argoestate yang hadir, sehingga saling percaya dan persahabatan di antara mereka semakin menguat. Nasrun Mbau pun merasa semakin yakin upayanya melanjutkan perjuangan merebut kembali tanah adat yang dirampas PT KLS terbuka kembali dengan semangat baru, apalagi mereka tahu kalau Eva Bande pernah berjuang membantu penindasan terhadap perempuan di Kabupaten Poso. Ini memang merupakan pembacaan subjektif saya setelah mengikuti berbagai diskusi dengan para petani yang teraniaya itu. Kelihatannya, mereka membutuhkan seseorang yang bisa membangkitkan kekuatan-kekuatan lokal yang sudah mulai redup dan menyatukan kekuatan yang tercerai menjadi sebuah kekuatan besar yang solid. Mereka butuh kepemimpinan yang konsisten, kuat secara mental, dan bebas dari teror leluhur bernuansa sektarian. Orang Agroestate beratasnama Suku Jawa, Sulawesi Selatan, dan Banggai; orang Singkoyo adalah Komunitas asli Ta’a; Orang Toili Barat dominan Bali; Orang Moiling asal Sulawesi Selatan; Orang Tou Suku Bajau; inilah realitanya, rakyat Indonesia yang hidup di dataran Toili-Toili Barat cukup majemuk, tetapi mereka terlokalisasi oleh nestapa akibat pola perusakan yang sporadis sekaligus paralel, oleh PT KLS lewat perintah dwitunggal Murad-Herwin. Kekuatan rakyat seharusnya menjadi satu kesatuan yang manunggal dan solid atas nama kedaulatan rakyat melawan satu kesatuan antara Kuasa Modal dan para pengikutnya. Arah dan nuansa diskusi saudara-saudara petani di Toili saat ini mulai mengarah pada penyatuan seluruh kekuatan rakyat itu tanpa sekat-sekat kultural dan agama. Bersama kawan-kawan aktivis Ornop yang mengawal kasus bantaran sungai, agroestate dan Bukit Jaya, pada suatu rapat di akhir tahun 2009 menyimpulkan untuk menggalang kekuatan dan dukungan lebih besar sekaitan dengan perlawanan terhadap penindasan ala Murad Husein di Kabupaten Banggai yang sudah lebih tua dari “Orde Baru” –Barangkali ini pulakah, praktik Kapitalisme sejati berwatak feodal dan Feodalisme sejati berwujud akumuasi primitif...?

29


Memulai Upaya Terorganisasi Dalam sebuah pertemuan, petani Agroestate bersama Eva Bande, Ahmar Welang, Sujarwadi, Ariestal Syahrudin, menyepakati untuk memperluas dukungan terhadap masalah yang dihadapi petani Agroestate. Salah satunya, masyarakat Agroestate berangkat ke Palu untuk membicarakan masalah mereka dengan jaringan-jaringan LSM dan pemerintah daerah di level Provinsi. Pada tanggal 15 Februari 2009 dilaksanakan rapat antar petani Agroestate dengan beberapa jaringan LSM di Kantor LBH Sulteng di Kota Palu. Dalam rapat ini dibicarakan langkah-langkah advokasi Litigasi maupun Non-Litigasi untuk kasus Agroestate. Terkait upaya dijalur Litigasi, dilakukan pendampingan intensif terhadap petani-petani yang terlibat perkara hukum dengan PT KLS. Di samping itu, persoalan petani Agroestate di lapangan akan lebih dimaksimalkan, selain pendampingan yang lazimnya juga diperkuat dengan kampanye yang lebih luas ke media massa lokal, regional, maupun nasional dengan keterlibatan LSM-LSM di Palu maupun di luar daerah secara lebih fokus dan terkoordinasi. Rapat ini juga menghasilkan sebuah agenda aksi ke DRPD, Kantor Gubernur, dan Kepolisian Daerah Sulteng. Aksi SORUPA (Solidaritas Rakyat untuk Petani Agro) tanggal 17 Februari 2009 jadi dilaksanakan. Petani Agroestate berjumlah 27 orang yang berasal dari Kecamatan Toili Kabupaten Banggai bersama sejumlah perwakilan ornop dan wartawan di Kota Palu melakukan aksi ke Kantor Gubernur, Kepolisian Daerah, dan Pendudukan di DPRD Sulteng. Aksi ini menuntut beberapa hal: (1) Mengembalikan Hak Kepemilikan Tanah Petani Agro Estate Toili; (2) Menghentikan segala ancaman dan intimidasi kepada petani Agro yang dilakukan oleh Polsek Toili; (3) Menuntut PT Kurnia Luwuk Sejati untuk bertanggungjawab atas kehilangan tanah dan tanaman petani; (4) Mengadili PT Sarana Sulteng Ventura atas Hutang berlipat-lipat yang dibebankan kepada petani hingga petani harus kehilangan tanah dan tanaman milih petan; (5) Menindak tegas Kapolres Kabupaten Banggai yang tidak menindaklanjuti laporan petani Agro atas penggusuran dan perusakan kebun kakao petani Agro Toili. Aksi Pendudukan di DPRD hampir saja terjadi evakuasi paksa dari Kepolisian Daerah terhadap petani Agroestate yang hanya berjumlah 27 orang saat itu. Untunglah malam itu sejumlah wartawan dan LSM yang pulang mandi cepat kembali ke DPRD dan terjadi tawar menawar dengan aparat Kepolisian Daerah, sehingga evakuasi paksa tidak terjadi. Masyarakat bertekad mendapat respons tindak lanjut yang nyata dari DPRD provinsi. Setelah yakin akan ditindaklanjuti barulah petani Agro membubarkan diri, dan besok harinya kembali ke Toili bersama Eva Bande. Sejak kepulangan petani Agro dari Palu, berita tentang Agro Estate menjadi ramai di koran-koran lokal Luwuk maupun di Palu, tetapi tidak sertamerta menghentikan nafsu serakah PT KLS menggusur tanah petani. Pada tanggal 25 Maret 2009 seorang petani asal Desa Singkoyo bernama Yunus Boko Desa Singkoyo Dusun 2, RT 1 melaporkan penggusuran lahan miliknya oleh PT KLS. Penggusuran terjadi pukul 11.00, hari Senin Tanggal 23 Maret 2009. Lahan Yunus Boko dibekali SKPT (surat keterangan pemilikan tanah), di atasnya tumbuh berbagai tanaman kehidupan seperti sayur lilin 50 rumpun, kakao 50 batang, cabe produktif 200 pohon, dan kelapa dalam 12 Pohon. Bagi petani kehilangan sumber utama kehidupan merupakan nestapa yang tiada taranya, karena hasilnya bisa dimanfaatkan untuk 30


mempertahankan hidup selama beberapa bulan. Hanya dengan sekali perintah dari seorang Murad Husein, hidup sebuah keluarga selama beberapa bulan terbengkalai. Tidak lama setelah kejadian itu, penggusuran demi penggusuran terjadi lagi di wilayah Singkoyo dan beberapa desa lainnya di Kecamatan Toili yang bukan wilayah Agroestate. Kelihatannya Murad Husein tidak peduli dengan berita-berita hangat tentang perilaku buruk perusahaannya, tidak pula bergeming dengan ancaman-ancaman berbagai peraturan perundang-undangan mengenai pelanggarannya. Berita-berita tentang kebaikan hati Pengusaha asal Toraja ini, berdampingan bahkan mendominasi berita di koran-koran lokal. Perlawanan petani dalam bentuk aksi, pelaporan-pelaporan kepada pemerintah daerah dan kepolisian setempat dijawab dengan aksi penggusuran yang dikawal oleh polisi bahkan tentara. Upaya-upaya perlawanan petani agak meredup dan tidak muncul di permukaan menjelang Pemilu 2009. Selama massa kampanye dan setelah Pemilu diisi dengan kegiatan-kegiatan diskusi dari kampung ke kampung oleh Eva Bande dan sejumlah kawan setempat yang peduli dengan persoalan petani Toili. Sementara di hutanhutan dan di lahan-lahan petani aksi penggusuran tidak pernah berhenti. Bahkan beberapa hari sebelum hari “H� Pemilu 2009 penggusuran di masih terjadi di wilayah Desa Piondo, Bukit Jaya dan Singkoyo. Eva Bande meski terdaftar sebagai salah seorang Calon Legislatif DPRD 2009, tidak sempat mengampanyekan dirinya sendiri melalui saudara-saudara petani yang diorganisir. Mereka bahkan tidak tahu bila Eva mencalonkon diri sebagai Caleg 2009. Nanti kurang lebih 15 hari menjelang hari H barulah mereka tahu bila Eva Bande adalah calon legislatif asal PDIP dalam satu Dapil dengan Herwin Yatim dan I Nyoman Sumerta. Eva Bande menyebarkan Kontrak Politik yang ditandatangani di atas materai 6000 untuk meyakinkan masyarakat mengenai komitmennya, tetapi ini tidak mengantarnya duduk menjadi Anggota Legislatif. Herwin Yatim yang telah mencurangi dan menghalangi perjuangan politik Eva Bande, lolos dan telah menjadi Anggota DPRD Banggai saat ini, demikian juga I Nyoman Sumerta telah duduk bersama mantan musuh yang memenjarakannya itu dalam satu fraksi. Meski tidak lolos dalam kompetisi di Pemilu 2009, Eva Bande meneruskan komitmennya mengawal kasus-kasus yang terjadi di Toili. Di Desa Piondo sendiri, Eva Bande hanya mendapat 6 suara saja, tetapi dengan kesadaran dan keyakinan penuh, Eva tetap kembali ke desa ini untuk membantu rakyat mengatasi masalah penggusuran yang semakin massif. Pada bulan Agustus 2009 berlangsung sejumlah diskusi mengenai kasus-kasus yang dihadapi rakyat Toili di beberapa tempat di kota Palu, sebut saja Walhi Sulteng, LBH Sulteng, YTM, PBHR, ANSOS-Sulteng dan kadang-kadang di rumah kediaman Eva Bande. Dari seluruh rangkaian pertemuan itu, lahirlah komitmen yang kuat dari LSMLSM yang terlibat untuk mengawal secara serius kasus Petani versus PT KLS di Toili. Komitmen ini kemudian coba diwujudkan dengan sebuah langkah taktis membentuk Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulteng. Sebuah Front karena mengerjakan sejumlah agenda taktis untuk orientasi strategis. Cukup Panjang diskusi yang dilalui untuk menajamkan orientasi kerja FRAS SULTENG, hingga akhirnya melahirkan 31


stuktur kerja yang dikoordinasi oleh Eva Bande. Aliansi taktis ini diharapkan lebih memperkuat upaya-upaya perlawanan yang sudah dilakukan sebelumnya secara lebih terorganisir dan sistematis. Beberapa bidang kerja yang ada seperti bidang pengorganisasian, pendidikan, hukum, studi dan Penelitian, serta kampanye didorong untuk bekerja maksimal dengan tanggung jawab yang terdesentralisasi sedemikian rupa agar setiap bidang bekerja secara terfokus dan optimal. Tim awal FRAS SULTENG yang berangkat ke Toili pada tanggal 2 September 2009 adalah Eva Bande, Agus Faisal, Etal Syahrudin, dan Nuzul. Di Luwuk sendiri telah menunggu kawan-kawan dari YMP (Anto Cs), LBH Luwuk (Budi, Ikbal, Andi Munafri), dan YTM (Rizal Arwie). Tanggal 5 September FRAS Sulteng diskusi di Dusun Bina Tani desa Singkoyo membicarakan berbagai persoalan yang dihadapi oleh petani Singkoyo. Besoknya, tanggal 6 September dilaksanakan rapat umum dan diskusi penggalangan semangat dan komitmen perjuangan di mana FRAS-Sulteng menjadi bagian dari perjuangan rakyat di Toili, yang dihadiri kurang lebih 100-an petani. Dalam pertemuan umum itu sejumlah perwakilan petani dari desa-desa di Toili ikut hadir dan menyampaikan persoalan mereka masing-masing. Lalu dari situ dilanjutkan dengan diskusi-diskusi di sejumlah desa yang berkasus dan telah ada orang-orang tertentu yang menjadi kontak. Diskusi-diskusi kecil itulah yang menjadi media pembangunan organisasi-organisasi tani lokal. Berturut-turut lahirlah Persatuan Petani Singkoyo (Pepsi) dipimpin oleh Nasrun Mbau, dideklarasikan pada tanggal 12 September 2009 lewat aksi; Serikat Petani Piondo (SPP) dipimpin oleh Ribut Warso, dideklarasikan pada tanggal 18 September 2009 lewat aksi; Serikat Petani Bukit Jaya (SPBJ) dipimpin oleh Sugito, dibentuk tanpa deklarasi tanggal 22 September 2010, Serikat Tani Nelayan Tou (STNT) dipimpin oleh Nurkin dibentuk tanpa deklarasi tanggal 21 September, Serikat Petani Todopuli Moilong (SPTM) dipimpin oleh Moh. Arif dibentuk tanpa deklarasi pada 24 September 2009, Serikat Petani Sindang Baru (SPSB) belum dibentuk strukturnya pada saat itu, dan sejumlah organisasi lainnya yang belum terbentuk strukturnya dan dideklrasikan kepada masyarakat setempat. Organisasi-organisasi tani lokal ini bukan dibentuk secara tiba-tiba begitu saja, tetapi telah melalui proses diskusi dan hubungan interpersonal yang cukup lama, sekitar 1 tahunan, dengan Eva Bande dan kawan-kawan Ornop sebelumnya. Terbentuknya organisasi-organisasi tani lokal itu sesungguhnya merupakan satu tahapan lebih maju dari upaya perlawanan yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan adanya wadah perjuangan petani di setiap desa itu, maka kepentingan individual para petani yang berkasus di masing-masing desa, lambat laun hendak diubah menjadi kepentingan kolektif. Adanya organ tani lokal bisa dibilang merupakan cikal bakal pengorganisasian terorganisir. Meski demikian, harus diakui, dalam perjalanannya, pengorganisasian ini tidak dapat berjalan dengan maksimal, meski para aktivisnya bekerja dengan semangat yang tak kenal lelah dan tidak bersurut.

32


Gambar 1: Aksi Deklarasi Pepsi sekaligus merespons upaya PT KLS menangkap Nasrun Mbau dengan dalih pencemaran nama baik. Gambar 2: Aksi Protes Pencurian BBM bersubsidi oleh PT KLS yang dipimpin Nasrun Mbau. Gamber 3: Aksi Penyambutan Gubernur Sulteng di Toili. Gambar 4: Aksi Hari tani. Dari aksi-aksi puluhan orang, ratusan orang, bahkan ribuan orang telah dilakukan untuk mempengaruhi opini publik dan pemerintah agar menuntaskan kasus Murad Husein, akan tetapi kelihatannya belum cukup sekadar aksi.

Orientasi Perjuangan organisasi-organisasi Tani secara umum adalah: (1) memperjuangkan nasib Petani, baik para petani Sawah, perkebunan tradisional, maupun di Perkebunan Sawit (para buruh maupun karyawan), dan Petani Plasma (sawit) agar memperoleh keadilan dan perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah maupun perusahaan; (2) Memperjuangkan kelayakan atas upah kerja buruh di Perkebunan Sawit sesuai dengan Upah Minimum Regional Propinsi Rp. 720.000 (tujuh ratus lima belas ribu rupiah), dan hak-hak buruh atas kesehatan dan keselematan kerja, upah makan minum diluar gaji, dan lainnya; (3) Memperjuangkan Keadilan bagi Petani Plasma atas kewajiban perusahaan yang diberi izin operasi dan Hak Guna Usaha (HGU) oleh Negara, bersama pemerintah daerah menetapkan harga ambang batas terendah Tandan Buah Segar (TBS) sawit yang layak, minimal Rp. 1500 per kilogram; (4) Memperjuangkan perlakuan adil dari perusahaan melalui keterlibatan pemerintah atas pemotongan kredit perusahaan sebesar 40% menjadi maksimal 15% atau 20%; (5) Pendapatan petani Plasma berdasarkan mekanisme pembagian hasil dari Perusahaan selama ini, sama sekali bukan indikator Kesejahteraan Rakyat seperti yang digembar-gemborkan perusahaan. Ini harus diperjuangkan. Kalau masih seperti itu maka SAWIT HARUS DI STOP; (6) Melakukan Pendidikan dan Latihan untuk penguatan kapasitas Rakyat agar memiliki kesadaran kritis dan tidak mudah dipermainkan oleh pihak-pihak manapun juga 33


yang memiskinkan mereka, dan pelatihan peningkatan kualitas dalam pengelolaan pertanian; (7) Membela kepentingan petani baik melalui fungsi organisasi maupun lewat jalur Hukum. (8) Memperjuangkan keadilan Hukum bagi persoalan-persoalan petani. Organisasi memperjuangkan Hak-hak Petani mendapat perlindungan Hukum. Bahwa Aparat Kepolisian sebagai pengayom rakyat, maka tugasnya melindungi kepentingan rakyat, bukan perusahaan milik pribadi. (9) Mengupayakan pupuk dan BBM murah bersubsidi bagi petani; (10) Melakukan upaya-upaya pembuktian hukum atas pelanggaran-pelanggaran Perusahaan atas HGU (Hak Guna Usaha) yang diberikan Negara kepadanya, dan rakyat adalah pengawasnya; (11) Mengupayakan keterlibatan aktif pemerintah daerah Kabupaten Banggai, Propinsi, dan tingkat Nasional untuk meningkatkan kualitas hidup Petani dan pembelaan atas nasib petani dari ketidakadilan. Organisasi Tani Lokal (OTL) adalah bagian integral dari FRAS Sulteng. Dengan kalimat lain, perjuangan organisasi tani adalah juga perjuangan FRAS Sulteng. Berbagai upaya petani yang telah dilakukan melalui surat maupun aksi-aksi oleh organisasi tani dan FRAS Sulteng yang dapat dicatat adalah sebagai berikut : 1. Menyurat kepada menteri kehutanan dengan nomor surat Nomor: 010/B/FRASST/XII/2009, Perihal Pengaduan Aktivitas Hutan Taman Industri (HTI) PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) di Kabupaten Banggai dengan di lampirkan Satu Keping CD memuat Fakta Lapangan Pelanggaran HTI, tertanggal 1 Desember 2009. 2. Menyurat kepada kapolda sulteng dengan Nomor: 06/FRAS-ST/II/10, Lampiran : 01 (satu) Berkas, Hal: Pengaduan prinsip-prinsip pengelolaan HGU PT KLS, tertanggal 2 Pebruari 2010 3. Menyurat ke menteri perkebunan dengan Nomor : 05/FRAS-ST/II/10 4. Lampiran : 01 (satu) Berkas, Hal : Pengaduan prinsip-prinsip pengelolaan HGU PT KLS, tertanggal 2 Pebruari 2010. 5. Membuat laporan ke Polres Banggai dengan No Pol : LP/655/XI/2009/SPK tanggal 12 November 2009, an Sujarwadi (LBH Sulteng) tentang PT KLS tidak memiliki IUP 6. Melakukan audience dengan komisi II DPRI-RI timja Pertanahan pada hari kamis 11 Pebruari 2010, yang hasilnya adalah : timja akan mempelajari berkas yang diserahkan Fras Sulteng dan akan memanggil pihak-pihak yang berkenaan dengan pengaduan yang disampaikan. Audience ini dipimpin oleh : sekertaris Tim Kerja Pertanahan Muslim, SH 7. Menyurat kepada Kapolres Banggai dengan Nomor: 04/B/III/2010. Perihal: Pengaduan tentang alih fungsi HTI dan kerusakan lingkungan oleh serikat Petani Piondo tanggal 17 Maret 2010, surat pengaduan ini diterima dengan No Pol : STPL/183/III/2010/Sulteng/Res Banggai, tanggal 17 Maret 2010. 8. Menyurat ke BPN dengan nomor surat 07/Fras-st/II/10, lampiran 1 berkas, perihal pengaduan dan permohonan tindak lanjut tentang pengelolaan HGU dan Penyerobotan lahan2 warga petani yang beralas hak maupun lahan masyarakat adat Tau’taa Wana, tertanggal 9 Pebruari 2010. 9. Disusul lagi pada tanggal 10 Maret 2010 tentang pengaduan yang intinya mengembalikan lahan-lahan warga petani yang dirampas oleh HGU PT KLS. 10. Menyurat ke Polsek Toili dengan Nomor :03/FRAS-ST/I/10, Lampiran:1 Berkas, Perihal: permohonan tindak lanjut tentang pemanggilan terhadap 4 orang petani 34


11.

12. 13. 14.

desa Piondo dalam kasus penyerobotan kawasan HTI atas laporan Murad Husein. Menyurat Ke Menteri Kehutanan, Menteri Perkebunan, DPR RI, Mabes TNI, Mabes POLRI, KPK RI, BPN di Jakarta, tentang Pengaduan dan Tindak Lanjut atas Aktivitas Hutan Taman Industri (HTI) PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) di Kabupaten BanggaiI. Pada bulan April 2010. Surat permintaan untuk Audince untuk kasus No Reg.: 370/23/RES/II/2010 dengan Ketua Kompolnas Dr.H.La Ode Husein, S.H, M.H Jakarta, 5 April 2010. Dan, sejumlah surat lainnya yang sulit dilacak lagi setelah penangkapan petani. Aksi Deklarasi Pepsi, aksi Deklarasi Piondo, Aksi penghadangan Gubernur Sulteng, Aksi reklaiming, Aksi Penghadangan Pencurian BBM, aksi Penghadangan Buldoser, aksi Hari Tani Nasional, dan sejumlah Aksi lainnya.

Sekali lagi seluruh surat, hasil pertemuan dialog, lobi, maupun lewat aksi, seluruhnya menunggu tindaklanjut pemerintah daerah, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat beserta seluruh aparatnya yang terkait. Buah dari Perlawanan Rangkaian upaya perlawanan petani telah dilakukan sejak awal tahun 2000 hingga 2010 tidak satupun berbuah manis, tidak satupun yang memenuhi harapan petani. Sebaliknya, duka dan nestapa petani Toili-Toili Barat semakin mendalam, rasa sakit yang sulit diobati, karena dampaknya tidak saja secara fisik tetapi juga psikologis. Rasa sakit yang diakibatkan langsung oleh perilaku buruk tak berperikemanusiaan dari PT KLS melalui peran dwi tunggal Murad Husein dan Herwin Yatim, telah menyebabkan hilangnya sumber-sumber hidup paling vital dari keluarga petani. Mereka terhempas dari sistem hidup ideal, sebagai bagian dari negara yang berdaulat atas nama rakyat. Mereka sekadar menjadi bulan-bulanan keserakahan orang per orang yang berkarya lewat penimbunan kapital, alias menumpukan kekayaan. Ribuan hektar tanah dan tanaman petani ludes dilahap kendaraan berat perusahaan, yang berdampak langsung pada kemiskinan dan penutupan akses pendidikan yang layak bagi anak-anak petani, ditambah lagi ketidakmampuan mengurus hidup keluarga yang sehat dan memperoleh akses terhadap sarana kesehatan yang semakin mahal. Sebut saja pemenjaraan I Nyoman Sumerta yang jelas dilindungi oleh Undangundang Negera Republik Indonesia mengurus kepentingan masyarakatnya sebagai kepala desa. Saling Gugat antara PT KLS dengan Petani Agroestate (Yusuf Ahmad Cs) yang tidak jelas akan berujung pada keadilan atau nestapa lanjutan. Pemanggilan terhadap Nasrun Mbau sebagai tersangka sebanyak tiga kali, dengan tuduhan pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, dan pengancaman, yang menyebabkan Nasrun Mbau menyikir dari Toili selama berbulan-bulan di Kota Palu. Rasa Sakit petani Toili semakin parah, ketika mereka menyadari bahwa sejumlah oknum pemerintah kecamatan, pemerintah kabupaten, Polisi, tentara, kejaksaan, tidak memiliki kepedulian sama sekali terhadap penderitaan petani. Laporan tertulis dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga ke Jakarta semuanya menjadi arsip berdebu di rak penyimpanan. Demikian pula tekanan melalui aksi 35


massa, pun lebih banyak menghasilkan janji yang tak ada hasilnya. Kunjungan Menteri Dalam Negeri yang ternyata untuk meresmikan Pabrik CPO KLS, misalnya, sebuah tamparan keras kepada perjuangan petani, bahwa pejabat sekelas menteri pun dapat diperintahkan oleh Murad Husein, meski bukan TUPOKSI kementriannya. Kunjungan Menteri Tenaga Kerja ke lokasi HGU pun dimaksudkan memperkuat eksistensi PT KLS sebagai penguasa tanpa perintah jabatan. Disusul kemudian kunjungan-kunjungan lain dari kementrian kehutanan yang seluruhnya justru menunjukkan dukungan terhadap penghancuran hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat di dataran Batui-Toili-Toili Barat-Moilong. Berharap kepada Kepolisian Sektor maupun level daerah, pun tidak ada gunanya, karena mereka justru mengawal sejumlah penggusuran dan penangkapan petani. Sama halnya menjatuhkan harapan kepada pihak TNI yang justru lebih banyak menjadi pengawal perusahaan dan perkebunan sawit daripada mengawal kepentingan rakyat dan negara di manapun mereka berada. Rasa sakit, nestapa dan duka yang mendalam rakyat tani semakin bertumpuk hampir tak dapat dibendung. Sementara PT KLS terus saja melakukan penggusuran demi penggusuran tak peduli semua upaya, teguran, surat resmi negara untuk menghentikan tindakan-tindakan buruk mereka di lahan bersengketa. Kedatangan Komnas HAM beberapa kali ke Kabupaten Banggai hingga ke Toili pun tidak membuahkan hasil yang memberi harapan baru bagi petani, karena toh alatalat berat perusahaan terus saja melakukan perusakan demi perusakan, dengan intensitas yang semakin tinggi serta pengawalan yang ketat dari tentara maupun polisi.

Gambar 1 dan 2 persiapan kedatangan Komnas HAM pasca Pembongkaran Jalan Usaha Tani di Desa Piondo. Gambar 3-4, M. Ridha Saleh (Komnas HAM), Eva Bande, Dan Ribut Warso dilokasi Jalan Rusak dan bekas gusuran PT KLS di kebun rakyat.

36


Suatu Saat di awal Mei 2010 di Kota Palu, saya dan Eva Bande melakukan diskusi yang cukup panjang, hingga menjelang pagi. Diskusi itu sebagian besarnya berisi refleksi dan evaluasi terhadap seluruh aktivitasnya di Toili. Kedatangan Eva Bande kali ini ke Palu setelah kurang lebih 3 bulan berada di Toili. Hampir 2 tahun Eva Bande mengawal kasus Toili (sebelum Fras terbentuk) dan kurang lebih satu tahun lamanya dilakukan di bawah bendera FRAS-Sulteng. Kurang lebih 11 bulan didampingi Etal (Ariestal Syahrudin) secara intens menghadapi Gurita Kasus Penindasan PT KLS terhadap rakyat Tani Toili-Toili Barat, selebihnya Eva Bande mengawal kasus itu nyaris sendirian, dengan dukungan logistik luar biasa minimnya baik yang dikumpulkan sendiri oleh organ tani lokal, dana pribadi, serta sumbangan ala kadarnya dari jaringan Fras Sulteng sendiri. Mencapai puluhan surat dilayangkan kepada seluruh jajaran pemerintah lokal hingga nasional untuk merespons kasus di Toili, surat-surat permintaan dukungan kepada organisasi non-pemerintahan pun sudah bertimbunan. Sejumlah aksi demonstrasi di Toili, di Palu, di Luwuk, mulai dari masa puluhan jumlahnya, meningkat menjadi ratusan, lalu ribuan orang, semuanya telah dilakukan. Tetapi PT KLS masih tak bergeming, tetap saja kerakusannya terhadap tanah dan watak penindas justru semakin menjadi-jadi. Semua hal yang nyaris subjektif sama sekali ini, menjadi bahan evaluasi saya dan Eva Bande, baik kami sebagai suami istri, maupun sebagai aktivis. Kesimpulannya, pilihan sudah dijatuhkan, komitmen telah dikuatkan, konsistensi harus dipertahankan, maju dan pantang bersurut. Semangat, semangat, dan semangat. Kiranya setiap orang, apakah dia memilih sebagai aktivis sosial atau bukan, pernah mengalami gangguan atas sebuah komitmen dan konsistensi, tetapi bukan berarti harus menghianati pilihan dan komitmennya sendiri, hanya karena konsistensi yang tak tegar. Semua ini harus dilanjutkan, karena penderitaan rakyat akan mereka rasakan jauh ke depan, tanpa bisa dibayangkan bagaimana dampaknya kemudian bila organisasi yang masih lemah itu ditinggalkan. Beberapa hari setelah refleksi dan evaluasi yang hampir saja memutuskan seluruh rangkaian aktivitas pengawalan kasus Toili itu, Eva Bande menerima informasi tentang masuknya puluhan hingga ratusan aparat TNI yang dipimpin langsung oleh Komandan Kodim yang mengawal penggusuran lahan dan perusakan jalan akses petani Piondo ke lokasi kebun petani. Kebetulan sekali Ribut Warso (Ketua SPP) berada di Palu mengurus keperluan keluarganya. Dari hubungan telepon antara Ribut dan Kholil informasi yang setiap hari semakin massif itu mendorong Eva Bande menghubungi Komda HAM untuk melapor kepada Komandan Korem di Palu. Cerita berikut ini merupakan puncak kemarahan petani yang menyebabkan perusakan alat berat dan kantor PT BHP dan dampaknya kemudian. Pada Tanggal 11 Mei 2010, PT KLS mengirimkan surat kepada Kepala Desa Bukit Jaya, Kepala Desa Piondo, Kepala Desa Bumi Harapan dengan No. surat 14/KLSPKS/PC/V/2010. Surat itu berisi maksud PT KLS akan menutup jalan menuju kawasan HTI di Desa Piondo dengan alasan untuk penertiban kawasan HTI PT BHP dari perambah liar dan penambang emas. Tanpa menunggu tanggapan dari pemerintah desa dan rakyat Piondo, pukul 15.00 Wita, PT KLS membawa satu unit Buldoser bersamaan dengan masuknya kurang lebih 40 orang personel TNI yang berasal dari KODIM Banggai ke areal HTI di Desa Piondo. Alasan masuknya TNI ke Lokasi HTI adalah untuk Latihan Perang. 37


Kira-kira pukul 19.30 masyarakat Piondo dan Bukit Jaya kurang lebih 200-an orang yang dipimpin sekretaris BPD Kholil menuju lokasi Buldoser di areal HTI. Tiba di lokasi, Buldoser sudah mulai beraktivitas merusak jalan yang selama ini merupakan jalan satu-satunya yang digunakan masyarakat Piondo ke areal kebun mereka. Kholil meminta perusakan jalan itu dihentikan, tetapi tidak diindahkan oleh pihak perusahaan karena di situ ada aparat TNI bersenjata lengkap. Masyarakat waktu itu sudah emosi karena perusahaan sama sekali mengacuhkan permintaan mereka. Saat itu, mobil PT KLS yang dinaiki DANDIM, asisten Manajer Subandi, Manajer Mahyudin dan Kades Bumi Harapan ditahan oleh masyarakat dan kembali meminta penghentian perusakan jalan itu. Ketika itu, DANDIM memerintahkan kepada petani dan penambang harus mengosongkan areal HTI, apabila tidak dikosongkan, maka bila terjadi sesuatu kesalahan bukan dari TNI. Situasi malah semakin memanas, lalu Wakapolsek Toili Barat yang bernama Aiptu Syamsudin mengeluarkan satu kali tembakan ke udara. Demi mencegah terjadi hal yang tidak diinginkan seperti ancaman DANDIM kepada rakyat yang seharusnya dibela itu, maka massa aksi kembali ke desa masing-masing. Keesokan jumlah personel TNI semakin bertambah hingga 300-an orang. Lalu kurang lebih 150-an orang petani kembali mendatangi aparat TNI dan menyampaikan protes mereka atas keberadaan TNI di areal HTI. Mereka meminta TNI menjelaskan keberadaan mereka di desa Piondo, karena dijanji akan dilaksanakan, maka masyarakat membubarkan diri. Ternyata janji ini tidak ditepati. Karena itu, malam harinya Badaruddin dan Suparmin bertemu dengan Bupati Banggai dan membahas keberadaan TNI itu, dijelaskan bahwa masyarakat sudah sangat emosi dan dikhawatirkan terjadi bentrokan yang berakhir kekerasan terhadap masyarakat. Bupati menyanggupi mengatasi masalah itu. Tindak lanjut kesanggupan Bupati belum juga muncul setelah ditunggu beberapa hari, karena perusahaan terus menerus merusak jalan sampai di beberapa titik, maka pada tanggal 14 Mei 2010 Badarudin bersama sejumlah masyarakat kembali meminta kesediaan TNI untuk dialog, tetapi juga tidak dipedulikan. Masyarakat semakin emosi atas sikap TNI ini, bahkan semakin marah karena ternyata sambil latihan perang aparat TNI juga latihan menanam Sawit di lokasi-lokasi yang telah digusur oleh PT KLS. Luar Biasa. Upaya negosiasi terus dilakukan oleh masyarakat yang dipimpin oleh Badaruddin dan Kholil (saat itu Eva Bande dan Ribut Warso berada di Palu). Beberapa kali dilakukan, dan beberapa kali pula hampir terjadi bentrok dengan pihak TNI dan Polri yang semakin banyak jumlahnya datang untuk latihan perang di Kawasan HTI. Sementara itu upaya Eva dan Ribut bertemu dengan Komandan Korem telah berhasil dan dijanjikan ditindaklanjuti. Pada akhirnya, tanggal 22 Mei 2010 aparat TNI ditarik dari HTI, dan besok harinya (tanggal 23 Mei) Eva Bande berangkat ke Poso untuk kegiatan Evaluasi program KPKP-ST di sana, tetapi tak lama. Besoknya lagi (tanggal 24 Mei 2010) Eva Bande langsung ke Toili tanpa singgah di rumah orang tuanya, langsung ke Toili di sekretariat PEPSI di desa Singoyo. Sementara itu di Piondo telah dilakukan rapat persiapan aksi pada tanggal 26 Mei ke kantor PT BHP di areal HTI Desa Bumi Harapan. Eva Bande diundang untuk menghadiri rapat itu, tetapi tidak bisa hadir karena terkait tugas di Poso. Tanggal 25 Mei barulah Eva Bande pergi ke 38


Desa Piondo menghadiri acara perkawinan Trimo seorang anggota organisasi yang merupakan kontak person pertama kasus Piondo. Malam itu, Eva Bande menyanggupi ikut aksi tanggal 26 Mei bersama Nasrun Mbau. Pada Tanggal 26 Mei 2010, pukul 08.00 Eva Bande, Nasrun Mbau, dan Moh. Arif Bennu tiba di Desa Piondo untuk ikut menunjukkan solidaritas mereka dalam aksi penuntutan pembukaan jalan produksi yang dirusak oleh PT KLS. Kurang lebih 200an orang Warga dari berbagai desa sekitar baik yang petani maupun penambang tradisional telah tiba di depan kantor PT BHP menuntut pembukaan jalan yang dirusak itu. Eva Bande diminta oleh Kholil untuk menjadi juru bicara. Waktu itu sasaran utama adalah mencari manajer Mahyudin dan operator buldoser untuk melaksanakan tuntutan massa. Setelah satu jam lebih menunggu, manajer maupun operator tidak muncul, maka terjadilah insiden perusakan kantor PT BHP. Hari itu tentara maupun polisi tidak seperti biasanya berusaha menghentikan aksi petani, mereka mendiamkan dan tidak mengeluarkan tembakan peringatan seperti yang biasa pula mereka lakukan. Massa dibiarkan marah, Eva Bande dan para pimpinan petani pun tak kuasa menahan kemarahan peserta aksi itu. Massa lalu menuju tempat operasi Buldoser (3 kilometer dari Kantor BHP) dan mencari operatornya di situ. Sampai di lokasi buldoser tak ada operatornya, lalu mereka minta untuk didatangkan, tetapi tak datang juga, sehingga buldoserpun dibakar sebagai ungkapan kemarahan warga. Dalam perjalanan pulang, massa tiba-tiba berbelok ke arah Camp karyawan yang terletak di wilayah Desa Bukit Jaya, di sana kemarahan massa aksi tak bisa lagi dikendalikan karena Eva Bande tertinggal jauh di belakang, sehingga setiba di camp tersebut, sebuah eksavator dan camp yang baru dibangun perusahaan telah dibakar massa. Anehnya tentara maupun polisi yang biasanya senang mengancam dengan senjata tak berbuat apapun, aksi pelampiasan kemarahan rakyat itu dibiarkan saja. Massa lalu membubarkan diri dan pulang ke desa. Eva Bande kembali ke sekretariat Pepsi bersama Nasrun Mbau untuk istirahat dan mandi. Ketika berada di dalam kamar Mandi, puluhan orang Polisi dari Polsek dan Polres Banggai telah mengepung sekretariat Pepsi. Mereka langsung masuk ke dalam dan mengacak-acak barang-barang milik Eva Bande. Ketika keluar dari kamar mandi, meski hanya berbalut handuk, Eva Bande dengan lantang berteriak kepada polisipolisi itu, dan meminta surat perintah yang ternyata tidak diperlihatkan. Eva Bande belum bersedia dibawa serta saat itu, melalui SMS dari Nasrun Mbau, ratusan masyarakat dari Piondo, Bukit, Jaya, Tou, dan Singkoyo sendiri mendatangi sekretariat Pepsi dan mengawal Eva Bande dan Nasrun Mbau yang dibawa ke kantor Polsek Toili. Sekitar pukul, 21.30, saat sedang berbincang dengan Kapolsek Toili Eva Bande mendengar keributan di luar kantor. Ternyata sekitar 50-an orang preman bayaran Murad Husein dengan bersenjata tajam telah membacok secara membabi buta massa petani yang mengawal Eva Bande di halaman polsek. Polisi-polisi di Polsek membiarkan saja aksi bacok itu terjadi, ini juga luar biasanya polisi di Toili, mereka takut preman bayaran Perusahaan. Dengan alasan pengamanan, Eva Bande, Nasrun Mbau, dan Moh. Arif dibawa ke kantor Polres Banggai. Ternyata alasan pengamanan itu, telah ditindaklanjuti dengan penahanan dan penangkapan-penangkapan

39


berikutnya kepada petani-petani di Piondo. Total petani Piondo yang ditahan adalah 23 Orang dan ditambah Eva Bande menjadi 24 orang. Kisah pemenjaraan petani dan Eva Bande sejak 27 Mei 2010 itu telah membuka mata rakyat Toili dan para aktivis yang telah mengawal kasus penyingkiran rakyat dari lahan kehidupannya oleh PT KLS melalui peran dwitunggal Murad Husein dan Herwin Yatim: bahwa perilaku aparatus negara yang berpihak kepada dwitunggal tersebut sungguh begitu terang-terangan. Murad Husein yang sejak April 2010 ditetapkan sebagai tersangka karena tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan tidak ditahan oleh Kepolisian maupun kejaksaan (meski berkas telah dilimpahkan), sedangkan Petani yang menuntut pembukaan akses jalan produksi berdampak perusakan dan pembakaran alat berat PT KLS itu ditangkap dan ditahan dengan sangat cepatnya. Eva Bande, Nasrun Mbau, Moh. Arif, dan I Nyoman Suwarna didakwa dengan pasal 160 KUHP yaitu sebagai penghasut yang mendorong orang lain melakukan tindak pidana, yang diancam 6 tahun penjara. Sementara para petani didakwakan dengan pasal 170 dan 187 yang diancam antara 9 sampai dengan 12 tahun penjara. Kelihatan sekali dalam proses pengadilan para petani dan aktivis itu kejanggalan yang terang-terangan pula. Keyakinan bahwa lembaga peradilan adalah pintu terakhir pemenuhan harapan keadilan untuk rakyat ternyata sia-sia bahkan merupakan momok baru dalam sejarah perjuangan rakyat Toili. Total seluruh masa tahanan baik dari Polres, Kejaksaan, maupun Pengadilan telah dijalani oleh Eva Bande dan kawan-kawan, seluruhnya kurang lebih 5 bulan. Dalam masa tahanan itu, salah seorang petani bernama SUPRI telah mengalami Depresi berat, dan dipaksakan oleh Jaksa untuk ikut sidang (sempat ikut 3 kali). Karena Depresi itu sudah menunjukkan tanda-tanda yang bersangkutan mau bunuh diri, maka dilarikan ke rumah sakit. Belum sembuh dari situ, diminta kembali oleh jaksa untuk dikembalikan ke lapas. Akibatnya Supri mengalami kembali gangguan mental. Saat ini dia telah dipulangkan kepada keluarganya. Depresi SUPRI sudah terjadi sejak proses penahanan di Polres Banggai, di mana di situ, dia mendapatkan tekanan mental dari pihak Polisi dan penyidik. Selama pemenjaraan Petani dan Aktivis itu, penggusuran demi penggusuran PT KLS terus berjalan bahkan semakin brutal. Meskipun Komnas HAM telah memfasilitasi adanya pertemuan oleh DPRD, perusahaan (PT BHP yang diwakili Direkturnya Herwin Yatim), dan wakil masyarakat Piondo telah melahirkan Nota Kesepahaman (MoU) ternyata telah pula dilanggar PT KLS. Bagi PT KLS perjanjian itu antara PT BHP dengan Masyarakat, bukan dengan PT KLS. Peristiwa Penangkapan itu telah melemahkan perlawanan petani, semangat mereka jatuh, karena mereka semakin yakin bahwa negara lebih berpihak kepada pengusaha daripada kepada penderitaan rakyat. Untuk mengatasi ini organisasi-organisasi yang barada dalam jaringan FRAS tidak tinggal diam, sejumlah kawan-kawan dari YTM (Rizal Arwie dan jaringan mahasiswa di Luwuk) mengawal organisasi tani di Toili di bulan-bulan awal penahanan Eva Bande dan Petani Toili, lalu kemudian secara bergantian kawan-kawan dari Walhi Sulteng, LBH Sulteng, PBHR, YMP, LBH Luwuk, LBH Manado, dan organisasi mahasiswa di Luwuk telah melakukan serangkaian 40


upaya penguatan kembali organ-organ tani lokal. Ternyata semangat itu masih ada meski dibangun dengan susah payah, beberapa kali terjadi aksi lokal dan aksi di kota Luwuk, tetapi tampaknya lembaga hukum tetap berpihak kepada perusahaan. Kerugian perusahaan yang tidak sebanding dengan derita rakyat yang berkepanjangan tidak menjadi pertimbangan keadilan bagi rakyat. Semua hal di luar dinding Lapas IIB Luwuk itu telah membuat Eva Bande dan kawankawan gelisah. Apalagi aktivitas PT KLS yang masih juga merusak lahan-lahan mereka dan merusak semakin parah lagi jalan akses produksi yang menjadi sebab mereka ditangkap. Karena itu, pada Hari Jumat, 17 September 2010 Eva Bande dan Kawan-kawan petani melakukan aksi mogok makan selama 7 hari di Lapas (23 September 2010), yang mengakibatkan evakuasi ke rumah sakit. Karena biaya pengobatan dan pemeliharaan kesehatan yang mahal bagi petani, maka mereka seluruhnya 21 orang memilih untuk pemulihan kesehatan di rumah masing-masing (Kepada seluruh petani dan Eva mendapat bantaran dari Kejaksaan untuk pemulihan kesehatan sampai sembuh). Rupanya Pilihan untuk pulang memulihkan kesehatan di rumah, dipelintir isunya oleh PT KLS bahkan oleh Elite DPRD Banggai, bahwa Petani dan Aktivis melarikan diri dari Penjara dan Rumah Sakit. Sungguh merupakan pertontonan yang memuakkan. Bukannya elite politik yang dipilih rakyat ini menengok petani yang menjuangkan haknya ke rumah sakit, malah menyatakan mereka melarikan diri dari Lapas dan Rumah Sakit. Saat Berada di desa mereka (Desa Piondo 21 petani), Nasrun Mbau di Desa Singkoyo, dan Muh. Arif di Desa Moilong, Eva mengunjungi mereka meski keadaannya sendiri belum sembuh total, untuk mengecek apakah mereka sudah cukup sehat atau masih butuh istirahat. Setelah merapatkan hal ini, mereka sepakat untuk kembali pada hari kamis, 30 September 2010. Pihak kejaksaan sendiri karena isu melarikan diri itu dibombastiskan di koran lokal yang sangat mendukung Murad Husain, lalu menjemput para Petani dengan meminta pengawalan Polisi pada hari Selasa. Akan tetapi, hal ini oleh Koordinator Adinterim FRAS SULTENG, Ahmad Pelor, SH., dibicarakan dengan pihak Kehakiman dan Kejaksaan dibatasi hingga hari kamis. Hal ini juga menjadi pegangan kawan-kawan petani untuk kembali hari Kamis ke Luwuk. Sayang sekali, para jaksa yang sangat takut dengan Murad Husain tidak menepati kesepakatan itu, mereka memaksa datang hari Rabu, tanggal 29 September 2010 (Sore) dengan membawa 2 mobil Polisi dari Polres Banggai, dan 2 mobil Toyota Avansa. Jaksa dan Polisi tiba di Desa Piondo pada pukul 17.50. Terjadi ketegangan pada saat itu. Pihak Kepolisian menyatakan mendapat kewenangan JEMPUT PAKSA dengan pendekatan PERSUASIF, tetapi dari bahasa yang mereka lontarkan sama sekali tidak bernada kompromi. Mereka siap menjemput paksa dengan kekeresan, sementara masyarakat yang berkumpul malam itu siap menghadapi kekerasan itu dengan imbal nyawa sekalipun.

41


Malam itu, sesuai rencana EVA dan kawan-kawan Petani hendak membaca Doa dan Zikir bersama di Mushala Desa Piondo. Ketika hal ini disampaikan sebagai alasan untuk kembali hari Kamis, tetap saja para Jaksa dan Polisi memaksa, dan akan menunggu hingga doa dan zikir itu selesai. Peristiwa yang sangat memilukan, kaum tani yang dipimpin seorang perempuan dijemput ibarat Teroris pada malam itu. Kira-kira pukul 02.30 dini hari Eva Bande dan kawan-kawan petani kembali ke Lapas Luwuk dengan pengawalan Polisi. Mulai hari itu juga, tanggal 30 September 2010, Eva Bande dan kawan-kawan petani kembali mogok makan. Hingga 3 hari berjalan, di tengah masyarakat justru berkembang isu yang dimanfaatkan oleh elite politik lokal secara politik untuk keuntungan politik mereka, maka tiba-tiba Eva Bande dan kawan-kawan menghentikan mogok makan, dengan pertimbangan menjaga stabilitas keamanan di Kabupaten Banggai. Seluruh petani dan Eva Bande yang terpenjara itu kembali mengikuti proses persidangan yang memuakkan, karena sudah sejak awal diyakini akan berbuah petaka bagi mereka. Asumsi bahwa Eva Bande, Moh. Arif, dan Nyoman Suwarna menjadi target Murad Husein ternyata terbukti. Sementara kepada Nasrun Mbau mendapat perhatian khusus dari Murad Husein mengingat kejahatannya di tanah adat dan lokasi baru yang dibelinya dari kepala desa saat Nasrun Mbau dipenjarakan seakan menjadi kompensasi. Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menuntut Eva Bande, Nasrun Mbau, Moh. Arif, dan Nyoman Suwarna 3 tahun 6 bulan. Lewat perjuangan yang panjang dari kawankawan pengacara pembela rakyat yang tidak mendapatkan kompensasi honor serupiahpun, para petani dan Eva Bande mendapat pendampingan yang intens dan sangat melelahkan (mengingat jumlah mereka yang tidak sedikit). Nasrun Hipan, S.H. dan Sukirlan Sandagang S.H. pengacara senior di luwuk kepada mereka patut mendapat penghargaan yang tidak terhingga atas dedikasi mengawal kepentingan hukum para petani dan Eva Bande. Secara khusus pula, Maharani Caroline, S.H., direktur LBH Manado yang telah rela meninggalkan keluarga dan anak kembarnya yang masih bayi selama berbulan-bulan bertahan di Luwuk untuk mengawal proses persidangan Eva Bande dan Petani Toili, kepada saudari ini tentu mesti mendapatkan penghargaan yang tidak dapat dibandingkan dengan nilai uang berapapun banyaknya. Toh, mereka semua tidak mengharapkan itu, dengan dedikasi dan ikhlas yang tinggi seluruh proses persidangan dapat dilalui. Sayang sekali, semakin nyatalah, UANG dan KEKUASAAN terbukti merupakan kekuataan yang tiada taranya di dunia hukum, dunia politik, bahkan dunia aktivisme. Eva Bande divonis 4 tahun penjara (lebih dari tuntutan jaksa), Nyoman Suwarna divonis 3 tahun 6 bulan, Nasrun Mbau diputus Bebas, dan Moh. Arif pada 30 Desember 2010 divonis 3 tahun 6 bulan. Seperti diasumsikan sebelumnya, Nasrun Mbau memiliki catatan sendiri dalam diary Murad Husein, dan menghapus sama sekali keturutsertaannya dalam tuntutan jaksa sebelumnya dalam pasal Penghasutan itu. Inilah buah dari perjuangan rakyat Toili. Oleh para penentang keadilan bagi rakyat tentu dipandang sudah cukup menghentikan upaya-upaya perlawanan petani.

42


Semangat perjuangan tidak padam dan tidak akan pernah padam, bahkan terus menerus menyala di hati dan pikiran rakyat Toili, mereka justru tersadarkan dari apa yang mereka alami. Mereka kini tidak lagi menaruh harapan kepada seluruh aparatus pemerintahan dari berbagai jenjang, bawah sampai atas. Keadilan tidak akan diperoleh lewat persidangan, bukan pula diberikan oleh Polisi, Tentara, Jaksa, Pemerintah Daerah, dan DPRD. Keadilan harus direbut sendiri oleh petani, kemerdekaan sejati itu hanya dapat diraih dengan kekuatan sendiri. Semangat inilah yang sedang begitu kuatnya tertanam disanubari mereka saat ini. Pernyataan Eva Bande dalam sebuah suratnya kepada petani Toili 2 bulan awal dalam penjara menjadi sumber semangat yang selalu mereka ingat dan catat dalam jiwa perlawanannya. “Jangan Pernah tunduk kepada Tirani, jangan pula tunduk pada rasa sedih kita, jangan pula dilemahkan oleh terpenjarakannya kami‌ Negara ini berdiri di atas Mandat Rakyat, nyata-nyata telah menindas pemilik kedaulatan sejati. Maka kita harus meluruskan sejarah itu. Sekali melawan tetap melawan. Seberat apapun tantangannya, tak boleh ada pilihan-pilihan moderat, maka semangat kita harus lebih besar dari tantangan itu sendiri‌.!â€? Proyeksi ke Depan yang tak Pasti Berangkat dari apa yang sudah terjadi, yang sekarang terjadi, dan yang mungkin akan terjadi, seperti apakah upaya perlawanan petani nantinya? Pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang segera, karena kejahatan-kejahatan PT KLS terus berlangsung hampir tanpa jedah diselingi kegiatan-kegiatan beramal. Salah satu kegiatan amal yang dikampanyekan luar biasa di koran lokal adalah pembangunan masjid di Desa Bumi Harapan, yang dinyatakan sebagai wujud kepedulian terhadap rakyat lewat koran lokal. Padahal itu sudah menjadi kewajiban perusahaan sejak desa ini menjadi lokasi Trans-HTI yang tidak dipenuhi PT BHP belasan tahun silam. Perusahaan juga diberitakan membangun tanggul di Toili Barat, juga dianggap kepedulian Murad Husein setelah melalui PT BHP bantaran sungai dibabat habis dan mengakibatkan banjir beberapa kali di Toili dan Toili Barat. Sementara itu di SM Bangkiriang sang Kuasa Modal memenggal hutan, mengelola kayunya, dan menanami sawit akhir tahun 2010, dan membabat habis hutan di wilayah Desa Singkoyo seluas kurang lebih 200-an Ha.

43


Foto diambil pada bulan Desember 2010. Tampak Pal SM Bangkiriang, alat berat PT KLS, Kayu-kayu yang diolah untuk diuangkan, dan hutan yang habis dibabat. Aneh sekali pelanggaran ini dibiarkan meski terdapat bukti yang nyata sekali.

Bisa dibayangkan dan segera menjadi bahan pertimbangan untuk perjuangan petani. Murad Husein pemilk PT KLS maupun PT BHP yang telah menguasai Hutan dan tanah di Dataran Batui-Toili-Toili Barat, telah menguasai pula pemerintah desa, kecamatan, kabupatan, telah menguasai pula aparat kepolisian dan TNI, telah menguasai pula lembaga peradilan dan kejaksaan. Ini adalah fakta yang sudah sangat nyata terjadi di Kabupaten Banggai. Kalau semua elemen pemerintahan sudah dikuasai, kepada siapa lagi rakyat berharap keadilan? Kalau kekuatan Organisasi Non-pemerintahan/LSM terlepas dari komitmen kerakyatan dan pembelaan yang konsisten, kepada siapa lagi rakyat berharap mendapat pendampingan. Lalu, pertanyaan kepada rakyat: kalau seluruhnya itu baik organisasi pemerintahan dan organisasi non pemerintahan tak bisa mereka harapkan, apakah segala nestapa akibat penindasan yang akan berdampak kelak kepada anak cucu dan generasi berikutnya dibiarkan saja, didiamkan saja, atau dinikmati saja sebagai takdir....? Bila pertanyaan itu diminta jawabannya kepada organisasi pemerintahan mungkin jawaban yang diberikan adalah seirama atau identik (sekadar mengira saja): tidak demikianlah sebenarnya, kami pemerintah sudah berupaya maksimal tetapi itulah hasilnya, tetapi kami terus berupaya (maksudnya membujuk Kuasa modal....?). Kalau kepada organisasi non pemerintahan (Ornop/LSM) tentu jawabannya bisa bervariasi sesuai latar belakang dan kepentingannya, yang pasti semua setuju dengan jawaban: Rakyat Bersatu Tak Bisa dikalahkan. Meskipun mereka ada di luar sekadar mengamati dan menganalisis, atau mereka ada bersama rakyat untuk sekadar 44


berkunjung, mengambil data, dan sejenisnya, atau mereka ada bersama rakyat saat diminta kehadirannya, atau mereka ada di rakyat ketika sesuai dengan program kerja dan wilayah kerja serta isu yang dikawalnya, dan sebagainya. Mungkin saja karena organisasi-organisasi non pemerintahan ini beranggotakan rakyat biasa yang berusaha bertahan hidup dengan isu dan kepentingan masing-masing di arena perebutan akses dan sumber daya hidup yang semakin langka, di luar sektor riel. Kalau pertanyaan itu diminta jawabannya kepada rakyat tentu jawabannya hanya bisa dilihat dari kenyataan hidup yang mereka alami sehari-hari, apakah yang telah mengorganisir diri, sedang diorganisir, sedang ditindas, sedang dipenjarakan, atau sedang berlawan. Sikap dan mental tidak bisa dibaca, dan sulit mereka jelaskan karena merekalah yang mengalami semua penderitaan itu, sampai-sampai sulit menjawab pertanyaan paling mudah sekalipun. Bait lagu ini mungkin dapat menenangkan hati mereka yang terluka... DISINI NEGERI KAMI..TEMPAT PADI TERHAMPAR LUAS.. SAMUDRANYA KAYA RAYA NEGERI KAMI..SUBUR TUHAN... DI NEGERI PERMAI INI..BERJUTA RAKYAT BERSIMBAH LUKA ANAK KURUS TAK SEKOLAH PEMUDA DESA TAK KERJA MEREKA DIRAMPAS HAKNYA.. TERGUSUR DAN LAPAR.. BUNDA RELAKAN DARAH JUANG KAMI... PADAMU KAMI BERJANJI... Hidup Rakyat, Jayalah Petani Demikian

45


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.