Berkata: Lika-liku Sepur Garut

VOLUME 01 | MEI 2019

Rp. 60.000

BERKATA Serius, Menggelitik.

LIPUTAN KHUSUS

LIKA-LIKU SEPUR GARUT

Dibalik Proyek Ambisius Reaktivasi Jalur Kereta Api

BERKATA Kini Hadir dalam Versi Online!

12.21

B ONLINE

100%

BERKATA ONLINE

Tetap Serius, Menggelitik

Beranda Politik Nasional Meme

Menu

Peninggalan Jalur Mati Cibatu - Cikajang Mulai Tersingkap dari Persembunyian Setelah hampir 40 tahun lamanya, jalur mati yang menghubungkan Garut Selatan ini akan kembali di buka, bagaimana persiapannya?

7 menit yang lalu

Reaktivasi Jalur Kereta Api

Sejarawan Kereta Api Ibnu Murti: Kereta adalah Transportasi Terbaik

Sempat Tutup Sementara Tahun 1982, Setelahnya tidak kembali

Lihat Semua

Warga Terdampak Bersatu Menuntut Ganti Rugi Setimpal

Reaktivasi Ditargetkan Rampung pada Awal Tahun 2020

Video Pilihan 1. Visual Spesial: Tong Satan - 01.50 2. PressCon Pasca Pemilu - 10.00 3. Investigasi Bimbel Mahal - 05.23 4. Penelusuran Rel-Rel Mati - 06.44 5. Pilihan Redaksi Pekan Ini - 01.00

Berkas Fakta yang Anda Perlukan Kini dapat Diakses Lebih Cepat!

DAFTAR ISI

Catatan Redaksi

BERKATA Ia lahir sebagai Berkas Fakta, namun ia biasa disapa sebagai BERKATA. Tidak banyak berbeda dari majalah jurnalistik lainnya, kami mengumpulkan, mengolah, dan menyampaikan fakta sehingga bisa sampai di mata, hati, serta pikiran masyarakat. Apa yang membuat kami berbeda? Kami membuat laporan seputar politik, hukum, dan keamanan yang berasaskan kemanusiaan serta pas untuk anak muda yang kritis akan isu ini. Penyajian yang serius, namun selalu diterima di hati para pembacanya. Menggelitik, dengan berbagai foto, infografis, serta karya seni lainnya yang membuat gambaran hidup yang nyata namun menghibur.

Kami dari BERKATA menyajikan berbagai tulisan yang terbagi dalam rubrik Liputan Khusus, Berujar, dan Berucap. Melalui sajian tersebut, menarik dan hangatnya tulisan akan dipadu dengan infografis serta foto yang memanjakan mata dan pikiran.

Lalu, apa saja yang menjadi pembeda besar di antara ketiganya? Sila cari tahu dengan mengulik majalah ini. Rubrik lainnya adalah Tanya dan Jawab yang merupakan tulisan khas wawancara. Terakhir, rubrik Katanya yang merupakan guratan opini dari ia yang berhak dan berkompeten atas isu terkini. Foto esai juga akan dibungkus di rubrik Rekaman Gambar yang bertujuan menggugah mata untuk memekakan hati untuk terus merasa.

BERKATA Serius, Menggelitik Selamat Menikmati sajian-sajian terbaik kami dalam majalah ini!

Kesan dan pesan dari kami para penyusun majalah ini untuk Anda sebagai pembaca dalam membaca dan menikmati majalah ini, sila dilihat!

Oleh Erlangga Pratama

Liputan Khusus: Lika-Liku Sepur Garut 01 Ada apa dibalik proyek ambisius pemerintah mereaktivasi jalur kereta api antara Cibatu - Garut?

Oleh Erlangga Pratama dan Muhamad Foriesta Al Ghaniy

Atraksi Tong Stand, Ketika Nyawa Hanya Sebatas Geberan Motor 11 Tong Stand merupakan salah satu hiburan menarik di tiap pasar malam, namun bagaimana regulasi mengaturnya?

Oleh Muhammad Refi Sandi dan Quadiliba Al-Farabi A.S

Tanya dan Jawab: Guratan Sejarah Sepur Garut 17 Sejarawan Kereta Api berbicara tentang bagaimana sejarah rel kereta api menembus Garut dan Indonesia secara umum.

Oleh Muhamad Foriesta Al Ghaniy

Perdagangan orang, Tak Disadari Kerap Terjadi 21 Perdagangan manusia masih menjadi isu yang menarik perhatian dunia, namun seberapa jauh kita mengetahuinya?

Oleh Naufal Ikbar dan Refda Fachriza Malta

Abu-abunya Aturan Bimbel di Indonesia 29 Bimbingan belajar merupakan alternatif bagi para pelajar yang memiliki kesulitan belajar maupun tengah menghadapi tes, namun bagaimana sebenarnya hukum mengatur tentang ini?

Oleh Sabila Reformasita Arianti dan Shynta Dewi Yuliani

Teka-Teki Silang 34 Sedikit hiburan bagi Anda yang senang berpikir

Lawan Gurumu, Kau Murid Budiman! 37 Fenomena kekerasan terhadap guru kian marak belakangan ini, bagaimana kemudian tanggapan dari para ahli atas fenomena ini?

Oleh Wicaksono Tri Kurniawan dan Muhammad Naufal

Katanya: Jangan Rusak Hakekat Pemilu Sebagai Entitas Pelayanan Publik 43-45 Pemilu 2019 menyisakan beragam polemik, Adrianus Meliala mengkritik Pemilu melalui tulisan opininya.

Oleh Adrianus Meliala

Anak dan Remaja Menjadi Target Kekerasan 47 Cyberbullying merupakan kasus yang serius, namun di Indonesia permasalahan ini masih di pandang sebelah mata, bagaimana tanggapan mereka yang berkecimpung di penanganan Cyberbullying?

Oleh Syifa Shania Amadea dan WIka Meriyati

Rekaman Gambar: Mayday, Sebuah Tuntutan Klasik yang Tak Kunjung Usai 53 Mayday 2019 di Bandung kali ini memiliki cerita tersendiri. Bidikan lensa kami mengabadikannya.

Oleh Refda Fachriza Malta

i

“I have always found that mercy bears richer fruits than strict justice” - Abraham Lincoln

Ilustrasi oleh: Freepik

CATATAN REDAKSI

BERKATA Serius, Menggelitik

Pemimpin Redaksi Erlangga Pratama 210610160011

Redaktur Pelaksana

Simpati, Empati, dan Bergeraklah!

Selamat datang di BERKATA! Edisi pertama BERKATA telah rampung, oleh karenanya mari sama-sama mencemplung. Edisi pertama BERKATA sila dibaca, oleh karenanya siap disajikan kepada pembaca. Edisi petama BERKATA telah hadir untuk memanjakan mata, hati, dan pikiran masyarakat terkhususnya anak muda yang kritis akan isu politik, hukum, dan keamanan. Dibalut dengan lika-liku humanisme dalam setiap tulisan, membuat tiap kata-kata yang muncul menjadi dalam dan padat, namun juga menarik untuk terus dibaca. Dibaca, lalu dihayati, untuk kemudian bersimpati, apalagi berempati.

Tulisan, foto, dan infografis telah hadir menghiasi setiap lembaran BERKATA. Liputan khusus kali ini menampilkan jejeran laporan mengenai reaktivasi jalur kereta api

di Cibatu – Garut Kota yang akan membawa kita masuk lebih dalam ke pergulatan hati masyarakat yang terdampak.

Pemerintah membangun, untuk meningkatkan masyarakat. Namun demikian, masyarakat yang mana? Apabila masyarakat kelas bawah malah terkena dampak pembangunan. Lebih tepatnya, kerak hitam pembangunan. Masyarakat yang menempati jalur kereta api lama yang akan diaktifkan dipaksa angkat kaki, diberi uang sedikit, dan dihiraukan nasibnya. Masyarakat kebingungan, ada yang menolak, ada juga yang pasrah mengintip masa depan yang dijanjikan PT Kereta Api Indonesia.

Kami juga menyaji proses rektivasi jalur kereta api dari keuntungan serta sejarah sehingga padu.

Melalui infografis informatif, foto menarik, dan tulisan ciamik, diharapkan akan menyentuh hati serta sikap anak muda untuk peduli. Dan, bergerak.

Isu-isu lainnya seperti kisah humanis pekerja Tong Stand beserta hak-haknya sebagai manusia akan dibahas. Perdagangan manusia untuk kemudian dijadikan pekerja seks komersial pun akan kami ulas dengan tajam. Bimbingan belajar? Apakah sudah sesuai dengan regulasi yang ada? Patut dilihat.

Fenomena pendidikan yang sedang hangat seperti rundungan murid terhadap gurunya juga akan kami ulik dari segi penegakan. Tulisan terakhir, rundungan di masa kini, rundungan media sosial, cyberbullying akan menghiasi BERKATA edisi pertama.

Foto esai akan diisi oleh sisi gelap anak muda, tepatnya sisi gelap anak muda di peringatan Hari Buruh tahun ini. Dengan pembawaan yang menjunjung humanisme, foto esai akan mengucapkan banyak kata tanpa harus banyak berbicara.

Inilah kami, BERKATA edisi pertama. Mari-mari!

Naufal Ikbar 210610160046

Redaktur 1 Wika Meriyati 210610160036

Redaktur 2 Muhammad Refi Sandi 210610160026

Redaktur Artistik Muhamad Foriesta ‘Abdul’ Ghaniy 210610160077

Redaktur Foto Refda Fachriza Malta 210610160094

Reporter Sabila Reformasita Arianti 210610160001 Wicaksono Tri Kurniawan 210610160079 Shynta Dewi Yuliani 210610160069 Shyfa Shania Amadea 210610160012 Muhammad Naufal 210610160081 Quadiliba Al Farabi A.S 210610160002

iii

QUESTION EVERYTING! STOP PENYEBARAN HOAX! HOAX ADALAH MUSUH BERSAMA!

Ilustrasi oleh: Freepik

Lika-Liku Sepur Garut Reaktivasi jalur kereta api yang direncanakan pemerintah Provinsi Jawa Barat terlihat sangat indah untuk dirasakan.

Membayangkan lintasan sepur atau kereta api mengular di tanah Padjadjaran kembali berjaya, mengangkat masyarakat yang membawa harapan ekonomi di benaknya. Hanya saja, kini masyarakat yang tinggal di atas, kiri, dan kanan jalur kereta api harus menelan pil pahit karena terpaksa harus membongkar dan meninggalkan atap rumah yang sudah turun-temurun ditempatinya.

“Kuda besi itu berdiri lagi.

Terbangun dari tidur panjangnya.

Entah kapan terakhir kali hatinya sebahagia ini.

Bisa berlari lagi di jalur takdirnya.”

LIPUTAN KHUSUS

Erlangga Pratama dan Muhamad Foriesta Al Ghaniy

1

BERISIKNYA JERITAN PASAR MAWAR Tidak pernah sesenang ini rasanya tatkala mendengar kabar reaktivasi jalur kereta api yang akan mulai dikerjakan akhir 2018. Hal tersebut wajar, mengingat aku sangat menggemari semua yang berbau kereta api. Sejak kecil, aku sudah sering berpergian dengan ayahku menggunakan kereta api untuk sekadar jalan-jalan.

Koneksiku dengan kereta api tetap berlanjut hingga kini, mengingat setiap liburan aku selalu mengikuti kegiatan posko mudik pada lebaran dan tahun baru di Stasiun Kereta Api Bandung.

Reaktivasi jalur kereta api mulai memiliki dampak. Seperti diaktfikannya kembali jalur ke lintas Garut hingga Cikajang. Berbagai promo pun dikeluarkan pemerintah guna mempromosikan wacana untuk mengaktifkan jalur-jalur mati ini, seperti penggratisan dua rute kereta api baru mulai Januari-Maret, dengan harga promo Rp1.000. Aku pun tak ingin ketinggalan menikmati promo tersebut.

Perjalananku bersama reaktivasi jalur kereta api juga membuatku menelusuri jalur yang akan diaktifkan, khususnya dari Cibatu hingga Garut Kota, tentunya menggunakan motor merah Yamaha Mio-ku. Bermula dari Stasiun Cibatu, hingga bermuara di Stasiun Garut, eh maksudku Pasar Mawar. Ya, area bekas stasiun

Sebagian Pasar Mawar yang telah

Jembatan Cikoang, jembatan pertama di lintas Cibatu-Garut

2

yang sudah ditinggalkan tersebut dimanfaatkan masyarakat sekitar menjadi area ekonomi aktif lainnya, yaitu pasar. Meski demikian, guna menyongsong reaktivasi tersebut, nampaknya sebagian pasar khususnya yang terletak di bekas emplasemen Stasiun Garut kini sudah rata oleh tanah dan hanya menyisakan puing-puing sisa keberadaan pasar.

Berbagai bekas kayu dan keramik berserakan. Bekas jalur rel di Stasiun Garut pun mulai nampak.

Pun, juga plang pertanda aset bahwasannya bangunan dan area ini merupakan milik PT Kereta Api Indonesia (PT KAI).

Anak-anak berlarian, bak tengah menikmati luasnya lapangan desa.

Lembaran layang-layang pun diterbangkan, mengingat angin

selesai dibongkar, lokasi ini adalah bekas Emplasemen Stasiun Garut

sangat kencang waktu itu. Anakanak di sana tidak sungkan untuk meminta foto melalui kamera DSLR yang seharian aku kalungkan di leher. Saat terus menelusuri, terdapat seorang ibu yang sedang duduk dan bapak yang sedang menjajakan siomay yang menanyakan sesuatu kepadaku.

“Kapan terakhir harus dibongkar?” demikian inti dari apa yang mereka utarakan, sekaligus mungkin mereka menduga bahwa aku merupakan bagian dari PT KAI. Belum semua bagian pasar dibumiratakan. Sebelah timur dari Pasar Mawar yang sudah dibongkar masih berdiri, meskipun aktivitasnya cukup sepi di Sabtu (6/4/2019) siang saat aku datang.

Aku pun lalu mendatangi lapak milik Ato, seorang penjual bahan

pokok masakan yang saat itu sedang menata dagangannya agar selalu terlihat rapi. Menurutnya, rencana reaktivasi jalur kereta yang berimbas pada pembongkaran sudah berlangsung sejak 2017, namun mulai direalisasikan pada akhir 2018 di mulai dari pembongkaran Pasar Mawar yang berada persis di emplasemen Stasiun Garut.

“Gak ada sosialisasi. Kalau (disuruh) dibongkar ada pemberitahuannya, tetapi untuk sosialisasi dari awal ya nggak ada,” ujarnya saat ditanya soal ada tidaknya sosialisasi.

Ia pun dijanjikan uang bongkar atau kerohiman oleh PT KAI apabila sudah membongkar. Hanya saja, ia menganggap uang tersebut tidak cukup untuk menutup

besaran harga lapak atau jongko yang ia beli pada 2004.

“Ganti rugi di situ bukan untuk mengganti uang saat pas beli jongko, tapi kan gak sesuai jumlahnya. Dari dulu beli Rp8 juta, dibayar Cuma Rp1,5 juta per enam meter persegi,” kata Ato sembari sedikit menaikan intonasi suaranya. Uang kerohiman yang diberikan pemerintah antara lain 250 ribu rupiah untuk bangunan permanen dan 200 ribu rupiah untuk bangunan semi permanen.

Tidak hanya Ato, Imas pun masih betah berjualan di Pasar Mawar. Ia mengatakan, tidak ada yang diberikan oleh pemerintah atau PT KAI selain uang kerohiman. Padahal, ia lebih mengharapkan adanya relokasi tempat penjualan sehingga bisa dengan mudah menyambung hidup kelak.

“Relokasi nggak ada sih, hanya uang buat pengganti bongkaran,” ucap Imas.

Aku pun terus berjalan ke arah barat, menjauhi pasar mawar dan memasuki kawasan penduduk yang tepat bersebelahan dengan pasar.

Tidak ada keheningan di sana. Suara ramai diciptakan oleh anak-anak yang bermain. Pun, suara palu dan linggis silih berganti menghantam tembok rumah yang memekakkan telinga.

Ya, di sana beberapa rumah sudah dibongkar, bahkan ada yang sedang dibongkar.

Atiqah adalah salah satu warga di sana. Ia terlihat sedang gelisah menyaksikan rumah tetangga yang berada tepat di seberang rumahnya dibongkar. Menurutnya, pembongkaran sudah mulai diperintahkan sejak Desember. Masyarakat diberikan pilihan akan membongkar sendiri atau dibongkar oleh petugas PT KAI. Ia juga mengaku sudah mendapat uang kerohiman yang dijanjikan pemerintah.

Dari pedagang hingga warga yang aku tanya, mereka masih menunggu kejelasan kapan tenggat pasti pembongkaran, hal tersebut diakibatkan oleh tiadanya sosialisasi sejak awal, ujar Ato, Imas, dan Atiqah.

3

PAGUYUBAN MELAWAN KEPAHITAN Sejumlah warga Paguyuban Masyarakat Bantaran Rel Garut berdemonstrasi - Dok. Alimudin Kabar mengenai penolakan serta perlawanan terhadap reaktivasi jalur kereta api di Garut sempat ramai di media sosial serta beberapa kali disorot oleh media massa arus utama. Ada satu nama yang kerap kali disebut, mungkin ia sering bertindak sebagai juru bicara dari kelompok ini. Kelompok yang menamai diri mereka sebagai Paguyuban Masyarakat Bantaran Rel Garut (selanjutnya disebut Paguyuban) merupakan satu-satunya kelompok yang terekam dalam media massa daring sebagai kelompok yang cukup keras “menolak” proyek besar pemerintah ini.

Alimudin, merupakan satu nama yang sering disebut untuk dimintai keterangan oleh awak media massa. Melalui nama tersebut, aku pun berselancar di inter-

4

net untuk mengetahui bagaimana caranya agar aku bisa bertukar kata dengannya. Hingga akhirnya, Facebook pun mempertemukanku dengan Alimudin.

Setelah beberapa kali berbalas pesan di fitur Messenger Facebook, akhirnya aku pun berkesempatan untuk menemuinya di Garut, Selasa (30/4/2019). Awalnya aku akan bertemu dengannya di Universitas Garut, tempat ia mengajar. Namun, ia kemudian mengajakku untuk berbincang di rumahnya di daerah Tarogong Kidul, Garut.

Saat datang ke rumahnya, aku cukup terkejut melihat banyak sekali anak-anak usia 5-6 tahun berkeliaran di dalam rumahnya. Saat itu pun aku menyadari bahwa rumah yang ia tempati tidak hanya berfugsi sebagai tempat beristira-

hat, namun juga sekolah PAUD. Tempat bagi anak-anak masyarakat bantaran rel bersekolah.

Paguyuban didirikan sejak 2017 oleh Dindin Jaelani yang kini juga bertindak sebagai ketuanya. Kelompok ini tercipta saat itu akibat biaya sewa tanah yang dibayarkan kepada PT KAI meningkat drastis hingga lebih dari 100 persen. Sewa tersebut merupakan konsekuensi akibat masyarakat yang tinggal di tanah aset PT KAI. “Peningkatannya sampai lebih 100 persen, ada yang asalnya Rp100.000 jadi Rp.1 juta. Latar belakangnya ada peningkatan sewa tanah, nah ini pun tidak ada sosialisasinya. Dasar peningkatan sewa tanahnya bagaimana?” ujar Alimudin.

Ia menambahkan, kehadirannya dan warga

di daerah bantaran rel legal karena uang sewa tersebut. Semenjak jalur kereta api Garut dinonaktifkan pada 1982, banyak masyarakat khususnya yang kurang mampu datang untuk mendirikan rumah. Kabar reaktivasi jalur kereta api yang berdampak pada pengusiran mereka pun menyulut ide untuk berkumpul dan menguatkan Paguyuban.

Terhitung, pada 14 kecamatan yang terdampak reaktivasi, sudah terdapat 12 kepengurusan di setiap kecamatan. Anggotanya pun beragam, ada yang warga biasa hingga tokoh masyarakat.

Tuntutan dari Paguyuban terbagi beberapa bagian. Pertama, meminta rencana besar atau grand design dari proyek reaktivasi. Kedua, diadakannya manajemen proyek yang manusiawi kepada masyarakat yang ter-

dampak. Dengan demikian, ia ingin agar masyarakat dilibatkan dari proyek khususnya dalam perencanaan. Ketiga, ia ingin agar pemerintah membuat program pemberdayaan, pendampingan, atau pelatihan wirausaha sehingga bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan.

Terakhir, ia ingin adanya tempat relokasi di mana masyarakat yang terdampak disediakan rumah untuk kemudian dicicil. Alimudin menjelaskan, uang kerohiman sangat tidak efektif karena mindset masyarakat kebanyakan tidak berpikiran ke depan. Tambahnya, Paguyuban bahkan akan mendukung proyek ini apabila kesemua tuntutan tersebut setidaknya ada kejelasan.

“Karena mengganti uang kerohiman kenyataannya sudah, ada yang sudah

|Sekertaris Paguyuban Masyarakat Bantaran Rel Garut - Alimudin|

dapat Rp11 juta untuk dibelikan motor dan ngontrak. Ya langsung habis uangnya. Mereka jadi terbata-bata dan nangis karena saat kontrakan habis, motor sudah kemana, mereka tidak lagi punya uang,” ujar Alimudin yang juga dosen di Universitas Garut dan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Garut. Menurutnya, proyek reaktivasi jalur

kereta api tersebut tidak jelas informasinya. Tidak pernah ada sosialisasi, forum diskusi, dan atau presentasi uji kelayakan dari pemerintah atau PT KAI kepada masyarakat secara langsung.

Hal tersebut membuat Paguyuban mengadakan demonstrasi, mulai ke Kantor DPRD Kabupaten Garut pada Rabu (31/10/2018) dan ke Kantor Bupati Garut

(27/12/2019).

Paguyuban pun diterima oleh Komisi B DPRD Kabupaten Garut dan Bupati Garut, Rudy Gunawan, di dua kesempatan tersebut. Hanya saja, kedua pihak berdalih, reaktivasi merupakan proyek pemerintah provinsi dan pusat sehingga mereka tidak tahu banyak atau tidak memiliki kekuatan untuk menghambat proyek ini.

Meski demikian, Rudy berjanji akan menyurati Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil terkait tuntutan Paguyuban.

“Apa artinya pembangunan ya kalau hanya untuk masyarakat yang lebih besar. Kan kami juga termasuk bagian masyarakat,” pungkasnya padaku sambil menyuguhi secangkir kopi hitam panas yang telah disiapkannya untuk menutup percakapan kami siang itu.

Alimudin saat ditemui di kediamannya memaparkan tuntutan Paguyuban Masyarakat Bantaran Rel

5

PENGHUNI TERAKHIR STASIUN WANARAJA Kabar mengenai reaktivasi jalur kereta api di Cibatu – Garut Kota membuatku bersemangat menelusuri jalur kereta tersebut untuk sekadar mengetahui kondisi dan objek foto. Bermula dari Stasiun Cibatu yang masih beroperasi, perjalananku berlanjut ke stasiun mati bernama Stasiun Pasirjengkol. Layaknya gedung yang tidak digunakan lagi, stasiun tersebut benar-benar terlihat rusak. Tembok yang mengelupas sehingga menampakkan bata hitam, bau bangkai tikus yang cukup menyengat, hingga lantainya yang sudah dilapisi tanah liat.

Perjalananku berlanjut ke arah Garut Kota. Sabtu (6/4/2019) siang itu panasnya cukup menyengat, namun di tengah perjalanan aku menemukan satu stasiun mati lagi yang terletak di Kecamatan Wanaraja. Memasuki jalan perumahan warga, Stasiun Wanaraja terletak di ujung jalan yang ditandai dengan meluasnya persawahan padi.

Ada satu hal yang kutemukan di sana, yang membuat Stasiun Wanaraja berbeda dengan Pasirjengkol. Yaitu kehidupan yang dibalut kehangatan.

Aku terkejut tatkala melihat ada satu keluarga yang tinggal di dalam stasiun.

Meskipun bukan dalam keseluruhan isi stasiun melainkan hanya bagian mess stasiun, tentunya hal tersebut nampak kontras dengan apa yang aku amati di Stasiun Pasirjengkol. Di belakang stasiun, tepat sebelah pintu masuk mess, terdapat perempuan parubaya dengan tawa kecilnya sedang bersenda gurau dengan seorang anak kecil.

Ia adalah Euis Purnamawati. Perempuan lanjut usia berusia 69 tahun yang hingga kini menempati mess Stasiun Wanaraja. Tidak hanya menampati, ia merawat serta menjaga kondisi mess agar tetap terlihat seperti kondisi pertama kali ia menginjakkan kaki di mess ini. Tentunya, saat suaminya, mantan Kepala Stasiun Wanaraja masih bertugas. Kini, Euis hanya tinggal bersama satu anaknya, menantu, serta cucunya.

“Sudah 32 tahun. Dulu udah di kasih dari PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) sebelum punya rumah. Katanya di sini aja, jangan ke mana-mana,” jawab Euis saat ditanya perihal sudah berapa lama tinggal Stasiun Wanaraja.

Guna melanjutkan hidup, Euis hanya bisa mengandalkan uang pensiunan dari PT KAI atas jasa suaminya sebagai Kepala Stasiun Wanaraja. Meski

Euis Purnamawati saat menceritakan kisahnya merawat Stasiun Wanaraja

6

demikian, ia mengeluh terkadang sulit sekali untuk bisa menghidupi keluarga menggunakan uang pensiunan ini. Oleh karena itu, terkadang ia menjual beberapa barang yang bisa dijual di stasiun, tentunya barang yang bukan menjadi aset PT KAI. Selain itu, anaknya Dedi Hidarusman yang tinggal di rumah kecil seberang mess stasiun bersama keluarganya setiap minggu memberikan uang hasil kerjanya sebagai penjual nasi bungkus.

Direktur Utama (Dirut) PT KAI, Edi Sukmoro, pernah sekali hadir mengunjungi Stasiun Wanaraja pada akhir 2018. Ia dijanjikan uang akibat jasanya merawat stasiun ini. Hanya saja, hingga kini kabar tersebut tak kunjung terealisasikan.

“Tapi waktu kemarin-kemarin ada petugas, stasiun dan tanahnya diukur. Cuma belum tau kabarnya pas ibu tanya,” ungkap Euis.

Euis juga menjelaskan bahwa banyak orang ke sini untuk menawar furnitur hingga barang khas Belanda. Hanya saja, ia tetap berteguh untuk tidak menjual barang yang menjadi aset PT KAI. Kini, Euis hanya bisa menunggu kabar masa depan yang dijanjikan oleh Edi Sukmoro sembari terus bermain dengan cucunya. Dan tentunya, terus merawat stasiun Wanajra hingga di kemudian hari kelak saat ia harus angkat kaki.

Stasiun Wanaraja (+692M) merupakan salah satu stasiun pada petak Cibatu - Garut

REAKTIVASI JALUR KERETA API MENGGENJOT EKONOMI

Sebuah jembatan kereta api yang tersembunyi diantara rumah-rumah warga Perjalananku untuk menelusuri reaktivasi jalur kereta api di Cibatu – Garut Kota belum berhenti. Rasa penasaranku membawaku ke Kampus Perjuangan, Institut Teknologi Bandung (ITB).

Di sana aku bertemu dengan pengamat transportasi yang juga guru besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) ITB, Ade Sjafruddin. Di dalam kantornya, aku mewawancarainya di sela waktu istirahat siangnya pada Senin (29/4/2019).

Baginya, pengaktifan jalur kereta api ini merupakan langkah positif pemerintah yang akan meningkatkan perekonomian masyarakat khususnya di Garut. Tambahnya, dengan adanya kereta api maka mobilitas orang dan barang khususnya hasil tani dari Garut ke Bandung dan kota besar lainnya akan sangat menguntungkan. Selain itu, bagi pemerintah sendiri pengembangan angkutan kereta api dinilai lebih efektif dibandingkan angkutan lain khususnya darat yang sudah padat oleh kendaraan.

“Saya kira jalan rel adalah dari segi transportasi di darat baik penumpang maupun barang merupakan yang paling baik dari banyak aspek, paling

efisien dari sisi kapasitas, juga besar penggunaan bahan bakar paling hemat per penumpang atau per ton barang yang diangkut.,” ucap Ade. Ade juga menambahkan apabila rencana reaktivasi jalur kereta api sudah terhendus sejak 25 tahun yang lalu, khususnya di Jawa Barat. Hanya saja, program ini selalu terbentur oleh biaya yang sangat besar seperti mengganti rel lama, renovasi stasiun, hingga mengurusi masalah sosial menyangkut masyarakat yang tinggal di sekitaran rel kereta api.

Selain terkendala dana, pemerintah juga sebelumnya lebih fokus untuk mengembangkan transportasi darat di jalan umm terkhususnya sejak Repelita Pertama di Orde Baru. Bergantinya pemerintahan baik negara maupun provinsi juga membuat program reaktivasi pun turun-naik mengingat setiap pemerintahan memiliki perhatian yang berbeda dengan kereta api.

Masalah sosial khususnya menyangkut yang terdampak reaktivasi jalur kereta api juga menjadi perhatiannya.

Katanya, masyarakat yang menempati tanah milik PT KAI tidak ingin diganti dengan uang ganti rugi, namun uang

ganti untung.

“Menganggapnya karena sudah puluhan tahun menempati jadi kaya milik sendiri. Ya tentu saja masyarakat selalu ingin dia dapatkan biasanya bukan ganti rugi tapi ganti untung,” tutup Ade. Dari Bandung, perjalananku berlanjut ke Jatinangor, Sumedang.

Di Kampus Universitas Padjadjaran (Unpad), aku bertemu pengamat kebijakan publik sekaligus Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpad, Budiman Rusli. Senada dengan Ade, ia berujar apabila reaktivasi jalur kereta api akan berdampak pada peningkatan ekonomi, mengurangi beban di jalan raya, hingga menggenjot sektor pariwisata.

Menurutnya, konflik sosial yang terjadi bisa diatasi apabila PT KAI mau mendengarkan keluhan masyarakat, khususnya perihal ke mana mereka akan pergi setelah rumahnya dibongkar. Hal tersebut lah yang tidak dilihat oleh Rusli selama program ini berlangsung.

“Ya, jadi kalau solusi menurut pemikiran saya, pemerintah bisa membangun atau menempatkan mereka di Rusunawa atau rumah susun sewa yang oleh pemerintah di bangun terlebih dahulu dan bekerja sama dengan pemerintah setempat,” tutur Rusli menutup sesi wawancara yang terjadi siang itu.

9

Atraksi Tong Stand, Ketika Nyawa Hanya Sebatas Geberan Motor Salah satu wahana berbahaya yang biasa ada di pasar malam.

Kata berbahaya justru yang membuatnya semakin ramai. Padahal di balik itu semua, tong stand meninggalkan kisah yang cukup membuat kita mengelus dada, di antaranya joki yang mengais rezeki dengan pengalaman kecelakaan berkali-kali, namun tanpa jaminan keselamatan.

“Aku adalah penampil, yang dibayar dengan tepuk tangan Aku adalah penampil, yang perlu terlihat tampan di hasil jepretan Aku adalah penampil, yang susah payah curi perhatianmu.”

BERUCAP

Muhammad Refi Sandi & Quadiliba Al-Farabi A.S

11

Beraksi Tanpa Alat Pelindung

Suara bising terdengar saat tiba di pasar malam yang berada di Magetan, Jawa Timur, Sabtu (13/4/2019). Geberan motor yang tidak asing di telinga mendominasi riuh rendah suara pengunjung malam itu.

Suara tersebut tak lain berasal dari salah satu wahana ekstrem di sana yaitu “Tong Stand” atau biasa dikenal “Tong Setan”. Terdapat dua joki yang mulai beratraksi mengitari tong raksasa dengan kemiringan sekitar 90 derajat. Tanpa helm dan alat pelindung apapun, dua joki bernama Arie dan Chandra alias Pentil melakukan atraksi lepas tangan dengan penuh keyakinan.

Tak sampai di situ, dua

joki ini saling bergandengan tangan sebagai bentuk atraksi yang lain.

Mengherankan memang, tanpa rasa takut, pusing, ataupun mual mereka tetap tersenyum selama di atas. Sesekali mereka mengencangkan geberannya untuk meminta para penonton memberikan saweran. Suara yang memekakkan telinga pun menggaung di sekitar arena permainan.

Pengunjung terlihat antusias di sana. Meski selama jalannya atraksi, tak pernah lepas kedua tangan menutupi telinga. Kedua mata dari setiap pengunjung pun terus mengikuti putaran motor. Sesekali mereka mengeluarkan uang sebesar Rp5.000

sampai Rp20.000. Ada yang memberi dengan menyodorkan tangan, menyelipkan di antara sela lintasan, hingga melemparkan ke bawah.

Padahal sebelum masuk wahana, mereka sudah membayar tiket sebesar Rp10.000.

Berawal dari penasaran, mereka mendapatkan kesempatan untuk mengasah kemampuan untuk mengitari tong raksasa di atas kuda besi. Keberhasilan mereka mengitari tong raksasa tidak lepas dari pengalaman yang mereka miliki. “Ya kalau saya ada sekitar 13 tahunan 2006 sampai sekarang, awalnya penasaran, memang pusing.

Tapi, pusingnya ilang lama kelamaan mentaln-

ya ada yaudah langsung tampil,” sambung Arie.

Atraksi ini memang jauh dari kata ‘aman’ tidak jarang kedua joki mengalami cidera ringan maupun serius akibat terjatuh. “Saya sempet jatuh lalu sendi tangan saya bergeser,” tutur Pentil.

Mereka tetap memilih tidak memakai alat pelindung apapun. Dengan alasan menggangu keseimbangan, mereka tetap melakukan atraksi tanpa alat pelindung apapun.

“Kalo pakai helm, nanti gantengnya ga kelihatan.

Ribet juga kalo pakai helm menggangu penglihatan, terus keseimbangan terganggu,” ujar Arie sambil bersenda gurau dengan rekannya itu.

Joki Tong Stand, Arie (Hitam) dan Pentil (Biru) beraksi di hadapan pengunjung atraksi Tong Stand.

12

Dua motor yang digunakan dalam atraksi Tong Stand terparkir dalam arena.

Selain pengendara yang memiliki skill ‘khusus,’ motor yang digunakan dalam atraksi tong stand juga memiliki penanganan yang khusus. “Untuk motor harus menggunakan yang 2 tak apapun jenisnya agar dapat narik keatas dengan gampang,” tutur Arie. Dari segi mesin memang tidak mengalami banyak perubahan, namun bila tuas gas ditarik tidak bisa kembali secara otomatis sebab tuas gas harus diikat dengan seutas tali. Fungsinya agar motor dapat melaju dengan kecepatan stabil ketika melakukan manuver. Di samping itu, rem depan dan belakang juga dihilangkan. Untuk menurunkan kecepatan dan mengkentikan motor, Pentil hanya mengandalkan gigi transmisi saja. “Takutnya kalau nginjak rem bisa Peminat atraksi para joki ini memang cukup banyak. Dalam sekali putaran kurang lebih sepuluh menit para joki tong dapat meraup rupiah yang lumayan banyak. Adapun sumber pemasukannya dari tiket maupun saweran dari para penonton. Penonton tong stand dapat menyawer para joki dengan berbagai cara seperti melipat uang lalu ditancap pada dinding tong atau dapat pula dengan sembari menjulurkan tangan ke arena dan salaman dengan para joki. Besaran saweran memang tidak bisa ditentukan karena memang seikhlasnya dari penonton, tak jarang ada yang menyawer Rp.50.000.

langsung jatuh mas, jadi memang butuh ketangkasan,” ujar pentil.

Selama melakukan atraksi tong stand Pentil juga pernah mengalami kecelakaan. Peristiwa naas tersebut terjadi tepat setahun lalu. Kebetulan lokasinya juga di acara buka giling pabrik gula di Magetan, Jawa Timur.

Untungnya luka yang ia alami tidak terlalu parah, jadi di hari berikutnya Pentil bisa kembali memacu kuda besinya di arena tong stand. Jika terjadi kecelakaan kerja, pemilik pasar malam pun tidak tinggal diam atau lepas tanggung jawab begitu saja. “Jika celaka ditanggung sepenuhnya oleh bos,” ucap Pentil.

Tak hanya bentuk uang, saweran dapat berupa sebungkus rokok bagi para joki hal tersebut disyukuri.

Namun, tak jarang di kala hujan, wahana pasar malam termasuk tong stand sepi pengunjung. Dikala pengunjung sepi pengelola tak jarang harus menombok.

Soal pendapatan, Pentil mengaku mendapat 25% dari keuntungan per hari itu pun masih dibagi dengan Arie. “Kalau di sini, rata-rata per hari bisa sampai 3 juta. Kalau malam minggu bisa sampai 5 juta. Itu semua tergantung cuaca hujan atau tidak,” ujar Pentil. Namun, dari pendapatan yang banyak tentu tak sebanding dengan resiko yang harus diterima jika terjadi kecelakaan saat beratraksi.

Arie (Hitam) dan Pentil (Biru) menghitung uang saweran dari pengunjung.

13

Mengais Rezeki Tanpa Jaminan Asuransi Kedua Joki Tong Stand, Arie (Hitam) dan Pentil (Biru) beratraksi dengan tanpa alat keselamatan.

Arie dan Pentil tak hanya menjadikan alasan ekonomi mereka memilih profesi yang penuh risiko ini. Adanya bentuk tanggung jawab perihal keselamatan dari pengelola membuat mereka merasa aman dan percaya diri.

“Kalau di sini ya Alhamdulillah, juragan selalu menanggung kalau pekerjanya ada yang sakit, atau kecelakaan. Dulu saya pernah sakit padahal bukan karena kecelakaan kerja, tapi tetap dibantu,” ujar Arie.

Juragan yang dimaksud adalah seorang pengelola pasar malam yang bernama Dono. Ia mengaku para pekerjanya ibarat keluarga yang wajib dibantu. Itulah alasan utama ia tidak segan merogoh kocek demi keselamatan pekerjanya. ”Ya misalnya sakit atau kecelakaan saat di lapangan ya saya tanggung biaya pengobatan mereka,” ucap Dono.

Walau begitu bentuk jaminan yang diberikan pengelola tidak mengikat. Tidak adanya jaminan semacam asuransi untuk para pekerja. Hal tersebut bertolak belakang dengan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS Ketenagakerjaan.

“Sekarang tuh ada UU, ada BPJS Ketenagakerjaan. Jadi, harus ada asuransi untuk para joki tong stand tersebut,” ucap Didien Junaedy, Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).

GIPI merupakan lembaga yang menaungi Asosiasi Rekreasi Keluarga Indonesia (ARKI), lembaga yang berkoordinasi dengan para pengusaha tempat rekreasi termasuk pasar malam. Didien menyampaikan, bagi pihak pengusaha yang tak mendaftarkan pekerjanya di BPJS akan mendapat sanksi sesuai Perpres No. 86 Tahun 2013.

“Bisa disidang itu di pengadilan sesuai sanksi yang berlaku,” tegas Didien.

Pihak pengelola pun angkat bicara, “Saya tidak pakai asuransi, para joki terkadang beberapa bulan terus pergi sehingga akan kerepotan apabila saya mengikatnya dengan asuransi. yang ada saya akan rugi,” ucap Dono.

Dono pun merasa serba salah di sini. Di sisi lain, ia tak berani membuat perjanjian antara dirinya dengan para pekerja. Ia mengaku tidak mau membuat para pekerja merasa tidak nyaman dengan adanya formalitas semacam itu. Baginya, perjanjian tidak memberikan keleluasaan mereka dalam menentukan pekerjaan yang lebih layak ke depannya.

Hal itu diamini oleh Arie dan Pentil. Mereka merasa tetap diberi kelonggaran dalam mencari pekerjaan ataupun berpindah ke tempat lain. Namun, kebaikan juragan yang membuat mereka betah di sana. Beberapa kesepakatan di antara mereka lebih pada perilaku yang harus dijaga.

15

TANYA DAN JAWAB Sejarawan Perkeretaapian Indonesia, Ibnu Murti Hariyadi

GURATAN SEJARAH SEPUR GARUT Kecintaanku terhadap kereta api tidak hanya sekadar mengagumi mengularnya gerbong, merekam gambar sepur melalui kamera, hingga menelusuri jalur kereta api, namun juga sejarahnya. Berbagai penelusuranku membuatkuu bertanya-tanya, apa saja fenomena dan aktivitas yang pernah terekam dalam sejarah seputar jalur kereta api di Indonesia, terkhususnya Jawa Barat dan Garut.

Rasa penasaran membawaku ke Jakarta, ibukota Indonesia. Di bilangan daerah Cawang, tempat di mana gedung-gedung pencakar langit tumbuh. Salah satunya sebuah apartemen yang bernama Signature Park Grande. Ditemani keringat hasil kegerahanku atas suhu Jakarta, aku mengelilingi apartemen tersebut untuk mencari tahu, di mana kantor Masyarakat Perkeretaapian Indonesia atau yang kerap dipanggil Maska berada. Di kantor tersebut, telah menunggu sejarawan yang kelak akan menjawab semua tanya-ku akan sejarah kereta api di Indonesia.

Secara umum, seperti apa kehadiran perkeretaapian buat pembangunan Indonesia baik sebelum merdeka maupun sesudah merdeka?

Perkeretaapian pada Zaman Kolonial lebih berperan untuk mengangkut hasil-hasil perkebunan dari pedalaman ke pelabuhan.

Kemudian sebagai alat angkut militer misalnya di Aceh, di Semarang ke Jogja untuk membantu memadamkan pemberontakan di Jawa dan Solo, sedangkan perannya itu berubah dari sekedar alat angkut. Pada masa Indonesia merdeka menjadi alat perjuangan, jadi membantu pergerakan pasukan-pasukan Indonesia ke arah tempat pertempuran di Surabaya, itu kereta api ketika 10 November menjadi penting banget, jadi dia mengangkut laskar-laskar dari pinggiran kota seperti Mojoker-

Setelah berkeliling di lantai dasar apartemen, dekat dengan parkiran serta di belakang minimarket yang terlihat terlalu terang, kantor Maska terlihat. Tidak ada plang atau tanda yang menunjukkan keberadaan Kantor Maska, untung saja, aku mengintip sedikit di setiap ruangan. Seketika aku melihat satu majalah Maska tergeletak di salah satu meja di ruangan tersebut, maka aku tahu. Aku masuk dengan pelan, mengucapkan salam, dan langsung menuju ke meja Ibnu Murti Hariyadi, sejarawan kereta api.

Ibnu yang lahir pada 25 Agustus 1979 di Depok tersebut menyambutku dengan hangat. Melihat wajahku yang kelelahan menahan panas Jakarta sembari mengelilingi gedung ini, Ibnu menyodoriku air minum kemasan beserta sedotan plastiknya. Kami duduk bersama di sebuah meja panjang, berbincang soal perkerataapian Indonesia sebelum membahas tentang sejarahnya. Di tengah sejuknya pendingin ruangan, kami berbincang.

to, Sidoarjo, kemudian masuk ke Surabaya untuk membantu peristiwa 10 November itu.

Kalau boleh tahu, ketika pemerintahan Kolonial Belanda, siapa, di mana, dan tahun berapa dimulainya pembangunan kereta api di Indonesia?

Awalnya kan dari ide kereta api di bawa dari Belanda. Belanda sendiri kan kereta api di buat 1839, nah setahun kemudian ide tersebut di bawa dari golongan liberal Belanda ke Indonesia, pentingnya kereta api di Pulau Jawa, namun ada pro-kontra karena di perkirakan nanti kereta api malah jadi seperti negara di dalam negara, karena takuntya kan kereta itu lekat dengan politik di zaman Belanda itu. Pada zaman itu ada kelompok konservatif dan liberal Belanda, nah kelompok

konservatif itu menguasai parlemen Belanda, dia anti kereta api, sedangkan liberal itu pro kereta api.

Belanda pada tahun 1855, itu menjadi tonggak bagi perkembangan perkeretaapian di Indonesia, khususnya di Jawa, jadi angin perubahan mulai terjadi, ide yang tadinya dilarang, mendapatkan hambatan di parlemen, kini mendapatkan dukungan besar.

Akhirnya sejumlah peraturan di buat untuk mendukung pembangunan kereta api. Pada 1860 proposal pertama dari pengusaha perkebunan di Semarang itu mengajukan proposal, dan 1861 disetujui, kemudian 1862 direvisi, akhirnya 1863 di ketok, disetujui dan 1864-nya jadi pembangunan jalur kereta api pertama di Semarang Tanggung untuk sebuah perusahaan swasta.

17

Untuk pembangunan kereta api sendiri berarti menggunakan tenaga masyarakat pribumi saat itu?

Ya, kalau untuk mandornya kebanyakan dari, bukan mandor ya insinyur begitu, tukang gambarnya juga dari Belanda atau campuran begitu, kalau mandornya dari Cina, terus buruhnya dari pribumi.

Yang perlu saya garis bawahi di sini pembangunan kereta api bukan kerja paksa namun di bayar, jadi seperti buruh kontrak, kalau benar-benar kerja paksa itu waktu zaman Jepang berkuasa itu benar-benar dilakukan kerja paksa.

Begitupun dengan yang di Garut ya?

Yang di Garut lebih, ya, lebih, kalau di Garut sebenarnya lebih ke strategis juga, Cibatu itu kan bagian dari penyelesaian dari, Bandung – Garut – hingga ke Maos, bagian dari jalur Jakarta – Bandung – Jogja – Surabaya.

Kalau yang ke Cibatunya sendiri, Cibatu – Garut, dia juga ada faktor ekonominya juga. Jadi di situ banyak hasil perkebunan teh, kopi, saat yang sama, jalur di sepanjang Priangan Selatan dari mulai Bogor – Sukabumi – Cianjur sampai Tasikmalaya itu Pangandaran itu rupanya membuka

kan dahulu anak sekolah libur tiga bulan dari Juni, Juli, hingga Agustus, itu hotel-hotel penuh semua sepanjang Bogor – Sukabumi – Cianjur, yang di Garut itu juga selain wisata ada budaya tersendiri seperti Domba Garut atau adu domba, jadi sudah terkenal dari zaman Belanda.

Dan saat itu pembangunannya memang berfokus di Jawa atau Sumatera juga sudah ada, Kalimantan, Sulawesi juga?

Awalnya di Jawa, di Semarang sama Solo – Jogja, terus di Surabaya ada juga, di Batavia ada juga, jadi sporadis gitu. Kalau perkeretaapian swasta dia lebih banyak membangun jalur utara-selatan dari pantai ke pedalaman, jadi lebih ke arah ekonomi.

Namun sejak pemerintah kolonial ikut membangun jalan kereta api pada tahun 1875 itu selesai 1878, arahnya lebih ke strategis, menghubungkan kota-kota dari Batavia, Bandung, hingga Jogja, Surabaya.

bisnis baru yaitu Pariwisata sejak 1880-an.

kalau yang saya baca, misalnya di daerah Priangan itu pas sebelah bukit sudah digali, terus tiba-tiba besoknya tertutup lagi, gali tertutup lagi, jadi di daerah situ katanya sesajinya kurang. Namun insinyur Belanda sendiri penasaran. Dia tungguin itu galian malam-malam ternyata sesudah di gali tebingnya longsor menutupi galian karena hujan, jadi lebih ke arah situ, jadi mistis-mistis.

18

Apakah banyaknya turis internasional?

Ya, internasional jadi zaman Belanda itu Bogor – Sukabumi sampai Maos itu memang sepanjang kota-kota itu merupakan tempat wisata level internasional, mungkin satu level dengan Bali, di sana juga banyak hotel-hotel karena iklim di sana tidak jauh beda.

Pegunungan Jawa Barat tidak jauh beda dengan Belanda ketika musim panas jadi pas banget untuk orang Belanda liburan.

Kalau tiap liburan anak sekolah,

Kemudian sebenarnya dalam pembangunan jalur kereta ini adakah kendala yang ditemukan atau menjadi hambatan bagi pemerintah kolonial saat itu?

Kalau kendala, pembangunan terhambat karena urusan mistis ya,

Kemudian apakah benar Charlie Chaplin datang ke Garut karena kualitas alam-nya yang kelas internasional dan apakah benar sebagus itu hingga Char-

lie Chaplin datang ke Garut?

Ya, sebenarnya tidak hanya di Garut saja, tapi itu satu rangkaian, Bandung dengan pusat satu rangkaian Paris Van Java itu dari Bandung orang bisa ke Garut, bisa ke Cianjur, ke Sukabumi, dan Garut adalah salah satu tujuan.

Jadi ibaratnya satu paket, Charlie Chaplin juga waktu itu memang mendengar katanya Garut bagus, pas dia mampir ke Bandung dia memang niat untuk datang secara khusus ke Garut, bahkan dia datang dua kali.

Selain Charlie Chaplin, adakah tokoh terkenal lain yang datang?

Ada namanya, perempuan, saya lupa namanya, artis Hollywood juga, dia sempat di Bandung juga, terus mampir ke Garut. Biasanya satu paket, dari Jakarta ke Bogor, terus dari Bogor dia sewa dokar ke Puncah, dari Puncak terus balik lagi ke Bogor kemudian naik kereta ke Sukabumi, dari Sukabumi liburan lagi ke Sala Bintana, terus dari Sukabumi ke Cianjur, kemudian ke Bandung, dari Bandung mereka biasanya lebih lama menginapnya di sana, dari Bandung kemudian lanjut ke Garut., ke Cibatu, ke Garut, dan itu rata-rata langsung sampai ke Jogja, tapi lebih terkenalnya waktu itu

memang di Priangan Selatan.

Kan emang kawasan ini sudah terkenal sekali sebagai kawasan pariwisata, dan apakah itu dikembangkan sama pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan?

Praktis tidak dikembangkan, karena ya itu, jadi terlupakan saja sesudah kemerdekaan. Orang Belanda-nya juga sudah jarang datang ke situ lagi, jadi ada faktor ya, revolusi fisik, jadi kan faktor perang juga, jadi orang lupa dengan Garut. Kemudian di saat yang sama, tempat wisata baru di daerah – daerah lain juga muncul seperti Bromo, di Banyuwangi, di Bali, di Jogja di Solo jadi orang lebih ke sananya.

Jalur Cibatu – Garut itu di non-aktifkan tahun 1982, itu benar-benar di non-aktifkan karena isu organisasi serikat buruh yang afiliasinya PKI? Atau memang ada alasain lain?

Sebenarnya bukan itu, lebih ke tidak ada tenaga untuk operasional, salah satunya karena tahun 6668 banyak screening komunisme di buruh kereta api. Banyak yang kena screening karena sekedar ikut-ikutan serikat buruh SBKA itu, akhirnya banyak yang ditangkap, dipecat dan dipenjara.

Itu dua per tiga kena akhirnya menyebabkan tenaga-tenaga operasional kereta api di lapangan itu sudah kosong, terus pas zaman Orde Baru ada penerimaan besar-besaran dari kereta api, yang baru-baru ini kan tidak tahu untuk apa ada jalur-jalur cabang ke kampung-kampung tidak jelas begitu. Jadi mereka fokus ke jalur utama dulu yang menghubungkan kota-kota besar, sedangkan jalurjalur cabang dibiarkan karena tidak ada tenaga operasional dan jadi kebutuhan sekunder.

Menurut Anda sendiri, sebenarnya penting tidak bagi masyarakat untuk mengetahui sejarah perkeretaapian?

Ya penting juga, untuk membantu memberikan wawasan kepada masyarakat, dan yang terpenting adalah menumbuhkan ketertarikan untuk transportasi massal. Untuk bisa pertama mereka suka dengan sejarah kereta api, terus suka kereta api, akhirnya suka naik kereta api. Jadi pada akhirnya memajukan transportasi massal goal-nya jadi penting juga. Walaupun mungkin tidak perlu setiap orang tahu sejarah kereta api, kalau sekarang mungkin lebih ke pleasure, sejarah kereta api lebih ke arah nostalgia masa lalu.

19

Perdagangan Orang, Tak Disadari Kerap Terjadi Banyak faktor yang mendorong terjadinya perdagangan orang.

Mulai dari kemiskinan, pendidikan, kultur masyarakat, hingga gaya hidup yang tidak sesuai dengan isi kantong.

“Aku manusia, sama sepertimu.

Aku berdarah merah, sama sepertimu.

Aku kabarnya dibuang dari surga, sama sepertimu.

Lantas, mengapa aku tersiksa sedang engkau tidak?”

BERUJAR

Naufal Ikbar dan Refda Fachriza Malta

21

MODUS PELAKU, TIPU-TIPU HINGGA MENGANCAM Seorang wanita korban perdagangan orang berinisal EH menceritakan pengalaman pilunya, yang merupakan korban perdagangan orang dari pelaku jaringan Suriah dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Seperti yang dilansir dari Kompas.com, Rabu (10/04/2019), EH awalnya diiming-imingi pekerjaan ke Arab Saudi dengan gaji sebesar lima juta rupiah serta mendapatkan berbagai bonus upah lainnya.

Tanpa pikir panjang dan karena kebutuhan yang mendesak, EH langsung mengiyakan tawaran tersebut.

Ternyata ia kemudian tidak diterbangkan ke Arab Saudi, melainkan ke Turki untuk ditampung selama satu minggu. Setelah itu, ia kembali diberangkatkan ke negara yang berbeda, yaitu Suriah. Selama di Suriah, EH mengaku tidak mendapat gaji selama tiga bulan lamanya. Dengan kondisi seperti itu, ia memilih kabur dan mencari perlindungan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) setempat. Naas, KBRI setempat tidak memberikan perlindungan seperti apa yang diharapkan oleh

22

EH. Ia malah mendapat perlakuan tidak mengenakan, dicaci, dihina, dimaki, dan yang paling buruk dipulangkan ke agen penyalur. Perlakuan yang lebih buruk kemudian diterima EH selama berada di agen, ia dipukul dan tidak diberi pekerjaan selama satu bulan.

Penderitaan yang dialami EH tidak cukup sampai disitu. Ia kemudian kembali dijual ke Irak.

Selama di Irak, perlakuan yang ia terima bahkan lebih buruk dari yang ia bayangkan. Ia mendapat perlakuan kasar hingga diperkosa sampai hamil oleh anak majikannya.

Kisah serupa juga pernah dialami oleh Juliani dan Rabitah pada tahun 2018. Kakak-beradik asal Lombak, NTB ini mengalami hal yang hampir sama dengan EH. Dilansir dari Kompas.com (27/02/2018), mereka dibujuk oleh terdakwa UL yang merupakan tetangga mereka sendiri. UL mengiming-imingi Juliani dan Rabitah pekerjaan dengan gaji enam juta rupiah per bulan. Dengan berbekal dokumen palsu, Juliani dan Rabitah diberangkatakan ke Timur Tengah bersama dengan

ratusan korban lainnya. Sama dengan EH, Juliani dan Rabitah tidak diberangkatkan ke negara yang dijanjikan sebelumnya. Pengalaman pahit pun dirasakan oleh Juliani, ia menderita tumor setelah pulang dari negara tempat mereka diperdagangkan.

Ada kesamaan modus yang digunakan pelaku dalam kasus EH, Juliani dan Rabitah. Mereka awalnya ditipu dengan iming-iming pekerjaan dengan gaji yang fantastis. Modus penipuan memang sering digunakan oleh pelaku perdagangan orang. Hal tersebut dibenarkan oleh Komisaris Polisi Euis Yuningsih yang juga menjabat sebagai sebagai Kepala Unit Trafficking Polda Jawa Barat (Jabar).

“Pelaku menggunakan bujuk rayu dengan iming-iming gaji besar.

Jika korban setuju, pelaku akan menyerahkan korban ke tempat ia dipekerjakan,” ujar Euis di ruang kerjanya di Polda Jabar Jalan Soekarno Hatta, Bandung pada Senin (29/04/2019). Selain bujuk rayu, pelaku TPPO juga biasanya menggunakan ancaman untuk menjerat korban. Hal ini disam-

paikan oleh ahli hukum pidana Universitas Padjajaran Agus Takariawan.

Pria berkacamata ini juga aktif di lembaga bantuan hukum dan beberapa kali ikut menangani korban perdagangan orang.

“Pertamanya dia diperkosa, dibikin mabuk dulu. Habis itu difoto, direkam prosesnya, kemudian diancam kalau dia kabur akan disebarkan. Mereka yang pendidikannya kurang akan ketakutan. Padahal kalau disebarkan yang kena hukum si penyebar itu.

Terus juga diancam dikirim ke orang tua. Korban ketakutan kemudian kontrak selama beberapa tahun,” kata Agus saat ditemui di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Jatnanganor, pada Kamis (04/04/2019).

Modus-modus yang digunakan pelaku hanya salah satu bagian yang mendorong perdagangan orang dapat terjadi.

Modus yang sama dan berulangkali digunakan pelaku, yang kemudian

|Ahli Hukum Pidana - Agus Takariawan|

tetap efektif disebabkan adanya faktor pendorong dan faktor penarik.

Kedua faktor tersebut memudahkan perdagangan orang dapat terjadi berulangkali setiap tahunnya.

Pakar kriminologi Adrianus Meliala menjelaskan kepada kami mengenai dua faktor tersebut saat ditemui di kantor Ombudsman Jakarta Selatan pada Senin (15/04/2019). Faktor pendorong pertama menurutnya ialah kemiskinan. Ia menjelaskan, kemiskinan memang selalu menjadi sebuah kambing hitam dalam

kasus-kasus kriminal, termasuk juga TPPO. Menurutnya, beberapa daerah sebenarnya tidak terlalu mengkhawatirkan angka kemiskinannya.

Hanya saja gaya hidup yang tinggi menjadikan calon korban selalu merasa kurang sehingga mudah tergiur dengan iming-iming akan mendapatkan uang dengan jumlah yang banyak.

“Sehingga kemudian turun kemampuan rasionalnya dan ikut saja kata si pihak yang membujuk,” ujarnya dengan lugas. Faktor pendorong kedua ialah pada konteks lapangan pekerjaan.

Menurut Adrianus, sekarang lapangan pekerjaan semakin bergerak ke industri menengah atas sehingga membuat masyarakat yang pendidikannya rendah menjadi tertekan.

“Kemudian hanya lapangan pekerjaan bersifat bawah yang tersedia bagi mereka dan masalahnya pada lapangan pekerjaan bawah itu tidak terlalu baik gajinya. Sehingga mereka berpikir, toh sama-sama jadi tukang cuci piring mengapa tidak ke Hongkong saja?

Sama-sama jadi pembantu rumah tangga mengapa tidak pergi ke Arab Saudi saja?” tuturnya.

Selain faktor pendorong, ada juga faktor penarik yaitu kehadiran dari para pencari tenaga kerja. Mereka datang ke desa-desa kemudian mengiming-imingi calon korban. Para pencari tenaga kerja ini menurut Adrianus bergerak dengan agresif untuk mendapatkan orang yang mereka incar.

Pakar Kriminologi, Adrianus Meliala menjelaskan pandangannya terhadap isu perdagangan manusia.

23

Ai Nurlatifah (kiri) dan Sri Pujiati (kanan) Staff Paralegal Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak

JAWA BARAT TERTINGGI DALAM PERDAGANGAN ORANG Jabar menurut data dari International Organisastion Migration (IOM) dari Maret 2005 hingga Desember 2014 menempati peringkat pertama TPPO di Indonesia dengan jumlah kasus mencapai 6.651 kasus. Sementara itu menurut data Polda Jabar TPPO di tahun 2016 terdapat 39 kasus perdagangan orang yang masuk ke dalam laporan polisi. Dari 39 kasus tersebut, terdapat 70 korban perempuan dan 6 korban laki-laki. Kemudian pada tahun 2017 jumlah kasus meningkat menjadi 50 kasus dengan 222 korban perempuan dan 9 korban laki-laki. Di tahun 2018 jumlah kasus sedikit menurun menjadi 42 kasus dengan 50 korban perempuan dan 6 korban laki-laki.

Namun yang menjadi catatan penting ialah, menurunnya laporan kasus yang masuk ke Polda Jabar bukan berarti kasus perdagangan orang sudah menurun.

Karena masih banyak korban di luar sana yang belum terdata dan masuk dalam laporan kasus Polda Jabar.

Hal berbeda disampaikan oleh

24

Adrianus Meliala, menurutnya tidak bisa untuk mengharapkan korban melapor. Itu dikarenakan korban sedang terobsesi untuk mengejar uang yang mereka impikan. Justru menurutnya yang terpenting ialah mendorong partisipasi dari keluarga.

Hal yang disampaikan oleh Adrianus bukanlah omong kosong belaka. Keluarga yang mendorong anggota keluarganya untuk pergi dan tanpa tahu itu merupakan perdagangan orang benar-benar terjadi.

Kami mendapatkan kisah yang hampir sama dengan penuturan Adrianus di mana keluarga korban justru malah mendukung dan tidak mencegah. Kisah ini disampaikan oleh dua orang staff paralegal Lembaga Perlindungan Peremuan dan Anak (LPPA) Jabar, Ai Nurlatifah Khalid dan Sri Pujiati.

LPPA yang sebelumnya bernama Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayan Perempuan dan Anak (P2TP2A) merupakan lembaga yang berwenang memberikan pelayanan pada korban perdagangan orang. Mereka berdua sudah

sering berhadapan dengan korban yang ditampung lembaga tersebut.

“Kayak dulu si A (inisial salah satu korban) itu dia masih umur 11 tahun yang sama neneknya justru dibolehin buat pergi. Padahal anak sekecil itu belum boleh kerja apalagi jauh gitu ke Kalimantan,” ujar Sri dengan suara yang penuh keprihatinan.

Nurlatifah pun menyampaikan kisah yang tidak kalah menarik. Ia menuturkan, pernah ada korban perdagangan orang yang bekerja di luar negeri dan sudah memiliki suami. Dari kisah yang ia terima, si suami malah mendukung istri karena bisa hidup enak menerima uang setiap bulan. Ada beberapa faktor yang membuat Jabar mendapat peringkat tertinggi dalam kasus TPPO. Pertama, secara geografis jabar memiliki luas wilayah kurang lebih 35.377 km persegi. Kemudian jumlah penduduk mencapai 48 ribu jiwa lebih yang merupakan salah satu tertinggi di Indonesia. Dengan kondisi tersebut, sangat memungkinkan Jabar menempati peringkat pertama dalam kasus TPPO.

DILEMA PELAYANAN KORBAN TPPO “Penanganan traffiking itu kurang lebih satu minggu atau bahkan lebih. Bisa juga empat hari paling cepet karena di sini itu kan tersedianya tenaga konselur untuk psikolog juga ada, konselor mediator juga ada. Jadi biasanya kita melakukan pemulihannya dari segi psikologis dulu dicek apakah misalkan ada trauma atau tidak,” jelas Sri saat ditanya perihal penanganan yang dilakukan di LPPA ini.

Sri kemudian menuturkan, penanganan untuk korban itu berbagai macam tergantung situasi dari korban itu sendiri. Ada yang memang ingin dilindungi dan bersabar mengikuti proses. Ada pula yang memberontak dan merasa tidak dilindungi oleh lembaga itu.

“Korban perdagangan orang biasanya gitu. Apalagi dia sendiri menyadari apa yang ia lakukan dan memang mau pergi. Itu biasanya yang agak merasa tidak dibantu,” ujarnya.

Menurut Sri, korban yang merasa tidak dibantu kebanyakan karena mereka memang sadar dengan apa yang mereka lakukan. Korban perdagangan orang ini menurutnya sering ditemukan dalam ranah prostitusi. Mereka menganggap pemerintah dan lembaga memutus rezeki yang selama ini mereka dapat.

“Kita kan nanganin orang ya. Jadi masalahnya tuh kebanyakan dari respon korbannya saat kita tangani. Kayak ada yang kabur lah, susah dikasih pengertian, apalagi yang awam tidak mengerti proses perlindungan mikirnya setelah di sini (LPPA) bisa langsung pulang,” tutur Sri saat ditanya kendala dalam melayani korban perdagangan orang.

Korban yang tidak betah saat dalam masa pemulihan di LPPA juga berbagai macam cara menunjukan ekspresinya. Ada yang pura-pura sakit, ada pula yang pura-pura kesurupan.

“Jadi ya urusannya menolong manusia itu memang jadinya

|Staff Paralegal LPPA - Sri Pujiati|

26

kompleks dan kayak menguras emosi kita,” lanjut Sri. Selain itu, tekanan lain juga biasanya datang dari kondisi kesehatan korban. Ia menceritakan pengalaman saat menangani korban yang memiliki penyakit menular tertentu, misalnya HIV. Ia mengaku sempat khawatir saat pertama kali bertemu korban positif HIV, karena selama ini kebanyakan korban dinyatakan negaitf HIV. “Cuma penyakit lain kadang, misal ada yang kena TBC. Dulu senior kita ada yang kena TB kelanjar,” ujar Nurlatifah Meski begitu, Nurlatifah dan Sri tidak lelah untuk terus melayani korban-korban perdagangan orang yang nantinya datang ke lembaga tempat mereka bekerja. Rasa sedih, rasa kesal, hingga rasa senang, menurut mereka menjadi warna tersendiri dalam pekerjaan yang mereka jalani.

“Bagaimanapun kondisinya, pemerintah wajib hadir untuk melindungi warga negaranya,” ujar Nurlatifah sambil tersenyum. Bagaimanapun juga, perdagangan manusia merupakan kejahatan yang besar dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Dampaknya pun tidak main-main mengingat kisah yang dituturkan Staff LPPA ini, dampak dari perdagangan manusia memang sangat mengkhawatirkan dan semoga segera berangsur selesai.

PASTIKAN DATA ANDA TERLINDUNGI DARI TINDAKAN CYBER CRIME HATI-HATI DAN BIJAKLAH DALAM MENGGUNAKAN INTERNET!

Ilustrasi oleh: Freepik

Abu-Abunya Aturan Bimbel di Indonesia Kebutuhan akan mendapat nilai akademik yang cemerlang membuat bimbingan belajar semakin marak di tengah-tengah masyarakat. Semua bimbingan belajar melalukan berbagai cara untuk menggaet minat para peserta, tidak terkecuali jaminan uang kembali jika terbukti gagal.

Namun, apakah keberadaan bimbingan belajar ini memiliki payung hukum yang mengatur di dalamnya?

“Aku mengadu padamu karena merasa tak mampu.

Ada yang dipertaruhkan, rasanya itu saja cukup jadi alasan.

Banyak yang kau renggut, dari waktu hingga badan pegal linu.

Ambil saja semuanya, asal jangan harapanku.”

Foto oleh: Freepik

BERUCAP

Sabila Reformasita Arianti dan Shynta Dewi Yuliani

29

KETIDAKJELASAN HUKUM DALAM BIMBINGAN BELAJAR Kegiatan pembelajaran di luar ruangan oleh Educamp Ganesha

30

Pernahkah Anda menonton drama Korea berjudul “Sky Castle”?

Drama ini mengisahkan tentang 4 keluarga yang tinggal di sebuah lingkungan elite dan memiliki obsesi terhadap pendidikan anak-anak mereka. Segala cara dilakukan, termasuk memasukkan anak-anaknya ke tempat bimbingan belajar hingga menyewa guru pribadi untuk anaknya. Drama ini secara garis besar mencerminkan bagaimana sistem pendidikan saat ini lebih mengutamakan hasil akhir dibanding proses belajar itu sendiri.

Realita pendidikan seperti ini tidak hanya terjadi di Korea, namun juga di negara-negara lainnya, termasuk Indonesia. Kompetisi pendidikan di Indonesia juga menyebabkan para siswa mencari tambahan waktu pembelajaran di luar sekolah melalui bimbingan belajar. Hal ini dianggap akan bisa mendorong nilai-nilai mereka di sekolah, dan juga agar bisa menembus seleksi penerimaan jenjang pendidikan selanjutanya. Namun, apakah sebenarnya bimbingan belajar di Indonesia sudah selaras dengan sistem pendidikan yang ada dan terjamin secara hukum?

Di Indonesia, bimbingan belajar mulai muncul sekitar tahun 1980-an.

Menurut laporan Komoditas Jasa Bimbingan Belajar yang dirilis oleh

Kepala Staf Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan Kemendikbud Hartanto (kiri) dan Staf, Tito (Kanan) Bank Indonesia, bimbingan belajar pada saat itu diperuntukkan untuk persiapan para siswa kelas tiga Sekolah Menengah Atas (kini disebut kelas 12) untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri.

Kini, bimbingan belajar tidak hanya hadir untuk para siswa kelas 12 saja, tetapi ia juga menyediakan pelayanan untuk setiap jenjang pendidikan. Namun, memang banyak yang membuka bimbingan belajar intensif bagi siswa tingkat akhir (kelas 6, 9, 12) dan siswa yang akan mendaftar perguruan tinggi negeri.

Bila kita telaah lebih jauh, bimbingan belajar sebenarnya tidak memiliki payung hukum yang jelas di Indonesia. Di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan adanya tiga jalur pendidikan, yaitu pendidikan formal, non-formal dan informal. Pendidikan non-formal dalam hal ini dijelaskan lebih

lanjut pada Pasal 26 sebagai jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Seringkali pihak bimbingan berjalan menggunakan undang-undang ini sebagai dasar pembentukan lembaga bimbingan belajar mereka, namun apakah undang-undang ini menjurus pada bimbingan belajar yang ada di tengah-tengah masyarakat?

Bimbingan belajar yang ada di Indonesia lebih merujuk pada pendampingan siswa dalam mengikuti pembelajaran yang dilakukan di pendidikan formal (sekolah).

Sedangkan, pendidikan non-formal yang diakui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemdikbud) adalah lembaga kursus yang diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan; keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau

melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

“Lembaga bimbingan belajar yang ada itu tidak berada di bawah Kemdikbud. Kursus yang dimaksud oleh kami adalah pendidikan maupun pelatihan untuk masyarakat dan sifatnya tidak berhubungan langsung dengan pembelajaran yang ada di pendidikan formal. Adapun yang disebutkan dalam undang-undang sebagai sarana untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu pengadaan Kelompok Belajar yang kemudian dilanjut dengan Ujian Kesetaraan untuk memperoleh ijazah yang setara dengan pendidikan formal,” jelas Hartanto, Kepala Staf Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan Kemendikbud.

Lebih lanjut dijelaskan tentang Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2015 Pasal 3, interpretasi pasal ini adalah akar dari dilematisnya legalitas bimbel.

31

SUKA DAN DUKA PESERTA LEMBAGA BIMBINGAN BELAJAR Menjamurnya keberadaan lembaga bimbingan belajar di Indonesia tidak terlepas dari campur tangan lembaga-lembaga tersebut dalam mempromosikan perusahan milik masing-masing. Banyak cara dilakukan oleh lembaga bimbingan belajar untuk memikat calon konsumennya.

Mulai dari mendapatkan hadiah voucher sebesar harga tertentu sampai menjanjikan akan mengembalikan sejumlah uang apabila peserta atau siswanya tidak dapat masuk ke salah satu sekolah maupun universitas yang dijanjikan oleh lembaga bimbingan belajar tersebut.

Hal tersebut ternyata tak selamanya berakhir indah. Terkadang ada beberapa lembaga bimbingan belajar melanggar janji yang

telah mereka berikan kepada para pesertanya. Seperti RR, salah satu mahasiswa yang kami temui pada Senin (22/04/2019).

Korban pernah mengikuti salah satu lembaga bimbingan belajar yang terletak di daerah Bandung dan mengambil program intensif untuk Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) pada tahun 2015. Lembaga tersebut menjanjikan kepada RR bahwa jika ia tidak lolos SBMPTN, maka uangnya akan kembali.

Namun pada kenyataannya, ketika ia dinyatakan tidak lolos SMBPTN dan mengajukan untuk meminta uangnya kembali, hal tersebut tidak pernah terjadi.

RR menuturkan, terdapat syarat apabila siswa ingin uangnya dikembalikan. Syarat tersebut

yaitu terdapat batas minimal kehadiran agar uang tersebut dapat kembali. Ketika ia menanyakan mengenai batas minimal kehadirannya pun ternyata pihak lembaga bimbingan belajar tersebut tidak memberikan secara jelas informasi yang seharusnya.

“Tempat bimbingan belajar itu mempersulit pas aku minta kejelasan uang yang katanya bakal dibalikin”, ujar RR. Lebih lanjut, korban tidak ingin disebutkan berapa uang yang sudah ia keluarkan di lembaga bimbingan belajar tersebut dan berapa banyak uang yang tidak dikembalikan. Namun disamping lembaga bimbel seperti itu, masih ada beberapa yang lembaga bimbel yang berkualitas dan tetap menjadi primadona bagi mayoritas pelajar di Indonesia.

Foto ilustrasi tentang pendidikan. (Credit by Freepik)

32

TEKA-TEKI SILANG

Mendatar 2. Kalau punya hak milih, tapi gak dateng ke TPS pas pemilihan karena ketiduran namanya?

4. Kalau ketahuan bonceng tiga dan gak pake helm bakal diapain sama polisi?

6. Gubernur Jawa Barat saat ini?

10. Tukang pisang nugget yang punya saham di PLTU? 12. Udah, udah?

13. Nama kucing Prabowo?

17. Belum habis masa jabatan di tempat lain, beliau malah jadi Gubernur di Provinsi Danau Toba 18. Ibu Kota Indonesia rencananya bakal dipindah ke pulau ini

Menurun 1. Presiden Indonesia sebelum SBY sesudah Gusdur?

3. Jumlah surat suara pemilu 2019?

4. Anda menyoblos di?

5. Nama depan ketua KPU sekarang?

7. Prabowo terkenal suka menunggangi hewan apa?

8. Kata yang identik dengan Susi Pudjiastuti jika melihat kapal asing?

9. Tempat melapor kecurangan selama pemilu?

10. Orang Indonesia baru bisa nyoblos kalau udah punya apa?

11. Gerakan Indonesia Raya 14. Jokowi terkenal dengan strategi kampanye berupa?

15. Mantan vokalis band yang punya lagu judulnya “Hapus Aku” terus jadi nyalon jadi Caleg 16. Lambang dilarang parkir, huruf P-nya diapain?

34

KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK TELAH TERJAMIN DALAM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 KARENA HAK MENDAPATKAN INFORMASI ADALAH HAL PENTING BAGI SEMUA ORANG

Ilustrasi oleh: Freepik

Lawan Gurumu, Kau Murid Budiman!

Fenomena kekerasan terhadap guru kian hari semakin marak terjadi.

Menjadi perhatian banyak pihak karena tindakan kekerasan dilakukan oleh murid yang merupakan anak-anak, apalagi yang mereka sakiti adalah gurunya sendiri, orang yang jauh lebih tua dari sang murid.

“Sudah sejak dahulu kala, pria itu perlu digugu dan ditiru.

Namun kini kau kepalkan tanganmu di hadapannya.

Rasa hormat kini adalah urutan kesekian.

Pria itu perlu digugu dan ditiru, bukan begitu?”

Ilustrasi oleh: Freepik

BERUCAP

Wicaksono Tri Kurniawan dan Muhammad Naufal

37

MAKIN VIRAL MAKIN MARAK Psikolog dan pemerhati anak Kak Seto saat diwawancarai tentang fenomena kekerasan pada guru “Hormati gurumu sayangi teman. Itulah tandanya kau murid budiman!”

Pernah dengar kutipan lirik dari lagu di atas? Ya, kalimat tersebut adalah penggalan lirik terakhir dari lagu berjudul “Pergi Belajar” ciptaan Ibu Sud. Lagu yang kerap kali dinyanyikan sewaktu bangku sekolah dasar. Masih jelas terngiang setiap nada dan pesan yang tersurat dalam lagu tersebut. Terutama penggalan lirik terakhir, kekuatan lirik tersebut dapat jadi sebuah renungan. Tapi, rasanya penggalan lirik itu tidak lagi memiliki kekuatan bagi murid zaman sekarang. Bagaimana tidak, saya seketika diam sewaktu melihat pemberitaan tentang seorang murid sekolah dasar di Surabaya menendang tangan gurunya hingga patah pada Rabu (24/04/2019) lalu.

Kejadian tersebut berawal saat sang murid tidak mau menuruti perintah gurunya lalu menendang hingga tangannya patah.Kekerasan terhadap guru memang sudah menjadi fenomena baru bahkan seperti ‘bola salju’ yang terus bergulir. Selain kasus murid yang menendang tangan gurunya hingga patah di Surabaya, masih banyak kasus serupa yang pernah terjadi dan viral. Kasus yang sempat menyita perhatian ialah viralnya sebuah video di media sosial pada awal Februari lalu. Video tersebut berisi seorang murid Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Gresik menantang gurunya yang menegur murid tersebut sedang merokok di kelas.

Dari sekian banyak kasus kekerasan terhadap guru, satu yang paling parah terjadi pada awal Januari lalu, dimana seorang guru kesenian di Sekolah Menengah

38

Atas (SMA) di Sampang, Madura dianiaya muridnya sendiri hingga tewas. Fenomena kekerasan terhadap guru kian hari semakin marak terjadi. Menjadi perhatian banyak pihak karena tindakan kekerasan dilakukan oleh murid yang merupakan anak-anak.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno mengatakan kasus bullying terhadap guru yang viral melalui video di media sosial jumlahnya meningkat. Sampai empat bulan pertama 2019, ada empat kasus tercatat yang viral.

“Anak sebagai pelaku bullying terhadap guru kemudian divideokan dan viral juga meningkat pada tahun 2019. Dengan cakupan wilayah yaitu Gresik, Yogyakarta, dan Jakarta Utara. Sementara pada tahun 2018 hanya satu, yaitu di Gresik,” tandasnya dikutip dari detik.com pada Kamis (2/5/2019).

Jumlah di atas memang sedikit, mengingat jumlah itu adalah kasus yang viral di media sosial. Psikolog dan pemerhati anak Seto Mulyadi menganggap fenomena ini adalah ‘gunung es’. “Ini semacam fenomena gunung es, yang terjadi banyak sekali, tapi yang muncul ke permukaan hanya beberapa yang terlaporkan,” ucap pria yang akrab disapa Kak Seto ini. Bisa saja angka sebenarnya terkait kasus kekerasan terhadap guru lebih banyak jika melihat data anak sebagai pelaku kekerasan di dunia pendidikan yang dihimpun oleh KPAI. Anak dan kekerasan di dunia pendidikan memang sudah menjadi perhatian khusus bagi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Sejak 2011 silam, KPAI rutin melakukan pendataan terhadap anak yang menjadi pelaku.

Cecep Darmawan - Ahli Pendidikan UPI Agustinus Pohan - Ahli Hukum Pidana UNPAR

Psikolog dan Pemerhati Anak - Seto Mulyadi

KEKERASAN TERHADAP GURU, SIAPA YANG SALAH? Fenomena kekerasan terhadap guru yang semakin marak tentu tidak bisa dibiarkan. Fenomena yang kasusnya terjadi berulang membuat banyak pihak bertanya apa dan siapa yang patut disalahkan dan bertanggung jawab atas maraknya fenomena ini.

Ahli pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan menjelaskan pergeseran budaya menjadi salah satu faktor murid bisa melakukan tindak kekerasan terhadap gurunya sendiri. “Saya melihat di sini ada pergeseran budaya yang cukup kontras bila dibandingkan dengan zaman dulu. Dahulu, anak-anak itu pasti nurut dan sangat hormat pada gurunya. Tapi, saat ini nilai kesopanan dan kehormatan itu seakan hilang. Banyak faktornya, tapi pergeseran budaya jadi salah satu yang paling menyumbang,” ujar Cecep ketika ditemui di kampus UPI pada Rabu (22/4/2019).

Fenomena ini sangat erat kaitann-

40

ya dengan dunia pendidikan. Sistem pendidikan di Indonesia tak luput dari munculnya fenomena ini. Cecep mengatakan kalau ada yang salah dalam sistem pendidikan di Indonesia saat ini. “Sistem pendidikan kita sudah dari lama memang ada yang salah. Salahnya selama ini dan dari dulu, sistem pendidikan kita itu selalu melebihkan pada penekanan kognisi.

Murid terus ditekan untuk berpikir agar bisa menghasilkan nilai dan materi yang bagus. Tapi kita lupa kalau pendidikan karakter itu justru yang sangat dan harus diperlukan,” tandas Cecep.

Salahnya sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia saat ini juga diamini Kak Seto. Jika Cecep menekankan ada yang salah pada sistem pendidikan, Kak Seto dengan tegas mengatakan sistem pendidikan penuh dengan tekanan.

“Suasana sekolah itu penuh dengan tekanan. Ibaratnya sebuah penjara, begitu ada pernyataan

boleh pulang rasanya bebas sekali.

Kalau ditanyakan pada orang dewasa misalnya, pengalaman apa yang paling indah saat sekolah dulu, jawabannya saat pulang sekolah atau jam istirahat. Jadi, ini yang harus kita sadari, bahwa sistem pendidikan harus betul-betul demi kepentingan terbaik untuk anak,” jelas Kak Seto di kediamannya Kamis (2/5/2019).

Jika ditarik lebih luas lagi, fenomena kekerasan terhadap guru sejatinya tercipta oleh peran dari banyak pihak. Murid atau anak tidak selamanya harus menjadi sorotan utama sebagai penyebab dan pihak yang harus disalahkan.

Cecep menganggap hal ini adalah fenomena yang kasuistik. “Kalau ditilik lebih lanjut lagi, kita akan menemukan bahwa fenomena dan kasus kekerasan terhadap guru ini sebenarnya bersifat kasuistik.

Kita tidak bisa menggeneralisir dan memukul rata satu pihak yang salah. Mau itu muridnya, atau

gurunya sekali pun,” ucapnya.

Meskipun, anak tidak bisa dipukul rata sebagai satu-satunya pihak yang patut disalahkan. Namun tetap saja, hukum tetaplah hukum. Berdasarkan pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, penganiayaan merupakan bentuk tindakan pidana yang diancam penjara. Lalu, bagaimana jika fenomena ini dilihat dari proses hukumnya?

Ahli Hukum Pidana Universitas Parahyangan Bandung Agustinus Pohan memaparkan perspektif hukum yang dapat berlaku, khususnya dilihat dari sisi anak sebagai pelaku tindak pidana.

“Secara hukum, kalau pelakunya

1 Ayat 7 berbunyi “pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana”. Dalam Undang-Undang tersebut khususnya pada Pasal 8, setiap proses peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif, yakni pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/ atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.

Lebih lanjut, Agustinus menjelaskan maksud dari sistem pemulihan berdasar keadilan restoratif.

“Bagaimana ada komitmen untuk mengembalikan pelaku agar mau

siswa. Misalnya, guru mengatakan ‘ah cuma saya jewer’, ya itu pencetusnya. Sebelumnya itu diapakan?

Mungkin dibentak, atau dihina di depan siswa, mungkin juga pernah ditempeleng, dan sebagainya,” ujarnya.

Anggapan Agustinus mengenai ketidakpahaman masyarakat akan proses diversi dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak bukan tanpa alasan. Melihat dari berbagai kasus kekerasan terhadap guru yang mencuat ke permukaan, hampir semuanya berakhir secara damai, tanpa ada proses hukum lanjutan. Kasus tewasnya guru kesenian di Sampang, Madura pada awal Januari

|Psikolog dan Pemerhati Anak - Seto Mulyadi|

anak, dan bukan tindakan pidana yang serius, harus dilakukan proses diversi. Hanya sayangnya, orang masih salah mengerti, dipikirnya diversi itu diselesaikan di luar, vote and vote berdamai.

Sistem peradilan anak kita tidak mengajari berdamai, melainkan dipulihkan, sesuai dengan keadilan restoratif. Pemulihan tidak sama dengan berdamai,” papar Agustinus di Kampus Universitas Parahyangan pada Senin (15/4/2019).

Pernyataan Agustinus yang dimaksud tertera dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Diversi menurut Pasal

kembali memercayai dan menghormati guru, menyadari kesalahannya dan mau bertanggung jawab. Itu semua adalah kesepakatan yang seharusnya menjadi konsep dalam suatu diversi, dan itu yang tidak terlihat selama ini,” jelasnya.

Hal yang sedikit berbeda diutarakan oleh Kak Seto. Walaupun tidak membenarkan fenomena ini, ia tetap ‘membela’ dari sisi sang anak. “Kekerasan terhadap guru tidak bisa dibenarkan. Tetap ada sanksi agar menjadi pembelajaran. Tapi, jangan menyelesaikan setelah terjadi (kasus), melainkan dari awalnya. Para guru jangan melakukan kekerasan terhadap

lalu memang sempat dibawa ke jalur hukum, namun tak ada kabar lanjutan hingga kini.

Cecep yang juga merupakan anggota Dewan Pendidikan Kota Bandung mengatakan anak, orangtua anak, dan bahkan gurunya sendiri harus saling mengevaluasi.

“Semua perlu introspeksi. Guru, perlakukanlah anak didiknya sebagai anak sendiri. Guru itu tidak hanya menjadi pengajar, tapi juga harus menjadi pendidik. Anak, juga harus benar-benar diperhatikan faktor atau penyebabnya. Tapi, kalau semua langkah preventif sudah dilakukan tapi masih terus muncul (kasus serupa), ya berarti anaknya ada masalah.” tuturnya.

41

Ilustrasi oleh: Freepik

KATANYA

Adrianus Meliala Anggota Ombudsman RI Pemilu 2019 kemarin menyisakan berbagai problematika maupun kajian-kajian akademik. Meskipun telah berlalu hampir satu bulan lamanya, Pemilu 2019 masih terus menghadirkan babak-babak baru yang mempertontonkan manuver-manuver politik dari kontestasi para elite kita. Fenomena-fenomena seputar Pemilu 2019 yang telah meramaikan jagat nasional kita semakin hari memperkeruh suasana.

Tanggapan datang dari seorang Anggota Ombudsman Republik Indonesia yang juga seorang Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia yaitu Adrianus Meliala. Ia menyatakan bahwa Pemilu pada hakikatnya adalah sebagai entitas pelayanan publik.

Menurutnya, apa yang terjadi saat ini di kancah perpolitikan kita, terutama yang berkaitan dengan Pemilu 2019 merupakan upaya-upaya merusak hakikat dari Pemilu sebagai entitas pelayanan publik. Melalui tulisan opininya, Adrianus Meliala berusaha menyerukan penghentian perusakan Pemilu Nasional kita.

43

JANGAN RUSAK HAKEKAT PEMILU SEBAGAI ENTITAS PELAYANAN PUBLIK Saat bicara tentang pelayanan publik (public services), maka kita kerap mengasosiasikannya dengan aktivitas pos, pelayanan imigrasi, pembuatan surat ijin mengemudi, transportasi bus kereta api dan lain-lain. Semua asosiasi itu tidak salah, mengingat itulah yang disebut pelayanan publik dasar.

Negara memang telah sejak lama menghadirkan berbagai layanan menyangkut kebutuhan hidup mendasar dari manusia. Sebutlah terkait pangan, negara memiliki Badan Urusan Logistik (Bulog) yang bertugas menyimpan stock beras dan mengendalikan harga.

Melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN), negara juga menyediakan layanan kelistrikan sehingga masyarakat tidak perlu hidup dalam gelap-gulita.

Demikianlah, kita bisa mencatat ratusan bahkan ribuan pelayanan publik didorong oleh negara agar hadir dimana-mana. Semakin maju suatu negara dan semakin bertendensi menyejahterakan warganegaranya, maka semakin beragam pula pelayanan publik yang bisa dinikmati.

Pemilihan Umum, baik untuk memilih presiden/wakil presiden maupun memilih anggota legislatif, pada dasarnya adalah pelayanan publik yang disediakan negara pula. Berbeda dengan contoh-contoh di atas yang merupakan pelayanan publik dasar, pemilu bisa dibilang merupakan pelayanan publik sekunder atau

44

bahkan tertier. Dikatakan demikian karena kebutuhan menyelenggarakan pemilu baru dirasakan urgen setelah berbagai layanan dasar terpenuhi.

Tidak semua setuju cara pandang ini. Elemen masyarakat yang menganggap kebutuhan bernegara sebagai utama dan vital bolehboleh saja memandang bahwa tidak perlu mengaitkan pemilu dengan ketersediaan beras atau listrik, misalnya. Pada saat tidak ada beras pun, katakanlah begitu, berpolitik bisa tetap jalan.

Dalam kaitan itulah, pemilu perlu dijaga kemaslahatannya sebagai suatu fasilitas yang disediakan negara guna memenuhi kebutuhan kita mencari pemimpin secara demokratis. Mengapa demikian?

Perlu disebutkan, dewasa ini cukup banyak pihak yang mulai mempertanyakan kegunaan pemilu. Demikian juga banyak yang mempertanyakan pilkada.

Sudah biaya penyelenggaraannya mahal, umumnya prosesnya bertendensi membelah masyarakat pula. Masyarakat yang tadinya guyub, kemudian terpecah seiring dengan jumlah calon yang maju.

Tidak hanya itu, calon yang terpilih kemudian banyak pula yang ditangkap karena terjerat korupsi.

Kepolisian dalam hal ini termasuk instansi yang paling kerepotan.

Bagi sebagian aparat kepolisian, pemilu (demikian juga pilkada) adalah jenis pelayanan publik

yang malah mengganggu publik itu sendiri. Sehingga, sebagaimana terlihat di beberapa daerah, malah di-emoh-i oleh publik itu sendiri. Buktinya adalah rendahnya prosentase keikutsertaan dalam beberapa pilkada tahun lalu.

Terkait Pemilu 2019, memang situasinya agak berbeda.

Bagaimana tidak? Pemilu yang seharusnya damai, malah rusuh.

Wilayah yang semula damai, berubah jadi tegang karena masing-masing kelompok pendukung siap bentrok. Belum lagi menyangkut isu ataupun berita yang bersliweran, baik yang dilontarkan secara langsung atau melalui media sosial. Ada yang berisi konten politis, ada pula yang menyinggung SARA (suku, agama, ras dan golongan). Berpolitik menjadi sesuatu yang serba boleh, tanpa aturan dan bahkan boleh “mematikan” pihak lain.

Tambah lagi kini kehadiran fenomena hoax alias berita palsu atau berita plintiran. Saat berita palsu itu menyangkut SARA, maka bayangkan efek destruktifnya. Pihak-pihak yang menjadi korban akan pusing tujuh keliling, membersihkan nama kembali menjadi pekerjaan maha berat.

Amat tidak adil apabila hoax dibiarkan dan pelakunya bebas berkeliaran begitu saja.

Singkat cerita, pemilu mulai diragukan sebagai pelayanan publik yang perlu didukung dengan anggaran negara yang besar. Bukan

karena negaranya ogah-ogahan men-deliver pilkada sebagai suatu layanan, entah dalam bentuk kesiapan yang rendah atau aparat yang tidak siap. Yang hampir selalu terjadi adalah, persiapan pemilu itu sendiri berlangsung prima, namun kontestannya yang justru tidak siap, bisa karena berkonflik dalam partai sendiri, tidak lolos verifikasi, pernah terlibat pidana atau terkena operasi tangkap tan-

Melalui statement di atas, penulis ingin menyatakan pula bahwa produsen isu SARA sebenarnya bukan hanya masyarakat. Aparat dari berbagai instansi juga bisa menjadi pelaku aktif, khusus jika diperintah oleh kepala daerah yang mau maju lagi di putaran kedua. Alhasil, sikap netral dan seimbang yang seyogyanya diperlihatkan lalu dibuang jauh-jauh.

dan DPRD saja. Mekanisme itu jelas bukan mekanisme pelayanan publik. Disebut begitu mengingat publik tidak memiliki akses sama sekali untuk berpartisipasi.

Apakah kita menginginkan hal tersebut?

gan (OTT) oleh KPK.

Jika itu yang terjadi, maka hakekat pemilu sebagai entitas pelayanan publik yang modern menjadi rusak. Pelayanan publik yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat menyalurkan aspirasi politik itu pun bakal gagal total.

menjaganya. Salah satu caranya adalah dengan tidak terlibat dalam pembuatan atau penyebarluasan isu SARA dalam bentuk apapun.

Sejalan dengan itu, masyarakat selaku pemilih juga kerap dijadikan obyek oleh tim pemenangan maupun oleh aparat dari berbagai instansi. Salah satu bentuknya adalah agar masyarakat melahap berita atau informasi SARA menyangkut kontestan tertentu sehingga memilih kontestan yang lain.

Melihat itu, telah muncul suara-suara agar pemilihan pemimpin daerah diserahkan kepada mekanisme pemilihan oleh DPR

Kalau kita tidak ingin Pemilu 2019 maupun pemilu-pemilu berikutnya hilang baik filosofi maupun tujuannya, kita pula yang wajib

BERKATA Serius, Menggelitik

Anggota Ombudsman RI - Adrianus Meliala

45

Anak dan Remaja Menjadi Target Kekerasan Kasus cyberbullying yang terus meningkat hingga saat ini seharusnya mendapat perhatian khusus terutama yang menargetkan anak dan remaja karena tidak sedikit dari para korban mengalami trauma berkelanjutan bahkan memilih untuk bunuh diri. Cyberbullying yang biasa terjadi di media sosial adalah body shaming, hate speech, sexual harrasement, hingga pengambil-alihan akun pribadi.

“Kata-kata yang kau anggap biasa saja itu adalah alasanku terluka.

Kita tidak bertemu, apakah itu alasan kau bisa mencaciku?

Jika kau tanpa dosa, aku terima dengan sukarela.

Tapi buat apa? jika ternyata kita sama-sama hina.”

BERUJAR

Syifa Shania Amadea dan Wika Meriyati

47

SUDAHKAH KEADILAN DITEGAKKAN? K (Inisial) korban Cyberbullying menceritakan pengalaman kelamnya di sebuah cafe di Kota Bandung Panasnya Bandung siang itu mengawali perjalanan cerita K, mengenai pengalamannya menjadi korban cyberbullying. Sambil menyesap lemon tea yang ia pesan di salah satu cafe di Bandung menjadi tanda bahwa ia memulai cerita pilunya. Ia bercerita bahwa ia memiliki pengalaman kurang mengenakan ketika ia menimba ilmu di pesantren di daerah Jawa Timur.

Hal memilukan tersebut dirasakan ketika masa pengenalan sekolah, di mana K dibully melalui akun ask.fm pribadinya. Ujaran kebencian memenuhi dan kata-kata tidak senonoh pun membanjiri kolom beranda ask.fm miliknya. Hal tersebut tidak berlangsung sebentar, kian lama tulisan seperti “jablay”, “fuck”, “bitch”, “lonte” mulai memenuhi beranda K selama lebih dari satu minggu. Selama masa tersebut, K merasa tidak nyaman karena perlahan-lahan orang di sekitarnya mulai menjauh.

“Datang ke sekolah tuh bukannya belajar, malah ngelonte! Dasar jablay!” K, melontarkan kembali kalimat yang dikirimkan dari pelaku kepada dirinya melalui akun ask.fm di tengah ramainya suara orang yang ikut bercengkerama di cafe siang itu.

K mengaku tidak hanya mendapatkan perlakuan cyberbullying saja, namun ia juga menjadi korban bully secara fisik seperti adanya tindakan menyenggol badan K dengan sengaja dan diikuti tatapan yang membuatnya tidak merasa nyaman. Rasa aman dan nyaman K seketika lenyap dengan adanya perlakuan tersebut. Meski merasa tak nyaman, K mencoba tidak memedulikan hal itu.

Perbuatan tidak terpuji tersebut terjadi ketika K memilih mandi bersama teman perempuannya dan

48

menimbulkan komentar tidak mengenakan dengan menyebut K sebagai pelaku lesbian. Padahal K memilih mandi bersama temannya untuk mengantisipasi antrian yang panjang. Mengingat kamar mandi yang dipakai hanya lima, sementara murid yang ada di pesantren sangat banyak.

Kasus tidak beradab pun dirasakan oleh R, salah satu korban cyberbullying juga. R mengaku kejadian tersebut pada saat ia dibangku SMP, disebabkan keterlibatannya dengan kisah cinta tak terduga.

Siang terik di kawasan Serang menjadi latar kisah dari R. Namun suasana sunyi dari Masjid Rumah Sakit Sari Asih Serang, Banten mengantarkan kepada kisah yang sesungguhnya. R menuturkan awal dari ia mendapatkan sebuah perlakuan kejam dari kakak kelas hanya karena kesalah-pahaman di antara mereka. Kakak kelas R mengira dirinya merebut kekasihnya hanya karena R mendapat SMS dari kekasihnya.

Kesalah-pahaman ini berujung kepada hal yang kurang menyenangkan, R mendapat ejekan dari kakak kelasnya dan teman kakak kelas di akun pribadi Facebook R. Lalu menanggapi hal itu, R melaporkan tindakan tersebut ke wali kelas, namun R malah mendapat petaka, di mana akun Facebook pribadi R diambil alih oleh pelaku dengan menyematkan alamat situs dewasa yang otomatis akan terposting di beranda akun. Hal ini tentu saja menjadi hal yang meresahkan bagi R, mengingat ia juga masih duduk di bangku SMP. Ia kemudian malah dihukum pihak sekolah. Inikah keadilan yang harus diterima R atas tindakan yang tidak dilakukannya tersebut? Ini masih menjadi sebuah hal yang problematik.

R (Nama Inisial) - Korban Cyberbullying

Linda - Psikolog dan Dosen Psikologi Universitas Jenderal Ahmad Yani

Ilham - Asisten Komisioner Bidang Pornografi dan Cybercrime KPAI

LALU, SIAPA YANG HARUS DISALAHKAN? Beberapa kasus tadi menunjukkan adanya kasus cyberbullying dan terjadi di ranah pendidikan. Miris ketika mengingat pelaku masih dalam usia anak-anak dan remaja.

Sekolah menjadi tempat untuk mencari ilmu dan pembentukkan kepribadian, namun saat ini telah banyak terjadi kasus kekerasan di lingkungan sekolah, entah secara fisik maupun psikis. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan bahwa kasus cyberbullying terus meningkat di setiap tahunnya.

Laporan yang dikumpulkan oleh KPAI, berdasarkan dari laporan baik pengaduan langsung maupun secara online, pada 2016 sudah mencapai 90 kasus, dilanjut pada 2017 sebanyak 128 kasus, dan data terakhir pada 2018 sebanyak 221 kasus. Meski payung hukum sudah jelas ada, para korban memilih untuk diam dikarenakan mereka tidak tahu jika perbuatan

50

tersebut sudah termasuk ke dalam perbuatan bullying atau cyberbullying.

Menanggapi hal ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) membuat peratuan mengenai hukum siber, KOMINFO mengeluarkan UU (Informasi dan Transaksi Internet) No. 11 Tahun 2008. Tindakan yang dirasakan oleh K dan R menjadi bukti dari adanya kejahatan siber di Indonesia. Dalam kasus yang R hadapi pelaku dapat dijerat dengan pelanggaran pada pasal 27 ayat (1) yang menjelaskan bahwa Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Tindakan oknum yang mengambil alih akun pribadi R, menjadikan akunnya secara

otomatis memuat konten kesusilaan, tanpa sepengetahuan R dan merugikannya.

Tak hanya ayat (1) yang dilanggar oleh pelaku, melainkan dalam kasus yang menimpa K dan R dapat dijatuhi hukuman karena melanggar pasal 27 ayat (3) menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Sudah jelas bahwa pelaku dari kasus K dan R melanggar peraturan tersebut dengan menuliskan beberapa ujaran kebencian dan penghinaan, yang diikuti oleh beberapa teman mereka. Seiring dengan menyebarnya permasalahan tersebut, menjadikan sebagian orang akan percaya dengan apa yang dituliskan atau

disebarkan pelaku mengenai korban, nama sang korban bukan tidak mungkin akan berubah citranya. K dan R merasa resah jika hal tersebut terus berlanjut, dan mereka pun akhirnya kehilangan kepercayaan diri dan menjauh dari dunia luar. Lantas ketika korban mengalami hal yang memilukan apa yang pelaku dapatkan?

K dan R dapat sedikit meregangkan otot leher mereka karena sekarang pelaku dapat dipidanakan dengan aturan dalam pasal 45 ayat (1) dijelaskan bahwa Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana

ku dari kasus di atas pun masih duduk di bangku sekolah. Pada akhirnya rehabiltasi menjadi jalan ke luar dari permasalahan tersebut. Lalu, apakah pelaku mendapat penderitaan yang sama dengan korban?

Menurut Linda, Psikolog dari Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), yang ditemui di Gedung Fakultas Psikologi, Unjani. Pada sudut ruangan di lantai dua yang mencoba menjelaskan dari penyebab petaka tersebut.

Linda menjelaskan bahwa penyebab dari timbulnya kasus cyberbullying bisa berasal dari adanya konflik antar kelompok sehingga timbulnya emosi akan mendahu-

kemudian asyik dengan dunianya tanpa adanya literasi yang baik untuk anak yang diberikan oleh orangtua dan pemerintah pusat.

Kasus Cyberbullying menjadi tren pada 2016 sampai tahun ini yang terus meningkat,” Ujar Ilham dengan melontarkan pendapatnya mengenai kasus ini.

Melanjutkan ucapan Ilham menjelaskan bahwa seharusnya dengan perkembangan internet saat ini perlunya diimbangi dengan literasi yang baik khususnya sehingga tidak gagap dalam menghadapi perkembangan internet saat ini.

“Orangtua harus bisa mendampingi anak ketika sedang bermain internet seperti membatasi waktu

|Dosen Bimbingan dan Konseling UPI - Ipah Saripah|

penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Namun, apakah pelaku sudah pasti mendapat bayaran atas tindakan mereka? Mengingat para pelaku pun masih dalam usia remaja.

Seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 4, ditegaskan bahwa Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ini menjadi dilema besar ketika pela-

lui tindakan logis, korban yang menarik diri dari kehidupan sosial, terlalu agresif kepada orang lain, hingga memiliki sifat egois sehingga menjadi korban bullying baik cyberbullying maupun bullying secara fisik.

Lain halnya dengan perkataan Ilham, Asistensi Bidang Pornografi dan Cyberbullying Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang ditemui di ruangannya di Kantor KPAI Pusat Menteng, Jakarta Pusat. “ Penyebabnya bisa adanya pergeseran budaya dari yang dilakukan secara langsung menjadi ke ranah internet, sehingga anakanak masuk ke dunia internet,

bermain, lalu menjalin komunikasi yang baik dengan anak seperti mendengarkan dan menjadi teman untuk anak. Untuk korban jangan pernah merasa minder, tetap santai, tenang, dan terus maju,” ujar Ilham dalam mengungkapkan harapan kepada orangtua dan korban.

Permasalahan Cyberbullying menjadi sesuatu yang pelik mengingat kemajuan teknologi yang pesat namun tidak diimbangi dengan kebijaksanaan dari para penggunanya. Cyberbullying kemudian muncul sebagai masalah baru dari perubahan tersebut. Semoga kedepannya kita dapat mencegah Cyberbullying terjadi.

51

Pagi yang kelam menemani para pengunjung yang berada di sekitar Lapang Gasibu, Bandung pada 1 Mei 2019.

Seperti setiap tahunnya,hari itu semua buruh dari berbagai pelosok di Jawa Barat ikut mengaspirasikan pendapatnya di depan Gedung Sate. Tuntutannya seperti biasa dari tahun ke tahun upah yang terlalu kecil, jam kerja yang terlalu lama, dan hak normatif lainnya.

REKAMAN GAMBAR

MAYDAY

SUATU TUNTUTAN KLASIK YANG TAK KUNJUNG USAI

Refda Fachriza Malta 53

Buruh pun berdatangan, termasuk buruh media atau biasa kita sebut sebagai wartawan. Sama dengan buruh lain mereka meminta keadilan dalam tugasnya melayani publik. Hal yang menyedihkan tidak banyak media yang memberitakan tentang buruh media.

Ironis padahal para wartawan yang berunjuk rasa bisa dibilang adalah rekan kerja dari wartawan yang sedang meliput hari buruh. Mereka yang tidak memilih libur dan meliput lebih tertarik dengan pelaporan yang basi seperti situasi lokasi unjuk rasa.

Saat saya sudah bosan melihat buruh dengan tuntutannya yang klasik setiap tahunnya, s menggunakan tanda berwarna kuning di lengannya berlari menuju suatu tempat sambi penanggung jawab lokasi unjuk rasa. Sya pun mengikuti polisi tersebut dan benar saj menyanyikan lagu yang mengritik pemerintah. Mereka adalah suatu kumpulan yang meng bisa sejahtera tanpa pemerintahan). Mulanya mereka mecoba bergabung bersama buruh y seperti merusak fasilitas umum, kendaraan warga, dan m

saya memutuskan untuk mengakhiri kegiatan dan pulang. Namun, salah satu polisi yang il membawa Handie Talky (HT). Dilihat dari tanda itu saya mengetahui bahwa ia adalah ja, rombongan anak muda berbaju hitam bergerak dari arah Jembatan Surapati sambil gatasnamakan diri mereka memahami paham Anarki (Paham yang memercayai masyarakat yang berunjuk rasa di depan gedung sate. Namun, karena tindakan mereka yang merugikan mencoret-coret membuat polisi harus menghalau mereka

Rombongan ini pun berhasil dihalau, pada mulanya mereka berjalan secara beraturan. Namun, ketika sampai di Jalan Singaperbangsa, lebak gede situasi mulai memanas. Saya yang mengikuti mereka dari belakang ikut berlari bersama polisi karen tembakan peringatan mulai dilontarkan.

Rombongan itu telah membuat kerusuhan mencoret-coret fasilitas umum, hal ini membuat polisi dan warga geram. Beberapa dari mereka ditangkap dan beberapa “dihakimi” di tempat. Saat berusaha mengambil gambar, seorang wartawan disebelah saya didatangi polisi dan kameranya diambil secara paksa. Melihat hal tersebut saya segera lari untuk menyelamatkan gambar milik saya.

Saya berhasil keluar dari situasi itu dan video yang saya ambil bisa diselamatkan. Namun sayang, saya tidak bisa mengambil foto saat mengambil video sehingga foto-foto ini adalah potongan dari video. Meskipun kualitasnya “kurang” foto-foto terakhir ini adalah bukti kuat kejadian saat situasi mulai memanas di lapangan. (RFM)

BERKATA Serius, Menggelitik.