9 minute read

GAYA HIDUP SEHAT ANAK PUNK

Hari Raya Edge, Gaya Hidup Sehat Anak Punk

Straight Edge Day adalah hari besar bagi sebagian pelaku gaya hidup sehat. Pada 17 Oktober merupakan hari gerakan kaum muda yang menahan untuk menggunakan alkohol, tembakau, dan obat-obatan rekasi lainnya. Sebagai bagian dari gerakan Straight Edge, remaja dan dewasa muda berjanji untuk menjalani gaya hidup bersih.

Advertisement

Banyak yang mengikuti gerakan ini juga menjauhkan diri dari seks rekreasi dan pilihan makanan yang tidak sehat. Straight Edge merupakan sebuah gaya hidup, filosofi dan pergerakan anak muda yang menganut anti penggunaan segala jenis narkoba, minuman beralkohol, merokok dan sex bebas.

Perkembang Straight Edge menjadi sub kultur serta gaya hidup, memotivasi hidup agar tidak merusak diri sendiri dengan mengonsumsi zat-zat berbahaya untuk diri sendiri dan penyikapannya kembai kepada kontrol terhadap individu.

Sejarah hari Edge nasional

Pada tahun 1999, gerakan Straight Edge daymeluncurkan hari nasional ini dengan sebuah acara yang diadakan di Boston, Massachusetts dengan nama “Edge Fest. ”

Gerakan ini mengadopsi istilah dari lagu “Straight Edge” oleh band hardcore punk 1980-an, Minor Threat.

Band Minor Threat merilis sebuah lagu berjudul “Straight Edge” yang isi liriknya tentang kegeraman sang vokalis Ian MacKaye terhadap gaya hidup anak punk dimasa tahun 1980an yang penuh dengan penggunaan narkoba.

Dengan potongan lirik dibawah ini, “I’m a person just like you, but I’ve got better things to do, than sit around and smoke dope, because I know that I can cope, ”

Namun, tak disangka lagu tersebut berhasil menginspirasi jutaan anak punk untuk mengontrol diri dengan melakukan gaya hidup sehat yaitu Straight Edge.

Aktivisme Generasi Z: Mengubah dunia sejak usia muda

Elijah McKenzie-Jackson dibesarkan sebagai vegetarian, dengan alasan kesejahteraan hewan. Ketika dirinya menginjak usia 10 tahun, ia mulai melakukan lebih banyak penelitian dan menemukan dampak iklim serta emisi gas rumah kaca dari proses pemeliharaan ternak dan pembuatan produk hewani.

“Pada usia 14 tahun, saya beralih ke veganisme, hal tersebut membantu saya memahami bahwa untuk memerangi krisis iklim, tidak bisa dimenangkan hanya dengan melakukan perubahan diri sendiri, ” katanya.

Dia sadar, meninggalkan daging dan produk hewani saja tidak cukup. Lantas, pada usia 15 tahun, McKenzie-Jackson meningkatkan upayanya dalam aktivisme.

Dia bergabung dengan XR Youth, sayap independen organisasi Extinction Rebellion yang berbasis di Inggris, yang sejak 2019 telah mengorganisir dan berpartisipasi dalam penyesuaian iklim bersama dengan Jaringan Iklim Pelajar Inggris dan gerakan internasional Fridays for the Future.

Kini, pada usianya yang ke-18, McKenzie-Jackson telah mengambil cuti selama setahun dari sekolahnya, setelah itu ia akan pindah ke New York untuk belajar sosiologi dan seni rupa.

Pengalaman McKenzie-Jackson untuk memulai kehidupan dalam aktivisme di usia muda, dengan totalitasnya akan hal itu – adalah cerita yang semakin umum di kalangan Gen Z.

Lahir antara 1995 dan 2010, generasi ini telah menghadapi tantangan besar saat mereka memasuki masa dewasa: perubahan iklim, ketidaksetaraan dan kerusuhan sosial, perpecahan politik, kesulitan ekonomi, dan banyak lagi.

Hal-hal tersebut setidaknya memiliki andil untuk membuat para kaum muda ini tergerak dan mengambil tindakan.

Meskipun mereka jauh dari generasi pertama yang berbicara tentang ketidakadilan dan penyakit sosial lainnya, keberadaan teknologi telah membuat aktivisme Gen Z terlihat berbeda dari gerakan di masa lalu, ini berarti pengaruh mereka mungkin juga berbeda.

‘Faktanya, tidak ada pilihan lain’

Aktivisme telah lama identik dengan budaya kaum muda. Terhitung sejak protes Mei 1968 di Prancis, demonstrasi menentang Perang Vietnam dan Gerakan Hak-hak Sipil di AS, hingga gerakan Occupyglobal dan Arab Spring di akhir tahun 1990-an, kaum muda memiliki catatan dalam mendorong perubahan sosial.

Gen Z memang babak terbaru dalam ensiklopedia aktivis muda selama beberapa dekade, tapi kelompok ini tampaknya dapat berkomunikasi, memobilisasi, dan menggalang dukungan dengan cara yang berbeda dari generasi sebelumnya.

Dibesarkan dengan latar belakang Resesi Hebat 2008, Gen Z telah mengalami serangkaian rintangan yang unik. Seiring dengan kerusuhan dan perpecahan masyarakat yang belum pernah terjadi sebelumnya, jalan mereka menuju kedewasaan telah diperumit oleh adanya pandemi, yang membuka mata mereka untuk melihat dampak ketidaksetaraan global yang semakin meningkat.

Perubahan iklim berada di depan dan di tengah, mengancam masa depan planet yang mereka tempati. Dan ketika ekonomi dunia memasuki periode ketidakstabilan yang membayangi, Gen Z semakin menanggung bebannya.

“Kesadaran akan krisis menjadi semakin kuat saat ini, ” kata Jessica Taft, profesor Studi Amerika Latin dan Latino di Universitas California, Santa Cruz, yang karyanya berfokus pada kehidupan politik anak-anak dan remaja di seluruh Amerika.

“Tingkat krisis iklim, ketidaksetaraan yang mendalam, fasisme yang menjalar secara global –semuanya adalah ancaman eksistensial. ”

Tentu saja, ada banyak bahaya di masa lalu, akan tetapi potensi dan sifat global dari momen bersejarah ini membentuk anak muda dalam memandang dunia, serta peran aktivisme dalam kehidupan mereka, ungkapnya.

Pemicu kecemasan Gen Z adalah kenyataan bahwa mereka terpapar berita dengan cara yang berbeda daripada orang tua atau kakek-nenek mereka pada usia yang sama; kaum muda mengonsumsi konten seputar isu dan peristiwa sosial hampir terus-menerus. Hanya dengan ponsel pintar, orang dapat mengakses informasi berita selama 24/7 melalui situs media sosial, mesin pencari, situs berita, dan TV. Media sosial dengan cepat menyalip saluran berita tradisional di kalangan anak muda. Instagram, TikTok, dan YouTube kini menjadi tiga sumber berita yang paling banyak digunakan oleh remaja Inggris, menurut otoritas pengatur penyiaran Ofcom. Sementara generasi lebih tua, yang tumbuh dengan mengonsumsi berita melalui media cetak, radio, dan TV masih menyukai mode tradisional ini.

Dengan perangkat teknologi yang menyediakan akses konstan ke berita dan konten yang dibuat pengguna, melarikan diri bukanlah hal yang bisa ditempuh. Kaum muda tidak bisa berpaling dari wacana tersebut, maka tidak heran jika banyak Generasi Z, sebagai digital native terdorong untuk bertindak atas keluhan masyarakat mereka. Mereka melakukan mobilisasi karena ketakutan dan kebutuhan.

Sebagai aktivis kontrol senjata Amerika berusia 22 tahun, penyintas penembakan massal Florida, David Hogg, membuat cuitan: “Saya tidak didukung oleh harapan, melainkan oleh fakta bahwa saya tidak punya pilihan lain. ”

Munculnya para aktivis muda

Paparan konstan terhadap realitas suram telah membuat Gen Z siap menghadapi kesulitan secara proaktif. Data global dari perusahaan riset dan hubungan masyarakat Edelman menunjukkan, 70% Gen Z terlibat dalam tujuan sosial atau politik.

Meskipun tidak semua dari 10.000 orang responden mengatakan bahwa mereka akan menyebut diri mereka sebagai aktivis yang sepenuhnya matang, mereka masih sangat terlibat secara sosial dan mengadvokasi tujuan yang mereka yakini benar.

Mereka merupakan generasi yang paling mungkin untuk memboikot suatu produk, perusahaan, hingga karena sikap politik, sosial, dan lingkungan, yang juga mencakup cara mereka memilih sesuatu. Hanya satu dari lima orang, akan bekerja bagi sebuah perusahaan yang gagal untuk berbagi nilai-nilai mereka.

Sebagian besar aktivisme mereka didorong oleh rasa frustrasi. Bahkan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa mereka umumnya lebih kecewa dengan pemerintah dan bentuk partisipasi politik lainnya daripada orang tua mereka.

University of Cambridge telah mengumpulkan data global sejak 1973, dari situ ditemukan bahwa kepercayaan kaum muda terhadap politik demokrasi sekarang lebih rendah daripada kelompok usia lainnya.

Di antara anak-anak berusia 18 hingga 34 tahun (campuran Gen Z dan milenial), kepuasan terhadap demokrasi menurun pada tingkat yang paling curam.

Bagi kaum muda di negara demokrasi maju, eksklusi ekonomi adalah kontributor terbesar terhadap memudarnya kepercayaan mereka pada institusi.

Berjuang dengan beban utang yang lebih tinggi, peluang yang lebih rendah untuk memiliki rumah, serta tantangan yang lebih besar dalam memulai sebuah keluarga, semakin menyuburkan ketidakpuasan bagi para Gen Z. Pandemi tentu saja tidak membantu. Menurut penelitian dari London School of Economics and Political Science, individu yang mengalami epidemi, seperti Covid-19, virus Zika, Ebola atau Sars, antara usia 18 dan 25 tahun cenderung memiliki sikap negatif terhadap pemerintah dan pemilihan umum untuk waktu yang lama setelah epidemi berakhir.

“Sementara individu muda menarik diri dari politik formal – yang tidak mengejutkan, karena kurangnya kepercayaan – mereka juga cenderung meningkatkan partisipasi mereka dalam proses demokrasi melalui cara alternatif dan lebih langsung, ” jelas Orkun Saka, salah satu penulis makalah, dosen tamu di LSE dan asisten profesor ekonomi di City, University of London. Ini termasuk kegiatan seperti menghadiri demonstrasi, protes, boikot dan menandatangani petisi. Buntut dari penurunan kepercayaan pasca-epidemi dapat membuat orang muda merasa ingin mengambil tindakan sendiri.

“Mereka mungkin menjadi lebih kritis terhadap pemimpin politik dan pemerintah mereka, hal tersebut tentu bukanlah konsekuensi buruk bagi dirinya masing-masing, ” kata Saka.

Satu yang paling menonjol adalah usia di mana aktivisme Gen Z dimulai –secara umum, lebih muda dari generasi sebelum mereka.

Greta Thunberg melancarkan protes pertamanya di luar parlemen Swedia pada usia 15 tahun, yang menurut Subir Sinha, seorang dosen teori dan politik pembangunan di SOAS University of London, memicu efek domino, membuat kaum muda memiliki panutan dalam mengekspresikan kemarahan, dan dengan alasan yang baik.

"Dia... tidak tampak seperti dikemas, " katanya. "Ini adalah aktivisme pasca-selebriti, dengan sikapnya yang biasa-biasa saja dan tidak glamor sebagai bagian dari daya tariknya. "

Banyak aktivis muda telah mengikuti jejaknya, mendapatkan pengakuan global karena berbicara tentang isu-isu perubahan iklim, meski baru berusia delapan tahun.

Licypriya Kangujam dari Manipur, India misalnya, pada usia 10 tahun, dia berhasil melakukan kampanye untuk membersihkan semua polusi plastik dari daerah sekitar Taj Mahal.

“Gagasan bahwa mungkin tidak akan ada masa depan, atau jika ada, itu bisa sangat memperkeruhnya, secara telak membebani pikiran mereka, ” kata Sinha.

“Aktivisme perubahan iklim semestinya berurusan dengan konsep-konsep ilmiah yang abstrak, tetapi dengan kebakaran hutan tahunan, banjir, kekeringan dan rekor panas matahari, ditambah berita dan liputan media sosial tentang semua ini, kita dapat merasakan percepatan iklim dan itu menambah hawa kiamat yang akan datang. ”

Inilah mengapa banyak anak muda yang melihat perubahan iklim sebagai ancaman eksistensial dalam hidup. Mereka berpartisipasi secara vokal dalam gerakan dan menuntut kursi di meja perundingan global.

This article is from: