
2 minute read
Jendela
SUaRa aZaN PaGI
SEKITaR sepuluh tahun lalu saya pernah punya murid asal Denmark yang belajar bahasa Indonesia di Yogyakarta. Dia terkejut manakala pada hari pertama tinggal di homestay mendengar suara keras loud-speaker di pagi hari buta. Ini pengalamannya pertama kali mendengar suara azan dari sebuah masjid dekat tempat tinggalnya.
Advertisement
Di negara-negara muslim seperti Indonesia, suara keras azan yang dikumandangkan dari berbagai masjid dan mushola secara berbarengan memang bisa menjadi orkestrasi tersendiri yang menjadi penanda mulai bergeliatnya kehidupan. azan pagi seringkali lebih menjadi penanda daripada azan lainnya. Belum lagi ditambah dengan kokok ayam jantan dan nyanyian burung-burung yang kian menambah eksotiknya suasana pedesaan. Di kota-kota besar, kita masih mendengar azan pagi tetapi tidak bisa lagi mendengar suara ayam dan burung-burung yang membangunkan kita untuk mulai beraktivitas hari itu.
Melalui azan pagi yang dilanjutkan dengan shalat subuh, orang-orang di negara kita ini mulai beraktivitas, jauh lebih pagi daripada negara lain. Tidak banyak negara-negara di dunia ini yang aktivitas kantor dan sekolahnya dimulai pada jam 7 pagi. Paling-paling hanya jam 8. atau malah jam 9, bahkan ada yang mulai pada jam 10.
Ini aktivitas resmi. Bahkan tidak sedikit karyawan yang harus terburu-buru mengejar presensi kantor pada jam 7 pagi. Selain itu, banyak penjual, pedagang, petani, apalagi nelayan yang memulai aktivitas keseharian mereka jauh lebih pagi. Bahkan ada yang lebih pagi daripada suara azan. Ini jelas-jelas meruntuhkan stereotip kalau bangsa kita tergolong bangsa pemalas. Memang sebuah stereotip adalah sebuah cap negatif yang seringkali kebenarannya tidak terbukti secara faktual.
Beberapa kota yang tidak banyak masjid seperti negara-negara yang penduduknya non-muslim tentu saja sepi dari suara azan pagi. aktivitasnya pun bisa lebih siang. apalagi di negara-negara belahan utara atau selatan yang mendekati kutub, yang seringkali bersalju, aktivitasnya kian siang. Meski sore dan malamnya lebih banyak aktivitas.
Terkait dengan suara azan pagi ini, saya teringat kembali sebuah lagu lawas yang didendangkan lilis Suryani. Mungkin anda belum pernah mengenalnya atau mungkin sudah melupakannya. liriknya sebagai berikut. //Teringat aku akan kampung halaman/ yang telah kutinggalkan/ kembali terlukis dalam ingatanku/ ibunda sayang// Terbayang bila sang surya telah nampak/ di ufuk timur/ terdengar suara burung berkicau/ ayam berkokok// Dari jauh tampak surau/ sepoi-sepoi suara orang mengaji/ terdengar suara azan/ ia memanggil kepada umatnya/ untuk beribadah// Bila senja telah tiba/ kami berkumpul sesanak keluarga/ bila semua kukenang/ terlintas hasratku ingin kembali/ kampung halaman//. lagu itu kini terasa mewakili diri saya, mewakili sebuah ketersendirian, sebuah keterasingan dan mendamba akan memori masa lalu, memori tentang kampung halaman. Hanya dalam bahasa Indonesia (Melayu) ekspresi “rindu kampung halaman” muncul. Bahasa lain barangkali tidak memiliki ekspresi yang tepat mewakili rasa kerinduan semacam itu. Dalam bahasa Inggris ada kata “homesick” tetapi maknanya lebih sempit, belum mewakli rindu kampung halaman, sebuah memori kolektif dari sebuah komunitas identitas. lalu ada peribahasa yang berbunyi, “Sejauh-jauhnya burung merantau, pasti akan kembali ke sarangnya”. Dalam sebuah perantauan, ada hasrat untuk kembali. Itulah yang menjadi pertanyaan terhadap kisah Malin Kundang. Mengapa setelah sukses dan kaya ia ingin kembali ke kampung halamannya, mengapa ia ingin menemukan kembali ibunya. Inilah pertanyaan yang selalu menggelitik, jauh lebih mengundang pertanyaan daripada sekedar kisah tentang kutukan yang berawal dari pengingkaran terhadap ibunya.
Tulisan ini ditulis dari sebuah sudut yang juga bernama Malin, tetapi barangkali tidak ada hubungannya dengan Malin Kundang dari Sumatera Barat itu. Ini berasal dari Malin, sebuah kawasan kecil di pinggiran barat daya kota Chiang Mai, Thailand. Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Dan selamat berlebaran, selamat mengunjungi kampung halaman.
dr. nurhadi, m.hum. pemimpin redaksi