6 minute read

cerpen

Next Article
Bina rohani

Bina rohani

Masasoul*

Oleh AMAnATiA JUnDA S.

Advertisement

tak peduli. Aku malas untuk peduli.

Angin semakin keras mengetuk-ketuk daun jendela. Berirama. Tapi tak pelak membuatku menggigil semakin ketakutan. Aku tak boleh begini, ya, aku harus ke dapur, membuat sesuatu yang hangat untuk menenangkan syaraf-syaraf otak yang menciut. Aku merasa jauh, sangat jauh untuk mencapai dapur, tempat dentingan sendok dan garpu membentur botol-botol tuak beberapa hari yang lalu. Slagen—juru masak bertubuh gemuk—suka memainkan orkestra seorang diri dengan bantuan perabotan masak memasak. Aku harus melewati lorong yang panjang untuk sampai ke sana.

Beberapa lukisan kembali hidup. Aku seperti melihat gadis-gadis Bali melenggak-lenggokkan tubuhnya. Titisan Brahmana, keturunan Sudra… para ida Ayu dan Luh-Luh yang lincah menari hidup di lorong, menemaniku. Aku bergidik.

Lap!

Sial!

Listrik padam. keangkeran seperti sedang membawa searmada hantu untuk menyiksaku seorang diri di rumah keramat. Aku meraba-raba dinding agar tak menabrak sesuatu. Apa pun yang berada di rumah ini adalah berharga. kekunoan, keantikan, dan kelangkaan yang terjadi pada barangbarang tertentu membuat Sekaraji sekeluarga terjangkit penyakit akut. kolektor paling gila yang pernah kutemui.

Aku nyaris memecahkan kotak kaca, saat tubuhku tak sengaja menyenggol kotak berisi keris-keris pusaka. Samar-samar, aku seperti mendengar napas tersengal beberapa orang. Aku menulikan telinga. Aku tahu kotak kaca itu berkabut, keris-keris itu memiliki ruh. Aku berlari kembali ke kamar. Secepat yang kumampu. Berkali-kali kakiku menabrak benda antik. Seperangkat porselen Cina nyaris terjatuh, tumpukan aksesoris suku Asmat terguncang, dan aku nyaris menjatuhkan satu set permainan mendalang yang berada di lemari paling atas. Seseorang telah menungguku di kamar. Tersenyum hangat. ia mirip dengan wajah teduh seorang perempuan khas Jawa tulen. Bersanggul, berkebaya, dan berjarik batik tulis Solo. Cermin mengerikan telah diselimuti selembar kain hitam. Aku mengenalinya sebagai kain suku Badui luar, dari penerangan lilin yang menyala begitu saja. Aku tahu ini janggal dan aku tahu pasti aku akan tidur nyenyak malam ini. Bersama seseorang yang kuanggap ibuku. Entah dari mana. ***

Pepohonan di Taman kota Bungkul memayungi beberapa bangku panjang dari terik panas matahari. kendati pun aku berhasil menemukan tempat yang asri dan teduh, aku masih tak bisa melupakan peristiwa semalam. Tadi pagi aku terbangun dengan keadaan seperti saat ruhmu belum genap masuk ke sendi-sendi tubuhmu. Aku berjalan terombang-ambing

AkU diliputi sensasi keanehan yang membeku tatkala cermin setinggi 2 m berdiri mengerikan di depan ranjangku, persis. hawa dingin menyeruak serasa menggelitik tengkuk. Cermin berbingkai sulur-sulur yang menjulur semakin ke atas dipertemukan oleh kepala ular yang memamerkan taring berbisanya, seakan-akan hendak menancapkan taring tersebut di leher setiap orang yang sengaja berdiri tuk bercermin.

Aku memegang leherku. Entah mengapa, yang kurasa justru ular itu hidup, menyeringai memberi salam. kuamati sekujur bingkai cermin yang berkaki mengadopsi kaki gagak yang berkuku tajam. Lagi-lagi aku dilanda perasaan ngeri saat bayangan itu melintas di otakku, dan ini tanpa kusadari, kaki-kaki itu telah mengoyak seonggok daging. karnivora tersadis, yang memakan separoh lebih bangkai manusia yang membusuk. “Apa kubilang? Cermin ini sangat menakjubkan bukan? Aku senang melihatmu sampai terbengong-bengong mengagumi benda temuanku ini.” Aku menoleh, seorang gadis berkepang tiga dengan leher diberati setengah lusin kalung batu-batuan eksotis, kini bersandar di ambang pintu kamar. rok pendeknya yang bertumpuk-tumpuk dengan baju kerut-kerut kusam membuatku terpaksa berpikir bahwa ia adalah gadis ketinggalan zaman, atau memang, membenci kemajuan zaman. ia seperti gadis pada umumnya di tahun 70-an. Mungkin. Sejauh aku teringat foto kenangan ibunya bersama teman-teman sebayanya dulu.

“Terima kasih telah repot-repot mengamatiku” kataku sinis sekaligus risih. “hm... ya, sama-sama” ia berjalan menghampiriku, refleks aku mundur beberapa langkah. ia tak peduli, jikalau aku memang telah mengetahui tabiatnya.

“kau sakit, regi?”

Aku pucat. Wajahku terpantul dari cermin dan tanpa perlu susah payah kumengerti, aku sedang dilanda ketakutan. kepala ular itu semakin membuka moncongnya. Aku menggeleng perlahan. “Oh ya, besok aku akan ikut lagi bersama Om hongoi. kali ini ke Sumbawa. kami akan mencari patung kuda peninggalan kerajaan....”

“Berapa lama kau di sana?” potongku cepat.

Mata si gadis membulat, bersinar-sinar. Tampaknya ia bahagia atas pertanyaanku. “kau akan merindukanku regi?”

Aku ingin berlari. ke toilet. Memuntahkan kegetiran yang selama ini diaduk lambungku. *** hujan menderu di luar sana. Aku berharap ada seseorang yang menawariku selimut tebal dan secangkir coklat panas. Tapi itu tak mungkin. Aku tertawa kering, mengejek diriku sendiri. karena hanya aku yang berada di rumah keramat. Beberapa penghuninya, mereka dengan pola perilaku eksentrik, meninggalkanku untuk ekspedisi favorit mereka. Aku

ke kamar mandi. Mencium aroma khas wewangian ibuku, dan tiba-tiba tersentak kembali ke alam sadarku. Di mana wanita yang kemarin? Aku masih bisa merasakan sentuhan lembutnya mengelus rambutku dan meninabobokanku dengan tembang-tembang Jawa.

“hai!” sapa seorang pemuda, riang. ia melambai dan bergegas berjalan menghampiriku. Sepertinya ia memang sedari tadi mencariku. “Di sini kau rupanya, regi. Aku ingin mengembalikan buku-buku sejarah peradaban Majapahit yang aku pinjam minggu lalu. Beruntung, aku menemukanmu melamun di sini. Ada apa? Wajahmu kusut sekali.”

Danang. satu-satunya temanku yang masih tersisa lantaran ia mempunyai hati yang begitu mulia. ia adalah mahasiswa yang hanya melihat dari sudut pandang kebaikan saja. itu yang aku temui di sorot matanya tatkala isu bahwa aku, regi si gadis super malang, mempunyai hubungan tak wajar dengan Sekaraji, si gadis nyentrik. Pasangan lesbian.

Semua teman seolah-olah ambil jeda cukup jauh dan dingin padaku yang setiap hari harus mengekor, menemani dengan setia kemana pun Sekaraji berada. Aku yang semula seperti abdi ndalem-nya kini naik pangkat sebagai kekasihnya.

Aku tak sudi! Aku gadis normal. Aku mencintai Prasetyo saat aku masih duduk di bangku SMA. Tapi karena keluarga Sekaraji-lah aku bisa mengenyam pendidikan di jenjang tertinggi. Tapi, apa harus harga diriku kukorbankan? Termasuk sisa hidupku juga?

“ke mana Sekaraji? hunting lagi dia?”

Aku mengangguk. “Cari apa sekarang?”

“Patung.”

“Berarti kau di keramat sendirian ya?” Danang menyebut kediaman keluarga Sekaraji, yang kerapkali dibuka untuk umum sebagai objek penelitian benda-benda antik. Seperti galeri atau museum tepatnya. Aku mengangguk lagi, tanpa ekspresi. “hm…” Danang duduk di sebelahku sambil memandang lurus ke depan. Aku tak tahu ia sedang mengamati apa. Wajar saja bukan, jika mahasiswa Antropologi senang mengamati manusia-manusia di sekelilingnya?

“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu regi,” Danang utarakan kabar yang menggantung. namun aku tak meresponnya lebih lanjut. Terakhir kami bertemu, kami sedang mendebatkan penyebaran ras Mongoloid dan penyebaran manusia dari yunani. ia menanti reaksiku, atau mungkin mengharapkan nada ketidaksabaran, atau bisa jadi bersiap mengajakku kembali di perdebatan kemarin lusa, tapi akhirnya ia meneruskan, “Berkali-kali aku ingin membicarakan hal ini, tapi Sekaraji dengan over protektifnya selalu membentengimu.”

Aku sedang memikirkan cara untuk lari dari kehidupan aneh ini, apapun cara itu akan kulakukan, meski harus terdampar ke masa-masa lampau yang primitif. ya, tanpa ada pengawasan Sekaraji, yang bisa membebaskan jiwaku. Pusaran lamunanku mendadak terhenti, menyusut, lalu lenyap, saat suara Danang membuatku tersengat, spontan aku menoleh padanya. “Aku sayang sekali padamu regi.” kasih sayang hendaknya berasal dari orang-orang yang tepat. Aku bisa menghitung berapa banyak yang menyayangiku. Satu. hanya ibuku seorang. Beliau yang menamaiku dengan nama tanpa arti—regi—dan aku juga sangat menyayanginya. kini beliau meringkuk dalam tahanan rumah sakit jiwa. ibu yang selalu kupanggil Emak adalah seorang bekas sinden yang terdampar di kaki gunung Bromo, lalu ditempa dunia yang mengecapnya sebagai wanita hina, dan aku seba gai seorang bayi haram. kehidupan serba kekurangan selalu beliau tuturkan dengan tersurat lewat cita-citanya yang tinggi. “regi besok harus jadi presiden… memimpin rakyat yang patut dipimpin. Jalannya dari kesabaran dan kerja keras. Apa pun yang terjadi regi harus sekolah terus sampai pintar.” kasih sayangnya mengantarku pada kediaman keluarga Sekaraji. Pada Desember malam, hujan turun begitu deras saat aku yang seharusnya berada di rumah sakit, berbaring dengan demam. Emak yang membawaku jauh-jauh dari pedalaman Tengger turun ke kota besar, kini begitu rapuh, ketakutan melihat tubuhku menggigil namun dengan kulit membara. kami adalah pengais sampah. hingga suatu akhir masa itu, jarum-jarum hujan menusuk-nusuk rumah kardus kami tanpa belas kasih, dan aku bahkan merasa cita-cita adiluhur Emak telah terbawa arus banjir ke comberan, serta kebahagiaan kami sewujud rongsokan sampah tak berharga di pembuangan. Lalu semua berakhir begitu saja. Emak tak kuasa menanggung beban hidup, jadi tak waras.

Lantas, apa ketidakwarasannya menjadi sebuah berkah tersendiri padaku, yang kemudian aku dipungut keluarga Sekaraji, dan menjadi anak angkat mereka?

“hei, regi! Jawablah. kenapa kau hanya diam terus? kumohon, apa kau juga mencintaiku?” Danang menggoncanggoncangkan tubuhku. Aku menepis tangannya. Aku bergegas pulang. Aku tahu, tanpa perlu berbalik menatap matanya. Ada sorot luka di sana.

cerpen

*BeRsamBUnG ke edisi selanJUtnYa

amanatia JUnda solikHaH mahasiswi komunikasi UGm

This article is from: