6 minute read

cerpen

Next Article
Bina rohani

Bina rohani

Janji Bapak

Oleh aUFaNNUHa IHSaNI

Advertisement

Saat itu ingin kupeluk kamu. Mungkin sambil menahanmu untuk tidak pergi. Tapi tak mungkin. Lingkungan pesantren tempat kita belajar bahkan melarang santri-santri untuk sekedar bercakap dengan lawan jenisnya. Dan kamu, sayangnya, adalah anak dari salah satu pengasuh pondok.

“kenapa Malaysia?” tanyaku.

“ayah dapat beasiswa S3 di sana, dan setelahnya diminta untuk menjadi tenaga pengajar di universitas yang sama. aku ndak tahu berapa lama. Mungkin, dan mungkin sekali akan sampai hitungan tahun,” katamu. Isak tangis itu reda sejenak. kamu menjelaskan alasan-alasan yang begitu berat, yang mungkin tak bisa kamu terima ketika pertama kali mendengarnya.

Sekilas kemudian aku terkenang pertemuan pertama kita di perpustakaan. kamu sedang mencari buku yang telah habis terpinjam. aku belum mengenalmu kala itu. kelas putra dan putri terpisah. Dan perpustakaan adalah satu-satunya tempat di lingkungan pesantren di mana dua lawan jenis bertemu.

“Harno,” kamu memecah lamun kenangan itu. “aku ndak mau kita makin berlarut saling menyukai. ayah juga mungkin ndak akan setuju, dan aku bakal jauh dari kamu. Makanya, kupikir kita bisa selesaikan di sini. Semuanya.” aku diam. Dan mungkin itu yang paling baik. kamu Laila Isnaini, anak gus Taqim, putra tertua kyai Sholeh. Seorang kyai biasanya akan menikahkan putra atau putrinya dengan anak dari kyai lain. Sedang aku cuma anak seorang petani lereng Merapi. kita tak mungkin bisa saling suka. ada perbedaan yang besar. Dalam pelajaran fiqh bab nikah ada satu istilah bernama kufu’, kesepadanan derajat antara seseorang dengan calon mempelainya. kita berpisah sore itu dengan satu janji: sepuluh tahun lagi kita akan bertemu di tempat yang sama. kita akan saling mengenang masa lalu bukan sebagai kekasih, namun sebagai orang dewasa yang hendak bertukar kabar dan berita. Jika pertemuan di tahun 1981 tak terlaksana, maka sepuluh tahun atau sepuluh tahun berikutnya. Sore itu, 2 Januari, gerimis yang menegaskan hujan menepis kesangsian bahwa tak akan ada pertemuan kembali denganmu. ***

Sebentar lagi mungkin aku akan pergi ke mushola atau masjid terdekat dan sekalian beli camilan. rolasan, orang Jawa biasa menyebutnya. Tapi rolasan hanya berlaku ketika seseorang sedang bekerja, sementara aku? ah, tak apa. “Menunggu” kan juga kata kerja. Terlebih aku memang diajari Bapak untuk selalu sembahyang pada waktunya. ah ya, tadi aku bilang kalau Bapakku pernah mengajakku

eberapa ratus meter setelah kalian melewati gerbang retribusi, tempat orangorang membayar biaya masuk wisata kaliurang, di kanan jalan akan ada jalan setapak. Jalan itu sempit saja. Jarang ada orang-orang melewatinya. Tapi jika kalian kebetulan ada dalam perjalanan ke lereng Merapi, singgahlah barang sebentar. Sebab di sini akan aku kisahkan tentang kesetiaan seorang lelaki.

Dan di tempat itulah aku kini.

Orang Jawa biasa menyebutnya tongeret, serangga sebesar ibu jari yang berisiknya sedang kudengar. Di hadapanku jurang yang dalam. Saat tiba di sini tadi aku masih tetap saja tertegun memandang ketinggian yang mengerikan itu, meski tempat ini tak asing lagi buatku. Bapak beberapa kali mengajakku kemari, dulu sekali.

Sebiji pinus jatuh dengan seratus kali kecepatan selara. aku menoleh. Seorang ibu berkaos dan bersarung berada beberapa meter dari tempatku. Bukan, bukan. Ia bukan wanita itu. Mungkin ibu itu penduduk sekitar sini.

Ia memandangiku sesaat, sadar sedang aku perhatikan. Dan ya, ia memang bukan dia. Ibu itu sedang mencari kayu bakar tampaknya. Jalannya makin dekat ke arahku. Namun pandangnya tertuju pada tempat-tempat di mana ada kayu tergeletak. ia pun terus berjalan.

Ini ganjil. Seolah kayu-kayu yang ia dapatkan berada antara aku dan ia. ketika jarak di antara kami semakin dekat, mau tak mau ia mesti menyapa. Dan mesti kubalas pula senyumnya. “Sendirian, Mas?” ia bertanya.

“Nggih, Bu.”

“Dari tadi kok saya lihat sampeyan duduk di sini terus. ati-ati, Mas. Jangan ngalamun di sini. Ndak baik,” katanya.

“ah, mboten kok Bu…. Saya sedang menunggu seseorang.” aku tak ingin memperpanjang percakapan dengannya. Tapi masih saja ia bertanya.

“Nunggu pacarnya ya?” aku hanya tersenyum. Ibu itu menjauh. *** aku mengalihkan pandangan ke pohon-pohon pinus. Hamparan rumput tempat kita duduk.

“kami berangkat esok kamis. Tiket sudah dipesan. Dan ayah mengambil pesawat pertama yang terbang hari itu,” katamu.

“kita ndak mungkin ketemu lagi?” Sebuah tanya yang aku sudah membajakan hati dengan jawaban yang paling buruk.

“aku ndak tahu….”

ke tempat ini. Beberapa tahun sekali jika kubuat jeda antara kunjungan satu dengan setelahnya. ada kaliurang dan kalikuning, sebenarnya, wisata yang buatku lebih menarik dibanding tempat ini. kalian bisa menemukan tempat macam ini di mana saja di sepanjang jalan menanjak, dengan pinus yang lebih lebat atau rumput yang lebih luas.

Hanya saja, semasa kecilku dulu Bapak tak pernah menjelaskan mengapa tempat ini begitu sering kami, dan hanya kami berdua, selalu kunjungi. Ya, selalu hanya kami berdua, tak pernah ada orang lain. Ratih, adikku yang terpaut dua tahun itu, tak pernah diajak. Juga Mbak Sari, apalagi Ibu.

Sejauh aku mengingat, jika telah sampai di tempat ini, Bapak biasanya akan menyuruhku duduk beralas rumput di sampingnya. Lalu ia bercerita: masa kecilnya dulu, kehidupan pesantrennya, atau betapa ia ingin jadi seorang petani namun pendidikan membuatnya menjadi seorang guru.

Usiaku kini 27 tahun. kenangan akan Bapak dan apa yang dikisahkannya masih terekam jelas dalam ingatan. Bertahun rentang usia di antara kami tak lantas membikin semacam sekat yang memisah definisi seorang sahabat. *** ketika mengambil air wudhu di mushola itu seseorang tiba-tiba saja memanggil, “galih!”. aku menoleh. Bapak berpeci itu memang kukenal. “kamu galih, kan?” ia bertanya lagi.

“Nggih, Pak.”

“Wah, wah, njanur gunung kamu ada di sini. Sama siapa? keluargamu sehat?” aku menyambut uluran tangannya.

Dia Pak Hasan, teman Bapak sesama guru di SMa tempatnya mengajar. Pak Hasan telah menjadi karib bagi Bapak sejak menjadi guru. Ia mengampu Fisika dan Bapak mengajar Bahasa Indonesia. aku heran bagaimana dua bidang studi yang hampir tidak berhubungan itu dapat membuat mereka akrab dan nyaman mengobrol satu sama lain. ah, mungkin karena rumah Pak Hasan memang di dekat mushola ini. Dan tiap kali Bapak mengajakku kemari selalu disempatkannya untuk bertamu ke rumah Pak Hasan. “Sendiri saja, Pak. Ya, alhamdulillah. Ibu dan adik sementara memang mengungsi di rumah saya di Condong Catur. Rumah di Cangkringan baru akan direnovasi bulan depan,” terangku. “Hmmm, ya, ya.” Roman mukanya berubah sejenak kemudian. “Saya minta maaf, ndak bisa melayat Bapakmu tiga minggu yang lalu. Menyesal sejadi-jadinya, memang. Tapi waktu itu saya sedang membantu keluarga mengungsi juga. ah, Bapakmu itu, kangen saya sama dia,” katanya. aku hanya tersenyum. Dan ya, siapa yang tak akan kangen pada Bapak, orang yang tak pernah berbuat salah pada siapa pun? Orang yang selalu lembut pekertinya dan mengerti suasana hati setiap orang.

“Oh ya,” Pak Hasan melanjutkan. “kemarin saya ke makam Bapakmu. kok ada kembang di atas kuburannya. apa kamu barusan ziarah juga?”

“Ndak, Pak. Saya terakhir kali ke makam tiga hari yang lalu, dan cuma berdoa saja.”

“Lha, lalu siapa yang nabur kembang ya? Baru, kok. Belum layu,” ia masygul nampaknya.

Setelah itu kami berjamaah. Hanya ada tujuh orang di surau kecil ini. kebanyakan bercelana jeans. Yang bersarung hanya si imam dan Pak Hasan.

*** ada selalu hal-hal yang tak bisa dinalar oleh akal manusia ketika bencana tiba. Bapak berada di rumah. Ratih dan Ibu sedang dalam perjalanan ke Bandung, menengok Mbak Sari. Bapak bilang ia hanya berdiam di kolong kasur ketika awan panas itu tiba-tiba datang. Tim SaR tiba tiga hari kemudian. Seminggu Bapak dirawat di Sardjito, beberapa hari di rumahku. Dan pada kamis pagi ia sudah pergi.

Seakan ada sasmita, pada malam sebelum ia melepas raga, berceritalah ia padaku tentang Laila. Tentang janji yang kemudian ia titipkan padaku.

Bapak memang tak pernah bicara sedikit pun mengenai Laila. Pernikahannya dengan Ibu selama lebih dari tiga puluh tahun tak pernah diusiknya dengan membuka setitik rahasia. aku tak tahu bagaimana kemudian Bapak benar-benar mengubur rahasia itu. empat puluh tahun lamanya Bapak berusaha menetapi janjinya, dan empat puluh tahun juga ia ingin percaya kalau orang yang ditunggunya akan datang.

Bapak memintaku untuk tak bercerita kepada siapa jua, pun pada Ibu. Ia tak mau Ibu punya kesan lain terhadapnya selepas ia mangkat. aku tak tahu apakah Bapak benar-benar mencintai Ibu. Sebab selama ini pula aku tak pernah melihat keduanya bertengkar. kukira akan perih rasanya bila menjadi Bapak. Sebab kini matahari sudah jauh di ufuk barat. Spion motorku memantulkan jingga hingga biasnya jatuh di kejauhan. angin sebentar-sebentar berhembus sepoi, dan shalawat pengantar adzan maghrib sayupnya masih dapat kudengar. Mataku kembali basah, sebab tak yakin akan ada sepuluh tahun lagi untuk tak sia-sia kutunggu.

auFannuha ihsani jurnalis ekspresi

This article is from: