
2 minute read
Jendela
Merapiku...Oh...Merapiku...
BERMULA dari kehidupan tenang, aman, tenteram, dan damai. Seperti biasanya, segenap warga Yogyakarta khususnya, dan sekitarnya pada umumnya dianugerahi oleh Allah swt dengan peri kehidupan yang tata titi tentrem, adhem ayem, gemah ripah loh jinawi, semua melakukan pakaryan sehari-hari sebagaimana biasanya. Semuanya samya saiyeg saeka kapti bahu-membahu, saling menjual-saling membeli, saling membutuhkan-saling dibutuhkan, saling memberi-saling menerima.
Advertisement
Tiba-tiba, gunung kebanggaan warga Yogyakarta – Gunung Merapi – yang selama ini dinilai anteng merbawani, anggun berwibawa, mulai bikin ulah gara-gara terserang penyakit batukbatuk. Berawal dari batuk-batuk kecil, semakin kencang, semakin kuat, semakin dahsyat, dan berhamburanlah dari mulutnya yang menganga lebar: asap tebal, awan panas ‘wedhus gembel’, hujan abu, hujan pasir, lahar panas, dan banjir lahar dingin.
Semua binatang penghuni lereng Merapi yang memang punya naluri dan instink jauh lebih tajam ketimbang manusia sudah jauh-jauh hari meninggalkan ‘pemukiman’ mereka untuk pergi jauh ke tempat yang lebih aman. Manusia yang dalam hal ini kalah peka dibanding para hewan itu pun baru berhamburan tungganglanggang begitu ancaman besar sudah di depan mata. Mereka berlari pontang-panting kadya gabah den interi. Ada yang berlari tanpa tahu harus ke mana. Ada yang berlari untuk berlindung di tempat sanak saudara dan kenalannya. Ada yang menuju posko-posko pengungsian yang alhamdulillah segera disiagakan dengan sigap oleh pemerintah (daerah) maupun berbagai pihak yang punya kepedulian terhadap para korban bencana Merapi ini.
Intinya, Gunung Merapi njeblug, meletus hebat, yang mengakibatkan berbagai kawasan luluh-lantak, berbagai bangunan rata dengan tanah, hewan-hewan piaraan, persawahan, ladang, tegalan, kebon, pekarangan hangus terbakar atau tertimbun abu dan pasir. Sekian banyak jiwa manusia bertumbangan tidak sempat menyelamatkan diri. Seorang Mbah Maridjan, pengasuh dan juru kunci Gunung Merapi yang selama ini dimitoskan ‘tidak mungkin terjadi apa-apa atas dirinya terkait dengan ulah Gunung Merapi’ pun harus rela menjadi ‘tumbal’ keganasan si wedhus gembel. Kita mencatat bahwa ia rela mati demi prinsip ‘suthik tinggal glanggang colong playu’. Layaklah kiranya Mbah Maridjan dipikirkan untuk digelari ‘Pahlawan Kearifan Lokal’ atau ‘Pahlawan Kebudayaan’ atau ‘Pahlawan Merapi’.
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), sebuah universitas besar di Yogyakarta, adalah universitas milik rakyat, maka UNY selalu merasa memiliki rakyat. UNY kontan berpikir, bersikap, dan bertindak cepat dan responsif demi ikut menyelamatkan dan membantu para korban erupsi Gunung Merapi. Jadilah, Gedung Olah Raga (GOR) UNY dan sekitarnya – yang beberapa tahun lalu juga dijadikan posko penampungan korban gempa bumi Bantul dan sekitarnya – disulap menjadi posko penyelamatan korban bencana Merapi.
UNY merasa terpanggil dan berupaya memenuhi panggilan itu. Para korban tidak boleh dikorbankan dan semakin menderita. Para korban tidak boleh dibiarkan semakin terpuruk. Mereka harus tetap punya nyali untuk bangkit kembali. Para korban harus segera mampu berdiri – tegak – dan berlari. Oleh karena itu, di samping mereka dihibur, dicukupi berbagai keperluannya, mereka juga dibekali dengan berbagai kemampuan dan keterampilan sesuai minat dan pilihan masing-masing, yang itu diharapkan akan teramat bermanfaat setelah mereka boleh kembali ke asalnya masing-masing.
Bencana erupsi Gunung Merapi ini adalah musibah murni, bukan hasil rekayasa ‘tangan jahil’ manusia. Sebuah musibah alam yang memang tidak mungkin dihindari. Maka, yang bisa kita lakukan, di samping berupaya semaksimal kemampuan mencegah datangnya bencana serupa, adalah berdoa memohon kepada Tuhan agar bencana Merapi ini segera berakhir, sehingga kehidupan bisa berjalan normal kembali seperti sedia kala, dan tidak lagi terjadi bencana -bencana lain yang serupa. Amin.
drs. sUmaryadI, m.pd. pemimpin redaksi