
4 minute read
cerpen
Cinta dan air mata
Oleh aNa ROSDIaNa
Advertisement
meninggalkan ruang pengasingan ini. menerobos hujan. ***
Tidak seperti biasanya, menikmati waktu berdua selalu menjadi momen menyenangkan. Senja ini berbeda. Dalam benak kami hanya terbayang cinta dan air mata. Sekian tahun bersama, namun chemistry di antara kami baru saja muncul dalam hitungan bulan. Biarlah kami sebut chemistry itu dengan nama “cinta”. lalu, air mata? Benda lembut dan basah itu mungkin akan mulai akrab dengan mata kami. Karena ternyata cinta tak sanggup mengelak dari sebuah realitas: perpisahan!
“Besok kereta berangkat jam berapa?” tanya Ifah pelan.
“Jam 07. 30 pagi,” jawabku pendek. meneruskan kesibukanku mengunyah jagung bakar rasa padas gurih yang kami pesan setengah jam yang lalu di pinggir jalan langensari. Tempat jagung bakar favorit kami. Dua buah jagung bakar dan jeruk hangat ini sebagai upah telah menunggu Ifah sekian lama.
Tidak ada obrolan lagi setelah itu. Ifah juga asyik dengan jagung bakar pedas manis, selera orang Yogyakarta atau Jawa Tengah pada umumnya. aku yakin dalam diam ini, banyak hal berkecamuk di hati kami. Seperti biasa hanya dengan diam kami sikapi. Tidak lama kemudian suara motor Satriya merah menarik perhatianku. azwan...
Pekikku pelan. Seulas senyum juga tercipta dari bibir Ifah. Ternyata Ifah memintanya datang. Tempat ini memang berkesan bagi kami bertiga. Saat pertama datang dulu adalah saatsaat kami penat dengan segala urusan di organisasi mahasiswa. azwan dan aku berkarya di Badan eksekutif mahasiswa (Bem). Sebuah lembaga eksekutif mahasiswa. Ifah di lembaga legislatif Dewan Perwakilan mahasiswa (DPm). Terkadang gaya kami seolah birokrat Senayan saja. Bedanya kalau di Senayan banyak lahan untuk menggelembungkan kantong, sedangkan kami lebih sering mengorbankan uang saku kami yang pas-pasan untuk aktivitas ini. amanah. Di dalamnya ada hak-hak orang lain. Sampai-sampai penyakit “kanker” alias kantong kering menggerogoti kami.
“Bagaimana, Na ... sang pangeran?” celetuknya. Selalu saja topik itu yang digunakan azwan menggoda ku.
“malas membahas itu,” kilahku sebal.
“Baiklah...,” jawabnya sambil cengengesan.
Kemudian azwan bercerita tentang tamu-tamunya yang datang malam ini. Presiden Bem Unpad, Presiden Bem Undip, Presiden Bem UPI, dan deretan nama presiden Bem dari kampus ternama lainnya. Ingin berdiskusi tentang bekunya Bem di UNY mungkin. mantan Koordinator Bem Seluruh In-
SeNJa ini gerimis. awan mendung sedari tadi rupanya menghalangi siluet warna jingga yang biasanya muncul di sudut cakrawala. langit juga sepi dari arak-arakan burung kembali ke sarang. Senja ini berbalut angin dingin semilir mencipta gigil. Gerimis pun perlahan-lahan menjadi hujan.
Dia masih tetap asyik memandang layar komputer. Jarijarinya lincah menekan tuts-tuts di keyboard komputer itu. Sesekali kulihat apa yang di tulisnya. lagi-lagi tentang undang-undang dan peraturan kemahasiswaan. Huft...betah sekali anak satu ini berkutat dengan barang itu. Iseng-iseng kuganggu pekerjaannya dengan menekan keyboard sekenanya. meski sempat mencegahku, tapi alhasil, pekerjaan itu berantakan.
“memang nakal kamu ini. Susah payah aku memikirkan semua ini. Deadline tinggal sebentar lagi malah dibuat berantakan,“ omelnya. Kutatap wajah kesalnya.
“Biarin,” desahku pendek sembari cemberut.
“Sudah...sudah... Tenang dulu. Kuselesaikan tugasku dulu. Setelah itu kita pulang, ya?” bujuknya.
Sebenarnya aku merasa bersalah, tapi setidaknya dia menganggap aku ada. minimal dengan mengajakku bicara. memarahiku mungkin lebih tepatnya.
Kubiarkan dia melanjutkan pekerjaannya. Sosok gemuk dan karismatik itu, sahabatku. Ifah. ah...mungkin dia juga merasa sepertiku. Bosan dengan pekerjaan itu dan ingin bersegera menikmati senja. Tentunya setelah menyelesaikan deretan pasal-pasal serba teoritik itu. Baiklah aku mengalah. Bersabar menunggunya. Duduk di samping jendela lalu melepaskan pandangan keluar. meski tak terlihat siluet di ujung sana. Tapi tetes air dari awan mendung tetaplah memberikan sensasi nyaman. mendamaikan. aku teringat Ifa pernah mengatakan padaku beberapa waktu lalu, “aku senang semalam bermain bersama hujan yang menggemaskan.” aku hanya tersenyum. Pikirku, sisi mana yang menggemaskan dari hujan. Bagaimanapun aku juga suka berada di tengah guyuran hujan. Kabarnya tiap tetes hujan, ada banyak malaikat mengiringi. mungkin itulah yang menyebabkan mengapa ketika hujan adalah saat mustajab untuk menyampaikan harap. Sejenak kutundukkan hati, menyampaikan keinginan mendalam tentang asa yang mengangkasa. Semoga kehendakku berjumpa dengan kehendak-NYa dalam takdir hidupku.
Kubalikkan badan untuk melihat Ifah. Dari jauh terlihat tulisan “Penutup”. Pertanda pekerjaannya akan selesai. Pertanda pula bahwa beberapa menit lagi kami akan segera pergi
cerpen
istimewa
donesia yang kehilangan taring tahun ini.
Dunia aktivis memang mengesankan. Penuh gelora dan mendebarkan. Sesekali menyenangkan lalu berganti sakit. aku hanya menelan ludah. Pahit mengenang semuanya. Kondisiku yang rampung terlebih dahulu dibanding temanteman aktivis seangkatan memang menyesakkan. Tuntutan keluarga.
“Ritme kita sudah berbeda. Dunia kita tidak lagi sama,“ kalimat Ifah di hari kelulusanku masih saja menikam tajam. malam ini kelam. Semakin kelam saat semakin larut. Semakin mencekam jika kuingat posisiku sekarang. allah... bukannya aku tidak bersyukur. Tapi izinkan aku mengeluh pada-mu, sebab tak ada lagi tempat mengadu selain pada-mu. Sebab engkau tahu di saat orang lain tidak tahu rasa gelisahku menghadapi dunia pasca kampus. ***
Pagi-pagi Ifah dan azwan mengantarku. Berlari mengangkat barang naik ke atas kereta. Keringat kami bercucuran. Setelah meletakkan barang-barangku, Ifah dan azwan pamit. Tak lama kereta membawaku meninggalkan Yogyakarta. membawa linangan air mata yang susah kuhentikan.
Kubaca pesan pendek yang dikirim Ifah. Kubaca pula tulisan yang ia sisipkan di catatan Facebook. menuliskan tentang perasaan kehilangan. Rasa yang sama denganku. Hati kami mungkin telah terikat oleh cinta. Cinta yang kini berbalut air mata.
Pikiranku kacau. apa memang persahabatan bisa kendur karena jarak? aku yakin inti persahabatan tentu tidak rusak. Tapi jarak dan tempat tidak bisa berdusta, berpisah secara fisik bisa merenggangkan keintiman persahabatan karena tidak lagi disiram oleh pertemuan, canda, dan diskusi.
Syair Kahlil Gibran menyuarakan bahwa perpisahan dapat membuat persahabatan tampak agung laksana gunung yang dipandang dari padang dan daratan. Bagaimana dengan persahabatan kami? entahlah apa yang akan terjadi nanti .... aku hanya bisa menangis tanpa henti. Ifah dan azwan adalah mutiara yang kudapatkan di tanah rantau. Semoga akan tetap tersimpan.
*** Jangan cari kemuliaan di kampung kelahiranmu Sungguh kemuliaan itu ada dalam perantauan di usia muda merantaulah, kau akan dapatkan pengganti kerabat dan kawan (penggalan syair Imam Syafi’i)
ana rosdIana mahasiswa pendidikan geografi uny