
2 minute read
RESENSI BUKU
Kl
Membaca Warisan Budaya Solo
Advertisement
Oleh KALAM JAUHARI
RAJA, PRIYATl DAN KAWULA
Oleh Kuntowijoyo • Ombak, Februarl 2006
• xxvi + 149 halaman
Jjika membaca buku ini kita akan terseret pada banyak alasan untuk tertarik pada Kota Solo tahuntahun 1900-1915. Pertama, Dua pemerintahan (Kasunanan dan Mangkunegaran mempunyai karakteristik yang berbeda.
Sepertinya keduanya merupakan pendahulu dari orde lama yang suka simbol (mercusuar, nation building) dan Orde Baruyang pragmatis (pembangunanekonomi). Pemerintahan Kasunanan mementingkan simbol, sedangMangkunegaran mementingkan ekonomi.
Kedua, Solo merupakan merupakan kota yang sangat Literate dan maju. Ada empat koran Jawa, yaitu Darmo Kando, Djaei Kando, Djawi Hisworo, dan Bromartani. Ada empat koran Cina, IkPo dan Pewarta. Ada dua majalah Melayu, yaitu Sarofomo dan Doenia Bergerak.
Ada gerakan kebudayaan Mardi Basa. Ada perpustakaan ada Museum, ada penerbit dan percetakan (dua Belanda dan satu Jawa, dan oganisasi semacam Abipraya dan BO Juga menjadi penerbit). Pengarang-pengarang Jawa modem pun tinggal di sini (Padmasusastro, RB Soelardi).
Ketiga, Solo 1900-1915 adalah tempat persemaian Kebangkitan Nasional, ba nyak tokoh pergerakan yang tinggal di kota ini; tokoh Boedi Oetama paling berpenganih dr. Radjiman Widiodipuro, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo yang anti
"feodal" dan anti, kolonial, dan tokoh radikal SI, Haji Samanhoedi, dan kantor CSI pertama juga ada di Solo.
Orang Belanda yang ada di Solo sa ngat vokal menentang cita-cita OnqfhankeUjkheid dari Indische Partij. Selain itu, terdapat ciri khas peigerakan di Solo; sangat politis dan radikal. Maka tidak perlu heran bahwa ada Revolusi Sosial yang menenggelamkan dua kerajaan Ja wa di Sana sesudah proklamasi.
Keempat, kurun 1900-1915 merupa kan tahun-tahun penting karena unities o/discourse (istilah Michel Foucault): kata "kemajuan" seperti sihiryangmenggerakkan orang Jawa dan Cina, sekalipun Stman Solo masih konservatif sampai 1914. Atas nama kemajuan orang-orang Jawa mencukur rambut yang semula digelung atau di kepang, orang-orang Ci na memotong kuncir.
Sunan memperbolehkan abdi dalem dan para prajurit memotong rambut pa da 1914, lalu perkumpulan priyayi kera jaan Abiipraya memperbolehkan anggotanya tidak memakai kukuk di nimah perkumpulan. Sejak itu, mode pakaian para priyayi ialah jas, iket, dan cripu pada acara-acara formal. Kata "kemajuan" dipakai sebagai semboyan oleh Abipraya dan BO. Atas nama kemajuan pula "gugon-tuhon" (takhayul) digantikan oleh ilmu "kodrat" (ilmu alam), hal itu dapat dibaca dalam majalah Sasadara dan koran-koran Jawa.
Kelima, Solo pada 1900-1915 sudah menjadi kota multirasia, multikultural, dan pluralisme kepercayaan. Multirasial karena ada banyak kesenian, kemajuan teknologi, layanan-layanan, dan plural isme kepercayaan: Islam, Kristen, Katolik, Vrijmetselarij, dan teosofi.
Dalam Raja, Priyai dan Kawula, kesemua hal di atas digambarkan dengan cantik oleh sebuah nama. Kuntowijoyo, dengan sejumlah identitas; sastrawan, ilmuwan sosial, budayawan, kolumnis, dan yang pasti, sejarahwan.
Buku ini memang tidak bercerita tentang perang, Orang Besar pembuat sejarah, sebagai mana biasa diceritakan da lam sejarah kontemporer, namun buku ini menerangkan kehidupan sehari-hari. Maka tepatlah jika kita menyebut buku ini sebagai sejarah mentalitas, sejarah kejiwaan, dan sejarah sensibilitas.
Konsep sejarah mentalitas yang diterapkan di buku ini masih amat langka dalam penulisan historiografi Indone sia. Pemilihan konsep sejarah kejiwaan dari sejarah mentalitas tentulah menunjukkan usaha Kuntowijoyo untuk bersikap cermat secara akademis.