
15 minute read
OPINI
Mimpi Perdamaian di
Dunia Pascaharkat
Advertisement
Oleh MUHAMMAD SAFRINAL LUBIS
Peringatan 16 Hari T^pa Kekerasan yang jatuh pada 25 November hingga 10 Desember barangkali justni terasa naif sekaligus menggelikan. Terlebih jika kita menyaksikan pelbagai peristiwa mutakhir. Bumi inl agaknya selalu didominasi cerita tentang teror, konflik, dan perang. Semuanya seolah penuh horor yang tiada habisnya, tanpa menylsakan cerita indah.
Di level intemasional, di belahan Timnr Tbngah khususnya, peristiwa-peristiwa kelam te rns berlanjut. Belum lagi timtas persoalan Irak dan Palestina, Turki dan bangsa Kurdi justru membuka cerita baru yang tidak kalah pahitnya. Di Indonesia? Sama saja! Peristiwa saling pukul dan pertumpahan darah telah menjadi kelaziman. Dari skala antarkampimg hingga skala nasional. Panji tokoh, partai, bahkan Tuhan masih diusung dan diteriakkan demi legitimasi.
Apa sebetulnya yang teijadi? Mengapa kita tldak pemah jera saling menumpahkan darah? Bukankah nama Tuhan kerap kita sebut-sebut dan demokrasi makin masif dibicarakan (serta dilaksanakan). Lantas. mengapa mindset kita justru memandang jalan pedang sebagai satusatunya solusi pamungkas?
Bertumpuk buku serta makalah sudah dihasilkan, beribu ceramah—dari yang ilmiah sampai khutbah—sudah digelar untuk menjawab segenap pertanyaan di atas. Namun, sebagaimana dikaji Akbar S. Ahmed, penulis sekaligus sosiolog dan antropolog kenamaan dalam Islam Under Siege: Living Dangerously in a Post-Honor World {2003}, kebanyakan darinya malah menambah api kemarahan. Pemyataan-pemyataan yang ditulis Samuel Huntington. Salman Rushdie, dan Francis Fukuyama, dinyatakan Ah med bertendensius yang secara terang-terangan memojokkan salah satu kelompok.
Itulah yang patut disayangkan. Kajian-kajian dari Barat, sebagai jantung peradaban modem yang membanggakan budaya ilmiah. justm menghadirkan kajian yang tidak seimbang. Inl belum lagi ditambah artikel-artikel dan komentar yang dimuat di pelbagai media massa, yang lazimnya justru dipenuhi kebendan dan prasangka teihadap sebuah kelompok.
Menunit Ahmed, sudah saatnya pemikiran dan analisis menggantikan kebendan dan prasangka. Umu-ilmu sosial dan antropologi mestinya dapat memberikan penjelasan. Ahmed sendiri mengaku sempat terkejut kaiena tidak sekalipun mendengar nama Emile Durkheim disebut-sebut saat diskusi tentang serangan bom bunuh diri. Padahal, Durkheim pemah membahas persoalan itu dalam salah satu risalah fenomenalnya, Suicide: A Study in Sociology (1966).
Durkheim menegaskan bahwa penjelasanpenjelasan tradisional tentang bimuh diri—seperti gangguan mental, ras, atau iklim—tidak mampu menjelaskan aksi bunuh diri secara tuntas. Sesungguhnya, bunuh diri mempakan konsekuensi dari terganggunya tatanan sosial. la berpendapat bahwa aturan-aturan moral telah rusak seiring dengan berubahnya waktu dan dipengaruhi oleh kesenjangan antara orangorang kaya dan miskin. Ketegangan ini mendorong timbulnya aksi bunuh diri dan perilaku ab normal yang dinamakan anomi.
Thnpa sadar, Durkheim sejatinya pun mengumandangkan istilah 'ashabiyyah yang sering dipakai Ibnu Khaldun. Kata 'ashabiyyah berasal dari bahasa Arab 'ashshab yang berarti mengikat. Padanan kata yang paling mendekati 'asha biyyah adalah loyalitas kelompok, kohesi sosial, atau solidaritas sosial. Dua pemikir ini, Dur kheim dan Ibnu Khaldim, mencaii penjelasan de ngan memjuk pada perubahan dan ambruknya tatanan sosial, serta perasaan kehilangan harkat (honor) dan martabat (dignity).
Dunia Pascaharkat
Eksplorasi gagasan tentang harkat dan penggunaannya pada masa saat ini merupakan ins-
trumen yang baik imtuk memahami situasi dunia sekarang. Dan, ini hanya dapat dilakukan jika mengacu pada masyarakat dan ide-idenya tentang 'ashabiyyah, loyalitas. kohesi, atau solidaritas kelompok.
Pengertian tentang harkat sejatinya telah berubah. Penibahan ini menipakan konsekuensi dari jenis bam 'ashabiyyah yang didasari oleh loyalitas yang dilebih-lebihkan dan bahkan obsesif tertiadap kelompok, yang biasanya diekspresikan dengan permusuhan dan, seringkali, kekerasan terhadap kelompok lain. Jenis yang ini disebut sebagai hiper-'cishabiyyah.
Bahaya dari gagasan tentang harkat yang ambigu tersebut adalah menggerakkan manusia
untuk berbuat kekerasan. Bisa dikatakan bahwa perkembangan global telah merampas harkat banyak orang. Perubahan-pembahan global yang cepat tengah mengguncang struktur masyara kat tradisional. Kelompok-kelompok dipaksa un tuk mendislokasi atau hidup bersama dan berdampingan dengan kelompok lain.
Dalam proses dislokasi ini mereka hanya memiliki sedikit kesabaran dalam menghadapi persoalan-persoalan yang menyangkut kelompok lain. Mereka menjadi intoleran dan cenderung mengekspresikannya dengan kemarahan. Tidak ada satu masyarakat pun yang kebal akan persoalan ini. Tak terkecuah masyarakat yang oleh para ekonom disebut "maju".
Dengan menolak kelompok lain, mereka anggap dirinya sedang mempertahankan harkat. Karena itu, mereka menantang gagasan tradisio nal tentang harkat yang berpijak pada perbuatan baik dan pencarian kemuliaan. Di masa silam sikap kesatria adalah keberanian, kebajikan, dan kemurahhatian, sekalipun terhadap musuh. Orang-orang yang lemah mendapat perlakuan khusus dari orang yang teihormat. Maka, mencari harkat adalah tujuan yang humanistik. Kekejaman dan tirani biasanya dikecam sebagai

penylmpangan dari idealitas harkat.
Sebaliknya, banyak orang sekarang ini menganggap harkat sebagai sikap mempertumtkan keinginan untuk berbuat kekerasan. Apa yang bagi sebagian orang dianggap sebagai penyimpangan justm diterima sebagai norma bagi sebagian lainnya. LoyaUtas kesukuan dan keagamaan yang berlebihan—hiper-'ashabiy yah— menyimpan aksi-aksi kekerasan teihadap kelompok lain.
Akan tetapi, perlu dipeihatikan bahwa adat kesukuan atau ideologi keagamaan melarang
kekerasan yang tidak berperikemanusiaan seperti yang kita saksikan sekarang ini. Aksi-aksi kekerasan disebabkan oleh penerapan konsep harkat secara kelim di mana-mana. Hal ini mengindikasikan bahwa kita sebenaraya se dang hidup di sebuah dunia pascaharkat. Hiper'ashabiyyah adalah sebab sekaligus penanda dari dunia pascaharkat yang kita tempati saat
im.
Dialog dan Memahami
Untuk memutar balik ams yang telah membawa kita ke sebuah dunia pascaharkat, kita perlu melakukan dialog, dan memahami, kembali dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Kita perlu menjunjung tinggi moralitas untuk menegakkan keadilan dan kebajikan bagi seluruh
manusia.
Dialog punya peran amat penting, meski barangkali terkesan kurang realistis dan berteletele. Namun, ide dialog—dialog antara dan di dalam peradaban-peradaban—sesungguhnya menjanjikan suatu harapan. Dengan mengulangulang kata dialog secara tems-menems, kata ini
mungkin akan bembah dari sebuah klise men jadi jembatan yang bermakna untuk saling me mahami antarkelompok.
Masyarakat yang memiliki kehendak dan keyakinan yang baiklah yang dapat melakukan di alog yang sehat, adil, dan sangat dibutuhkan, sekahpun dalam kehidupan dunia pascaharkat. Jika dialog menjadi produktif. maka kaum eksklusivis—apa pun tradisi kultural atau politik mereka—diharapkan dapat mengendalikan kecenderungan mereka bahwa "akulah yang benar dan orang lain salah".
Akan tetapi, kita harus beranjak lebih jauh untuk melampaui kata-kata kosong "dialog" dan "memahami". Kita harus ingat pesan universal kaum sufi di Asia Selatan yang mengatakan "keselamatan untuk semua". Hanya dengan perdamaian sejati dan sikap menghargai orang lain kita dapat menaruh harapan pada pentingnya dialog dan memahami. Dan, pesan tersebut tampaknya mulai menyebar. John Lennon, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr., dan Nelson Mandela pun menggemakan pesan yang sama dengan bahasanya masing-masing: "All you need
is love."
Muhammad Safrinat Lubis, mahasiswa Biologi UNY, pekerja buku freelance di sejumlah penerbit.
ipni
Iman, Akhlak Mulia, dan Kesehatan Jasmani
Oleh SVENDRIYATI ASTHARI
Elemen-elemen spiritual dan keagamaan dapat memberikan sumbangan, bahkan berperan penting dalam menghadapi tekanan perubahan zaman. Perubahan ke arah globalisasi mendatangkan kejutan yang berdampak negatif atas lingkungan individu {shock culture).
Upaya pengembangan akhlak mulia akan sangat membantu reduksi shock culture terse-
but. Tidaklah mudah untuk membentuk akhlak mulia. Sehingga, tidaksalahjika proses pembentukan akhlak dan penerapan prinsip moral dan tata karma dimulai sejak dini.
Anak-anak usia 0-7 tahun sangat mudah menyerap pelbagai materi dari dunia luar. Sangat penting pada usia tersebut jika anak-anak diberi perhatian khusus oleh orang tua. Orang tua memberikan pengertian tentang kedisiplinan serta batasan moral dan tata krama dengan komunikasi yang efektif. Orang tua tentu hams menjadi teladan saat anak mempelajari kedisip

linan batasan moral dan tata krama.
Moral dan tata krama orang tua akan menja di cermin bagi anak-anak. Mereka akan mengikuti apa pun yang dilakukan oleh orang yang mereka anggap lebih mampu mandiri. Saat itulah orang tua hams mempertonjolkan keimanan dalam budi pekerti, mendidik anak ke arah positif. Orang yang dituakan oleh anak sudah sepatutnya mengarahkan anak untuk menemukan potensi-potensi khusus yang ada pada diri setiap anak.
Moral Meningkatkan Motlvasi Belajar
Keberadaan dan Pengakuan Intellectual Quo tient (IQ) sangat merapengamhi masa depan anak. Banyak orang tua meningkatkan jam bel ajar anak mereka demi mendapatkan skor IQ yang tinggi. Mereka sibuk mencekoki anak me reka dengan segala materi pelajaran, baik lewat sekolah formal maupun informal, yang justm terlalu memberatkan anak. Anak-anak dipaksa untuk mengenyam pendidikan tanpa arahan nalar serta manfaat yang akan mereka dapatkan setelah proses tersebut.
Kebiasaan sekolah formal di negara ini masih menggunakan sistem kebiasaan belajar (learn ing hafaif). Memang tidak salah jika learning ha bit ditekankan dalam pendidikan anak usia dini. Sampai usia anak mencapai 14 tahun. sistem ini bagus untuk perkembangan anak. Tetapi, ti daklah pantas jika sistem ini diberikan kepada
anak di bawah usia 14 tahun. Mereka akan terbiasa dengan peraturan yang mengikat, namun tidak mengetahui hakikat peraturan tersebut. Akibatnya, anak-anak tak lagi merasa butuh ilmu yang terstmktur dalam kurikulum.
Dengan melihat fungsi awal pendidikan, yaitu memberikan pengetahuan tentang kedisip linan. moral, keseimbangan dalam hidup, serta tata krama tentu hams ada pengubahan sistem. Peigantian sistem leaminghabit menjadi sistem pembelajaran yang menekankan motivasi diri (learningculture). Sistem ini mengajarkan anakanak untuk berkembang dan menjadi pribadi yang percaya diri, mampu menghargai hasil karya diri sendiri (selfesteem), sehingga seperti apa pun sulitnya pelajaran yang diberikan kepada akan diterima dengan penuh kepercayaan.
Mereka akan senantiasa menyukai subjek pel ajaran yang diberikan. Karena harga diri yang mereka miliki telah terbangun, mereka akan bemsaha mempertahankan prestasi belajarnya, walaupun terkadang anak-anak akan melakukan segala macam cara, bahkan mimgkin dengan cara mencontek, membuat catatan kedl tersembunyi, dan menyadur isi buku {open book) dengan sistem ujian buku tertutup (closebook). Jelas, cara-cara tersebut tidak mendidik anak menjadi mandiri.
Mereka akan sulit imtuk meninggalkan ke biasaan mereka dengan menyepelekan segala persoalan. Saat tidak ada kesempatan untuk melakukan segala hal tersebut, mereka tidak
bisa menyelesaikan sendiri soal-soal dengan baik. Dalam kasus ini perlu ada penekanan nilai moral yang diajarkan kepada anak dalam usia dini, khususnya mengenai kejujuran yang tersistem. Sistem yang diajarkan bahwa mencontek adalah sebutir bibit kecurangan. Sebutir bibit jika dipelihara akan tumbuh dan bertunas. TXmas itu akan membesar dan semakin sayang untuk ditebang.
Kesehatan dan Iman Pembentuk Akhlak
Adanya pemahaman akan pentingnya Emo tional Quotient (EQ) dan Spritual Quotient (SQ) yang sebanding dengan IQ patut disyukuri. Bahkan, EQ dianggap lebih banyak berpenganih terhadap pola pemikiran manusia, sehingga bisa mendorong para orang tua dan pendidik untuk bekeijasama dalam membangun kepribadian anak sejak dini.
Anak-anak akan mengalami empat gejala kejiwaan yang pengaplikasiannya disebut tingkah laku. Keempat gejala kejiwaan sebagai proses berkembangnya anak adalah gejala pengenalan (kognitif). gejala kehendak atau psikomotorik (konatif), gejala perasaan (afektif), dan gejala campuran ketiganya (Dimyati Mahmud, 1989: 2). Melalui keempat gejala kejiwaan, anak-anak akan menyosialisasikan diri dan memperkenalkan karakter yang dimilikinya pada lingkungan di sekitamya.
Dalam serangkaian fase atau tahapan kogni tif yang dialami anak. banyak hal yang merusak sistem berpikir mereka. Mereka sering terganggu oleh lingkungan yang tidak mendukung perkembangan otak mereka. Hal yang mengganggu sistem berpikir mereka hadir tanpa disadari oleh orang tua. Sehingga, anak lepas kontrol dan mengalami ketidakseimbangan antara IQ, EQ, dan SQ. Dalam melewati empat gejala keji waan orang ketidakseimbangan antara IQ, EQ. dan SQ akan berdampak bunik bagi anak. Tferkadang, karena kesibukannya, orang tua melupakan kepentingan anak.
Manajemen waktu sangat perlu dianut oleh orang tua ketika orang tua tidak mampu untuk membagi waktu. Hams ada pembagian yang tepat antara kesenangan pribadi dan memenuhi kebutuhan anak. Kebutuhan anak yang mendasar adalah pencarian jati diri sampai usia emas, yang meliputi perwatakan, bakat dan kepandaian, serta motivasi untuk melanjutkan kehidup-

an. Kebutuhan-kebutuhan tersebut berkaitan dengan perbedaan keinginan. Setiap keinginan akan dipengaruhi oleh beberapa fase, yaitu: fa se bayi dan anak-anak (bam lahir -12 tahun). fase remaja (sekitar 12 - 20 tahun), fase dewasa (dewasa awal, dewasa pertengahan, dewasa lanjut, dan usia emas).
Kebutuhan yang mendasar jika tidak terpenuhi tentunya akan mendatangkan banyak masalah. Masalah itu akan mempengaruhi keseimbangan EQ dan SQ. Ketidakseimbangan EQ akan menjadikan penumnan IQ, setelah itu teijadi, hormon stres akan menjangkit. Para peneliti percaya bahwa pelepasan hormon stres, kebu tuhan oksigen yang meningkat oleh sel-sel otot jantung, dan kekentalan yang bertambah dari keping-keping darah yang memicu pembekuan darah menjelaskan bagaimana kemarahan me ningkatkan peluang teijadinya serangan jan tung. Ketika marah detak jantung meningkat melebihi batas wajar, menyebabkan naiknya tekanan darah pada pembuluh nadi, sehingga memperbesar kemungkinan seseorang terkena serangan jantxmg.
Stres disebabkan emosi yang tidak stabil ka rena ketidakmampuan mengelola EQ. Padahal, manajemen EQ butuh kerjasama dengan ele men-elemen spiritual, yaitu SQ. Dalam menge lola SQ ditekankan pada senantiasa memaafkan, sabar, dan percaya diri. Hal itu seperti dalam buku Forgive for Good karya Dr. Frederic Luskin. Buku tersebut menjelaskan sifat pemaaf memicu terdptanya keadaan baik dalam pikiran, seperti harapan, kesabaran, dan percaya diri. Sehingga, sifat pemaafakan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah semangat, dan stres pada diri
seseorang.
Penyeimbangan antara SQ, EQ. dan IQ adalah fondasi terdptanya karakter yang mapan dari
individu. Kemuliaan akhlak adalah dasar dari SQ yang menopang EQ dan IQ. Untuk itu, orang tua hams sejak dini mendidik anak mereka agar menjadi individu berakhlak muha mewujudkan visi bangsa Indonesia masa depan, yakni mewu judkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu guna mempeite-
guh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin, dan bertanggungjawab, berketerampilan, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengembangkan kualitas manusia In donesia (GBHN, 1999-2004).
Svendriyati Asthari, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris nonreguier angkatan 2005.
Tidak Membaca, Apa Kata Dunia?
Oleh SISMONO LA ODE
Peradaban terus beijalan meninggalkan jejak lakon manusia. Tanpa teks dan buku, manusia akan kehilangan sejarahnya. Dan kini, tradisi membaca dan menuiis belum menjadi bagian hidup sehari-hari; tergeser derasnya tra disi audiovisual. la hadir menyuguhkan aneka peristiwa dan informasi yang kerap memanjakan pemirsa. Orang-orang pun hanyut, bahkan mendev^rakan du
nia tersebut.
Dengan seketika, dunia hiburan merajai tren budaya kita, sementara buku dan tulisan dengan segera ditanggalkan. Jadilah, kita mengalami apa yang disebut sebagai "lompatan budaya". Dalam

sebuah seminar nasional, Prof. Dr. Fuad Hasan, mantan Mendikbud Indonesia, mensinyalir kecenderungan menunmnya budaya baca sebagai akibat pengaruh audiovisual dari benda ajaib yang disebut pesawat televisi. "Mereka men jadi semakin malas membaca karena anggapan sudah cukup hanya dengan mendengarkan berbagai informasi da ri media audiovisual tersebut," ungkap-
nya.
Tblevisi sebagai media informasi berperan besar dalam mengonstruksi kehidupan sosial. Pada realita ini televisi Jelas dilingkungi oleh pelbagai medan makna. Mc Luhan merumuskannya da lam frase "the medium is the message". Demikian televisi, ia merupakan medi um yang juga identik dengan pesan itu
sendiri.
Akibatnya, tanpa kehati-hatian, pe san tersebut berubah menjadi sesuatu yang membodohi publik. Oleh karena itu, budaya membaca di Indonesia seper-
S^mcix meirihdc-,.
smmi
KEMAMPUM
fENINCKATAN KOMPREWewS/
STRATEGI MENINGKATKAN
KEMAMPUAN MEMBACA
Oleh Prof. Darmiyati Zuchdi, Ed.O. • UNY Press Yogyakarta, 2007 • 174 halaman
ti berhadapan dengan cermin buram, kabur dan tidak jelas. Dalam pandangan Alfathri Adlin, sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat praliterasi yang dihantam oleh gelombang posliterasi (televisi. internet, hand phone, dan sebagainya). Mentalitas pra
literasi lebih didominasi tradisi lisan atau obrolan, serta cendenmg reaktif dan spontan.
Kehadiran Buku Strategi Meningkatkan Kemampuan Membaca; karya Prof.
Darmiyati Zuchdi. Ed.D. setidaknya men jadi salah satu bagian untuk menyuburkan/merangsang budaya membaca dengan pelbagai strategi. Melalui pel bagai strategi yang ditawarkan, kegiatan membaca menjadi sesuatu yang mudah, menarik, bahkan membudaya. Memang, buku ini tidak secara langsimg mengkritik kegagahan budaya audiovisual, tetapi di balik teks/pesan yang dikandungnya tersirat kritik betapa budaya baca telah jauh ditinggal-
kan.
Oleh karena itu, untuk mengukuhkan pesan yang ingin disampaikan, pada ba gian pertama buku ini penulis mengulas perihal definisi membaca. Membaca yang dimaksud tentunya mengenai "penafsiran yang bermakna teihadap baha-
sa tulis". Menurut Miles A. Tinker dan
Contasc M. McCullough, membaca melibatkan proses identifikasi dan proses mengingat suatu bahan bacaan yang disajikan sebagai rangsangan untuk membangkitkan pengalaman dan membentuk pengertian baru melalui konsepkonsep yang relevan yang telah dimiliki oleh pembaca.
Di akhir buku ini, ulasan berbagai teknik membaca komprehensi sangat membantu pembaca dalam meningkatkan kemampuan membaca melalui tek nik PreReading Plan (PreP) dan Teknik Extending Concept through Language Activities (ECOLA). Lewat teknik PreP, mahasiswa yang mengetahui banyak mengenai topik yang akan dibaca, pengetahuan tersebut dapat menolongnya menentukan hal-hal yang relevan dan yang tidak relevan. Sementara, melalui teknik ECOLA, usaha mengintegrasikan
membaca, menuiis, berbicara, dan men dengarkan untuk tujuan pengembangan kemampuan membaca dapat dilaku-
kan.
Sismono La Ode, S.S., alumnus Sastra Indonesia UNY dan penulis buku Di Belantara Pendidikan Bermorah Biografi Pemikiran dan Kepemimpinan Prof. Suyanto, Ph.D.
Menyingkap Tabir Aliran Sesat
Oleh SUDARYANTO
Ada sebuah ungkapan menarik dari Wapres JusufKaUa (^mpas, 7/11, him 15). la mengatakan, penyelesaian secara menyeluruh masalah aliran sesat tidak hanya cukup dengan penegakan hukum, apalagi dengan kekerasan, tapi juga hams diselesaikan dengan hikmah dakwah. Apa yang dimaksud dengan 'hikmah dakwah' itu? Dan bagaimana agar itu bisa terwujud?
Pada awal-awal kemimculannya, Is lam dianggap sebagai ajaran bikinan Nabi Muhammad SAW. Walau begitu, beliau tetap berdakwah dengan cara yang
baik. Beliau diutus oleh Allah SWT untuk
menyempumakan akhlak manusia, selain juga menyebarkan agama Islam. Namun, apa yang diterima oleh Muham mad temyata tak lebih bempa celaan dan serapah dari kaum Quraisy.
Kala itu kaum Quraisy masih kafir. Alhasil, mereka bemsaha menentang

Muhammad habis-habisan. Kondisi itu teituang dalam firman-Nya: "Berkatalah Rasul, *Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran ini seba
gai sesuatu yang tidak diacuhkan*. Dan seperti itulah. telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang berdosa, dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong" (QSAlFurqan [25); 30-31).
Dalam riwayat dikisahkan, saat Mu hammad melakukan hijrah ke Tha'if untuk menghindari teror, justm beliau dilempari batu. Dalam situasi itu datanglah Jibril dan meminta izin Nabi untuk membalas perlakuan jahat kaumnya. Namun, Nabi justm menjawab bahwa ulah kaumnya itu amat wajar karena belum tahu akan hakikat risalah (Islam).
Karena kesabarannya itu, dakwah agama Islam dapat berkembang ke seluruh jazirah Arab, hingga abad 21. Ha nya, dalam proses penyebarannya itu terdapat pelbagai kekurangan. Ada kalanya dakwah itu tidak mengena, gagal, atau bahkan cenderung menjadi pembawa unsur kekerasan seperti yang terstigma selama ini.
Terlebih, jika dikaitkan dengan kon disi negara ini yang serba tak menentu, maka tak heran jika muncul beragam
HARAM
HAUAU
aliran-aliran keagamaan. Fenomena tersebut, menumt sosiolog UI. Imam Prasojo (2007), karena ada sebuah proses pembelajaran keagamaan yang tidak komprehensif. Akibatnya, pemahaman orang atau masyarakat tentang suatu ajaran agama (baca: Islam) tidak menye luruh, sepotong-sepotong, dan linear. Memang diakui, secara kultural nega ra ini berbasis spiritual. Itu diwujudkan dengan adanya pengakuan berbagai aga ma. Namun, sayangnya infrastruktur pendidikan keagamaan yang kompre
hensif belum ada. Alhasil, muncuUah berbagai kelompok yang fi-agmented dan sporadis, yang cenderung sesat, se perti Komunitas Lia Eden, Al Qiyadah Al Islamiyah, LDII, Islam Liberal, Ingkarsunnah, dan sebagainya.
Jika dibiarkan, tentu akan lebih banyak lagi aliran sesat hadir di Indone sia. Umat Islam dan pemerintah perlu membuat proses pembelajaran keaga maan yang sifatnya komprehensif. Itu bisa kita lakukan bila telah melalui pengujian atau pembandingan secara ilmiah. Maksudnya, penafsiran sebuah ayat Al Quran atau hadis hamslah menggunakan sumber yang jelas dan tidak seenaknya sendiri.
Bukan apa-apa, masyarakat kita sa
at ini dalam kondisi serba susah dan amat butuh pegangan. Namun, karena minimnya pengetahuan atau lemahnya iman, mereka tak sadar kalau pe gangan itu rapuh dan justm menyesatkan. Sebagai upaya preventif, para agamawan (dai, ustadz) perlu melaku
kan dakwah berhikmat, dalam arti dak wah yang langsung ke kelompok-kelompok penganut ajaran yang kelim.
Sudaryanto, S.Pd., alumnus PBSI FBS Univetsitas Negeri Yogyakarta, an^ota Forum Lingkar Pena (FLP) Yc^akarta.