8 minute read

Ada Apa Dengan RUU PKS?

Advertisement

Tim Redaksi

Steering Committee: Bagus Adi Saputro Paulus Aditya Christianto Wahyumi Illahidayah Pimpinan Redaksi: Laily Rizky Amaliya PJ Divisi Content Writer: Nabila Mega Permata

Staff Content Writer: Arneta Iftita Pramadhani Erfian Riyanto Raihana Sabila Rosyida Saniyah Pertiwi

PJ Divisi Reporter: Muhammad Ghani Dafin

Staff Reporter: Vinny Shoffa Salma Salsabila Isha Aldine Azhar Adinda PJ Divisi Desain: Bryan Milenia

Staff Desain: Aldy Putra Pratomo Yulistiana Prasetya PJ Divisi Fotografi: Malika Humaira Putri Staff Fotografi: Michelle Ladykia Naftali Strategi Media: Eka Nefia Muhammad Wiega Permana

Buletin Suryakanta merupakan sebuah publikasi yang dikhususkan untuk membahas mengenai perkembangan suatu isu maupun kasus dalam ruang lingkup sosial-politik . Buletin Suryakanta bernanung dibawah kepengurusan Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FIB UI. Buletin Suryakanta menyuguhkan sebuah media pemberitaan yang bersifat faktual dan aktual serta didukung oleh kajian dan analisa yang komprehensif dalam setiap informasi yang dipublikasikan. Penyajian informasi dan pemberitaan dalam Buletin Suryakanta ini didukung oleh berbagai aspek kepenulisan jurnalistik yang berstandarkan nilai-nilai pengetahuan, kejujuran, transparansi, dan keadilan.

Liputan Utama Fenomena Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus

Liputan Khusus Urgensi Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia

Artikel

Mini Biografi

Puisi

Teka Teki Silang

Mini Komik

Essay

Cerita Pendek

2 |S U R Y A K A N T A #1

Polemik RUU P-KS| 3

Penulis: Vinny Shoffa Editor: Ghani Dhafin Fotografer: Malika Humaira Putri, Michelle Ladykia

Selasa (09/04/2019) kemarin Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM UI bekerjasama dengan Departemen Kastrat BEM fakultas se-UI mengadakan diskusi publik yang mengangkat topik seputar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan bertempat di Teater Kolam FISIP UI. Hingga saat ini, pro dan kontra tentang RUU PKS ini masih terus bergulir dan menimbulkan paradigma yang cukup bias, karena hoaks seputar RUU PKS yang beredar di masyarakat. Diskusi tentang RUU PKS ini merupakan kali ke-empat yang diadakan di UI karena tidak kunjung mendapat titik terang untuk pengesahannya.

Dalam diskusi publik ini dihadirkan beberapa narasumber dari beberapa disiplin ilmu, yaitu Dra. Mamik Sri Supatmi, M. Si (Dosen Kriminologi FISIP UI), Ratna Batara Munti, S. Ag., M. Si (Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia/Kordinator JKP3 (Jaringan Kerja Program Legislasi Nasional Pro Perempuan)), Yulianti Muthmainah, S. H. I, M. Sos (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), Cantyo Atindriyo Dannisworo, S. Psi., M. Psi., Psikolog (Dosen Psikologi UI) serta dimoderatori oleh Annisa Sri N. Selaku ketua BEM Psikologi UI 2019.

Sebagai pembicara pertama, Mbak Mamik memaparkan penjelasan RUU PKS dari segi Ilmu Kriminologi. Kekerasan seksualterjadi bukan karena kesalahan korban yang kebanyakan perempuan, melainkan adanya faktor lain dan kontrol diri dari para pelaku 4 |S U R Y A K A N T A #1

yang menjadi permasalahan utama. terjadi bukan karena kesalahan korban yang kebanyakan perempuan, melainkan adanya faktor lain dan kontrol diri dari para pelaku yang menjadi permasalahan utama. Beliau mengatakan secara rinci tentang kekerasan seksual yang dimaksudkan dalam RUU PKS ini. Kekerasan seksual diartikan sebagai tindakan kekerasa, menyakiti, menghina, merendahkan tubuh atau fisik seseorang karena adanya keterpaksaan dan ketimpangan relasi gender atau yang lainnya sverta tidak adanya kuasa bebas atas tubuhnya sendiri. Pengesahan untuk RUU ini sendiri semakin mendesak karena tingkat kekerasan seksual di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat. Diharapkan juga RUU PKS bisa menjadi kebijakan yang baik dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia.

Pembicara kedua adalah Cantyo Aindriyo Dannisworo selaku dosen

Psikologi UI. Beliau mengatakan bahwa korban kekerasan seksual berpotensi mengalami perubahan emosi yang cukup signifikan, bahkan bisa mengalami PTSD (Post – Traumatic Stress Disorder). Lebih lanjut, dalam RUU PKS ini mengatur bahwa korban kekerasan seksual berhak untuk diberikan fasilitas pemulihan dari kejadian kekerasan seksual yang menimpanya.

Selanjutnya adalah pemaparan dari Mbak Ratna selaku pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia. Beliau mengatakan bahwa akar dari permasalahan kekerasan

seksual perlu untuk dihilangkan, dan di dalam RUU PKS ini pun sudah diatur tindakan pencegahan agar pelaku kekerasan seksual dan korban tidak semakin bertambah. Beliau juga

menyayangkan mengapa masih banyak masyarakat yang percaya hoaks RUU P-KS yang beredar saat ini. Adanya miskonsepsi dan biasnya dari pengertian RUU PKS inilah yang cukup menghambat proses pengesahannya. RUU PKS menjadi acuan bagi tindakan kekerasan seksual yang tidak dituangkan dalam KUHP sebagai acuan dalam tindakan kasus pidana, seperti pasal pernikahan, perzinahan, kekerasan dalam rumah tangga, yang menetapkan syarat tertentu dalam proses peradilannya.

RUU PKS tidak melegalkan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) dan perzinahan seperti yang selama ini mendapat kontra dari banyak pihak. RUU PKS sebelumnya sudah disuarakan oleh para aktivis pemerhati perempuan dan sudah dibuat RUU sejenis pada tahun 2005 silam dengan nama RUU Anti Kekerasan Seksual. RUU PKS merupakan pucuk dari semua rancangan tentang kekerasan seksual dan sudah seharusnya mendapat sambutan baik dari masyarakat agar Indonesia bisa menjadi negeri yang aman bagi warganya khususnya kaum perempuan.

Dalam sisi agama terutama Islam, Mbak Yuli mengkondisikan zaman sebelum Islam datang dan setelahnya. Islam merupakan agama yang memberikan tempat teratas bagi perempuan dan menghormati hak serta kewajibannya. Kekerasan seksual merupakan hal yang tentu saja bertentangan dengan ajaran agama, dan di RUU PKS ini memiliki visi yang sama dengan agama terutama Islam. Melindungi hak perempuan dan mengadili pelaku dengan sanksi yang setimpal menjadi daya dukung dari RUU PKS ini sendiri.

Sebagai penutup, Mbak Mamik mengatakan bahwa salah satu kasus yang paling gelap (tidak terhitung secara kuantitatif) adalah kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Pihak penegak hukum, lemahnya ketegasan dalam tindak pidana pelaku, dan stigma masyarakat yang menganggap korban adalah aib menjadi beberapa hal korban kekerasan atau pelecehan seksual ini tidak melaporkan tindakan pelaku. Untuk itu, diharapkan segera diadakannya pembicaraan resmi hingga pengesahan dari RUU PKS ini oleh DPR RI dan pemerintah agar kekerasan dan pelecehan seksual tidak lagi menjadi momok di Indonesia.

Polemik RUU P-KS| 5

Oleh: Raihana

6 |S U R Y A K A N T A #1

Polemik RUU P-KS| 7

GRATIS!Oleh: Erfian Rianto

8 |S U R Y A K A N T A #1

Polemik RUU P-KS| 9

10 |S U R Y A K A N T A #1

Polemik RUU P-KS| 11

Dingin.

Tatapannya sedingin malam di bulan Januari dengan rintik-rintik kecil yang enggan membesar maupun berhenti. Saya menggigil; matanya yang begitu saya kagumi sekarang hanya semakin saya takuti. Teh kami berangsur mendingin dan izinkan saya menyalahkan pula tatapannya. Selama beberapa menit setelah ia menyajikan teh ini demi tata krama, hanya suara burung piaraannya yang riang terdengar dan sayup-sayup suara sekelompok anak kecil di luar bergantian dengan suara kendaraan bermotor yang melaju dengan lambat.

Kami membiarkan keramaian itu memenuhi ruang di antara kami untuk sesaat.

Ia menatap saya lagi; masih dengan suasana sama, mendorong saya untuk mulai bicara. Saya tak yakin apa yang harus saya katakan. Saya kira kunjungan kali ini ke rumahnya, kami yang duduk di kursi terpisah, ia yang menyajikan secangkir teh, dan sunyi yang memperluas jarak di antara kami, cukup menjelaskan niat saya bersua.

Ia menghela napas. Menatap kipas yang terpasang di langit-langit dan saat ia menatap saya lagi, memori akan malam itu berkecamuk dalam kepala saya.

Satu bulan telah berlalu dan biarpun waktu seharusnya membantu, detik demi detik yang menggema di kepala hanya menjadi sebuah pengingat bahwa saya telah menjadi makhluk 12 |S U R Y A K A N T A #1

menyedihkan, kala itu di bawah kendali makhluk yang saya panggil “kekasih” yang saya kira akan terus mengasihi saya. Susah payah saya berusaha berbesar hati menerima perlakuannya karena seorang lelaki seharusnya menganggap hal demikian hadiah alih-alih musibah.

“Aku kira kamu mau.” Katanya. Tatapannya tak lagi dingin, ada semburat kecemasan di sana.

Suara saya lebih menyerupai cicitan saat saya menjawab, “aku ga pernah bilang iya.”

Suara dengung kendaraan bermotor terdengar lagi. Anak-anak kecil menyanyikan lagu vulgar di luar.

Seorang ibu menghardik mereka. Burung piaraannya berceloteh,

seakan mengejek saya, ‘banci, banci.’

“Tapi kamu diem aja.”

Suaranya bergetar akibat menahan tangis, tapi saya tak lagi merasakan simpati atau dorongan untuk sekadar memeluknya. Mencium keningnya. Memberikannya kata-kata penghibur.

“Aku masih sayang kamu.”

Ia benar-benar menangis sekarang. Menyedihkan bahwa cinta, sesuatu yang suci, harus berdampingan dengan sesuatu yang begitu kotor sehingga batas itu menjadi kian abstrak; cinta dan nafsu.

Seorang anak di luar turut menangis. Seorang tetangga menjewer telinganya. Teman-temannya diamdiam pergi menghindari hukuman serupa.

Tidak ada motor atau mobil yang lewat. Burung merah piaraannya muak berkicau. Lagi, sunyi. Tapi saya tak berniat beranjak sebelum kata itu diucapkannya; maaf.

Tidak ada lagi alasan untuk tinggal sekarang. Tidak untuknya, tidak untuk hubungan ini. Saat saya beranjak dan meninggalkan teh yang disajikannya utuh, saya mendengarnya berkata,

“Kamu ga akan nuntut, kan?”

Oleh: Sabila RasyidaPolemik RUU P-KS| 13

14 |S U R Y A K A N T A #1

Oleh: Saniyah

Polemik RUU P-KS| 15

Oleh: Yulistiana Prasetya

16 |S U R Y A K A N T A #1

This article is from: