
5 minute read
CODEX UPDATE: KOMITE CODEX PELABELAN PANGAN
(CODEX COMMITTEE ON FOOD LABELLING, CCFL)
Oleh Purwiyatno Hariyadi
Advertisement
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian IPB University dan SEAFAST Center IPB University
Komisi Codex Alimentarius (CAC) adalah sebuah badan internasional yang didirikan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian
Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Peran CAC adalah mengembangkan standar, pedoman, dan kode praktik internasional terkait pangan untuk mempromosikan keamanan pangan, melindungi kesehatan konsumen, dan memfasilitasi perdagangan pangan internasional yang adil.
Salah satu aspek penting dari pekerjaan CAC adalah peraturan terkait label pangan, yang dikembangkan oleh Komite Codex Pelabelan Pangan (Codex Committee on Food Labelling, CCFL). Secara umum, CCFL bertugas untuk mengembangkan standar

Codex untuk pelabelan pangan, yang memuat persyaratan untuk memastikan tersedianya informasi yang jelas, akurat, dan mudah dipahami konsumen tentang produk pangan yang mereka beli.
Label pangan yang tepat memberikan konsumen akses ke informasi penting seperti komposisi produk, nilai gizi, instruksi penyimpanan, tanggal kedaluwarsa, dan informasi penting lainnya yang dapat memengaruhi keputusan pembelian dan kesehatan mereka.
Secara prinsip, standar Codex untuk pelabelan pangan yang dikembangkan oleh CAC memiliki beberapa tujuan, antara lain:
1. Melindungi kesehatan konsumen, dengan memberikan informasi tentang bahan alergen, aditif pangan, dan informasi penting lainnya yang dapat berdampak pada kesehatan individu.
2. Meningkatkan transparansi, khususnya memungkinkan bagi konsumen untuk membuat keputusan yang lebih baik berdasarkan preferensi diet, nilai gizi, atau, bahkan pertimbangan lain, seperti etika, agama, kepercayaan, dan gaya hidup lainnya.

3. Mendorong perdagangan yang adil, dengan adanya acuan global mengenai persyaratan label yang berlaku di berbagai negara sejalan dan tidak memberikan hambatan yang tidak perlu bagi perdagangan.
Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa standar pelabelan pangan yang dikembangkan oleh Codex tidak bersifat mandatori (mengikat secara hukum).
Namun, banyak negara anggota Codex mengadopsi standar tersebut ke dalam undang-undang atau peraturan nasional mereka untuk memastikan kepatuhan dan konsistensi dalam praktik pemasaran pangan, khususnya untuk perdagangan internasional.
Update dari CCFL47
CCFL47, Sidang Komite Codex
Pelabelan Pangan baru yang ke-47, baru saja selesai diselenggarakan di Gatineau, Kanada, 15 – 19 Mei 2023 yang lalu.
Agenda dan draf laporan sidang CCFL47 dapat dilihat di https://bit.ly/reportCCFL47. Pada sidang ke-47 ini CCFL membahas berbagai agenda penting, terutama bagaimana standar pelabelan pangan dapat dikembangkan sedemikian rupa sehingga komunikasi efektif antara pembeli dan penjual dapat terjamin, walaupun dalam ruang yang terbatas dan waktu yang singkat. Kuncinya, tentu bagaimana informasi (yang kompleks dan yang rumit tentang pangan) dapat diubah menjadi sesuatu yang dapat dimengerti oleh konsumen, sehingga mereka dapat membuat keputusan pembelian. Salah satu alternatifnya yang dibahas dalam CCFL47 tersebut adalah pentingnya penggunaan inovasi dan teknologi untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh konsumen; apalagi jika hal ini dikaitkan dengan berkembangnya bisnis pangan secara daring (E-commerce).
Karena itu, CCFL47 ini membahas berbagai isu penting yang berkaitan dengan penjaminan kesehatan konsumen melalui pelabelan, melalui agenda-agenda seperti:
(i) Pelabelan alergen pangan,
(ii) Usulan Rancangan Pedoman
Penyediaan Informasi Pangan untuk Pangan Kemasan
(Prepackaged Foods) yang ditawarkan melalui E-commerce,

(iii) Usulan Rancangan Pedoman
Pemanfaatan Teknologi
Penyediaan Informasi Pangan: Perubahan pada Standar Umum
Pelabelan Pangan Kemasan (Amendment to General Standard for the Labelling of Prepackaged Foods)
(iv) Makalah diskusi tentang pelabelan pangan kemasan (dalam format penyajian bersama dan multipak/ in joint presentation and multipack formats),
(v) Makalah diskusi tentang pengecualian pelabelan pangan dalam keadaan darurat,
(vi) Makalah diskusi tentang asam lemak trans, dan
(vii) Makalah diskusi tentang klaim pelabelan keberlanjutan
Berbagai agenda pembahasan CCFL47 tersebut di atas penting dan sangat terkait dengan Indonesia, misalnya pembahasan mengenai pelabelan alergen. Industri pangan disarankan untuk mengikuti pembahasan ini, khususnya mengenai (i) Draf usulan revisi untuk the General Standard for the Labelling of Prepackaged Foods (CXS 1-1985) Relevant to Allergen Labelling) dan sekaligus (ii) Draf usulan lampiran (Annex) Guidelines on the Use of Precautionary Allergen Labelling untuk CXS 1-1985.
Kepentingan Indonesia terkait pelabelan
keberlanjutan
CCFL47 juga membahas topik
“baru” lainnya yaitu klaim pelabelan keberlanjutan. Makalah diskusi tentang klaim pelabelan keberlanjutan ini disusun oleh Selandia Baru dan Uni Eropa. Dalam makalah tersebut, ditekankan bahwa keberlanjutan merupakan isu global yang semakin menarik minat konsumen dalam hal produk, termasuk produk pangan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan multi-sektoral dengan kolaborasi dan partisipasi berbagai organisasi. CCFL memiliki peran penting dalam hal ini, karena semakin banyak klaim keberlanjutan yang terdapat pada label pangan mungkin tidak sesuai dengan persyaratan Panduan Umum tentang Klaim (CXG 1-1979), yang berpotensi menyesatkan konsumen.
Pada proses elaborasinya, terdapat kesepakatan bahwa isu keberlanjutan merupakan isu penting bagi CODEX. Namun demikian, masih terdapat pandangan yang berbeda mengenai apakah saat ini merupakan waktu yang tepat bagi CODEX untuk memulai pekerjaan baru mengenai klaim pelabelan keberlanjutan, atau apakah perlu ada refleksi dan klarifikasi lebih lanjut untuk menentukan tujuan dan konsekuensi dari pekerjaan tersebut.
Pada CCFL47 akhirnya disetujui bahwa masih perlu diadakan Kelompok Kerja
Elektronik (Electronic Working Group, EWG) untuk terus membahas topik pelabelan keberlanjutan ini. EWG ini diketuai oleh Selandia Baru dan dibantu bersama (Co-Chairs) oleh Uni Eropa, Amerika Serikat dan Kosta Rika. EWG akan bekerja merevisi Makalah Diskusi yang baru, dengan mempertimbangkan semua pendapat (termasuk komentar tertulis) yang muncul pada sidang CCFL47 ini.

Isu pelabelan keberlanjutan ini sangat penting bagi Indonesia. Indonesia perlu secara aktif terlibat dalam diskusi ini mengingat cukup seringnya produk pangan (produk sawit -misalnya) terhalang ekspornya karena isu keberlanjutan ini. Karena itu, persiapan perlu dilakukan dengan baik oleh
Indonesia, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang ada.
Peluang (dan tantangan)
Indonesia terkait diskusi tentang asam lemak trans
Kanada mengusulkan agenda ini supaya isu yang terkait dengan Asam lemak Trans (ALT) ini dapat dibahas pada forum CCFL. Sebelumnya, kanada pernah mengusulkan isu yang sama untuk dibahas pada Komite Gizi CODEX (yaitu Codex Committee on Nutrition and Foods for Special Dietary Uses, CCNFSDU). Usulan pembahasan topik
ALT ini sesungguhnya juga relevan dengan prakarsa Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) yang menargetkan bahwa tahun 2023 ini seharusnya dunia sudah bebas Asam Lemak Trans Industrial (ALTi), yaitu Asam Lemak Trans (ALT) yang diproduksi secara industrial melalui proses hidrogenasi parsial minyak nabati. Pada siding CCFL47 itu juga perwakilan WHO menyatakan bahwa Pedoman tentang Asam Lemak
Trans (bersama dengan Asam Lemak
Jenuh) akan diluncurkan pada bulan Juni 2023.
Karena usulan Kanada ini diajukan pada CCFL, maka kemungkinan pekerjaan utama yang diajukan adalah mengenai pelabelan ALT. Pada CCFL47 yang baru lalu, disepakati bahwa isu ini cukup penting untuk dibahas, namun mengingat ada Komite CODEX yang lain, yaitu Komite Codex untuk Lemak dan Minyak (Codex Committee on Fats and Oils, CCFO) maka diputuskan untuk menunggu hasil diskusi pada sesi

CCFO yang akan datang (CCFO28, yang dijadwalkan pada 19 – 23 Februari
2024. Karena itu, pembahasan detail mengenai TFA di CCFL ditunda, dengan tetap meminta Kanada untuk menyusun makalah diskusi yang menjelaskan usulan pekerjaan baru tentang ALT untuk dipertimbangkan oleh CCFL48 yang akan datang. Diharapkan, makalah diskusi akan mempertimbangkan masukan negara anggota yang akan dijaring melalui surat edaran, pedoman
WHO tentang Asam Lemak Jenuh dan
Asam Lemak Trans, serta hasil diskusi pada CCFO28 yang akan datang.
Sebagai negara penghasil minyak sawit, Indonesia perlu mempersiapkan diri berperan aktif dalam perdebatan mengenai ALT ini. Diketahui bahwa minyak sawit sebagai minyak yang stabil pada suhu ruang tanpa proses hidrogensasi, sehingga tidak mengandung ALTi (Asam Lemak Trans Industrial). Peluang minyak sawit untuk memasok minyak bebas ALTi semakin besar dengan aplikasi teknologi fraksinasi, blending, maupun (inter)esterifikasi, untuk menghasilkan spesialti lemak untuk aplikasi pangan tertentu. Keunggulan minyak sawit inilah harus dioptimalkan pemerintah dan industri sawit Indonesia, baik untuk mengisi kebutuhan di dalam dan maupun luar negeri. Peluang minyak sawit untuk menjawab kebutuhan minyak bebas ALT (dan ALTi) cukup besar, sesuai dengan target WHO. Ini merupakan peluang bagi minyak sawit. Jangan sampai standar atau pedoman yang akan disusun di CCFL berpotensi menghambat peluang pengembangan minyak sawit untuk aplikasi pangan yang lebih luas.
Gabungan Produsen

Makanan Minuman Indonesia