4 minute read

MEMETAKAN ARAH KEBIJAKAN

Next Article
KUESIONER

KUESIONER

PENGADAAN PEGAWAI

PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA

- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen Kedua, Pasal 28 D ayat (2) -

Berdasarkan bunyi UndangUndang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun

1945 tersebut dapat diartikan bahwa negara memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagai bagian dari

Hak Asasi Manusia Indonesia.

Oleh karena itu, negara memiliki kewajiban untuk membangun sistem atau perangkat kebijakan yang jelas dalam rangka memfasilitasi masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan, imbalan, serta hubungan kerja yang adil dan layak bagi kemanusiaan.

MENYOAL KETENAGAKERJAAN

DI INDONESIA

Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mendefinisikan Ketenagakerjaan sebagai segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Adapun pengertian tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Problematika ketenagakerjaan di Indonesia tidak terlepas dari dua hal, yaitu pertama, percepatan pertumbuhan angkatan kerja yang signifikan tidak disertai dengan percepatan pertumbuhan lapangan pekerjaan yang tersedia sehingga berdampak pada meningkatnya masalah sosial masyarakat (pengangguran). Kedua, produktivitas tenaga kerja yang masih relatif rendah akibat dari tingkat pendidikan masyarakat yang rendah dan juga kurangnya keterampilan sebagian besar masyarakat Indonesia yang ada di kelompok usia produktif.

PROBLEMATIKA

PENYELENGGARAAN ASN

DI INDONESIA

Apabila ketenagakerjaan di Indonesia diatur dalam UU Ketenagakerjaan maka berbeda halnya dengan pegawai yang bekerja di instansi pemerintah yang saat ini disebut dengan Aparatur Sipil Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur

Sipil Negara (ASN). Konsiderans

UU ASN menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun

1945, perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral, dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Sebuah cita-cita luhur yang hanya dapat terwujud apabila semua stakeholder terkait berkolaborasi saling mendukung dengan tidak hanya berpangku pada salah satu pihak saja.

UU ASN diterbitkan dengan maksud salah satunya, yaitu untuk menata manajemen “ketenagakerjaan” pada instansi pemerintah yang selama ini masih perlu dirapikan. Faktanya di lapangan, kategori tenaga kerja di dunia pemerintahan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang didukung dengan tenaga lain dengan berbagai nomenklatur tenaga kerja yang diselenggarakan oleh berbagai instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah seperti dengan sebutan tenaga kontrak, tenaga honorer, pegawai lepas harian, pegawai tidak tetap atau yang terakhir muncul dengan sebutan Pegawai Pemerintah Non-Pegawai Negeri Sipil (PPNPN). Kondisi yang beragam tersebut tentunya akan menimbulkan potensi tumpang tindih, inkonsisten, bahkan multitafsir dalam hal pelaksanaan kebijakan yang pada akhirnya merugikan masyarakat karena tidak pernah mendapatkan kepastian tentang nasib mereka ke depannya. Padahal targetnya jelas, sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan

Tenaga Honorer menjadi Calon

Pegawai Negeri Sipil, semua tenaga honorer harus sudah diangkat menjadi CPNS dengan batas akhir, yaitu tahun 2009. Namun, hingga akhir tahun 2022, target tersebut belum tercapai.

Selain permasalahan tentang status, jumlah tenaga non-ASN juga sangat signifikan. Data dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) menyebutkan hingga November 2022, jumlah tenaga honorer telah mencapai 2.360.723 orang dengan berbagai permasalahan turunan. Pertama, banyaknya tenaga honorer yang belum diangkat menjadi ASN, padahal masa kerjanya sudah lebih dari 11 tahun (angkanya mencapai 580.004 orang) dan seharusnya sudah diangkat sejak tahun 2015. Kedua, adanya tenaga honorer yang mendapatkan gaji di atas 10 juta per bulan (5.943 orang) dan sebaliknya banyak juga tenaga honorer yang justru tidak mendapat gaji resmi sama sekali (262.023 orang). Skema penggajian tersebut tidak bersumber pada anggaran resmi sehingga tidak bisa didata nominal pasti gajinya. Uniknya, pada saat yang sama, Kementerian Pemberdayagunaan

Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi juga mengeluarkan data terkait dengan jumlah tenaga honorer pada tahun 2021 yang tidak selaras dengan yang dikeluarkan oleh BKN dan juga acuan regulasi yang baru yang di dalamnya memuat kebijakan terkait pengangkatan tenaga honorer menjadi tenaga Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang sama sekali berbeda dengan regulasiregulasi pendahulunya sehingga problematika seakan semakin menumpuk.

MEMETAKAN ARAH KEBIJAKAN

PENGADAAN PEGAWAI

PEMERINTAH DENGAN

PERJANJIAN KERJA

Masyarakat dalam hal ini, yaitu yang masih berstatus sebagai tenaga honorer yang bekerja di instansi pemerintah, pastinya ingin memiliki status dan nasib yang jelas. Regulasi terkait dengan kebijakan pengangkatan honorer tersebut juga sudah banyak sekali dikeluarkan sejak tahun 2005 (jumlahnya mencapai puluhan) hingga yang terakhir Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Tjahjo Kumolo, melalui surat Menteri PANRB No. B/185/M.SM.02.03/2022 perihal

Status Kepegawaian di Lingkungan

Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, mengimbau para Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) instansi pemerintah untuk menentukan status kepegawaian pegawai non-ASN (non-PNS, non-PPPK, dan eks-Tenaga Honorer Kategori II) paling lambat 28 November 2023.

Apabila puluhan regulasi telah dikeluarkan, tetapi agenda pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS atau PPPK tidak kunjung tercapai maka sudah pasti perlu dilakukan evaluasi terkait apa yang menjadi hambatan dari pencapaian agenda nasional tersebut. Pokok utama yang harus diperhatikan yaitu pentingnya sebuah Grand Design Nasional Penataan Pegawai ASN khususnya PPPK yang disusun secara kolaborasi oleh seluruh elemen pemerintah dan masyarakat (stakeholder) yang tidak hanya untuk menjawab permasalahan yang bersifat insidentil, tetapi juga untuk menjawab tantangan dalam jangka menengah atau bahkan jangka panjang dan juga mampu menjawab seluruh aspek manajemen ASN mulai dari penyusunan dan penetapan kebutuhan (formasi) hingga perlindungan ASN. Basisnya jelas, yaitu UU ASN dan peraturan turunannya seperti Peraturan

Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri

Sipil dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen

Pegawai Pemerintah dengan

Perjanjian Kerja dan peraturan teknis lainnya.

Grand Desain Nasional Penataan

Pegawai ASN nantinya perlu dikawal oleh para stakeholder yang di dalamnya setidaknya terdiri dari beberapa instansi pemerintah terkait seperti Kementerian PANRB, BKN, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan juga elemen lain yang mendukung tercapainya target sasaran kinerja agenda nasional dimaksud. Presiden sebagai kepala negara juga perlu diberikan laporan berkala untuk kemudian dimintakan arahan lebih lanjut agar agenda ini dapat mencapai targetnya pada waktu yang telah ditentukan dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Kecepatan, ketepatan, dan solutif adalah kunci dari keberhasilan diselenggarakannya sebuah kebijakan pemerintah untuk masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia. g

Pasal 2

Manajemen PNS meliputi: a. penyusunan dan penetapan kebutuhan; b. pengadaan; c. pangkat dan jabatan; d. pengembangan karier; e. pola karier; f. promosi; g. mutasi; h. penilaian kinerja; i. penggajian dan tunjangan; j. penghargaan; k. disiplin; l. pemberhentian; m. jaminan pensiun dan jaminan hari tua; dan n. perlindungan.

Pasal 3

Manajemen PPPK meliputi: a. penetapan kebutuhan; b. pengadaan; c. penilaian kinerja; d. penggajian dan tunjangan; e. pengembangan kompetensi; f. pemberian penghargaan; g. disiplin; h. pemutusan hubungan perjanjian kerja; dan i. perlindungan.

This article is from: