6 minute read

• Menggali Kearifan Lokal di Kampoeng Batara

Menggali Kearifan Lokal di

Kampoeng Batara

Advertisement

Kampoeng Batara tepatnya merupakan bagian dari lingkungan papring yang termasuk wilayah

Resort Pemangkuan Hutan (RPH)

Gombeng, Bagian Kesatuan

Pemangkuan Hutan (BKPH)

Ketapang, Kesatuan Pemangkuan

Hutan (KPH) Banyuwangi Utara.

Keberadaan kampung tersebut sebenarnya relatif baru. Secara resmi, usianya baru enam tahun. Ulang tahun keenam Kampoeng

Batara itu dirayakan pada Minggu, 31 Oktober 2021. Administratur

Perhutani KPH Banyuwangi Utara,

Haris Suseno, menghadiri acara ulang tahun keenam Kampoeng

Batara yang terletak di lingkungan

Kelurahan Papring, Kecamatan

Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi,

Jawa Timur, itu. Hadir pula pada acara tersebut Bupati Banyuwangi,

Ipuk Festiandani; Camat Kalipuro,

Hendri; Lurah Kalipuro, Slamet S;

Kapolsek Kalipuro, Hadi Waluyo;

Danramil Kalipuro, Guntur S; Asper

BKPH Ketapang, Suwadi; serta

Ketua Laskar Papring Bersatu,

Tamam Fauzi. Nama “Batara” sendiri merupakan singkatan dari

“Baca Taman Rimba”. Di dalam sambutannya di acara tersebut,

Haris Suseno bertutur, Kampoeng

Batara banyak menampilkan sisi menarik di Kampoeng Batara yang

Ada sesuatu yang menarik di kawasan Perhutani KPH Banyuwangi Utara. Di sana terdapat sebuah kampung yang menampilkan banyak unsur kearifan budaya lokal. Namanya Kampoeng Batara. Kampung di kaki Gunung Raung itu unik, karena menjadi sarana pendidikan alternatif bagi anakanak rimba, yang akhirnya turut menggerakkan perekonomian warga dengan potensi utama mereka, yaitu bambu yang banyak diproduksi dari hutan. Siapa sangka, dari Kampoeng Batara ini lahir banyak prestasi dari ragam proses aktualisasi diri anak-anak rimba.

berada di kaki Gunung Raung, itu. Di antaranya adalah, di sana terdapat sebuah rumah yang seluruhnya terbuat dari bambu. Warga setempat menyebut rumah itu dengan nama “Rumah Bambu”.

Rumah Bambu itu merupakan tempat yang menjadi panggung pertunjukan (Amphitheater) anakanak rimba Kampoeng Batara, Kelurahan Papring, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, tersebut. Menurut Haris Suseno, di sinilah anakanak rimba Kampoeng Batara mengaktualisasikan diri, hingga kini mampu meraih banyak prestasi.

Berawal dari rumah literasi, Kampoeng Batara menjadi sarana pendidikan alternatif bagi anakanak. Di dalam perjalanannya, Kampoeng Batara akhirnya turut menggerakkan perekonomian warga, dengan bambu sebagai potensi utama mereka. Bambu banyak diproduksi dari hutan wilayah Perhutani KPH Banyuwangi Utara.

Haris menambahkan, anakanak di sana disebut “Anak Rimba”, karena setiap musim tanam, mereka akan berjaga di hutan agar tanaman tidak dirusak babi hutan, sehingga hasil panennya dapat dinikmati dan dapat menambah pendapatan mereka. Seringnya mereka berada di hutan membuat mereka disebut “anak-anak rimba”.

Foto : Muyazin Muhammad/Kompersh Banyuwangi Utara

Tanpa Fasilitas Mewah

Kampoeng Batara berlokasi di tepi hutan, Lingkungan Papring, Desa Kalipuro, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Letaknya kira-kira 15 km ke arah barat laut dari Kota Banyuwangi. Posisinya berada di ketinggian 1000 meter dari permukaan laut.

Kampoeng Batara tidak memiliki fasilitas mewah untuk belajar. Hanya ada pelataran yang cukup untuk permainan tradisional semisal petak umpet, egrang, engklek, serta arena bermain musik patrol, dan tari. Sedangkan ruang belajar dan bermainnya, terbuat dari bambu. Mulai dinding, sampai atapnya semua dari bambu. Memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya. Tetapi, setiap pekan puluhan anak bisa bermain sambil belajar dengan riang di sana.

Setiap hari Jumat dan Minggu, anak-anak akan diajak berkumpul bersama. Tidak ada jadwal pelajaran seperti di pendidikan formal. Anakanak hanya akan ditanya ingin belajar apa. Setidaknya ada enam pelajaran dalam tiap pertemuan selama tiga jam. Menariknya, setiap orang yang berkunjung ke Kampoeng Batara harus mau belajar dan bermain bersama.

Sesekali, agar anak-anak bisa belajar teori sambil praktik mengenal lingkungan sekitar, Widhi mengajak belajar membaca, menggambar, dan melukis tidak hanya di satu tempat. Kadang mereka diajak ke tepi sungai, kebun, dan hutan.

“Outdoor-lah sifatnya. Konsepnya lebih kepada alam. Belajar sudah di sekolah. Tetapi praktiknya belum. Misalkan tentang binatang yang ada di air, kenapa ada kepiting di sini? (jawabannya) Karena itu adalah indikasi kalau sungai di sini belum tercemar,” paparnya.

Widhi mengatakan, Kampoeng Batara sudah pernah dikunjungi seniman, kelompok akademisi, sampai wisatawan asing. “Tamunya pertama datang itu Keren van Bround dari Jerman, Teru dari Watie Studies Malang, Lopes, Tebo seniman dari Bali, Mustofa Mansur dari Mesir, dan sekolah Surabaya European School,” paparnya.

Refleksi Perjalanan Sekolah Adat

Sementara itu Ketua Kampoeng Batara, Widhi Nurmahmudi, mengatakan, di hari ulang tahun Kampoeng Batara, anak-anak di kampung tersebut menampilkan berbagai kesenian dengan alat musik tradisional. Mereka menampilkan pagelaran seni Hikayat Bambu Papring 6, yang merupakan refleksi perjalanan sekolah adat Kampoeng Batara selama enam tahun terakhir.

“Bambu dipilih karena merupakan cikal bakal nama Kampung Papring,” terangnya.

Widhi menambahkan, anakanak rimba dari Kampoeng Batara sudah terbiasa dengan budaya tradisional. Sehingga, mereka tidak lagi canggung saat menampilkan berbagai kesenian tradisional. Misalnya pencak silat, barong, tari tradisi, atau memainkan musik tradisi, dan lainnya.

Sang pendiri, Widhi Nurmahmudi, berkisah, awalnya tak sengaja membuat ruang belajar dan bermain di desanya. Pertengahan tahun 2014, Widhi bertemu seorang anak yang putus sekolah sejak kelas satu SD akibat persoalan sosial di tempat pendidikannya. Usianya sudah 10 tahun.

“Awal mula bangun itu ada anak usia 10 tahun kelas satu, berhenti sekolah, bantu orangtuanya buat luluh bangunan, berburu binatang di hutan. Saat saya tanya, dia sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan di sekolah, seperti pembulian antar teman,” kata Widhi kepada wartawan beberapa waktu lalu.

Dari situ, Widhi coba mendorong agar anak tersebut bisa kembali ke sekolah. Ia juga ingin memberi edukasi secara langsung kepada anak-anak di sekitarnya. Salah satunya dengan memberi beberapa pertanyaan tentang nama-nama pohon, sambil jalan-jalan dan belajar.

“Awalnya saya merasa banyak yang apatis di dunia pendidikan. Jadi saya langsung coba memberi edukasi langsung. Saya ajak empat anak awalnya, jalan-jalan, lalu saya tanya ini pohon apa, saya kenalkan. Awalnya mereka nggak tahu namanama pohon, nangka, sengon, rasidi, santen, lamtoro dan lain-lain,” kata Widhi.

Foto : Muyazin Muhammad/Kompersh Banyuwangi Utara

Foto : Muyazin Muhammad/Kompersh Banyuwangi Utara

Ternyata banyak anak lain di Desa Papring tertarik ikut belajar sambil bermain bersama Widhi. Padahal tidak diajak. Jumlahnya sampai puluhan anak yang sering datang untuk belajar dan bermain bersama.

Widhi menjelaskan, Kampoeng Batara memang ingin menyajikan bentuk pendidikan yang lebih humanis. Misalnya meninggalkan kesan formal, kaku, dan tegang. Sebaliknya, ia menampilkan halhal yang tak ada di sekolah formal semisal membangkitkan kembali permainan tradisional.

“Ada yang ingin main bola dulu, belajar Bahasa Inggris, membaca, bernyanyi, bermusik, permainan tradisional, cerdas cermat, berhitung, menggambar. Itu pilihannya. Terserah mereka,” tuturnya.

Menurut Widhi, saat ini Kampoeng Batara selain menjadi taman baca anak-anak dan masyarakat, juga menjadi tempat anak-anak bermain permainanpermainan tradisional. “Selain itu juga belajar bela diri, seni tradisi, dan aktivitas di luar rumah lainnya,” ujarnya.

Merangsang Kreatif

Di masa depan, agar pendidikan alternatif di Kampoeng Batara bisa lebih berkembang, Widhi mulai menggagas agar ibu-ibu beserta anak-anak di sana memuat kerajinan dari sampah anorganik. Tujuannya agar Kampoeng Batara punya pemasukan untuk kebutuhan kegiatan belajar. Misalnya ingin jalan-jalan ke tempat edukasi untuk menambah wawasan.

Mayoritas penduduk di kampung ini merupakan petani dengan memanfaatkan sistem pertanian tumpang sari di hutan. Anak-anak rimba telah terbiasa keluar masuk hutan untuk menjaga tanaman mereka. Sebab, meski berada di pinggiran hutan, tetapi soal kreativitas dan belajar tak pernah ditinggalkan.

Kini, anak-anak rimba di kaki Gunung Raung telah memiliki Rumah Bambu sebagai wadah kreativitas dan amphitheater. Rumah Bambu berukuran 10 × 20 meter itu memang didesain terbuka, sehingga terasa sejuk meski cuaca panas. Tak kurang dari Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, pun mengapresiasi.

“Saya sudah berkali-kali datang ke sini. Saya sangat senang dan mengapresiasi apa yang dilakukan oleh warga di sini,” kata Ipuk Fiestiandani.

Rumah Bambu ini selaras dengan potensi lingkungan Papring yang dikenal dengan potensi bambunya. Masyarakat memang mengenal Papring sebagai panggone pering (tempatnya bambu). Ipuk juga mengatakan, anak-anak di Kampoeng Batara ini sangat kreatif. Ia melihat, saat pembukaan Rumah Bambu anakanak di kampung ini mampu menampilkan berbagai seni tradisi. Mulai dari pencak silat, barong, tari, memainkan musik tradisi, dan lainlain.

“Saya berharap, Rumah Bambu ini membuat anak-anak bisa semakin nyaman belajar dan bermain. Satu anak bisa memainkan berbagai seni. Ini membanggakan. Saya juga berharap, apa yang dilakukan di Kampoeng Batara ini bisa menular ke kampung-kampung lainnya,” kata Ipuk.

Harapan Bupati itu tentu juga menjadi harapan kita. Semoga bisa

terwujud. • DR/Bwu/JY