Pada Tiap-tiap Pertemuan

S E B U A H

C E R I T A

P E N D E K

Muhamad Yafi

[HALAMAN INI SENGAJA KOSONG]

S E B U A H

C E R I T A

P E N D E K

P

p a i t p a i T ada

Pertemuan

Muhamad Yafi

P

p a i t p a i T a d a

Pertemuan

"Pada tiap-tiap pertemuan selalu ada cerita yang mengawalinya. Kau tidak pernah tahu, terkadang ia terjadi begitu saja, tanpa rencana apa-apa."

Aku anak pertama dari 2 bersaudara. Adikku laki-laki, dan aku adalah seorang perempuan. Umur kami terpaut cukup jauh, 6 tahun selisihnya. Memiliki adik laki-laki tidak mudah, permasalahannya ada pada kalau ibu menyuruhku untuk menemani ia bermain. Permainan anak laki-laki sangat berbeda dengan permainan anak perempuan, misalnya sepakbola. Aku tidak tahu sama sekali peraturannya. Bahkan peraturan sesimpel tidak boleh memegang bola saja aku baru tahu belum lama ini, itulah alasan kenapa adikku sering marah-marah kalau main bola denganku. Meskipun tidak paham aturan permainan sepakbola, di sekolah aku termasuk ke dalam kelompok siswa yang mudah memahami pelajaran, di SD aku selalu mendapatkan rangking ke-1, pernah satu kali mendapat rangking ke-2 tapi nilainya tidak terpaut jauh dari siswa yang rangking ke-1, hanya desimal saja selisihnya. Setelah 6 tahun berlalu, aku melanjutkan ke SMP favorit di kota ku. Aku bisa masuk ke SMP favorit karena nilai Ujian Nasionalku nyaris sempurna, total nilainya 28,8. Masuk SMP favorit adalah salah satu dari banyak impianku yang akhirnya terwujud, aku punya kebiasaan menuliskan impian-impian pada notebook merah muda kesayanganku. Notebook yang jadi saksi apapun dalam kehidupan ini, mulai dari rencana-rencana di masa depan, targetan pendidikan, bahkan hingga urusan percintaan. Semuanya terangkum jelas di dalam notebook itu detail demi detail kejadian dan rencanarencan di masa depan.

Tapi hari ini notebook itu hilang. Aku lupa pastinya di mana terakhir kali aku meletakannya. Seingatku aku terakhir membawanya di kantin belakang sekolah. Tapi sudah berulangkali aku mencarinya, tetap saja aku tidak menemukannya. Setelah hampir menyerah untuk mencari notebook itu, tiba-tiba tanpa rencana apa-apa pertemuan itu terjadi,

2

“Pelita Nurmala Andini? Gue nemu ini beberapa hari lalu, terus gue simpen karena keliatannya notebook ini sangat berarti buat lo. Ini punya lo kan?” suara seorang laki-laki yang belum pernah aku kenal, tiba-tiba mengagetkanku.

“Iyaa bener gue Lita, dan itu emang notebook gue, lo nemu itu di mana?

Perasaan dari kemarin gue cari di sini gak ada deh. Kok tiba-tiba ada di lo sih?” sahutku sedikit mencurigai laki-laki ini.

“Iya namanya juga nemu, dan untungnya gue yang nemuin bukan orang lain. Mungkin kalau orang lain udah diambil kali. Kalau lo mau, lo bisa sih sedikit berterima kasih ke gue, bukan malah curiga gak jelas kayak gini, nih notebooknya." laki-laki itu mengembalikan notebook-ku lalu dia pergi berjalan menjauhiku.

“Btw makasih, sorry udah nyurigain lo!” jawabku agak sedikit berteriak.

Pertemuan itu terlalu aneh jika disebut sebagai sebuah perkenalan, karena akupun belum tahu nama laki-laki itu, yang aku ingat dia adalah laki-laki yang perawakannya sedikit lebih tinggi dariku dengan potongan rambut rapi dan sedikit agak naik ke atas.

Setelah hari-hari berlalu dari pertemuan itu, aku naik ke kelas VIII, lebih tepatnya masuk ke kelas VIII A, katanya kelas ini gudangnya anak-anak pintar.

Aku naik kelas dengan peringkat paralel yang bisa dibilang lumayan membanggakan, rangking 4 paralel dari 324 siswa dari total 9 kelas. Itu sebuah hal yang luar biasa, meskipun agak sedikit meleset dari harapanku ­— di notebook aku menuliskan masuk 3 besar— tapi ya sudahlah, semuanya patut untuk aku syukuri. Hari pertama masuk ke kelas VIII tidak disangka ternyata laki-laki yang waktu itu mengembalikkan notebook-ku satu kelas denganku.

“Lo yang waktu itu ngembaliin notebook gue kan?” tanyaku agak sedikit basa-basi.

“Iya bener, kenapa? Ilang lagi notebook nya? Yaaah, gimana mau punya cowok, kalau jagain notebook aja gak bisa," jawabnya dengan nada meledekku.

“Ih apaan sih gak jelas banget deh, bukan ilang lagi, kita tuh belum sempet kenalan tahu, orang tuhya gak usah sok misterius gitu deh, abis nolongin langsung pergi, apaan coba?”

“Lah? Kan gue dah tahu, nama lo Pelita kan?” jawaban laki-laki itu sedikit membuatku kesal.

3

“Iya, lo tahu, tapikan gue belum, namanya kenalan itu ya saling kenal, gimana sih? Heran deh!” jawabku mempertegas pendapatku.

“Oooo, lo juga mau tahu nama gue? Ngomong dong dari tadi, gue Bima Aryasena, lo bisa panggil gue Bima, Bim, atau apapun deh terserah lo”.

“Okay, mulai hari ini gue gak perlu lagi manggil lo dengan sebutan ‘Laki-laki sok misterius yang balikkin notebook di Kantin Belakang.' Salam kenal, Bima.”

“Panjang amat sebutan gue, itu gak mau sekalian lo tambahin titik koordinat di belakangnya Ta? ” tanya Bima mencoba mencairkan suasana.

“Emm, ide bagus bim tar namamu jadi, Bima Aryasena 6 derajat Lintang Utara hingga 11 derajat Lintang Selatan, gimana bagus gak?”

“Bagus, bagus, udah kayak letak geografis Indonesia aja nama gue,” jawab Bima yang meladeni bercandaanku.

Selama satu kelas bersama, kami berdua lumayan akrab, Bima adalah orang yang kalau aku kerepotan pasti dia adalah orang pertama yang datang membantuku. Meski tidak sedekat itu, kami lumayan sering berinteraksi terutama kalau lagi satu kelompok, kerjaannya Bima kalau lagi kerja kelompok itu dia suka nyambung-nyambungin nama antaranggota kelompok. Bercandaan favoritnya adalah bagian nama belakangku dengan nama belakangnya ditukar, jadinya Bima Andini dan Pelita Nurmala Aryasena. Yang awalnya agak sedikit kesal, tapi lama kelamaan aku merasa lucu juga. Yang akhirnya, aku juga tertawa dengan bercandaannya. Bima juga lumayan aktif di kelas, dia sering maju ke depan kelas untuk menjawab pertanyaan dari Guru, terutama kalau disuruh maju oleh Bu Hartini —Bu Guru Mapel Bahasa Indonesia— Bima bisa bercerita panjang kali lebar tanpa berhenti, dan seperti biasanya Bima memang senang membuat orang-orang tertawa, terutama Aku.

“Pada tiap-tiap pertemuan yang kau temui di perjalanan mungkin akan berkesan, suka atau luka mesti hadir salah satunya.”

Di kelas VIII A ini, aku diam-diam memendam perasaan pada seseorang.

Seorang laki-laki yang membuatku susah untuk mengalihkan pandanganku, Doni namanya. Kebetulan kami satu organisasi di OSIS, dia adalah Wakil Ketua OSIS dan aku adalah Sekretaris I. Berbeda dengan Bima, bagiku Doni adalah

4

sosok laki-laki yang bertanggung jawab dan punya jiwa kepemimpinan yang tinggi, dia orangnya memang agak sedikit kaku tapi Doni juga teman laki-laki yang baik. Selain aktif berorganisasi, Doni juga Kapten Tim Basket Sekolah, meski kadang jadi jarang masuk kelas karena sering mewakili sekolah untuk lomba Basket tapi Doni tetap bisa berprestasi bahkan kadang-kadang nilainya berada di atasku. Seandainya Doni tahu, kalau aku sungguh menyukainya.

“Woy Ta! lo lagi naksir sama cowok ya? Perasaan dari kemarin gue liatin lo senyum-senyum sendiri mulu,” tanya Bima saat memergokiku sedang senyumsenyum sendiri membayangkan Doni.

“Eehehe, emang keliatan banget ya Bim?” tanyaku sedikit agak malu.

“Ya Allah Ta, ya iyalah semua orang juga bisa ngeliat kali, apalagi gue.

Naksir siapa emang?”

“Emm ... sama Doni ehehe, tapi lo diem ajayaaa Bim, please,” jawabku memohon lirih karena tidak ingin orang lain mendengar informasi ini.

“Heem, iya gue diem. Tapi kalau dipikir-pikir selera lo tinggi juga ya Ta, Wakil Ketua OSIS, Kapten Tim Basket Sekolah, waw! Ya semoga bisa ya Ta, Good Luck! Jangan dipendem tar sakit hati,” jawab Bima sambil mengacungkan Ibu jarinya dan mencoba menyemangatiku.

“Emm ... Aamiin, dah yok kantin Bim, laper nih,” pungkasku mengakhiri percakapan kami berdua.

Tidak lama dari percakapanku dengan Bima, akhirnya aku jadian dengan Doni, sepertinya doa Bima siang itu benar-benar terkabul. Aku merasa sangat beruntung bisa bersama dengan Doni. Dan kalau bisa, aku ingin terus bersamanya. Seandainya aku tahu selamanya itu sampai kapan, aku ingin sampai ke waktu itu bersama dengan Doni. Doni memang selalu bisa membuat orang sepertiku bahagia di setiap harinya. Dan salah satu hal yang membuat aku bahagia bersamanya, setiap pagi Doni menghampiriku untuk berbagi sarapan roti isi meses coklat ditambah olesan margarin kesukaannya. Mungkin ini adalah peristiwa yang paling membahagiakan dalam hidupku. Selain itu, Doni juga beberapa kali memberikan surprise ­ kecil-kecilan untukku, perempuan mana yang tidak bahagia kalau diberi perhatian sampai sebegitunya. Pokoknya, aku begitu menyayangi Doni.

5

Seperti ada harga yang harus dibayar, Bima jadi sedikit memberi jarak denganku, dia jadi sangat membatasi diri agar tidak bercanda atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul denganku lagi, padahal biasanya kami berdua ngobrol di sela-sela pergantian mata pelajaran atau makan bareng di kantin sewaktu istirahat. Tapi sejak aku jadian dengan Doni, hal-hal itu sekarang sudah jarang kami lakukan. Aku tidak paham apa yang terjadi dengan Bima, awalnya aku berpikir mungkin Bima hanya sekadar ingin menghormati keberadaan Doni tapi lama-kelamaan rasanya kami jadi semakin jauh saja. Sedikit aneh rasanya, padahal awalnya dia yang mendoakanku agar jadian dengan Doni, tapi giliran aku sudah jadian, dia sendiri yang bersikap seperti ini. Tapi karena aku tidak mau ambil pusing, jadinya aku biarkan Bima semakin jauh dan kami menjadi seperti dua orang asing yang tidak pernah saling mengenal sebelumnya.

Hubunganku dengan Doni berlangsung cukup lama, dari semenjak SMP hingga setahun pertama di SMA. Kami berdua sempat LDR-an karena Doni memilih bersekolah di sekolah internasional yang ada di luar kota, itulah yang menyebabkan kami berdua jadi jarang bertemu dan karena masing-masing punya kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan akhirnya hubungan ini semakin renggang.

Doni memiliki dunia baru dengan kesibukan-kesibukannya, akupun demikian.

Setelah berjuang cukup kuat untuk mempertahankan hubungan ini, akhirnya semua harus kandas juga. Beruntungnya kami putus dengan baik-baik, kami berdua sepakat untuk menyelesaikan semua ini dengan damai.

Setelah lulus SMP, Aku bersekolah di SMA yang kebetulan sama dengan Bima, itupun di luar sepengetahuanku. Karena setelah kejadian Bima menjauh sewaktu kelas VIII itu, kami dibuat semakin jauh karena tidak sekelas lagi saat kelas IX. Aku juga tidak pernah lagi berkontak dengan Bima selama itu. Pokoknya kami benar-benar lost contact dan tidak pernah berkabar ataupun ngobrol lagi.

Kemudian semesta dengan caranya sendiri, mempertemukan aku dan Bima dengan cara yang tidak pernah disangka-sangka. Reaksiku lumayan kaget sewaktu tahu kalau Bima juga satu SMA denganku, sedikit senang, ya meskipun aku tahu rasa senang ini sekadar senang karena aku bisa bertemu lagi dengan teman lamaku, tidak lebih dari itu. Aku dan Bima memang tidak sekelas sewaktu kelas X tapi kebetulan kami berdua satu ekskul di Pramuka. Perlahan obrolan kami kembali hidup meski hanya terjadi sekali dalam seminggu, di hari Kamis sore sepulang sekolah, di latihan rutin ekskul Pramuka.

6

Aku dan Bima kembali sekelas pada saat kelas XI, hubungan pertemanan kami kembali membaik. Kami sekelas di XI IPS 4, kelas paling ujung di sebelah barat masjid sekolahan. Kami berdua kembali sering ngobrol dan mengenang masa-masa di SMP. Bima memberikan pengakuan alasan sebenarnya kenapa dia menjauh sewaktu dulu, persis seperti dugaanku karena dia hanya ingin menghormati hubunganku dengan Doni. Dia ingin menjaga perasaan Doni sebagai pacarku jadi pilihan yang paling masuk akal adalah sedikit memberi jarak untuk pertemanan kita berdua. Di awal-awal kelas XI —beberapa bulan setelah kenaikkan kelas— aku didekati oleh seorang laki-laki dan Bima pun tahu itu. Aku didekati oleh Nando Ketua MPK SMA-ku. Yang membedakan Bima sudah sedikit lebih dewasa sekarang, dia tidak lagi menjauhiku, kita tetap berteman seperti biasanya dan yang sedikit membuatku kaget kabarnya Bima juga lagi mendekati seseorang, yang aku sendiripun belum tahu siapa orangnya.

Tidak butuh waktu lama, aku yang baru saja putus dengan Doni beberapa waktu lalu sebelum kenaikkan kelas, memantapkan hati untuk menerima Nando sebagai orang baru dengan harapan baru. Kami berdua menjalin hubungan dengan lumayan serius berharap ini semua bisa berjalan dan bertahan sampai nanti, ya aku beharap kami bisa seperti itu. Tidak lama aku jadian dengan Nando, aku mendapat kabar Bima jadian dengan anak kelas XI IPA 2 yang bernama Karin, yang bikin kesal aku mendapat kabar ini dari teman-teman Pramuka bukan dari Bima langsung.

“Eh Bim, denger-denger lo sama Karin ya sekarang?”

“Emm ... ya bisa dibilang kayak gitu Ta,” jawab Bima terlihat sedikit tidak percaya diri.

“Kenapa, kok kayak gak yakin gitu?”

“Yakin kok yakin, ya mungkin karena masih baru aja kaliya, jadi kayak masih banyak hal yang perlu, yaa gue adaptasiin lah.” Bima mencoba meyakinkanku.

“Oww ... btw lo dah lama naksir sama Karin? Kok gue gak dikasih tau sih Bim?” “Lah? Emang gue harus ngasih tau semuanya ke lo Ta?” “Ya engga sih, tapikan, gue kayak … ” “Kayak apa?” Bima memotong pembicaraanku.

7

"Engga jadi deh, gapapa kok.” Aku tidak jadi melanjutkan obrolanku.

"Ada yang salah Ta sama gue?"

"Engga ada," aku menjawab sambil menggelengkan kepala.

"Okey, sekarang lo udah tahu kan? Gue sama Karin, dan gue juga bahagia kok sama dia. Gak ada yang perlu lo khawatirin Ta,” jawab Bima dengan nada yang sedikit menjelaskan kalau dia tidak menyukai obrolan ini.

Masa-masa SMA-ku penuh

dengan hal-hal

yang membuatku merasa

beruntung. Ada Nando, cowokku yang luar biasa romantis orangnya, Bima teman baikku yang selalu ngebuatku ketawa kalau lagi di kelas, dan teman-teman kelas dan pramuka yang support banget di kondisi apapun. Aku bahagia memilih sekolahan ini, bersekolah di sini adalah pilihan yang tidak akan pernah aku sesali seumur hidupku. Seperti yang tadi aku bilang, Nando ini orangnya romantis banget. Keromantisannya ini yang membuatku merasa menjadi perempuan paling beruntung satu SMA. Satu hal yang paling romantis yang dilakukan Nando kepadaku adalah saat aku ulang tahun 1 November tahun lalu, aku mendapat kejutan ulang tahun sweet seventeen-ku. Sebuah hal yang diharapkan dari seorang perempuan manapun kepada laki-lakinya. Dia memberikanku satu kotak donat dengan 17 varian rasa, katanya setiap satu donat mewakili satu doa untukku, dan jumlahnya 17 karena sesuai dengan umurku. Sungguh ini adalah masa-masa paling indah di SMA.

“Pada tiap-tiap pertemuan akan mengantarmu pada sebuah ikatan, bisa pertemanan, bisa percintaan, bisa juga perpisahan.”

Saat itu di penghujung semester 2 di kelas XI,

tepatnya sebelum

pembagian rapor dan libur sekolah, aku mendapati Bima sedang duduk sendirian di kursi panjang di depan kelas sambil membaca novel "Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah" yang sudah habis dibaca 2/3 bagian olehnya. Bima ulang tahun beberapa hari lalu, dia memang lebih tua beberapa bulan dariku, ulang tahunnya 5 Juni, zodiaknya gemini jadi tidak heran kalau Bima itu orangnya ekspresif dan mudah bergaul, setidaknya informasi itu yang aku dapat dari blog yang aku baca di internet. Aku mencoba mendekati Bima dan memulai obrolan dengan Bima.

8

“Ehem, lo sendirian aja Bim?” aku mengawali obrolan dan mulai duduk di sebelah kiri Bima.

“Ya kayak yang lo liat, gak ada siapa-siapa di sini kan? Jadi apa masih perlu gue jawab?”

“Kaku amat deh perasaan, lo lagi bete ya Bim?” “Engga,” jawab Bima singkat.

“Apa karena kemarin ultah terus gak dikasih surprise sama ayang?” Aku bermaksud mencairkan suasana yang sedikit agak dingin.

“Iya kali, gak tahu gue.”

“Hah seriusan? Masa sih Karin gak ngasih apa-apa?”

“Engga bukan, ya karena kita emang udah putus aja.”

“Kok lo malah putus sih Bim? Katanya lo bisa bahagia sama Karin?” tanyaku memastikan kepada Bima.

"Ya gak kenapa-napa. Lo tahu kan Ta? Kalau sesuatu yang dipaksakan itu gak baik? Kalau perasaan sama seseorang itu gak bisa dipaksakan? Lo tahu itukan?"

"Iyaaa ... gue tahu, tapikan harusnya lo bisa berjuang dikit kek buat Karin, masa langsung nyerah gitu sih," aku menimpali jawaban Bima "Iya iyaa ... yang pengalaman pacarannya udah lebih banyak. Lagian ya Ta, yang ngejalanin kan gue sama Karin. Dan pada akhirnya ternyata gue ngerasa gak bahagia sama dia, yang ada kalau ini dilanjutin gue malah makin tersiksa,” jawab Bima menguatkan alasannya.

"Tapikan ... ?”

"Udah deh Ta, lo gak pernah ngerti perasaan gue sebenarnya” "Yaudah deh iyaa, terserah lo aja, Bimsalabim Aryakadabra. Emm ... buat ngehibur temen gue yang abis putus, gue ada hadiah buat lo.”

"Hah putus dikasih hadiah?” tanya Bima sedikit bingung.

"Ya bukan ... kan lo abis ulang tahun kemarin yaudah gue kasih hadiah, nih." Aku memberikan 2 lembar tisu untuk Bima.

“Lo ngasih gue tisu?” Bima semakin bingung menerimanya.

“Iya, gapapa kan? Jadi, besok kalau lo galau terus pengen nangis itu tisunya bisa lo pake buat lap.”

9

“Gak salah nih? Tisu 2 lembar doang? Lo gak lagi sakit kan Ta?” “Iya gak salah, gue emang cuma ngasih tisu, Tapi kalo lo buka, di dalemnya ada tulisan angka 1 sama angka 8, kayak umur lo sekarang. Selamat ulang tahun, Bima Aryasena.”

Kalau ngomongin soal Bima, dia memang sedikit cupu soal percintaan, padahal dia juga gak jelek-jelek banget loh, ya kalau dibilang ganteng ya lumayan lah, pinter juga iya. Tapi entah kenapa, dari dulu Bima itu memang tidak pernah deket dengan perempuan, setahuku ya baru Karin ini. Oleh karena itu, sewaktu aku tahu kabar kalau Bima jadian dengan Karin aku juga ikutan senang sebenarnya. Tapi sekarang Bima malah udah putus sama Karin. Bima itu orangnya misterius, dari sejak pertama kali kenal sampai sekarang yang udah bertahun-tahun kenal, Bima tetap aja tidak bisa seterbuka itu denganku. Dia memang bukan tipe orang yang senang curhat soal urusan cinta-cintaan, kalau kami ngobrol ya kami ngobrolnya Pramuka, atau hal-hal random yang tidak pernah ada hubungannya dengan urusan perasaan. Karena Bima tertutup untuk urusan yang begituan, makanya aku gak pernah tahu kejadian sebenarnya itu seperti apa.

Pertemanan kami berlanjut di kelas XII, di kelas kami selalu duduk depan belakangan dan setiap jeda pergantian jam pelajaran selalu aku gunakan untuk ngobrol dengan Bima. Interaksi kami berdua di kelas tidak jauh-jauh dari tertawa dan bercanda, Bima yang selalu nge-jokes dengan kerecehannya dan aku yang selalu tertawa dengan jokes itu. Bisa dibilang pertemanan antara aku dan Bima semakin hari semakin akrab, kami juga pernah beberapa kali nonton film bareng, bahkan Bima bela-belain nonton dua kali biar bisa nonton bareng denganku. Ya meskipun tidak mungkin kami hanya nonton berduaan, karena aku masih bersama dengan Nando. Aku juga sedikit menyadari, beberapa teman kelas atau teman Pramuka kalau menanyakan Bima ada di mana, juga pasti aku yang ditanyai. Bahkan mungkin tanpa aku sadari di mana ada Aku, di situ pasti ada Bima. Analoginya kami ini kayak paket lengkap di restoran fast food yang selalu berdampingan. Meskipun orang-orang beranggapan yang aneh-aneh, aku bisa menepis semua anggapan dari orang-orang itu, bahwa fakta yang tidak mungkin berubah adalah aku tetap ceweknya Nando, dan Nando tetap cowokku, bukan Bima. Karena satu hal yang aku percaya, bahwa dari sejak SMP sampai hari ini,

10

aku dan Bima adalah teman dekat, tidak lebih jauh dari itu. Kebetulan saja kami satu kelas yang sama beberapa kali, kebetulan saja kami satu ekskul yang sama ekskul pramuka, dan kebetulan saja kami sudah saling mengenal jauh lebih lama dibandingkan dengan teman yang lain. Jadi itulah alasan kenapa kami bisa sedekat itu, tidak ada perasaan apapun antara aku dan Bima, itu saja.

*** “Di hari perpisahan ini, aku pengin bisa foto berdua sama Nando untuk kenangkenangan sebelum nantinya aku masuk ke perkuliahan.” Begitulah tulisan yang kutuliskan di notebook merah mudaku.

Hari ini aku sudah bersiap untuk graduation party, aku sudah dimake up dari jam 5 subuh di salon tempat kenalannya ibuku. Salon ini lumayan terkenal, selain dekat dengan rumah, biayanya juga cukup terjangkau. Di sini juga menyediakan jasa untuk sewa dress, Aku langsung memilih dress warna merah muda yang persis seperti warna notebook-ku. Di perpisahan ini aku ingin terlihat cantik karena ini akan jadi momen terakhirku dengan teman-teman di SMA. Karena aku memang sedikit tidak suka memakai m ­ ake up aku meminta untuk dimake up dengan yang tipis-tipis saja, aku meminta untuk dirias dengan peach make-up look, riasan yang memberikan sedikit kesan warna oranye sehingga akan memberikan efek wajah yang lebih segar, ya begini-begini aku tetap perempuan yang lumayan tahu soal dunia per-make up-an, ya walaupun hanya sedikit.

Setelah semua sesi formal sudah dilaksanakan kami melanjutkan ke sesi yang lebih santai, di sesi ini ada pertunjukan dari ekskul paduan suara, ekskul tarian daerah, dan beberapa penampilan dari teman-teman kelas XII yang menyanyikan lagu bersama band-nya. Suasana hari ini asyik sekali, rasanya perjuangan kami selama berbulan-bulan untuk intensifikasi mata pelajaran Ujian Nasional dan persiapan untuk masuk perguruan tinggi terbayar lunas.

Seperti biasanya, SMA-ku langganan SNMPTN, beberapa teman-teman memang sudah ada yang lolos SNMPTN, termasuk Bima salah satunya. Sedangkan aku memang belum, tapi aku sudah bertekad untuk membayarnya tuntas di SBMPTN besok. Bima lolos SNMPTN di salah satu universitas di Bandung, Jurusan Sastra Indonesia seperti keinginannya. Dan aku masih ingin mengejar cita-citaku untuk ambil Jurusan Hubungan Internasional di UI.

11

Sesungguhnya aku masih belum siap jika harus lulus dari SMA ini, banyak cerita dan kenangan di SMA yang membuatku betah ingin terus berlama-lama.

Meski belum siap, tapi aku tetap harus meninggalkan ini semua, meninggalkan Nando, Bima, teman-teman kelas, dan teman-teman pramuka sebab kehidupan harus terus berjalan. Berbeda dengan sebuah pertemuan yang kadang tidak pernah kita duga, perpisahan adalah sebuah kepastian. Cepat atau lambat, semua akan berpisah pada akhirnya. Setelah kami semua lulus dari SMA, singkat cerita Aku lolos SBMPTN dan aku kuliah sesuai dengan apa yang aku harapkan, Hubungan Internasional UI. Aku percaya bahwa tidak ada mimpi yang mustahil, selama kita berusaha dan berdoa, mimpi-mimpi itu akan menjadi nyata. Apapun itu, asal kita percaya pada mimpi semuanya mungkin saja akan terjadi. Mimpi soal apapun itu.

***

Setelah hampir dua tahun aku tidak pulang, liburan semester ini aku berencana pulang ke rumah. Aku memutuskan pulang karena kebetulan sedang libur acara organisasi. Biasanya kalau lagi masa libur kuliah semacam ini ibu langsung telfon dan menanyakan kapan aku pulang, dan aku selalu menjawab “Iya bu, maaf, Lita masih ada urusan organisasi, jadi belum bisa pulang liburan ini.” Kadang aku sendiri yang tidak enak hati, karena membuat bapak dan ibu menjadi menunggu-nunggu kapan kepulanganku. Aku sudah memesan tiket kereta, aku sengaja pulang pagi hari agar sampai rumah tidak terlalu sore. Kebetulan aku dapat libur semester yang lumayan panjang, dan salah satu rencanaku untuk pulang karena aku ingin merayakan ulang tahunku yang ke-21 tahun di rumah.

Mengakhiri masa remaja bersama bapak ibu dan bersiap untuk menata diri menghadapi realita kehidupan orang dewasa.

Untuk meramaikan ulang tahunku, aku mencoba menghubungi teman-teman terdekatku dari sejak SMP hingga SMA atau teman-teman kuliah yang asalnya sedaerah denganku. Satu orang yang tidak lupa aku undang adalah Bima. Teman sekaligus sahabat baikku sampai sekarang.

“Tuttt ... tuttt ... tuttt ... ” Nada sambung terdengar dari nomor Bima yang sedang aku hubungi.

“Iya halo gimana Ta?” Bima menjawab telfonku.

“Iya halo Bim, Lo lagi di Bandung atau di rumah Bim?”

12

“Di Bandung sih, tapi bentar lagi balik kok, masih harus ngelarin tugastugas aja.”

“Oke, emm ... besok kalo balik jangan lupa dateng ke ultahan gue ya? Mau nggak?”

“Iya iya, ntar kalo gue udah balik, gue pasti dateng, tenang aja Ta, emm ... udah dulu ya? Masih nugas ini soalnya,” jawab Bima mengakhiri telfon singkat kami.

Hari demi hari berganti, dan hari ini 1 November umurku genap dua puluh satu tahun. Semua teman-teman semasa SMP, SMA, dan beberapa teman kuliah datang ke rumah. Aku menyiapkan perayaan kecil-kecilan ini dibantu oleh Nando, pacarku sewaktu SMA yang masih jadi pacar sampai sekarang, beruntungnya kami satu Universitas, aku masuk jalur SBMPTN dan Nando masuk jalur SIMAK UI, kami tidak perlu LDR-an jadi awet sampai sekarang. Setelah menunggu beberapa saat, seseorang yang aku lumayan tunggu-tunggu akhirnya datang juga.

Iya, Bima akhirnya datang, seperti biasanya, dari jaman SMP sampai perpisahan SMA outfit dominan hitam menjadi ciri khasnya. Kami lumayan jarang bertemu setelah di kuliahan, meskipun Jakarta-Bandung bisa ditempuh lewat tol tapi waktu bertemunya yang tidak ada. Bima jadi aktivis sekarang, kabarnya dia sering ikut demo di kampusnya, wajar saja sekarang dia jadi Ketua BEM, ya akhirnya mau tidak mau, suka tidak suka Bima harus berani turun ke jalan untuk menyuarakan suara Rakyat Indonesia.

“Halo, Salam cinta salam perjuangan bapak presiden mahasiswa yang terhormat,” sambutku kepada Bima terlebih dahulu.

“Waduhh, jarang-jarang nih baru datang langsung dikasih cinta ahaha.

Apaan sih Ta udah ah, gausah kayak gitu malu tahu.”

“Iya iya, btw makasih ya Bim udah mau dateng ke sini. Lama ya udah gak ketemu.”

“Emm ... iyaa, gue pasti dateng sih, selain karena ini ulang tahun lo. Gue juga mau ada nyampein sesuatu sama lo,” jawab Bima dengan nada yang terdengar sedikit serius.

“Nyampein sesuatu, apa Bim?” tanyaku penasaran.

“Huuhh.” Bima menarik nafas panjang dan melanjutkan,

13

“Ta, maaf banget gue harus ngomong ini sekarang, karena gue gak tahu kita bakalan punya waktu buat ketemu kayak gini lagi kapan, dan semoga lo bisa ngerti sama apa yang bakalan gue sampein.”

“Ih apaansi, kok jadi serius banget deh.”

“Ta, kalau misalkan gue, Bima Aryasena, teman lo, sahabat lo, partner atau apapun lo nyebutnya, suka sama lo gimana?”

"Suka? Suka ... gimana ya Bim maksudnya? Gue gak salah denger kan?" aku mencoba memastikan.

"Ya suka Ta, gue ... ada perasaan sama lo." Suara Bima sedikit gemetar.

“Bim yang bener deh, Gue itu lagi ulang tahun tahu, kenapa sih harus ngomong ini sekarang,” jawabku dengan nada sedikit tinggi.

“Ya karena gue udah gak tahan lagi Ta, dan kalo lo pengen ngerti, gue udah mendem perasaan ini dari sejak SMP, dari sejak gue nemuin notebook lo.”

“Bim … kenapa sih?” Aku tidak tahu harus merespon seperti apa, seketika mulutku kaku dan kakiku sangat lemas, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana sekarang.

“Dan hari ini, gue udah mantep buat ngomong kayak gini, karena gue pengin semuanya segera tuntas, tuntas setuntas-tuntasnya. Gue tahu lo masih ada Nando dan gue juga gak berharap lebih kok, gue gak berharap tiba-tiba lo bilang ‘iya bim gue juga suka sama lo dari dulu’ engga! Pure, gue cuma pengen ngomong, biar gue juga lega dan gue rasa lo juga perlu tahu perasaan gue yang sebenernya selama ini itu kayak gimana Ta, maaf kalau selama ini harus bohongin lo, maaf kalau gue baru berani jujur sekarang, dan terakhir dari gue buat lo, Selamat ulang tahun, Pelita Nurmala Andini.” TAMAT.

14

Tentang

Penulis

Muhamad Yafi Bagus Antasena atau yang lebih dikenal dengan Muhamad Yafi merupakan mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Negeri Yogyakarta yang lahir di Bumiayu, 6 Mei 2001.

Ketertarikannya dengan dunia tulis menulis dimulai sejak ia duduk di bangku SMP yang pada saat itu ia tuangkan lewat blog pribadinya. Selain itu, penulis juga sering menulis untuk konsumsi pribadi lewat media sosialnya. Sejauh ini sudah ada dua tulisan cerita pendek yang penulis publikasikan yaitu cerpen "Pada Akhirnya Aku Menyerah" dan cerpen "Pada Tiap-tiap Pertemuan". Dua karyanya ini merupakan cerpen "bundling" yang menyajikan dua sudut pandang dari kedua tokoh utama pada masing-masing cerita. Baginya menulis menjadi terapi untuk berbagi dengan diri sendiri, memberikan ruang untuk diri ini agar bisa merasa didengarkan melalui tulisan.

Baca Juga Cerpen Pada Akhirnya Aku Menyerah di: bit.ly/BacaCerpenPAAM

My Social Media: @muhamadyafi_ @peoplesayeverything

15

[HALAMAN INI SENGAJA KOSONG]

[HALAMAN INI SENGAJA KOSONG]

S E B U A H

C E R I T A

P E N D E K

Setiap pertemuan dalam hidup kita terjadi begitu saja —tanpa rencana apa-apa— dan setiap pertemuan pasti akan memiliki kesan bagi yang mengalaminya. Katanya di dunia ini tidak ada sebuah kebetulan, karenanya setiap pertemuan pasti membawa pesan di dalamnya. Kita tidak pernah tahu pertemuan mana yang akan mengantarkan kita pada sebuah ikatan pertemanan, percintaan, atau bahkan perpisahan. Cerita pendek Pada Tiap-tiap Pertemuan adalah sebuah cerita dari perjalanan seorang perempuan yang dihadapkan dengan berbagai macam pertemuan hingga menyadari arti yang sebenarnya di balik sebuah pertemuan itu sendiri. Pertemuan mungkin tak selamanya menyenangkan. Sebab boleh jadi, pertemuan tidak hanya untuk mempersatukan, tapi pertemuan juga bisa menjadi awal dari sebuah perpisahan. Karena yang pasti dari sebuah pertemuan justru adalah sebuah perpisahan, yang membedakan hanyalah seberapa cepat atau seberapa lambat perpisahan itu terjadi.