2 minute read

Kelabu

Karya : Esyatulkayyis

Malam ini langit tampak kosong. Hanya berawan. Bulan yang seharusnya berpendar, hilang entah kemana. Terlihat setengah saja tidak. Begitupun bintang. Bintang-bintang yang biasanya mengintip dan sengaja mengedip kerlap-kerlip mencari perhatian juga sepertinya memilih untuk bersembunyi. Membuat malam ini semakin sunyi Belum lagi udara kali ini terasa lebih dingin Tak tahu, ada apa dengan malam ini

Advertisement

Seorang perempuan berambut panjang terlihat merapatkan sweater yang sedang ia kenakan. Duduk di salah satu kursi kedai kopi yang tidak begitu ramai. Sengaja memilih sudut kedai yang jauh dari keramaian. Tangannya menyentuh secangkir kopi susu yang telah ia pesan. Untuk menghangatkan telapak tangannya, lantas menempelkannya ke pipi. Menyalurkan hangat dengan cara sederhana.

Nama perempuan itu Raya. Lebih tepatnya Soraya. Seorang perempuan berparas cantik seperti arti namanya. Dari wajahnya saja sudah terlihat bahwa ia adalah sosok yang ceria. Ia juga seorang yang menyukai kesederhanaan dan kedamaian. Kesederhanaan itu bisa dilihat dari caranya berpakaian.

Raya menjatuhkan pandangannya ke lalu-lalang keramaian kota. Gemerlap lampu dari kendaraan dan gedung-gedung tinggi serta rumah-rumah penduduk tampaknya lebih menyenangkan daripada harus menatap kekosongan langit. Perempuan itu tersenyum tipis. Disentuhkannya lagi telapak tangan ke cangkir untuk beberapa saat, kemudian menempelkannya ke pipi.

Pandangannya berubah. Tak lagi menatap jalanan yang ramai. Ia mendongak, menatap langit yang kosong. Perlahan senyumnya memudar. Menatap langit sebentar, lalu menunduk. Ia tak kuat. Sungguh. Pikirannya sedang bertengkar. Bayangan-bayangan itu berputar. Abu-abu, hitam, dan putih. Kalimat-kalimat itu terngiang, terputar kembali, terpatri. Samar-samar itu tampak, tiba-tiba menghilang. Senyum Raya mengembang, tapi bukan senyuman bahagia. Ia tersenyum getir.

Raya menyukai seorang laki-laki. Seseorang yang juga menyukainya. Seorang yang dengan tulus, telah dan siap melakukan apapun untuk Raya. Seseorang yang pernah menyelamatkannya. Seorang penyayang, seorang yang baik hati. Seseorang yang menurut Raya nyaris sempurna. Seseorang yang dari tadi ditunggunya. Temannya sejak SMA.

“Hai, Ra. Sudah lama, ya? Maaf, tadi habis antar Bunda macet banget,” suara lembut seseorang itu menyapa. Raya mendongak, tersenyum.

“Hai, Surya. Enggak, kok. Baru aja,” jawab Raya masih dengan tersenyum. Laki-laki itu balas tersenyum. Senyumnya lebih lebar, lebih manis. Senyuman tulus, kelihatan dari matanya yang ikut tersenyum.

“Kamu bagaimana kab—”

“Maaf, Surya. Aku ngga bisa.” Belum sempat Surya menyelesaikan pertanyaannya, Raya sudah memotong.

Sebuah kalimat yang membuat senyum Surya tiba-tiba menghilang. Mata yang awalnya juga tersenyum, ikut luruh jadi sendu. Tergantikan oleh tatapan tak percaya. Seolah meminta penjelasan karena mulutnya tak dapat bicara.

Tak jauh berbeda, Raya hanya bisa diam setelah mengucap kalimat itu. Matanya tak bisa bohong, setetes bulir bening lolos tak tertahan. Membentuk anakan sungai yang mengalir secara tiba- tiba Ia tak bersuara Terisak dalam diam Sengaja menggigit bibir bawahnya agar tidak mengeluarkan suara. Sakit. Sungguh, rasanya sakit sekali bagi Raya.

“Tapi, aku menyukaimu, Ra.”

“Aku tahu.”

“Tapi, aku menyayangimu, Ra.”

“Aku tahu.”

“Tapi, aku mencin—”

“Cukup, Surya. Sekali lagi aku minta maaf. Aku enggak bisa.”

Hancur. Surya kalah telak. Ia sudah tak bisa berkata apa-apa lagi. Kata apa yang bisa menggambarkan perasaannya lebih dari cinta? Kalau ada, kalau ada Surya sudah pasti mengatakannya pada Raya. Tapi, apakah Raya kemudian akan meralat kalimatnya?

“Maaf, Surya. Aku harus pulang.”

Lolos. Bulir bening itu lagi-lagi menetes dari mata Raya yang sudah memerah. Deras, semakin deras Ia berbalik, memilih untuk segera menjauh Menghapus kasar anakan sungai yang bahkan tak mau berhenti. Ia tak peduli dengan tatapan orang-orang. Raya ingin segera pulang. Meninggalkan Surya yang bahkan juga sudah meneteskan air mata.

Raya tahu, Raya tahu bahwa kalimat itu menyakiti hati Surya. Raya tahu bahwa Surya menyukainya. Raya tahu bahwa Surya menyayanginya. Raya tahu bahwa

Surya mencintainya. Bahkan, Raya tahu, kalau saja ada tingkatan lebih tinggi dari mencintai, Surya pasti berada pada tingkatan itu untuk Raya. Tapi, Raya juga tahu, ia tak boleh egois. Raya tak bisa, tak boleh. Walau, Raya sendiri pun tak mampu menjelaskan mengapa ia tak bisa. Raya hanya tak ingin ada yang terluka. Raya suka kedamaian. Biarkan, biarkan Raya mencintai Surya dengan caranya. Biarkan Raya mencintai Surya tanpa perlu saksi. Biarkan Raya mencintai Surya sampai pada level tertinggi semampunya. Bukankah level tertinggi mencintai adalah mengikhlaskan?

This article is from: