
6 minute read
Delapan Penyebab Brand Advocacy Menurun
8 Penyebab Brand Advocacy Menurun
Oleh Saviq Bachdar
Advertisement
Advokasi yang rendah biasanya terjadi karena salah strategi perusahaan yang terjadi di lima tahap perjalanan pelanggan. Akan tetapi, brand advocacy juga dipengaruhi oleh masalah yang menyelimuti merek itu, baik internal maupun eksternal
ahapan agar merek diadvokasi oleh mayoritas konsumen bukan perihal mudah. Sebab, masalahmasalah yang dihadapi merek terjadi di sepanjang perjalanan pelanggan terhadap merek itu, mulai dari Aware menuju Appeal, lalu menuju Ask, kemudian Act, dan berakhir di Advocate (Konsep 5A).
Awareness atau kesadaran merek adalah hal pertama yang harus diperhatikan konsumen. Seperti kata pepatah “Tak kenal Maka Tak Sayang”. Bagaimana mungkin merek Anda direkomendasi orang, jika dikenalpun tidak. Maka itu, banyak merek mengalokasikan bujet yang besar untuk menciptakan awareness. Hal yang paling lazim dilakukan adalah menyebar iklan di mediamedia mainstream, seperti TV, media cetak, dan radio.
Akan tetapi, jika sudah beriklan, namun tingkat pembelian (act) maupun advokasinya rendah, bisa jadi masalahnya terletak pada kurang tepat memosisikan merek di pasar (positioning), maupun kurangnya perbedaan yang autentik antara merek Anda dengan kompetitor (differentiation).
Anda beruntung jika faktor itu bisa Anda temui kesalahannya di lapangan. Sebab, ada faktor-faktor lain yang membuat advokasi merek hancur seketika, yang penyebabnya justru di luar kesadaran atau kendali dari merek atau perusahaan Anda itu.
Berikut delapan kondisi yang dapat membuat brand advocacy merek turun. Halhal di bawah ini pernah terjadi pada merek-merek besar. Biasanya, semakin besar perusahaan Anda, masalah pun juga akan semakin besar, bukan?
1. Scandal
Dari sekian jenis krisis, skandal yang paling sering terjadi. Biasanya berupa sengketa antarmerek. Kita tentu masih ingat skandal pabrikan rokok Gudang Garam yang menggugat Gudang Baru, merek rokok yang diduga mirip dengan Gudang Garam.
Setelah kasus ini bergulir di pengadilan sejak tahun 2013, pemilik Gudang Baru, Ali Khomsin, harus mendekam di jeruji besi selama 10 bulan dengan dalil tuduhan pemalsuan merek.
Skandal terbaru yang cukup menghebohkan adalah kasus ditemukannya bahan baku kedaluarsa di restoran Pizza Hut dan Marugame Udon yang dikelola PT Sarimelati Kencana, anak usaha Sriboga Food Group. Berita ini menjadi viral setelah Majalah Tempo bersama BBC Indonesia melakukan investigasi yang tertuang dalam tajuk utama majalahnya berjudul “Ada Apa Dengan Pizza” edisi 5 September 2016.
Sehari setelah itu, Pizza Hut melakukan klarifikasi ke media dengan pula mengajak awak media mengunjungi gudang bahan bakunya yang terletak di Bantargebang, Bekasi. Presiden Direktur PT Sarimelati Kencana Stephen McCartney pun membantah mentahmentah tudingan tersebut.
“Kami tidak pernah memperpanjang masa simpan bahan makanan,” kata Stephen, seperti dikutip dari laman Kompas.com.
Stephen mengatakan, pihaknya tidak berkompromi dengan keuntungan apabila sudah menyinggung keamanan pangan. Saat itu pula, pihak Sarimelati mengajak otoritas terkait, seperti Dinas Kesehatan DKI dan Bareskrim untuk menyelidiki dugaan tersebut.
2. Corruption
Korupsi nyatanya bukan masalah yang melulu terjadi di level pemerintah. Keterlibatan pihak
swasta dalam kasus korupsi pun tak terelakkan. Tak heran, tahun ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong penanganan korupsi masuk ke sektor swasta.
Sujarnako, Direktur Pendidikan & Pelayanan Masyarakat KPK menilai bahwa korupsi yang dilakukan sektor swasta berpotensi merugikan konsumen. Ia mencontohkan, pengadaan biaya untuk pulsa SMS, mark up harga yang terjadi di beberapa produk, serta budaya pungli di sektor distribusi barang adalah beberapa kasus korupsi yang terjadi di level swasta. “Pada akhirnya, konsumen harus membayar lebih untuk menutupi biayabiaya korupsi itu,” terang Sujarnako.
Balada korupsi pun sempat menerjang perusahaan properti Agung Podomoro Land (APLN) yang tersandung kasus suap Rp 2 miliar yang diberikan Presiden Direktur APLN Ariesman Widjaja kepada M. Sanusi, mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta.
Suap diberikan terkait dengan pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.
Kasus ini sontak mendapat perhatian publik dan media nasional, karena dilakukan oleh perusahaan yang menguasai 52% pasar apartemen di ibukota.
Untungnya, APLN melakukan tindakan yang cepat dalam memulihkan reputasinya. Tak perlu waktu lama bagi APLN untuk melakukan pergantian direksi dengan menunjuk Cosmas Batubara sebagai Direktur Utama. Cosmas merupakan mantan Menteri Perumahan Rakyat zaman Presiden Soeharto.
Imej positif APLN naik saat waktu yang bersamaan, mereka mengumumkan penjualan Podomoro Golf View, produk apartemen yang menyasar kelas menengah bawah. Berkat produk itu, APLN dinilai membantu program pemerintah membangun satu juta rumah untuk mengatasi kebutuhan backlog 15 juta rumah bagi masyarakat menengah ke bawah.
3. Hoax
Di tengah pesatnya media digital, pemberitaan palsu atau hoax kini berkembang bak virus. Tak jarang banyak merek yang terkena isuisu yang belum jelas kebenarannya.
Hal itu pernah mengintai Yupi, merek permen yang menguasai 90% pangsa pasar permen gummy. Direktur PT Yupi Indo Jelly Gum Juliwati Husman mengatakan, saat kasus permen narkoba mencuat ke publik dua tahun lalu, sebuah tayangan berita di televisi menyorot penampakan permen yang dianggap mengandung zat-zat terlarang itu. Gambar permen itu menyerupai gummy.
“Bentuknya gummy beruang. Kebetulan, permen Yupi punya bentuk gummy beruang. Perlu diketahui, semua pemain gummy pun memilikinya,” kata Juliawati.
Pihaknya langsung meminta klarifikasi kepada pihak televisi atas pengambilan gambar tersebut. Juliawati risau apabila masyarakat mengaitkan permen gummy itu dengan Yupi, yang merajai pasar gummy di Tanah Air. “Ya, kalau berbicara permen gummy, orang mengasosiasikan ke Yupi. Sayangnya, yang kami dapat saat itu hanya permohonan maaf (dari pihak televisi),” terangnya.
Agar brand image tetap terjaga di masyarakat, Yupi mengubah ancaman yang mendera mereknya sebagai sebuah opportunity. Merek yang hadir sejak tahun 1996 itu menjadikan isu narkoba sebagai bagian dari marketing campaign perusahaan. Yupi menggelar kampanye yang mendorong generasi muda untuk menjauhi narkoba. ”Kami ingin mengajak anak muda adu kreativitas dengan membuat video konten yang dapat mengajak untuk stop narkoba,” jelasnya
4. Black Campaign
Dunia bisnis. Di tengah pasar yang menginginkan merek-merek yang inklusif dan jujur, praktik black campaign masih saja terjadi.
Kondisi itu pernah dirasakan pada situs e-commerce Lazada dan Elevenia. Keduanya dituduh saling melontarkan kampanye hitam terkait satu kasus yang menghebohkan netizen.
Seorang konsumen bernama Danis Darusman, pemilik akun Twitter @danisdarusman mengaku menjadi korban penipuan yang dilakukan oleh situs belanja online Lazada.
Dalam Twitter-nya, Danis sempat berkicau, “Beli iphone 6+ nyampenya sabun nuvo! Hanya di @ LazadaID BURUAN GUYS!!! Buruan bangkrut maksudnya lo.” Belakangan diketahui bahwa Danis merupakan salah seorang karyawan situs belanja online Elevenia, pesaing Lazada.
Sontak kabar itu langsung ditepis pihak Elevenia. Melalui Medeleine Ong De Guzman, Vice President Marketing Division PT XL Planet, perusahan yang mengelola situs Elevenia, menyatakan bahwa kasus yang terjadi pada karyawan Elevenia murni masalah personal, bukan black campaign yang sengaja diberikan kepada lawan bisnisnya itu.
Kabar baiknya, kedua perusahaan segera berdamai. Pihak Lazada Indonesia langsung bertemu dengan Danis dan memberikan ponsel Apple iPhone 6 Plus kepadanya. Sejak saat itu, kasus ini dianggap selesai.
5. Price War
Price war lazim terjadi di dunia bisnis. Dalam dunia pemasaran, price war terjadi karena merek tidak memiliki positioning dan differentiation yang autentik di pasar.
Perang tarif terjadi antara Go-Jek dengan Grab Bike. Dulu, tarif minimum layanan Go-Jek di luar jam sibuk adalah Rp 12.000, sedangkan Grab Bike Rp 10.000. Go-Jek saat itu berani menawarkan harga lebih mahal Rp 2.000, karena armada Go-Jek cukup banyak kala itu.
Melihat Go-Jek di atas angin, Grab menurunkan tarif Rp 5.000 untuk 1-2 km pertama perjalanan demi meraih pasar yang lebih besar. Penurunan ini cukup berarti, khususnya bagi mereka yang memakai jasa ojek untuk jarak yang relatif dekat.
Tak mau kalah, berselang tiga minggu dari “amunisi” Grab Bike itu, Go-Jek akhirnya menurunkan tarifnya menjadi Rp 4.000 dari Rp 12.000. Jika