15 minute read

Melihat Kerentanan Mahasiswa sebagai Pekerja Magang: Apakah Mereka Menyandang Status Precariat Terdidik?

Oleh: Jasmine Hasna N. R. dan Muhammad Hasbul Wafi

Pendahuluan

Advertisement

Bonus demografi menuntut orang untuk berjuang lebih keras dalam mencari pekerjaan. Tawaran pekerjaan yang terbatas dengan pesaing lebih banyak dan kompetitif membuat orang makin frustasi dalam mencari pekerjaan yang tepat untuk hidupnya dan menerima tawaran yang ada dengan apa adanya. Seleksi kerja yang ketat menuntut calon pekerja untuk mencari pengalaman dengan cara magang. Pengalaman ini akan divalidasi dengan pemberian sertifikat dari perusahaan. Validasi tersebut dibutuhkan bagi pencari kerja sebagai bukti bahwa mereka telah berpengalaman. Integrasi mahasiswa terhadap pasar tenaga kerja lebih cepat berlangsung pada generasi sekarang yang jarang ditemui di dekade 90-an atau 2000-an (Firdasanti, et.al, 2021). Artinya, minat dan kesadaran mahasiswa terhadap pekerjaan meningkat, mahasiswa semester akhir biasa melakukan magang karena menyadari bahwa mereka adalah calon pekerja.

Persaingan akan lebih ketat sementara magang merupakan alternatif bagi calon pekerja atau mahasiswa yang belum memiliki pengalaman untuk melatih skill mereka, memoles portofolio, ditambah akses pekerjaan yang mungkin akan mereka dapatkan setelah magang selesai. Namun, tanpa disadari penerimaan yang apa adanya terhadap konsep magang mungkin secara potensial dapat merugikan dirinya, menjadikan dirinya sebagai pekerja paruh waktu yang rentan, lemah, dan lebih mudah untuk dieksploitasi.

Kerentanan banyak dialami pekerja muda, menurut Adam (dalam Lewchuk, 2017) dalam banyak hal pekerja muda seringkali dijadikan sebagai kelinci percobaan untuk pertunjukan ekonomi yang sedang berkembang. Kasus ini banyak ditemukan dalam praktik pekerja paruh waktu atau magang yang rela dibayar sedikit dengan beban kerja yang banyak ‘overtime’ atau bahkan bekerja tanpa bayaran. Selain itu, dalam pekerja paruh waktu maupun magang tidak ada jaminan kepastian perlindungan sosial maupun kesehatan. Banyak terjadi jebakan kerja yang diterima oleh pekerja muda atau mahasiswa. Jebakan yang dimaksud adalah pekerjaan yang dilakukan tanpa dibayar, mempekerjakan pekerja magang dengan menggantikan pekerja tetap yang telah digaji, dan lainnya. Hal tersebut telah diperingatkan oleh ILO (International Labour Organization) kepada perusahaan agar tidak mengadopsinya, selanjutnya demi mendapatkan pengalaman dan jaminan pekerja di masa depan, mestinya perusahaan memberikan tugas yang baik, pelatihan dan bimbingan yang tepat (ILO, 2012) sehingga tidak melanggar standar pekerja.

Namun, nyatanya tidak demikian. Terkadang pencarian benefit oleh perusahaan lebih penting untuk dicapai sehingga melampaui nilai moral dan mengesampingkan standar pekerja. Di beberapa kasus mahasiswa yang magang dan bekerja paruh waktu, sebenarnya banyak yang menyadari bahwa mereka telah diperlakukan tidak adil oleh perusahaan, dibayar dengan upah rendah yang tidak memenuhi standar minimum. Pekerja paruh waktu masuk dalam pola dan ciri dari gig economy. Tipe ekonomi ini ditopang oleh para pekerja lepas—tanpa kewajiban bagi pemberi kerja untuk memberikan jaminan-jaminan sebagaimana dipahami dalam konsep kerja yang klasik—dan diikat oleh derajat fleksibilitas tenaga kerja yang tinggi (Firdasanti, et.al, 2021). Sebagian dari pekerja paruh waktu merupakan mahasiswa magang, mereka sama mengalami kerentanan dalam bekerja. Pekerja magang yang tidak dibayar atau dibayar rendah, di Prancis dianggap sebagai precariat yang dieksploitasi sebagai pekerja murah yang biasanya lulusan baru.

Tren magang yang telah menjadi budaya menjadikan kajian tentang precariat yang digambarkan dengan jelas oleh Standing menarik untuk didalami. Ciri dari precariat adalah mereka tidak memiliki sekuritas (Standing, 2012). Selain itu, kerentanan yang dihadapi oleh precariat ini juga membuka wacana teoritis yang ditawarkan Butler (2004) bahwa instansi atau negara juga terkadang punya peran dalam membuat orang menjadi rentan sehingga memunculkan pertanyaan mengapa celah hukum yang ada tidak segera diperbaiki.

Prekaritas Butler di sini memiliki nuansa eksistensial yang cenderung lebih “menubuh” (rasa sakit, rasa takut, eksekusi, salah tangkap, pembunuhan) ketimbang Standing. Dengan kekuasaan yang luar biasa, maka negara dan pemilik modal dapat benar-benar melakukan apa saja, termasuk langkah-langkah yang di luar hukum (Polimpung, 2019). Atas dasar tersebut, tulisan ini akan menunjukkan kerentanan yang dihadapi oleh mahasiswa yang sedang menjalani proses kuliah maupun fresh graduate, terutama bagi mereka yang sedang atau telah menempuh jalan magang sebagai jalur untuk menapaki dunia kerja. Dalam kajian ini melihat bagaimana kerentanan yang dihadapi oleh mahasiswa, membuatnya menyandang status “precariat terdidik”.

Tulisan ini menggunakan metode studi kepustakaan dengan pendekatan fenomenologi serta menambahkan analisis hermeneutika dari setiap realitas yang dihasilkan.

Pekerja dan Status Precariat

Pasar kerja yang fleksibel secara tidak langsung membiarkan pekerja masuk dalam transfer peningkatan resiko bahaya hidup mereka atau bahkan keluarganya dalam posisi genting dan ketidakamanan di tengah gelombang modernisasi tingkat lanjut. Praktik ketenagakerjaan yang tidak pasti, tidak stabil, dan tidak aman telah diterima sebagai norma “standar” untuk mengurangi biaya dan memaksimalkan fleksibilitas bagi pemberi kerja (Hewison dan Kalleberg dalam Yasih, 2017). Fleksibel bisa diartikan sebagai waktu pekerja semakin tidak mengetahui kapan dia harus bekerja sehingga tidak punya waktu paten untuk kerja maupun istirahat.

Seiring dengan berkembangnya sistem ekonomi neoliberal yang mendorong pasar pekerja ke arah yang tak menentu, Standing (2011: 7-8) dalam bukunya The Precariat: The New Dangerous Class mempopulerkan sebuah istilah kelas baru, precariat, untuk membantu memahami hubungan kelas dalam pasar ekonomi global abad ke-21. Kelas ini berada pada tingkatan kelas paling bawah, di bawah kelas proletariat atau kelas pekerja (working class). Karena selain mereka tidak memiliki hubungan kuat dengan modal atau bisa dikatakan tidak memiliki upah yang tinggi, pekerja precariat juga tidak memiliki hubungan kontrak kerja yang jelas. Tidak memiliki jaminan sosial seperti yang didapatkan oleh para proletariat.

Kelas precariat ini bisa dikenali dengan tidak adanya tujuh bentuk sekuritas pada dirinya (Standing, 2011: 10-11). Yang pertama adalah sekuritas pasar kerja, misalnya peluang mendapatkan pendapatan yang memadai. Kedua, sekuritas ketenagakerjaan, misalnya perlindungan dari pemecatan sewenang-wenang dan peraturan yang jelas tentang perekrutan-pemecatan. Ketiga, sekuritas pekerjaan, misalnya peluang untuk promosi jabatan. Keempat, sekuritas kerja yang bisa dicerminkan dari adanya regulasi tentang keselamatan kerja dan kesehatan. Kelima, sekuritas dalam mengembangkan kemampuan, misalnya adanya pelatihan ketenagakerjaan dan lainnya. Keenam, sekuritas terhadap kestabilan pendapatan. Dan terakhir adalah sekuritas representasi yang bisa dilihat dari adanya serikat pekerja yang independen dan berdaya.

Pekerja precariat pun bermacam-macam. Standing (2015) meringkasnya menjadi tiga kelompok: kelompok ‘bekas’ proletariat yang sebagian besar tidak terdidik, kelompok terdidik, dan kelompok migran serta minoritas. Sedangkan di kalangan aktivis perburuhan di Indonesia pengelompokkan pekerja precariat lebih merujuk pada jenis kontraknya, misalnya pekerja kontrak, alih-daya ‘outsourcing’ di sektor manufaktur, pekerja kreatif dengan kontrak tidak jelas, pekerja magang ‘internship’, pekerja paruh waktu ‘part time’, hingga pekerja lepas atau freelance (Polimpung, 2018).

Namun, konsep precariat sebagai sebuah kelas yang benar-benar baru telah banyak dikritik oleh para akademisi. Misalnya, Yasih (2017) berpendapat bahwa precariat adalah kelas yang tidak bisa berdiri sendiri karena sebenarnya masih bisa dianggap sebagai kelas proletariat. Pembagian kelas seharusnya didasarkan pada bagaimana peran yang dimiliki oleh para pekerja di dalam sebuah hubungan produksi dan reproduksi, bukan didasarkan pada stabilitas ketenagakerjaan. Selama para pekerja yang disebut sebagai kelas precariat ini tidak memiliki kepemilikan atas alat-alat produksi dan mereka bekerja dalam hubungan sosial yang eksploitatif untuk majikan-kapitalis, maka mereka tidak akan ada bedanya dengan kelas proletariat.

Kritik lain juga datang dari Allen (2014) yang percaya bahwa kelas precariat bukan lah kelas baru karena ia muncul dari perbandingan yang secara waktu tidak relevan. Standing menganggap precariat sebagai kelas baru karena ia melihat adanya karakteristik unik yang membedakannya dengan proletariat yaitu kestabilan pendapatan, ketenagakerjaan, dll. Padahal, proletariat yang dirujuk oleh Standing adalah proletariat yang ada pada puluhan tahun lalu yaitu pada masa Keemasan Kapitalisme ‘The Golden Age of Capitalism’. Sedangkan proletariat masa kini belum tentu memiliki kestabilan yang sama mengingat proletariat bukanlah kelas statis karena bisa diubah oleh logika kapital yang mendasarinya: dorongan untuk ekspansi diri untuk tingkat keuntungan yang tinggi. Untuk alasan yang sama, Munck (2013) juga meragukan konsep precariat karena konsep ini dianggap Euro-sentris. Kaum proletariat yang berada pada bagian bumi selatan tentu memiliki ciri yang berbeda dengan proletariat masa Keemasan Kapitalisme yang dirujuk oleh Standing.

Dalam konteks Indonesia, precariat sebagai kelas yang sama sekali baru juga mengalami kesulitan dalam menemukan bentuknya. Jauh sebelum adanya perundangan masa Orde Baru yang memunculkan pekerja fleksibel (kontrak dan outsourcing/alih-daya) telah ada pekerja-pekerja yang juga memiliki kerentanan yang besar. Misalnya, para pelaut yang diperbudak atau Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang dianiaya. Tidak berlebihan jika Polimpung (2018) berpendapat bahwa dalam negara yang percaya bahwa mekanisme pasar adalah segalanya, semua manusia adalah precariat. Dengan keterbatasan teoritis dari konsep kelas precariat ini, maka akan semakin sulit membedakan mana yang termasuk dalam kelas precariat dan mana yang tidak termasuk. Oleh karena kritik-kritik di atas, alih-alih membicarakan precariat sebagai sebuah kelas, tulisan ini akan lebih berfokus pada faktor apa yang menciptakan kerentanan para pekerja precariat ini.

Selain Standing, Butler (2004) juga merupakan salah satu penulis yang kerap dirujuk apabila membahas mengenai precarity atau kerentanan. Menurutnya, kerentanan -tidak hanya yang dialami oleh pekerja- bisa diciptakan oleh negara, selaku yang memiliki kekuasaan lebih dalam membuat kebijakan, dengan alasan kegentingan. Dalam bukunya Precarious Life: The Power of Mourning and Violence, Butler berbicara mengenai kerentanan yang diciptakan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) terhadap para tersangka teroris yang mereka tahan di Kamp Guantanamo. Pemerintah AS sengaja tidak menamai mereka dalam administrasi AS sebagai ‘tahanan’ untuk menghindari kewajiban pemenuhan hak-hak tahanan yang diakui oleh dunia internasional (Butler, 2004: 86-90). Dengan justifikasi kedaruratan nasional, negara bisa menunda perlindungan hukum atas sebagian orang sampai batas waktu yang tidak jelas sehingga akan menciptakan kerentanan di masa depan.

Sejalan dengan teori Butler, untuk melihat awal mula kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia yang mendorong kerentanan pekerja bisa kita tarik ke dua peristiwa genting negara. Yang pertama adalah krisis ekonomi Asia pada tahun 1997. Dengan alasan menyelamatkan kegentingan perekonomian negara, Presiden Soeharto, yang kebijakannya biasanya bercorak sentralistis dan patrimonial, harus menandatangani perjanjian pembuatan kebijakan yang mendukung fleksibilitas pekerja di Indonesia demi mendapat bantuan finansial dari International Monetary Fund (IMF) (Hadiz dalam Wirman, 2021). Yang kedua adalah masa resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19. Atas nama penyelamatan ekonomi negara, pemerintah secara kilat, terhitung 9 bulan sejak penyerahan naskah akademik hingga pengesahan, membuat UU Cipta Kerja yang banyak menambah kerentanan pekerja. Untuk meningkatkan investor pada perusahaan-perusahaan di Indonesia, pemerintah mengorbankan peraturan mengenai batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT); mendorong maraknya berbagai bentuk outsourcing; hingga lepas tangan mengenai konsepsi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga PHK menjadi urusan privat pengusaha dengan pekerjanya (Riyanto et al., 2020). Dua peristiwa tersebut membuktikan bahwa keadaan genting negara akan mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan yang akan menciptakan kerentanan.

Kerentanan-kerentanan yang terjadi tidak jauh dari bagaimana institusi dalam menempatkan kebijakan dengan kurangnya perhitungan sehingga banyak membuat pekerja menjadi rapuh, mereka merasakan dua kesakitan dalam waktu bersamaan, pandemi dan pemecatan karena tidak ada jaminan. Kerentanan sebagian besar pekerja ini tergantung pada bagaimana hubungan instansi ekonomi dan organisasi sosial maupun politik. Dalam pengertian ini, precariat tidak dapat dipisahkan dari dimensi politik yang membahas organisasi dan perlindungan kebutuhan tubuh. Selain itu, seperti yang dijelaskan di atas, sistem neoliberal pasar bebas yang memungkinkan para pemodal dan pengusaha untuk bersaing dan berkompetisi akan membuat terjadinya lonjakan yang besar terhadap pekerja kontrak secara sementara, pekerja bekerja secara mandiri namun terikat dengan perusahaan. Salah satu dampak dari ekspansi neoliberalisme adalah normalisasi bentuk pekerjaan yang tidak stabil dan tidak pasti, yang ditujukan untuk mengurangi biaya tenaga kerja dan memaksimalkan fleksibilitas untuk pemberi kerja (Yasih, 2017). Dengan model kerja seperti ini tidak bisa dipungkiri nantinya akan banyak mengakibatkan kerentanan terhadap pekerja, sedangkan yang memungkinkan masuk dalam pekerjaan semacam ini adalah mereka yang mulai meniti karir dengan masuk sebagai pekerja freelance atau magang. Pekerjaan ini memiliki tingkat kerentanan yang bervariasi tergantung di mana tempat mereka bekerja.

Kerentanan Mahasiswa Sebagai Pekerja Magang di Indonesia

Mahasiswa meski secara akademis terdidik namun karena regulasi tentang pemagangan khususnya di Indonesia belum secara jelas mengatur dan melindungi haknya, celah hukum itu sangat mungkin dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mendapatkan sumbangan tenaga dari mahasiswa magang sebab dengan dasar hukum yang prematur, konsep ini bisa dengan mudah membuat pekerja tereksploitasi. Minimnya kepastian jaminan yang didapat peserta magang terhadap perlindungan hukum, jaminan sosial dan kesehatan memiliki kemiripan karakter terhadap pekerja precariat. Berdasarkan prekarisasi yang terjadi kepadanya, tenaga magang termasuk sebagai bagian dari kelas precariat (Wirman, 2021).

Dalam konteks Indonesia, magang merupakan budaya yang tidak terlepas dalam konsep kerja. Kecenderungan mahasiswa yang memaknai budaya magang sebagai jalur tempuh ke perusahaan sebenarnya secara tanpa disadari telah terpengaruh cara berpikir neoliberal. Selain pengaruhnya pada sektor pasar pekerja yang mengalami fleksibilitas, neoliberalisme juga terinternalisasi ke dalam institusi pendidikan (Silalahi dan Aminda, dalam Wirman, 2021). Magang merupakan sebuah konsep yang bagus karena akan membantu calon pekerja dalam menemukan pekerjaan yang diminatinya. Namun, jika konsep ini diartikan dengan pemahaman yang salah maka akan membuat kerugian tersendiri. Melalui kegiatan magang, tenaga magang berekspektasi untuk mendapatkan pengalaman, pembelajaran, dan jaringan—yang berjalan selaras dengan perkembangan arah pendidikan yang terpengaruhi oleh nilai-nilai neoliberalisme, yaitu institusi yang berfungsi untuk mencetak pekerja (Wirman, 2021). Neoliberal dengan gaya pasar bebas telah mempengaruhi cara berpikir institusi pendidikan sehingga tidak mengherankan jika mahasiswa terbiasa berpikir dengan format yang salah, kebekuan ini juga didukung dengan kebijakan kampus yang mewajibkan mahasiswa untuk magang dengan memasukkannya dalam sistem kredit semester. Bahkan banyak di antara mahasiswa magang yang berpikir bahwa kerentanan yang dihadapi oleh mahasiswa merupakan suatu kewajaran sebab untuk memperoleh sertifikasi perusahaan yang baik mereka rela tereksploitasi.

Kajian tentang pekerja precariat di Indonesia telah dilakukan meski masih belum banyak. Misalnya, penelitian oleh Wirman (2021) berhasil memotret kondisi eksploitatif yang secara tidak disadari, dialami oleh kelompok precariat terdidik di Indonesia yaitu peserta magang mahasiswa. Hal ini tercermin dari motivasi peserta magang industri periklanan -dengan beban kerja yang tak pasti, dikendalikan langsung oleh klien tanpa kontrak pemberian jasa yang jelas. Barrier to entry pasar kerja yang sangat kompetitif dan kesulitan beradaptasi pada kondisi bekerja yang serba rentan adalah dua ketakutan yang mendorong mereka berpikir bahwa mau tidak mau, magang, meskipun eksploitatif, merupakan hal yang harus diambil untuk mempersiapkan diri menghadapi kedua ketakutan tersebut.

Jika kembali pada pengertian awal mengenai penjelasan Standing (2011) tentang kelas baru pekerja yang berbahaya, menurutnya nanti akan ada suatu kemungkinan bahwa ketika kegentingan yang disebabkan karena kekuatan struktural itu telah disadari maka pada akhirnya pekerja akan bersatu sebagai sebuah kelas baru dalam membentuk suatu perubahan struktural. Pekerja magang sebenarnya telah menyadari bahwa mereka telah banyak mengalami kerentanan, mereka bersuara banyak lewat platform media sosial dan ada juga dukungan solidaritas melalui tulisan jurnalistik pers. Namun, seperti yang disebutkan di atas tak jarang terdapat pekerja magang yang beranggapan bahwa ketidakamanan yang mereka lalui justru dijustifikasi sebagai kesempatan yang representatif untuk belajar dan meningkatkan kompetensi diri (Wirman, 2021). Glorifikasi yang berlebihan ini semakin terlihat bahwa neoliberal telah mengakar, dan pembentukan subjektivitas diri yang mereka lalui dengan logika rela bekerja berat karena reputasi industri telah menjadi tanda bahwa mereka lebih takut tidak laku di pasar kerja mendatang. Ketakutan ini akan menjadi lebih nyata jika diperburuk dengan pengambilan kebijakan yang salah oleh institusi atau lembaga pemerintahan sehingga normalisasi precariat tidak terelakkan.

Padahal, sesungguhnya normalisasi precariat tenaga magang telah menegaskan kerentanan pekerja akibat tekanan struktural oleh perusahaan. Tekanan ini dapat dilihat dari laporan Project Multatuli (2022) yang dilakukan dalam rentang waktu Oktober 2021 - Februari 2022 tentang banyaknya keluhan mahasiswa magang. Keluhan tersebut telah menjadi bukti bahwa mahasiswa mengalami kerentanan dan kesakitan yang menubuh. Kesakitan ini ditambah dengan minimnya perlindungan payung hukum bagi peserta magang. Misalnya, program magang yang diinisiasi Kemdikbudristek belum memiliki payung hukum yang jelas dalam hal perlindungan hak-hak peserta magang (Adinda, 2022). Perjanjian tentang kewajiban dan hak peserta hanya diserahkan kepada perusahaan. Jika dilihat dari relasi antara peserta magang dan perusahaan yang tidak setara maka mekanisme perjanjian juga biasanya akan mengikuti permintaan perusahaan, artinya peserta magang punya potensi kerentanan karena bisa dianggap oleh perusahaan sebagai buruh murah. Bahkan di antara mahasiswa juga ada yang mengalami gejala depresi akibat tekanan kerja yang berat, kesepian, dan pelecehan seksual (Putri, 2021).

Kuatnya pengaruh neoliberal hendaknya dibarengi dengan kekuatan berpikir sehingga dalam membuat kebijakan institusi dapat mempertimbangkan, melihat apakah kebijakan yang diambil punya pengaruh yang bagus atau malah sebaliknya. Pemberdayaan tenaga magang secara potensial dapat menjadi titik balik bagi mahasiswa dalam mengenal dunia kerja, transformasi tersebut hendaknya dibarengi dengan sistem pendidikan yang bagus sehingga sirkulasi tenaga kerja di masa depan memiliki kompetensi dan kualifikasi yang mumpuni sesuai bidang, alih-alih sebagai persyaratan dalam mendapatkan sistem kredit semester. Pemberdayaan magang mestinya menjadi tempat latihan bagi calon pekerja bukan sekedar formalitas aturan dari kurikulum maupun validasi sertifikat. Kungkungan semacam itu mestinya bisa lepas dari institusi pendidikan. Selain itu, institusi pendidikan hendaknya melakukan pengawasan rutin serta penyusunan ulang kurikulum secara komprehensif jika terjadi praktik yang tidak sesuai sehingga dapat memperoleh capaian pembelajaran secara maksimal dan menghindarkan mahasiswa dari praktik eksploitatif mitra perusahaan.

Kesimpulan

Kerentanan yang yang dialami oleh pekerja magang sebenarnya tanpa disadari telah membuat dirinya menyandang sebagai status precariat, kesakitan menubuh yang mereka alami telah menegaskan eksistensinya bahwa mereka termasuk golongan rentan yang perlu dibela haknya. Kerentanan yang dimaksud adalah mereka yang tidak mempunyai sekuritas tentang pendapatan yang memadai, perekrutan-pemecatan, pekerjaan dalam promosi jabatan, regulasi jaminan perlindungan dan kesehatan, kestabilan pendapatan, dan lainnya. Kerentanan ini terjadi di banyak negara, sementara dari kasus yang terjadi banyak ditemukan kesakitan yang menubuh, kerugian tenaga dan waktu serta bahkan gangguan kesehatan mental. Kerentanan ini dipicu salah satu faktornya karena kurang tepatnya kebijakan yang diambil oleh universitas, serta kurangnya regulasi aturan hukum yang jelas dari pemerintah dalam membuat program magang. Faktor lain adalah ketakutan mahasiswa dalam bersaing di pasar kerja yang kompetitif di tahun-tahun berikutnya sehingga memaksa dirinya untuk magang demi memperoleh pengalaman dan validasi. Selain itu, kesalahan persepsi oleh pekerja magang yang menganggap bahwa kerentanan yang mereka alami adalah suatu kewajaran sehingga kerap kali terjebak dalam pekerjaan yang eksploitatif. Lebih dari itu, faktor terbesar adalah karena terjadinya ketimpangan antara mahasiswa magang dan perusahaan sehingga membentuk relasi kuasa yang timpang oleh perusahaan yang punya mekanisme dalam menetapkan aturan.

Universitas dan pemerintah punya peran besar dalam mencetak generasi muda unggul yang punya kualifikasi dan kompetensi dalam bidang tertentu. Kebijakan yang tepat terkait pemagangan yang mendukung mahasiswa akan membantunya dalam menajamkan skill dan bersaing di pasar kerja, alih-alih terjebak dalam suasana kantor yang tidak sehat. Kebijakan yang didasarkan pada kesejahteraan pekerja juga dapat menjadi acuan dalam pembentukan regulasi dan aturan terkait pemagangan. Pekerja adalah sendi masyarakat, untuk menjalankan agar tetap bergerak institusi perlu mengawasi, dalam artian memberikan penerapan kebijakan yang memberikan keuntungan timbal balik antara perusahaan dan pekerja. Hal ini juga berlaku dalam konteks magang. Dengan memberikan pemberdayaan yang baik dan regulasi yang tepat bagi pekerja magang artinya institusi telah memberikan dorongan moral terhadap kestabilan dan kesejahteraan pekerja di masa depan.

This article is from: