Jangan Bikin Kami Menderita (2015)

n i k i Jangan B

i m a K Menderi ta

1

Jangan Bikin Kami Menderita

Jangan Bikin Kami Menderita Penyunting : Anugrah Pambudi W. Penulis : Dwi Kartika Sari Anugerah Ikhlas Riansyah Paputungan Wening Fikriyati M. Hanif Alwasi Hasinadara P. M. Ary Nasichudin Irwan Syambudi Raras Indah Fitriana Maya Indah Cashindayo Desain Sampul & Tata Letak : Arya Zendhy N. Hasinadara P.

Lembaga Pers Mahasiswa Himmah Universitas Islam Indonesia Jalan Cik ditiro no. 1 Yogyakarta 55223 lpmhimmahuii.org

Daftar Isi Dari Meja Redaksi

vii

Mukadimah xi Jalan Buntu Menuju Layanan Kesehatan 1 Otonomi Daerah dan Romantisme Masa Lalu

22

Wajah Pendidikan Dalam Bingkai yang Kacau

41

Kala Jiwa Belum Utama

56

Prasangka Tak Akan Cerahkan Jiwa

66

Sang Beras Tumpah

80

Harga Mahal Edukasi Jiwa

90

Kesunyian dari Ponorogo Profil Himmah

104

vi

Dari Meja Redaksi HAK asasi manusia Indonesia seolah terabaikan. Itulah yang dapat kami simpulkan dari beberapa liputan majalah HIMMAH yang kami terbitkan ini. Jangankan untuk hal besar, perihal hak dasar seperti hidup pun seolah susah untuk diperjuangkan di Indonesia, nyawa murah. Hanya moral pelaku yang dapat menyelamatkan korban. Pesakitan tersingkirkan, mereka seolah bukan lagi warga Indonesia. Bagaimana kami harus menyikapi hal tersebut?

Sudah sepatutnya sebagai pilar keempat demokrasi di Indonesia tugas kami membantu menyampaikan umpan-balik kepada pembuat keputusan. Peran pers dalam negara Dunia Ketiga seperti Indonesia sudah sepantasnya punya nilai tawar lebih di mata pembuat kebijakan. Sebagai pengawal kebijakan, kami berusaha memperjuangkan keadilan, terutama bagi warga negara Indonesia yang susah dalam akses kuasa ataupun ekonomi.

Buku ini merupakan kumpulan reportase mendalam dari beberapa rubrik majalah yang diterbitkan oleh LPM Himmah. Tanpa direncanakan beberapa majalah terakhir konsen terhadap isu hak asasi manusia sebagai warga negara, hak yang sepatutnya dipenuhi negara. Dari permasalahan dasar seperti pendidikan, kesehatan, ketersediaan lapangan kerja, jaminan sosial, dan lain sebagainya yang “disediakan� pemerintah masih perlu banyak perbaikan. Perbaikan di berbagai sektor lini sudah seharusnya diseriusi oleh pemerintah jika benar-benar ingin menaikan derajat hidup rakyatnya.

Pencetusan buku ini sebenarnya sudah menjadi ide cukup lama dalam keluarga besar Himmah. Sudah sejak pengurus periode 1995an, zaman Indra Ramoz sebagai pemimpin redaksi Himmah saat itu, menggelontor-

kan ide membukukan jejak indonesia yang terekam dalam liputan-liputan awak Himmah. Ide itu bergulir dari tahun ke tahun tetapi tak kunjung berbuah hasil. Kali ini buku yang ada di tangan pembaca sekalian adalah buah hasil ide itu.

Buku ini tidak dipungkiri terinspirasi dari penerbitan Seri Buku Tokoh yang diterbitkan oleh Tempo. Tim penulis merasa sayang kalau perjuangan terhadap hak asasi manusia berhenti, berharap dapat berlanjut.

Buku ini menjadi semacam rekam jejak perjalanan Indonesia sebagai negara dalam mewujudkan cita-cita bangsa: masyarakat sejahtera, adil, dan makmur.

LPM Himmah mengapresiasi keinginan dan ide para awak Himmah dari yang kini masih berstatus pengurus hingga yang telah menjadi alumni untuk menjadikan kumpulan liputan mendalam ini ke dalam buku.

Buku ini juga sebagai bentuk refleksi atas perjalanan bangsa ini selama berpuluh tahun “merdeka�. Mempertanyakan konsep “merdeka� barangkali juga jadi semangat terbitnya buku ini. Selayaknya pers, kami harap ini dapat selalu mengusik kenyamanan kita sebagai warga negara untuk tak tinggal diam pada kondisi sesama.

Dengan ini, semoga pembaca juga bisa ikut serta dalam perjuangan hak asasi manusia, utamanya hak dasar yang seharusnya diberikan negara. Karena kesehatan dan pendidikan adalah hak seluruh warga negara di indopahit ini.

LPM Himmah berharap dengan diterbitkannya buku ini, pembaca dapat lebih sadar bahwa perjuangan terhadap hak dasar manusia masih harus terus berlanjut dan dapat ikut serta mewujudkannya. Tentu, kritik dan saran senantiasa kami terima untuk perbaikan kedepannya. Dengan berdiskusi, berdialog, serta berkomitmen terhadap perjuangan hak asasi manusia, kami harap hak Manusia Indonesia dapat selalu dipenuhi negara.

Mengutip pernyataan Albert Camus dalam bukunya, sesungguhnya kebebasan tidak sepatutnya didengungkan jika keadilan belum ditegakkan. Sungguh sangat egois menjadi individu yang hanya memperjuangkan kemerdekaan pribadi namun masih banyak rekannya yang belum bisa menikmati sebagian kecil dari yang dia punya. Ringkasnya, kepada pembaca budiman mari kita wujudkan keadilan bagi mereka yang masih terjerat dalam belenggu keterdindasan. Utamanya lewat perjuangan hak

viii

dasar warga negara yang belum bisa dipenuhi oleh negara. Rekomendasi dari kami adalah: jangan baca buku ini semisal anda tidak mau merasa gundah menjadi warga Indonesia.

Selamat membaca.

Kholid Anwar Pemimpin Redaksi LPM HIMMAH UII

ix

Mukadimah PERDANA Menteri Australia – Tony Abbot-- berang. Ia melontarkan kecaman keras pada pemerintah Indonesia yang akan mengeksekusi dua orang warga Australia. Australia geram kala Duo Bali Nine terancam.

Nyawa warga sipil seperti mereka dianggap sama berharganya dengan nyawa perdana menteri. Pemerintah Australia berjuang mati-matian agar Duo Bali Nine tidak mati.

Di lain pihak, bagaimanakah nilai manusia Indonesia di mata pemerintahnya sendiri? Sudahkah pemerintah kita melakukan upaya yang sama ketika salah seorang buruh migran indonesia terancam eksekusi mati di Arab Saudi? Atau dalam konteks lain, sudahkah pemerintah memenuhi hak dasar warga negaranya?

Usaha memenuhi hak dasar warga negara adalah upaya melaksanakan amanah konstitusi. Ini dilakukan supaya kesejahteraan bagi seluruh warga negara bukan lagi sebuah lamunan kosong. Hal itu juga menjadi bukti keseriusan kerja pemerintah kita.

Buku ini berusaha memberikan sedikir gambaran tentang bagaimana usaha pemerintah indonesia dalam menwujudkan kesejahteran bagi seluruh rakyatnya. Secara tidak langsung, buku ini juga bermaksud menunjukkan seberapa berharga kita –manusia Indonesia-- di mata pemerintah kita sendiri. Cukup berhargakah kita untuk disejahterakan, dilindungi, dan untuk dihormati hak hidupnya?

Kami menyadari buku ini jauh dari sempurna. Banyak kendala dalam penyusunan buku ini yang barangkali membuat pembaca menemukan kekurangan di sana-sini. Harapannya, kelak ketidaksempurnaan itu bisa menjadi pembelajaran bagi kami maupun bagi penulis-penulis lain yang hendak menulis buku bertema serupa.

Akhir kata: selamat membaca!

xii

Jalan Buntu Menuju Layanan Kesehatan Ketika layanan kesehatan tidak menyentuh semua lapisan.

Oleh Dwi Kartika Sari

“Sangat membantu Jamkesmas ini. Kalau dulu sebelum dapat Jamkesmas, berobat nggak dapat subsidi,� kata Ngatini, warga kurang mampu di kawasan seputar Alun-Alun Utara Yogyakarta. Pemerintah telah menerapkan program Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Melalui Jamkesmas, masyarakat miskin dan tidak mampu diharapkan tetap bisa mendapatkan layanan kesehatan.

PETANG itu kami berbincang dengan Sri Ngatini di teras rumah tetangganya. Meskipun hujan, perbincangan dengan Ngatini tentang jaminan kesehatan tetap hangat. Sesekali gelak tawa menyelip di sela-sela perbincangan.

Menurut ibu rumah tangga yang juga kader kesehatan RW setempat ini, pemegang kartu Jamkesmas mendapat pelayanan yang sama dengan pasien umum. Kendalanya hanya pada prosedur administrasi rumah sakit.

Untuk dapat mengakses layanan kesehatan di rumah sakit, pihak puskesmas hanya memberi surat pengantar rujukan, tanpa menjelaskan berkasberkas apa saja yang perlu dipersiapkan. “Kadang repotnya di situ. Sudah ngantre di pendaftaran (rumah sakit), eh ternyata harus bawa ini, bawa itu.

Mungkin sosialisasi ke pemegang (kartu Jamkesmas) itu belum nyampai.�

Ibu berusia 41 tahun itu juga menceritakan pengalaman ayahnya ketika berobat di rumah sakit. Kala itu ayahnya yang mantan pekerja produksi batik, mengalami sesak nafas. Ngatini membawa ayahnya ke rumah sakit paling dekat dari rumah, yaitu PKU Muhamadiyah Yogyakarta.

Dokter yang memeriksa menganjurkan ayahnya mondok. Dengan kartu Jamkesmas, biaya rumah sakit menjadi gratis.

Bangsal Flamboyan, salah satu bangsal kelas tiga Rumah Sakit Panembahan Senopati, Bantul.

Ruang yang kurang mencukupi membuat beberapa pasien harus dirawat di lorong bangsal.

Namun, Ngatini dan keluarga harus merogoh saku untuk biaya obat.

Pihak rumah sakit menyatakan, tidak tersedia obat generik untuk penyakit sang ayah. Obat yang ada tidak terdaftar sebagai obat-obatan untuk peserta Jamkesmas. “Harus beli sendiri obatnya. Lumayan (mahal) juga itu, Mbak,“ katanya sambil tertawa.

Perempuan berkulit sawo matang itu mengaku ada beberapa hal yang tidak ia ketahui perihal Jamkesmas. Ia tidak tahu kriteria apa yang membuat dia dan keluarga berhak mendapat Jamkesmas. Ngatini tidak merasa ada pendataan untuk memperoleh Jamkesmas. Tiba-tiba ia mendapat kartu Jamkesmas dari ketua Rukun Tetangga (RT). Ketika kartu Jamkesmas diberikan, tidak ada penjelasan tentang cara menggunakannya.

Padahal Ngatini adalah seorang kader kesehatan. Bersama kader kesehatan lain, Ngatini turut menggerakkan posyandu dan memantau tumbuh kembang balita-balita. Setiap bulan hasil pemantauan tersebut akan dilaporkan kepada Puskesmas.

2

“Kebetulan saya punya itu (kartu Jamkesmas). Tapi kalau disuruh sakit ya nggak mau,� candanya.

Jika seorang kader kesehatan yang sering berhubungan dengan Puskesmas saja terbatas pengetahuannya soal Jamkesmas, bagaimana dengan yang bukan kader kesehatan?

SADIRAH tidak seberuntung Ngatini. Ibu lima orang anak ini kesulitan mengakses layanan kesehatan. Ia tinggal di rumah kontrakkan di gang sempit belakang Apotek Kolombo, Jalan Kaliurang KM 7, Kabupaten Sleman. Ruangan setelah pintu masuk difungsikan sebagai tempat perkir sepeda. Lorong kecil menghubungkan ruangan tadi dengan kamar mandi dan dapur. Ada ruang tengah setelah dapur. Kami mengobrol di ruang tengah. Rumah itu hanya memiliki satu kamar.

Saat itu Septianto, putra keempat Sadirah, sedang radang tenggorokan. Sudah empat bulan anak laki-laki berusia sembilan tahun itu menderita radang tenggorokan. Ia sempat ke dokter dengan biaya dari relawan Coin A Chance, sebuah gerakan sosial yang fokus pada persoalan pendidikan. Dokter memberinya obat untuk tiga hari. Septianto harus kembali ke dokter begitu obatnya habis. Karena tak punya uang, dia belum menemui dokter lagi. Sekarang sudah terhitung tiga minggu sejak obatnya habis.

Suara Septianto terdengar serak ketika bicara. “Serak terus-terusan.

Makin lama kayak makin mau hilang suaranya,� kata Sadirah.

Sejak lima bulan yang lalu Sadirah dan keluarganya mengontrak rumah di sini. Sebelumnya ia mengontrak di Ganjuran, dekat terminal Condong Catur, masih masuk wilayah Kabupuaten Sleman. Rumah kontrakan di Ganjuran dekat dengan bantaran sungai. Lingkungannya kotor karena sampah yang hanyut di sungai. Anak-anaknya jadi sering sakit.

Mereka sering tidak masuk sekolah karena sakit. Gurunya sampai mengancam akan mengeluarkan Siti, kakak Septianto, karena terlalu sering tidak masuk. Ancaman itu membuat Siti malu. Hingga sekarang ia belum bersedia kembali ke sekolah. Karena alasan lingkungan yang tidak sehat, akhirnya keluarga itu memutuskan pindah setelah sembilan tahun bermukim di Ganjuran.

Sehari-hari Sadirah membuat sate keong untuk dijual ke angkringanangkringan sekitar. Suaminya tidak punya pekerjaan tetap, kadang men-

3

jadi kuli bangunan, kadang jadi tukang kebun. Jika sedang tidak mendapat pekerjaan, ia membantu Sadirah membuat sate Keong.

Sadirah menjual satu tusuk sate seharga 800 rupiah. Di angkringan, sate itu dijual 1000 rupiah. Dalam sehari ia menjual antara 50 sampai 60 tusuk sate. Penghasilannya hanya cukup untuk keperluan sehari-hari.

Sulit menyisihkan uang untuk bawa Septianto ke dokter lagi.

Perempuan yang lahir di Karanganyar itu mengaku kesulitan menjangkau layanan kesehatan. Pada 2009 ia pernah keguguran ketika hamil anak keenamnya. Itu terjadi karena ia terlalu sibuk bekerja membantu tetangga. Si tetangga di Ganjuran dapat pesanan membuat 6000 baju. Sadirah membantu pemasangan kancing. Ia memasang enam kancing pada satu baju. Upah satu baju 500 rupiah.

Ia bekerja memasang kancing sampai larut malam. Siti ikut membantunya. Waktu itu ia sudah mengerjakan sekitar 700 baju. Karena terlalu lelah, dia keguguran di usia kehamilan empat bulan. Ia mengalami pendarahan. Setelah sepuluh hari pendarahan, kondisi Sadirah melemah.

Mantri yang memeriksa Sadirah menyuruh suaminya membawa Sadirah ke rumah sakit.

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sleman menjadi tempat yang mereka pilih, karena dekat dan murah. Untuk memperingan biaya, suaminya mencoba mengurus jaminan kesehatan. Namun, karena bukan warga Sleman, rumah sakit menyatakan mereka tidak bisa mendapat jaminan kesehatan. Padahal Sadirah dan suaminya sudah tercatat sebagai penduduk Sleman di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Sadirah berasal dari Karanganyar dan suaminya dari Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul. Hampir sepuluh tahun mereka sudah menetap di Sleman.

Akhirnya mereka berinisiatif pinjam uang dari arisan warga. Sadirah perlu kuretase untuk mengeluarkan sisa-sisa janin mati dari rahimnya. Ia mondok dua hari dua malam di rumah sakit. Perempuan berambut lurus sebahu itu sempat mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari petugas rumah sakit. Ketika akan dilakukan prosedur kuretase, berkali-kali ia ditanya akan membayar dengan jaminan apa. “Ya pasti nanti bayarnya pakai uang, Bu,� Sadirah menirukan kata-katanya dulu dengan nada tinggi. “Lha setiap ganti yang menangani pertanyaannya kayak gitu terus,� lanjutnya.

4

Walaupun tidak bisa mengurus jaminan kesehatan, ia mendapat keringanan pembayaran. Ia membayar sekitar 760 ribu rupiah. Meskipun begitu, jumlah tersebut bukan jumlah yang kecil bagi Sadirah dan keluarga. Pada akhirnya suami Sadirah terpaksa menjual tanahnya di Wonosari, untuk melunasi utang di arisan warga.

Sadirah bukan satu-satunya warga tidak mampu yang susah mengakses layanan kesehatan. Majalah Flamma edisi 29, Februari-April 2008 memberitakan tentang Purwadi, yang menderita Osteomylitis (penyakit infeksi pada tulang atau sum-sum tulang). Selama 24 tahun Purwadi menderita Osteomylitis karena pengobatnnya tidak kunjung tuntas. Menurut majalah terbitan Institute for Research and Empowerment (IRE) itu, lagi-lagi alasannya karena biaya.

Juga ketika membuka harian Kedaulatan Rakyat edisi 4 Februari 2011, saya menemukan tiga berita perihal sulit dijangkaunya akses kesehatan bagi rakyat miskin.

Berita pertama tentang Siti Fatimah yang tinggal di Kabupaten Bantul. Karena ketiadaan biaya, perempuan berusia 36 tahun itu belum memeriksakan keluhan perutnya ke dokter.

Yang kedua tentang Purwanto, penderita gagal ginjal yang tinggal di Wates, Kabupaten Kulon Progo. Dokter menyarankan Purwanto cuci darah secara rutin, dua kali seminggu. Setiap kali cuci darah perlu uang sekitar 750 ribu rupiah. Jaminan kesehatan yang akan diberikan padanya belum turun. Masyarakat sekitar sempat iuran untuk membantu Purwanto. Namun, Purwanto mengaku tidak mungkin terus-menerus menggantungkan biaya pengobatan dari masyarakat.

Berita ketiga, mengenai seorang balita usia tiga tahun bernama Fery Fachri Pratama. Fery terkena retinoblastoma, kanker yang menyerang retina mata. Fery tengah dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito. Keluarganya kesulitan uang untuk membiayai perawatan Fery.

Dalam satu edisi, ada tiga pemberitaan tentang tak terjangkaunya layanan kesehatan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Lebih jauh lagi, harian Kompas Jogja, Senin 23 Maret 2009, memuat pernyataan Huda Tri Yudiana. Huda adalah anggota Komisi D (pendidikan dan kesejahteraan rakyat) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sleman. Ia mengatakan, warga miskin penerima Jamkesmas di Sleman

5

mengaku masih ditarik biaya oleh pihak rumah sakit ketika berobat. Dari beberapa kali pertemuan dengan warga, Huda menuturkan, keluhan itu hampir merata di tujuh rumah sakit yang ditunjuk pemerintah sebagai pelaksana Jamkesmas di Sleman.

Akses Kesehatan Kaum Papa dalam Tanda Tanya Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyatakan, setiap orang berhak atas jaminan sosial. Dengan jaminan sosial, kebutuhan hidup dasar dapat terpenuhi. Berdasarkan undang-undang itu, jenis program jaminan sosial meliputi: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.

Berbicara tentang jaminan kesehatan, pengelolaan jaminan kesehatan terdiri atas jaminan kesehatan yang dikelola oleh pihak swasta dan pemerintah. Jaminan kesehatan berwujud asuransi-asuransi yang dikelola oleh pihak swasta sifatnya komersial. Sementara itu, pemerintah menyelenggarakan jaminan kesehatan bersifat sosial melalui PT Jamsostek dan PT Askes.

Adalah PT Jamsostek dan PT Askes, dua perseroan terbatas yang mengelola jaminan kesehatan bagi pegawai. PT Jamsostek mengelola program jaminan kesehatan untuk pekerja swasta di sektor formal. Jaminan kesehatan Jamsostek dibiayai dengan potongan gaji pegawai.

Adapun PT Askes menjalankan peran ganda. PT ini menyelenggarakan jaminan kesehatan untuk pegawai negeri sipil (PNS). Pembiayaannya pun dari potongan gaji para PNS. Selain itu, Departemen Kesehatan (Depkes) memandatkan pengelolaan program pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin kepada PT Askes. Penugasan tersebut berdasarkan SK Nomor 1241/ Menkes /SK/XI/2004. Program pemeliharaan kesehatan untuk masyarakat miskin itu bernama Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Pembiayaan Jamkesmas berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat terbitan Depkes 2008, sasaran program Jamkesmas adalah masyarakat miskin dan tidak mampu di seluruh Indonesia sejumlah 76,4 juta jiwa, tidak termasuk yang sudah mempunyai jaminan kesehatan lainnya.

6

Selain Jamkesmas, ada juga jaminan kesehatan lain untuk masyarakat miskin; Jaminan Kesehatan Sosial (Jamkesos) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

Jamkesos dibiayai oleh provinsi, sedangkan J­ amkesda oleh kabupaten.

Keterangan tentang Jamkesos dan Jamkesda itu saya peroleh dari wawancara dengan kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY. Sementara itu, menurut Soekidjo Notoatmodjo dalam buku Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni, pembiayaan kesehatan di Indonesia mencakup dua sektor; sektor TAUFAN ICHTIAR KHUDI A. | HIMMAH publik dan sektor swasta. Sektor Sarminto, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi publik meliputi pembiayaan dari DIY. Beliau mengungkapkan, daerah berhak anggaran belanja negara dan pem- mengimplementasikan ketentuan-ketentuan umum tadi sesuai kondisi di daerah. biayaan melalui asuransi sosial seperti PT Askes dan PT Jamsostek. Sektor publik mencakup 25%-30% dari total pembiayaan kesehatan di negara ini.

Pembiayaan sektor swasta merupakan pembiayaan langsung oleh pasien maupun perusahaan asuransi swasta. Pembiayaan sektor ini mencakup 75% dari total pembiayaan kesehatan Indonesia. Kecilnya pembiayaan sektor publik membuat sektor swasta harus menanggung biaya yang tinggi. Tak heran, layanan kesehatan menjadi “barang mahal� bagi orang miskin yang tidak memperoleh jaminan kesehatan.

Jamkesmas, Jamkesos dan Jamkesda ialah program-program pemerintah di era Otonomi Daerah, era yang bermula pasca runtuhnya Orde Baru. Saya coba menelusuri bagaimana penyelenggaraan tiga jaminan kesehatan tersebut di DIY, khususnya Jamkesmas yang cakupannya lebih luas.

7

RUMAH SAKIT (RS) Panti Rapih berlokasi di Jalan Teuku Cik Ditiro 30, Yogyakarta. Sebagian besar dinding rumah sakit swasta itu dicat biru muda, tak terkecuali Ruang St. Antonius. Di sana Mateus Sujarwa, sekertaris RS Panti Rapih menemui kami untuk wawancara.

Raut wajah Sujarwa nampak serius, ia jarang tersenyum. Dia tidak mengizinkan saya merekam wawancara kami. Pernyataan-pernyataannya saya tulis di block note. Dia hampir selalu melontarkan kalimat, “Ada lagi yang mau ditanyakan?” ketika saya diam karena sibuk mencatat. Kesannya dia buru-buru.

Tahun 2009 RS Panti Rapih mulai bekerja sama dengan pemerintah, dalam hal ini Dinkes, untuk menyediakan layanan bagi pemegang kartu Jamkesmas. Awalnya dana yang diberikan pemerintah relatif kecil. Seiring dengan bertambahnya pasien Jamkesmas di Panti Rapih, dana yang digelontorkan pemerintah pun meningkat. Tetapi Sujarwa menolak memaparkan jumlah dana tersebut. “Kalau masalah dana, saya tidak bisa menginformasikan,” katanya.

TAUFAN ICHTIAR KHUDI A. | HIMMAH

Andriyandono, Kepala Bagian Keuangan Rumah Sakit Panembahan Senopati, Bantul.

Menurutnya, rumah sakit pemerintah wajib menyelenggarakan layanan kesehatan bagi pasien Jamkesmas.

8

Kata Sujarwa, rumah sakit swasta tidak wajib menyediakan layanan untuk pasien Jamkesmas. Ia sendiri tidak tahu persis alasan Panti Rapih bersedia bekerja sama dengan Dinkes. Ia hanya mengungkapkan bahwa rumah sakit “butuh laba” dan berkeinginan melayani pasien tidak mampu.

“Tidak ada perbedaan dalam hal pelayanan terhadap pasien Jamkesmas maupun pasien non-Jamkesmas.” Menurut Sujarwa, yang membedakan hanya fasilitas, bukan pelayanan. Pasien Jamkesmas harus ditempatkan di kelas 3. Hal itu sesuai dengan pedoman pelaksanaan Jamkesmas terbitan Dinkes. Sujarwa menambahkan, sosialisasi Jamkesmas kepada masyarakat sekitar pun bukan kewajiban rumah sakit. Panti Rapih tak pernah mensosialisasikan program Jamkesmas.

Tidak banyak informasi yang bisa saya gali dari Sujarwa. Penelusuran saya lanjutkan ke Kabupaten Bantul, tepatnya ke RSUD Panembahan Senopati. Rumah sakit itu beralamat di Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo, Bantul.

Andriyandono, kepala bagian keuangan Panembahan Senopati bersedia menemui kami di ruangannya. Ruangan Andri terletak di lantai dua RSUD Panembahan Senopati. Terdapat tiga meja kayu di ruangan itu.

Tumpukan berkas-berkas pada meja dan lantai.

Andri mengatakan, cukup banyak pasien Jamkesmas yang memanfaatkan layanan kesehatan di Panembahan Senopati. Prosentasenya cukup besar. Pasien rawat jalan sekitar 30 persen dari total pasien. Pasien rawat inap lebih banyak lagi, sekira 40 persen.

Andri memaparkan, pasien Jamkesmas mendapat layanan yang sama dengan pasien non-Jamkesmas. “Yang berbeda adalah administrasinya.” Pasien Jamkesmas dijamin oleh pihak ketiga. Ini membutuhkan administrasi berupa dokumen pendukung; fotokopi kartu jamkesmas, fotokopi surat rujukan dari Puskesmas atau dokter keluarga, fotokopi kartu keluarga dan KTP. Dalam waktu maksimal dua kali 24 jam, pasien atau keluarga pasien harus melengkapi berkas-berkas tersebut.

“Pelayanannya sama. Perbedaannya, sesuai ketentuan, pasien Jamkesmas harus menempati kelas tiga,”katanya.

Menurut Andri, rumah sakit pemerintah wajib menjadi mitra Kementrian kesehatan untuk menyelenggarakan layanan kesehatan bagi pasien Jamkesmas. Namun, sosialisasi Jamkesmas kepada masyarakat bukan wewenang rumah sakit.

9

Kehadiran asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin atau Askeskin menjadi salah satu jaring penolong penduduk miskin kala sakit. Namun, pelayanan program jaminan kesehatan tersebut belum dirasakan seluruh penduduk miskin di DI Yogyakarta.

Berdasarkan publikasi data PT Asuransi Kesehatan (Askes) Cabang Yogyakarta, hingga Februari 2007 jumlah penduduk miskin DIY yang belum memperoleh kartu askeskin sedikitnya 372.000 jiwa. Jumlan ini mencapai sekitar 39 persen dari total jiwa penduduk miskin. Sebanyak 288.075 jiwa atau 77 persen di antaranya berbeda di Bantul dan gunung Kidul.

Penduduk miskin yang belum mendapat kartu Askeskin atau masuk dalam Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) terpaksa mengeluarkan biaya sendiri saat berobat di puskesmas dan rumah sakit. Secara tak langsung, Hak dan akses penduduk miskin memperoleh pelayanan yankes tertutup.

Pendudukan miskin yang belum mendapat kartu Askeskin atau masuk dalam Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) terpaksa mengeluarkan biaya sendiri saat berobat di puskesmas dan rumah sakit. Secara tak langsung, hak dan akses penduduk miskin memperoleh pelayanan kesehatan atau yankes tertutup.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan DIY tahun 2006,dari sekitar 393.000 kepala keluarga miskin, baru 249.000 KK atau 63 persen saja yang mendapat yankes. Sementara itu, 143.000 KK miskin sisanya, yang sebagaian besar tersebar di Sleman dan Gunung Kidul, belum mendapat hak tersebut.

Angka penduduk miskin di DIY dimungkinkan terus berubah sesuai perkembangan sosial ekonomi masyarakat.

Oleh karena itu kepesertaan Askeskin selalu diverifikasi dan dievaluasi. Namun, tak tertutup kemungkinan ada penduduk miskin yang tercecer dari pendataan.

(SUGITO/LITBANG KOMPAS)

BAYU PUTRA PAMUNGKAS | HIMMAH

10

Andri juga menjelaskan tentang penggantian biaya oleh pemerintah kepada rumah sakit, “Ada software yang namanya INA DRG, Indonesia Diagnosctic Related Group.” Setelah dokter mendiagnosis pasien, hasil diagnosis tersebut di-input ke software INA DRG. INA DRG akan memproses input diagnosis tadi lalu memberikan output berupa lama maksimal pasien dirawat, macam obat yang dapat digunakan dan sebagainya.

“Setiap kasus ada batasannya sendiri. Dalam INA DRG itu sudah ada standar lama dirawatnya, tergantung penyakitnya.” Pria kelahiran satu Januari 1962 itu mengambil contoh pasien dengan diagnosis Tifus. Tifus dengan komplikasi akan berbeda dengan tifus tanpa komplikasi. (Misalkan Tifus tanpa komplikasi maksimal lama dirawat lima hari, sedangkan yang dengan komplikasi sembilan hari -red) “Tarif tukarnya, istilahnya klaimnya, akan berbeda.”

“Jika rumah sakit bisa berhemat dan pasien sembuh, INA DRG ini dapat menghasilkan keuntungan bagi rumah sakit,” ujar Andri.

Umpamanya, total biaya pasien tifus yang maksimal dirawat lima hari adalah lima juta rupiah. Tapi jika pasien sudah sembuh dalam dua hari dan hanya memakan biaya dua juta, rumah sakit boleh mengajukan klaim sesuai hari maksimal. Rumah sakit pun mendapat keuntungan.

Saya jadi teringat kata-kata Sujarwa di Panti Rapih. Mungkin ini yang ia maksudkan dengan “laba”.

Sebaliknya, rumah sakit harus nombok jika pasien belum sembuh padahal hari maksimal dirawat telah lewat. Intinya, pasien dengan Jamkesmas tidak boleh dipungut biaya.

“Jika obat yang tersedia untuk penyakit pasien adalah obat di luar ketentuan INA DRG, apakah pasien dipungut biaya tambahan?” tanya saya.

“Semestinya itu menjadi tanggungan rumah sakit,” ujar Andri.

Pernyataan itu sesuai dengan yang saya temukan dalam ketentuan umum poin ketujuh, Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat terbitan Departemen kesehatan (Depkes), 2008: 7. Pelayanan obat di Puskesmas beserta jaringannya dan di Rumah Sakit dengan ketentuan sebagai berikut : b. Untuk memenuhi kebutuhan obat dan bahan habis pakai di Rumah Sakit, Instalasi Farmasi/Apotik Rumah Sakit bertanggungjawab menyediakan semua obat dan bahan habis pakai untuk pelayanan kesehatan masyarakat

11

miskin yang diperlukan. Agar terjadi efisiensi pelayanan obat dilakukan dengan mengacu kepada Formularium obat pelayanan kesehatan program ini.

(Sebagaimana terlampir) e. Apabila terjadi peresepan obat diluar ketentuan sebagaimana butir b diatas maka pihak RS bertanggung jawab menanggung selisih harga tersebut Saya langsung teringat Ngatini dan tambahan biaya untuk menebus obat ayahnya!

JALAN Tompeyan TR III/201, Yogyakarta. Itu lokasi kantor Dinkes Provinsi DIY. Ruangan di lantai satu, dekat pintu masuk, menjadi ruangan orang nomor satu di jajaran Dinkes Provinsi DIY. Sarminto, kepala Dinkes Provinsi DIY menyambut kami di ruangannya. Sejak Desember 2010 Sarminto menjadi pejabat sementara kepala Dinkes DIY. Sarminto menjelaskan perbedaan mendasar di tubuh Dinkes DIY sebelum dan setelah Otonomi. Perbedaan tersebut mencakup dua hal; dalam kaitannya dengan kewenangan dan kebijakan.

Berbicara tentang kewenangan, sebelum Otonomi kewenangan menentukan anggaran berasal dari pusat. “Sehingga daerah itu lebih banyak top down-nya daripada bottom up-nya,” ujar Sarminto. Kewenangan itu berubah drastis sejak Otonomi. Daerah punya kewenangan merencanakan sendiri anggarannya. Pusat hanya memberikan Dana Alokasi Umum (DAU) tanpa menentukkan DAU tersebut harus digunakan untuk apa saja. “DAU dari pusat nanti kita uraikan sesuai kebutuhan.”

Kemudian dari segi kebijakan. Sejak Otonomi, pusat hanya membuat pedoman dan ketentuan-ketentuan yang bersifat sangat umum.

Sarminto mengungkapkan, daerah berhak mengimplementasikan ketentuan-ketentuan umum tadi sesuai kondisi di daerah.

Saya lalu menanyakan perihal Jamkesmas, Jamkesda dan Jamkesos, kebijakan yang lahir di masa Otonomi. Sarminto menjelaskan, tanggung jawab sosialisasi ketiga jaminan kesehatan tersebut ada di tangan Puskesmas. Puskesmas merupakan perpanjangan tangan dari Dinkes yang terdapat di setiap kecamatan. Ini membuat Puskesmas mudah menjangkau masyarakat. “Tentu saja Puskesmas juga berkoordinasi dengan (pihak) kecamatan (setempat),” kata pria berusia 55 tahun itu.

Sarminto menambahkan, sosialisasi tersebut sering berbenturan dengan kendala yang ada. “Orang miskin suruh kumpul, diberi penjelasan, 12

M. HANIF ALWASI | HIMMAH

13

kadang pendidikannya juga masih rendah,” kata Sarminto, “orang miskin itu mau ke kelurahan, mau ke tempat pak RT itu mungkin takut. Itu yang jadi masalah.”

Sarminto juga menguraikan perihal anggaran kesehatan provinsi DIY. Ia berkata, menurut World Health Organization (WHO), perlu anggaran minimal sepuluh persen dari APBN untuk sektor kesehatan. Dengan anggaran minimal sepuluh persen itu, derajat kesehatan yang ideal baru bisa tercipta. Padahal, DIY baru sanggup menganggarkan sekitar empat sampai lima persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dinkes DIY sudah mengusahakan supaya anggaran untuk sektor kesehatan dapat naik. Upaya itu ditempuh melalui advokasi pada Dewan DPRD Provinsi DIY, dan melakukan koordinasi dengan Dinkes di kabupaten dan kota.

Tetapi upaya itu belum berhasil. Dana dari pemerintah provinsi (Pemprov) DIY yang terbatas menjadi kendalanya. Angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan yang kecil di DIY, serta umur harapan hidup yang tinggi membuat sektor kesehatan DIY sudah dianggap baik. Anggapan itu berimbas pada anggaran kesehatan yang sulit naik.

Pemprov DIY memprioritaskan sektor lain yang dianggap belum baik.

Walaupun begitu, dari segi pembangunan di bidang kesehatan, DIY adalah yang terbaik di Indonesia. “Indikator keberhasilan pembangunan kesehatan ditinjau dari umur harapan hidup, angka kematian bayi, angka kematian ibu melahirkan, dan status gizi,” kata Sarminto, “kalau DIY sudah memenuhi, DIY itu paling bagus kalau secara nasional.”

Sarminto memaparkan bagaimana DIY bisa menjadi yang terbaik, walaupun alokasi untuk sektor kesehatan masih kurang dari sepuluh persen. Ada beberapa faktor yang membuat DIY dapat menjadi nomor satu untuk sektor kesehatan. “Dari segi geografisnya DIY termasuk sempit, penduduknya juga nggak banyak,” ujar pria yang lahir di Magetan itu.

Selain itu, sarana pelayanan sudah cukup banyak tersedia. “DIY punya 121 puskesmas, padahal kecamatannya hanya ada sekitar 78. Hampir semua kecamatan sudah ada puskesmas pembantunya. DIY punya sekitar 432 puskesmas pembantu, padahal jumlah desa di DIY tidak sampai segitu,” ujarnya.

Saya mendapatkan data dari Institute for Development and Economic Analisys (IDEA) perihal analisis APBD DIY tahun 2006. Dalam analisis-

14

nya, IDEA memaparkan bahwa retribusi pelayanan kesehatan dan RSUD dijadikan sumber pendapatan asli daerah (PAD) terbesar di Kabupaten Bantul, Gunung Kidul dan Kulon Progo. Ketika saya memaparkan temuan itu pada Sarminto, ia tidak menyangkalnya.

KANTOR IDEA berlokasi di Gang Tejomoyo, Jalan Kaliurang KM 5,3.

Sore itu Valentina Sri Wijiyati menemui kami di sana. Wiji, begitu ia biasa disapa. Perempuan berambut lurus dan berkaca mata itu telah bekerja di IDEA sejak 2004.

Saya banyak menanyakan perihal temuan IDEA dalam analisis APBD DIY 2006. Saya menggali tentang retribusi layanan kesehatan yang dijadikan sumber PAD terbesar di tiga kabupaten. Dengan tegas Wiji menyatakan itu adalah hal yang ironis. “Kalau bicara retribusi layanan kesehatan yang jadi juara satu atau dua penyumbang PAD, bisa jadi secara hukum tidak ada satupun undang-undang yang disalahi,” kata Wiji. “Tetapi ketika kemudian negara memungut bayaran dari warga, dari semua pemenuhan atas hak kesehatan yang seharusnya dipenuhi oleh negara, (ini) kan jadi ironis, jadi kontradiktif.”

Menurut Wiji, dalam konstitusi Indonesia, khususnya pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat, salah satu tujuan negara ialah mensejahterakan kehidupan bangsa. Baginya tidak layak ketika negara mengambil bayaran atas layanan kesehatan, yang notabene merupakan bentuk pemenuhan kewajiban negara kepada rakyat. “Apalagi kalau itu kemudian jadi target penyumbang PAD. Artinya secara implisit pemda mengharapkan semakin banyak warga yang sakit supaya retribusi (dari) layanan kesehatan semakin besar, supaya PAD-nya semakin meningkat. Kalau diuraikan jadi seperti itu,” kata Wiji lagi.

Wiji berkata, saat retribusi layanan kesehatan dijadikan sumber PAD, hampir pasti hal itu membuat warga miskin makin kesulitan mengakses layanan kesehatan karena biayanya jadi semakin mahal. “Di beberapa daerah akhirnya retribusi layanan kesehatan itu trennya naik, nggak pernah turun.”

Wiji mencontohkan Kabupaten Kulon Progo yang menaikkan retribusi layanan kesehatan dari 500 rupiah menjadi sekitar 2000 atau 3000 rupiah akhir-akhir ini. Alasannya, Sleman, kabupaten tetangga Kulon Progo sudah menaikkan retribusi layanan kesehatan sejak beberapa tahun yang lalu.

15

16

17

MUHAMMAD ROBBY SANJAYA | HIMMAH

Tren yang cenderung naik itu sudah pasti memberatkan warga. “Jadi otomatis akan semakin menjauhkan warga dari pelayanan kesehatan yang harusnya mudah diakses setiap saat,” ujar perempuan yang lahir di Sleman itu.

Di sini lain, kesadaran masyarakat soal kesehatan juga masih belum memadai. “Kalau bicara layanan kesehatan, pemerintah lebih fokus pada aspek-aspek pengobatan, belum bicara ke pencegahan, belum bicara ke promosi kesehatannya.” Wiji menambahkan, hal itu jelas tidak menguntungkan warga miskin. Sebab, salah satu urusan yang pelik bagi warga miskin adalah belanja rokok. Wiji yang juga mencermati belanja rumah tangga miskin mengemukakan, sebagian besar rumah tangga miskin mengeluarkan biaya untuk belanja rokok. Bahkan mayoritas belanja rokok ini menduduki peringkat kedua terbesar setelah belanja makanan pokok.

Dinas kesehatan, yang seharusnya mempromosikan kesehatan warga, tidak berdaya menghadapi itu.

Konsumsi rokok warga miskin juga dibahas pada jurnal Balairung terbitan Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung Universitas Gajah Mada (UGM) edisi 43/tahun/XXIV/2009. Dalam jurnal tadi, disebutkan bahwa pada 2008 jumlah perokok di Indonesai sudah mencapai 70 persen penduduk Indonesia. 60 persen diantara perokok adalah kelompok penghasilan rendah.

Tak dapat dipungkiri bahwa rokok membawa dampak buruk bagi kesehatan. Masih menurut jurnal terbitan BPPM Balairung, dalam kepulan asap rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya, 43 diantaranya bersifat merangsang tumbuhnya kanker.

Wiji lalu menyatakan pendapatnya tentang Otonomi. “Kalau dilihat, Otonomi Daerah kan jadi seperti pemerataan korupsi. Dulu sekian tahun yang lalu korupsi hampir semuanya ada di pusat,” katanya. Ia minta kami mencermati data yang mutakhir. Dari sekian banyak kepala daerah yang ada di Indonesia, hanya berapa orang yang tidak tersangkut perkara korupsi.

“Ternyata bukan hanya kewenangannya yang didistribusikan, tapi (juga) diikuti semakin besarnya peluang korupsi di daerah.”

Majalah Tempo edisi 7-13 Februari 2011 memuat berita seperti pernyataan Wiji. Rubrik Politik majalah itu memberitakan korupsi yang di-

18

lakukan para kepala daerah di Indonesia sejak 2004. Melansir majalah Tempo, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 147 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan 158 kepala daerah terjerat perkara hukum. Angka yang dikatakan Fauzi ini hampir seperempat dari jumlah kepala daerah di Indonesia, yakni 33 gubernur dan 540 kabupaten dan kota.

Masih menurut menteri dalam negeri, biaya tinggi pemilihan kepala daerah merupakan penyebab maraknya korupsi. Ketika mengikuti pemilihan, banyak calon disokong pengusaha yang ingin mendapat akses kemudahan bisnis. Uang dari pengusaha itu dipakai untuk beli “tiket” atau “perahu” partai pengusungnya. Mesin politik partai efektif mengerahkan massa yang mesti dibayar sang kandidat. “Bayangkan, berapa kali dia mesti keluar uang,” kata Gamawan kepada Tempo. *** Di luar hujan mengguyur deras. Eko Prasetyo mempersilakan kami meminum teh hangat buatan seorang satpam di Pusat Studi HAM (Pusham) Univeristas Islam Indonesia (UII). Ia menerima kami di lantai satu kantor Pusham UII. Dia terlihat santai dalam balutan kaus merah dan celana jeans.

Eko bekerja di Pusham UII. Ia juga penulis buku-buku yang diterbitkan Resist Book. Buku-bukunya banyak menyoroti ketidaksejahteraan kaum miskin, diantaranya Orang Miskin Dilarang Sakit (2004) dan Bisnis Orang Sakit (2010). Ia melakukan banyak riset di bidang kesehatan sebagai bahan penulisan kedua buku itu.

Terkait dengan layanan kesehatan di kelas tiga rumah sakit, ada hal menarik yang tertulis dalam buku Bisnis Orang Sakit. Berikut ini kutipan dari Bisnis Orang Sakit, halaman 33: “…Permasalahan selanjutnya jika orang miskin diterima di Rumah Sakit, seringkali terjadi diskriminasi dalam hal pelayanan. Jika orang dengan status ekonomi menengah ke atas mereka akan ditempatkan di Rumah Sakit kelas 1 atau kelas 2 dan diperlakukan dengan sangat ramah dan baik layaknya seperti seorang raja. Namun bagi mereka yang miskin, mereka hanya ditempatkan di Rumah Sakit kelas tiga. Jangankan mendapatkan layanan yang baik dan ramah, fasilitas yang mereka dapatkan pun sangat terbatas. Belum lagi pe-

19

layanan kesehatan yang dibeikan kepada mereka seringkali lambat dan tidak diprioritaskan, sehingga tidak mengherankan jika kita sering mendengar mereka diterlantarkan di Rumah Sakit…”

Menurut Eko, indikator baik buruknya kesehatan tidak cukup dengan hanya melihat tabel statistik angka kematian bayi dan ibu melahirkan, umur harapan hidup dan jumlah balita gizi buruk. Penting untuk memperhatikan angka kejadian penyakit menular. Kejadian penyakit menular di DIY masih cukup tinggi. Demam Berdarah Dengue dan Malaria misalnya. “Malaria kan penyakit abad ke-18, tapi masih ditemukan di sini. Di banyak wilayah, di banyak negara, sudah tidak ada penyakit itu,” kata lulusan Fakultas Hukum UII itu. Bagi Eko, masih terdapat penyakit Malaria di abad 21 ialah sesuatu yang “memalukan”. Perlu upaya serius dari Dinkes untuk menuntaskan penyakit abad ke-18 itu.

Pernyataan Eko tidak salah, di DIY masih ditemukan Malaria. Berdasarkan profil kesehatan DIY 2009, terdapat 110 orang yang terkena Malaria di provinsi ini.

Pria yang lahir di Pacitan itu juga menanggapi data dari IDEA mengenai analisis APBD 2006. Menurut Eko, hal itu mengindikasikan politik Otonomi Daerah yang berbahaya bagi kebijakan kesehatan. Orientasi bahwa daerah membutuhkan PAD dalam jumlah besar untuk mencukupi kebutuhan daerah, membuat sektor-sektor sosial diperas demi PAD. “Pasca Otonomi, sektor-sektor sosial yang harusnya mensejahterakan rakyat, diletakkan dalam usaha untuk mengakumulasikan kepentingan-kepantingan ekonomi dan pragmatis,” katanya.

“PAD seharusnya dari pariwisata, mal, perusahaan dan sebagainya.

Bukan dari sektor-sektor sosial,” ujar Eko. “Jadi tujuan Otonomi untuk mendistribusikan kesejahteraan belum tercapai?” tanya saya.

“Ya, Otonomi itu hanya mendistribusikan wewenang. Dan wewenang itu hanya digunakan untuk memeras orang miskin, menurut saya,” kata Eko. *** Ngatiyo, suami Sadirah mengulurkan tiga piring kosong kepada kami. Dia dan Sadirah menyilakan kami mencicipi sate keong buatan mereka. Nga-

20

tiyo juga telah memesan tiga gelas es teh untuk disuguhkan kepada kami.

Saat mewawancarai Sadirah, sesekali dia memangku Suranti, si bungsu yang kini berusia lima tahun. Gadis kecil itu bertubuh kurus dan berambut keriting. Sadirah pun sedikit bercerita tentang Suranti. Waktu Suranti berumur empat tahun, Sadirah membawanya ke posyandu seperti halnya balita lain. Petugas posyandu mengatakan Suranti mengalami gizi buruk. Berat badannya hanya sembilan kilogram pada usia empat tahun. “Saya dimarahi di posyandu,� kenangnya.

Di hadapan saya, ada gadis kecil yang pernah menderita gizi buruk di provinsi yang pembangunan kesehatannya dinyatakan terbaik ­se-Indonesia. q Reportase bersama Anugerah I.R. Paputungan, T. Ichtiar Khudi Akbar dan Wening Fikriyati

21

Otonomi Daerah dan Romantisme Masa Lalu Sejumlah pelaku usaha menganggap otonomi daerah tak mampu mengembangkan industri kecil menengah. Benarkah?

Oleh Anugerah I.R. Paputungan

DI RUMAHNYA di Dusun Manding, Sabdoadi, Bantul, Sarjimin duduk di teras. Dengan hanya mengenakan kaus singlet, ia mengawasi seorang pria yang menjadi karyawannya. Selain sebagai hunian, rumah Sarjimin adalah tempat ia bekerja. Bersama beberapa kerabatnya, Sarjimin membuka usaha kerajinan. Bahannya bermacam-macam, mulai dari kulit, hingga serat pandan. Di tangan Sarjimin dan rekan-rekannya, bahan-bahan ini bisa menjadi sepatu, tas, kotak pensil, tikar, bahkan album foto.

Sarjimin memulai usahanya pada 1996, zaman Soeharto masih menjadi presiden. Menurut Sarjimin, kala itu industri kerajinan jauh lebih berkembang dibanding saat ini. Permintaan terus berdatangan, bahkan sampai ke luar negeri. Omzet pun berlipat-lipat. Di tengah bergulirnya zaman, usaha Sarjimin yang dahulu hanya mengolah kulit, terus bertahan. Di awal 2008, ia bahkan mampu mempekerjakan 20 orang karyawan. Namun, di akhir tahun yang sama, ujian datang menimpa Sarjimin.

Akibat dari krisis ekonomi global di tahun itu, usahanya mengalami masa surut. Sejumlah pesanan dari luar negeri batal. Hasil produksi yang biasanya laku di pasaran internasional, sepi pembeli. Ia terpaksa merumahkan beberapa karyawannya. Ruang pajang tempat menaruh produk kerajinannya juga ia tutup. “Kalau dipikir-pikir, di banding sekarang, ya mending zaman Pak Harto,� ujar Sarjimin menerawang.

Usahanya Sarjimin tak gulung tikar. Ia mengatur siasat, usaha miliknya tetap berjalan, namun dengan jumlah karyawan dan produksi yang lebih sedikit. Untuk menambah pemasukan, ia berbisnis peternakan ayam yang memasok daging ayam untuk sejumlah restoran dan tempat makan.

TAUFAN ICHTIAR KHUDI A. | HIMMAH

Karyawan Sanggar Topeng Karya Manunggal sedang memperhalus topeng kayu.Dalam perkembangannya, sanggar ini tak bergantung pada otonomi daerah, melainkan murni persaingan pasar bebas.

Selain sebagai pengusaha, Sarjimin juga menjadi Ketua Paguyuban Karya Sejahtera. Ini semacam perkumpulan pengusaha di Dusun Manding, Sabdoadi, Bantul. Anggotanya sekitar 70 orang. Mereka bergerak di berbagai bidang, mulai dari industri kulit, perabotan, hingga bisnis jasa, seperti bengkel. Dari serikat seperti inilah, kata Sarjimin, anggotanya bisa mendapat bantuan dari pemerintah. Bagi mereka yang tak tergabung di paguyuban, uluran tangan dari pemerintah menjadi hal yang nyaris mustahil.

Meski memperoleh sejumlah bantuan dari pemerintah, usaha Sarjimin belum bisa berjalan mulus. Pasalnya, beberapa kali ia mengalami pesanan. Pernah ada setelah beberapa kali transaksi, langganan dari Australia membatalkan pesanannya ke Sarjimin. Akibatnya, ia rugi ratusan juta rupiah. Alasan pembatalan tersebut adalah barang bikinan Sarjimin tak layak jual, meski Sarjimin tetap yakin dagangannya mampu bersaing.

23

Ini terjadi beberapa kali. Menurut Sarjimin, pemerintah seharusnya berkomitmen membantu pengusaha kecil melalui undang-undang perlindungan usaha kecil menengah (UKM). Sistem ekspor saat ini yang harus menggunakan perantara tertentu, ia nilai memberatkan pengusaha kecil.

Menurut Sarjimin, ia dan kawan-kawannya tak punya nilai tawar di depan perantara, yang akrab mereka sebut dengan trading.

Kredit untuk Kundhi Kasongan termasuk salah satu sentra kerajinan yang menjadi andalan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Meski diambil dari nama salah satu dusun, namun sentra kerajinan ini mencakup enam dusun. Mulai dari Kajen, Tirto, Kali Puceng, Gedongan, Sembungan, dan Kasongan. Dusun-dusun ini terletak di Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul.

Mayoritas pengusaha di tempat ini menjajakan kerajinan dari gerabah.

Data tahun 2009 menunjukkan, jumlah usaha di kasongan mencapai 478 unit. Dan, pada tahun 2011 mencapai 581 unit. Jumlah pekerja di setiap unit bervariasi, ada yang bersifat rumahan dengan pekerja 1-4 orang.

Namun, ada pula yang tergolong industri besar dengan jumlah pekerja mencapai seratus orang.

Sejak tahun 1830, Kasongan terkenal sebagai daerah tempat tinggal para kundhi. Kundhi adalah sebutan bagi orang-orang yang mengolah tanah jenis tertentu menjadi perabotan atau peralatan rumah tangga. Inilah yang menjadi cikal bakal Kasongan. Dalam kurun 1970 hingga 1980-an, sentra ini mengalami perkembangan pesat. Pemicunya adalah seniman Sapto Hudoyo yang memperkenalkan sentuhan seni. Ukiran-ukiran pun mulai tampak hampir di segala produk Kasongan. Hampir seluruh perajin belajar dari Sapto. Hasilnya, Kasongan mampu menembus pasar ekspor.

Dua puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2000, omzetnya mencapai 8,6 miliar rupiah. Nilai ekspornya berada di angka 385 ribu dolar Amerika.

Kasongan adalah salah satu contoh industri yang berjenis kluster.

Industri ini memiliki ciri kelompok produksi terkonsentrasi secara spasial. Umumnya, hanya memiliki satu atau dua komoditas utama. Model ini diperkenalkan pertama kali di Eropa Barat pada pertengahan tahun 1980-an. Saat itu, ketika industri skala besar di Inggris, Italia, dan Jerman mengalami kelesuan, industri kecil mereka yang membentuk sen-

24

tra-sentra justru menggeliat. Mereka mengekspor produk tradisional dan menyerap banyak tenaga kerja. Rupanya, ketika membentuk suatu koloni, usaha kecil lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan pasar. Mereka lebih tahan banting dibanding industri yang berada di luar sentra.

Di Kasongan, kami mencoba menguak peran otonomi daerah dan sejumlah kendalanya. Kami menemui Timbul Raharjo, Ketua Koperasi Setya Bawana, koperasi terbesar di Kasongan. Koperasi ini memiliki lebih dari tiga ratus anggota. Selain menjadi ketua koperasi, Timbul juga salah satu pemilik usaha kerajinan gerabah di Kasongan. Selain bekerja sebagai pengusaha, Timbul juga menjadi dosen Seni Kriya di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Usaha miliknya terpilih menjadi UKM yang memiliki inovasi terbaik pada 2008.

Menurut Timbul, otonomi daerah yang sudah lebih dari sepuluh tahun diterapkan tak memberikan dampak signifikan. Selama ini, hanya pelimpahan wewenang pengelolaan. Unit pelaksana teknis (UPT) yang semula berada di bawah provinsi, kini beralih ke tingkat kabupaten.

“Maju tidaknya industri, tergantung laku tidaknya produk itu. Semuanya tergantung pasar global. Apalagi produk kita banyak diekspor,” ujar Timbul. Kondisi pasar global, dalam pandangan Timbul, sangat mempengaruhi. Jika situasi pasar global baik, maka barang-barang produksi dari Kasongan akan ikut terserap. Pemerintah hanya bisa memberi dorongan, baik berupa pemasaran dan peningkatan produksi. Sebaliknya, jika pasar global lesu, apa pun yang diusahakan pemerintah tetap tak membantu.

Di samping itu, Timbul merasa pemerintah sering memberi pelatihan, namun sasaran dan waktu yang dipilih kadang tidak tepat. “Kalau di saat seperti ini, ya pelatihannya berupa pemasaran. Salah kalau memberi pelatihan teknik,” ujar Timbul. Perajin Kasongan pun masih merasakan dampak krisis global di tahun 2008. Berbeda dengan tahun 2006, meski saat itu industri di Bantul kolaps karena gempa, mereka cepat bangkit karena kondisi pasar terhitung normal. “Waktu kena gempa, daya serap pasar normal. Kita cepat bangkit. Tapi, berbeda dengan tahun 2008. Sejak saat itu, menurun terus, walau sempat sedikit naik di tahun 2010,” katanya.

Timbul juga mengeluh soal regulasi penambangan bahan galian golongan C di DIY yang belum begitu jelas. Berdasarkan UU No. 11 Tahun

25

1967, golongan C adalah bahan galian yang tidak termasuk kategori strategis dan vital. Tanah liat yang mengandung kalsium dan besi termasuk di dalamnya. Tanah liat adalah bahan utama produk kerajinan di Kasongan. Para perajin memperolehnya dari kawasan bentangan gunung kapur di sebelah barat Kasongan. Namun, itu dulu. Karena sumber daya alam yang kian menipis, kini para pengusaha di Kasongan mencoba menambang dan mendatangkan bahan baku dari daerah lain. Di sinilah, menurut Timbul, regulasi dari pemerintah diperlukan.

Masalah lain yang sering menghantui para pelaku usaha kecil adalah ketidakmampuan mereka melunasi kredit. Kejadian ini marak terjadi di tahun 2006. Dari penuturan Timbul, awalnya pemerintah memberikan kredit untuk membantu usaha yang kolaps akibat gempa. Namun, sebagian besar pengusaha menggunakan uang tersebut untuk membangun rumah. Mereka kemudian kembali berutang untuk mendapatkan modal usaha. Utang yang menumpuk inilah yang menyebabkan kredit macet. “Sekarang, orang dikasih uang bukan buat modal usaha, tapi buat makan,� tukas Timbul.

Berdasarkan data dari Bank Indonesia, di awal tahun 2010, lewat perbankan, pemerintah mengalokasikan lebih dari 160 triliun rupiah untuk pinjaman usaha di sektor industri pengolahan. Sektor ini menduduki peringkat kedua, di bawah perdagangan dan jasa. Data pada Mei 2011, Bank Indonesia memberi pinjaman sebesar 15,1 miliar rupiah untuk provinsi DIY. Dari total tersebut, 33 persen di antaranya atau setara dengan 5 miliar rupiah digunakan untuk pinjaman UMKM. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dari beberapa tahun terakhir.

Bobung dan Topeng Sujiman Ismadi mengamati orang-orang di sekelilingnya. Sesekali, ia memberi instruksi sambil mengisap rokoknya. Di sekitarnya, ada belasan remaja wanita yang sedang membuat topeng. Mereka terbagi menjadi beberapa kelompok kecil. Ada yang memberi ukiran, ada yang mengecat, dan sebagian lagi menatanya menjadi beberapa tumpukan.

Ismadi hanya satu dari belasan pemilik dan perajin topeng di Dusun Bobung, Desa Putat, Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunung Kidul. Dusun ini menjadi pusat kerajinan topeng di Gunung Kidul. Sekadar ilustra-

26

si, ada 20 miliar rupiah uang yang berputar di industri ini. Sekitar 60 persen atau setara dengan 12 miliar rupiah ada di Bobung. Tak heran, tempat ini dinobatkan menjadi sentra kerajinan topeng sekaligus desa wisata.

Untuk sampai ke Bobung tak terlalu sulit. Cukup mengikuti jalan provinsi yang menghubungkan Yogyakarta dengan Wonosari. Ada plang hijau besar di tepi jalan yang menandai jalur aspal berbatu menuju ke sana. Tak lebih dari tiga kilometer, kita bisa menemukan gapura yang menandai dusun ini.

Topeng benar-benar membuat Bobung berubah. Tiga puluh tahun lalu, untuk pergi ke tempat ini cukup sulit. Jika cuaca baik, orang “hanya� perlu menuruni undakan tanah dan melewati sungai untuk menyeberang. Namun, jika hujan lebat melanda dusun ini, jalur bisa terputus.

Maklum, saat itu, belum ada jembatan. Bobung pun terisolasi dari dunia luar. Namun, penderitaan warga Bobung berakhir di awal dekade 2000an. Melihat perkembangan industri kerajinan topeng yang terus meningkat, pemerintah membangun jembatan untuk memudahkan akses keluar masuk Bobung. Tak hanya itu, gapura masuk desa pun dibangun, lengkap dengan tulisan sentra kerajinan topeng.

Sejak pemerintah menetapkan Bobung sebagai desa wisata, ekonomi di daerah ini mulai menggeliat. Walau sebenarnya, industri kerajinan topeng telah ada bertahun-tahun sebelumnya. Semula, perajin di Bobung membuat topeng hanya untuk keperluan sendiri. Ada banyak warga Bobung yang menjadi penari. Saat itu, warga membuat topeng di rumah mereka masing-masing. Bahkan, ada yang membuatnya sambil berpuasa.

Tak heran, ada kesan mistis di dalam topeng yang mereka hasilkan.

Seiring berjalannya waktu, sejumlah wisatawan lokal dan mancanegara tertarik dengan topeng Bobung. Mereka pun memesan. Semula hanya berjumlah satuan, lama kelamaan meningkat menjadi pesanan dalam jumlah besar. Masyarakat Bobung melihat hal ini sebagai peluang ekonomi. Mereka pun menjadikan topeng sebagai sumber penghasilan mereka, selain bertani. Para wanita dan remaja pun ikut membantu memproduksi topeng.

Salah satu maestro pembuat topeng di Bobung adalah Sujiman. Ia dan kelompoknya memberi nama usaha mereka Karya Manunggal. Sujiman kini telah memiliki puluhan karyawan. Ia tak lagi ikut memproduksi

27

topeng, terkecuali topeng klasik. Hanya orang tertentu yang memesan topeng ini, mengingat teknik pembuatannya yang cukup sulit. Biasanya yang memesan adalah para penari profesional, seperti Didik Nini Thowok. Untuk setiap buahnya, harga topeng klasik bisa mencapai dua juta rupiah. Menurut Ismadi, keponakannya, hanya Sujiman yang bisa membuat topeng klasik. Karyawannya hanya mampu membuat topeng kontemporer. Di pasaran, orang-orang membeli topeng ini seharga 20 ribu hingga 80 ribu rupiah. Bobung adalah contoh nyata bagaimana sebuah industri mampu mengangkat status ekonomi masyarakat.

Ismadi, keponakan dari Sujiman yang mengurus Karya Manunggal, mengaku harus pontang-panting mengembangkan usaha milik pamannya. Bermula dari berangkat ke pameran sendiri, Ismadi mulai mengenalkan topeng buatan Bobung. Selain lewat pameran, Ismadi memasarkan topeng langsung ke gerai-gerai yang khusus menjual kerajinan, baik di DIY maupun di luar DIY. Ia pernah berangkat ke Bali membawa berkarung-karung topeng untuk dipasarkan. Ismadi mengontrak rumah di sana sambil menunggu dagangannya laku. Jejaring gerai inilah yang kemudian menjadi ujung tombak pemasaran topeng karya Karya Manunggal. Untuk pemasaran di luar negeri, pemerintah provinsi kerap mengajak Ismadi ikut pameran di sana. Barang yang diekspor pun perlahan-lahan mulai bertambah.

Sejatinya, menurut Ismadi, kontribusi otonomi daerah yang dirasakan Bobung hanya berupa pembangunan infrastruktur dan penetapan status Bobung sebagai desa wisata. “Mau otonomi atau nggak, sama saja.

Usaha kecil dan mikro serta industri lain tetap bergantung dengan pasar bebas,� tukas Ismadi.

KAMI menemui Ajiek Tarmidzi, Sekretaris Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) untuk mengetahui pandangan Hipmi. Tarmidzi seorang pengusaha multi bidang. Meski mengaku berbisnis event organizer (EO), ia juga mengelola Fresh, majalah dengan segmentasi anak muda Yogyakarta.

Tarmidzi punya penilaian berbeda soal komitmen pemerintah daerah dalam mengembangkan UKM. Meski kerap memberi pelatihan, menurut Tarmidzi, upaya yang dilakukan pemerintah tak tepat. “Apa yang mereka

28

berikan, bukanlah apa yang kita butuhkan,” katanya. Ia mengambil contoh bisnis EO yang selama ini ia geluti. Menurut Tarmidzi, pengusaha di bidang EO menginginkan transfer ilmu dari pebisnis EO di Jakarta kepada DIY. Tujuannya, agar pengelolaan EO di DIY semakin profesional dan dapat bersaing. “Tapi, pemerintah justru memberikan pelatihan administrasi. Kita nggak butuh itu,” tegas Tarmidzi. Menurutnya, dalam penentuan jenis pembinaan dan pelatihan, pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, tak pernah mengajak pelaku usaha untuk ikut serta.

Tarmidzi sempat membandingkan pengusaha DIY dengan di luar DIY. Katanya, pengusaha di luar DIY cenderung mengandalkan pemerintah. Berbeda 180 derajat dengan DIY. Menurut Tarmidzi, pelaku usaha di DIY lebih mandiri. Ini karena sumber daya alam DIY yang terbatas, sehingga membuat mereka lebih kreatif dan memutar otak. Mereka hanya mengandalkan DIY sebagai salah satu daerah destinasi wisata. Walhasil, yang tumbuh dominan adalah pengusaha di sektor barang dan jasa.

Apa yang dikatakan Tarmidzi tak salah. Menurut data dari BPS DIY tahun 2006, perdagangan dan jasa menjadi sektor yang memiliki tenaga kerja terbanyak kedua dengan angka 23,6 persen. Angka tersebut hanya kalah dari pertanian, di mana 35 persen pekerja di DIY bekerja di bidang ini. Namun, ada fenomena yang menarik, pekerja di sektor pertanian terus menurun dari tahun ke tahun. Sedangkan, untuk perdagangan dan jasa bertambah. Berdasarkan ulasan dari BPS, peralihan pekerja dari sektor pertanian ke perdagangan dan jasa dipicu oleh tingkat penghasilan.

Banyak yang beranggapan, bekerja di bidang perdagangan dan jasa lebih menjanjikan.

Pengusaha di luar DIY pun memanfaatkan banyaknya usaha perdagangan dan jasa di DIY. Mereka yang di Jakarta kerap melemparkan pengerjaan proyek tertentu kepada pelaku usaha di DIY. Penyebabnya, biaya tenaga kerja di DIY tergolong murah. Dari data yang dikeluarkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tahun 2010, Upah Minimum Provinsi DIY berada di kisaran 745 ribu rupiah. Bandingkan dengan DKI Jakarta yang mencapai 1,1 juta rupiah. “Kita banyak menerima pekerjaan dari Jakarta. Mereka bekerja sama dengan kita. Contohnya, mereka dapat proyek besar, kita yang di Jogja yang menggarap. Sebenarnya, mereka bisa, tapi biayanya tinggi. Akhirnya, dilempar ke daerah. Ya, kayak-kayak gitu,” ujar

29

Tarmidzi. “Sebetulnya, otonomi daerah itu bagus, kita bisa mandiri. Berdiri sendiri. Untungnya, UKM di Jogja tidak merengek-rengek ke pemerintah. Cuma karena Jogja nggak punya sumber alam, ya harus berjuang sendiri,� kata Tarmidzi menutup pembicaraan.

Ketika Statistik Berbicara Sebenarnya, cukup sulit menggambarkan sengkarut otonomi di bidang UMKM jika tidak dibarengi dengan data. Terlebih lagi memastikan keabsahan dan keakuratan dari setiap angka. Liputan ini berpijak dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dan sejumlah informasi tambahan dari internet. Meski belum tentu sesuai dengan kondisi di lapangan, setidaknya data-data ini dapat memberikan gambaran umum.

Pada 2009, BPS merilis, sedikitnya ada 18.367 unit usaha kecil di DIY yang menyerap 78.536 pekerja. Data ini, tak termasuk usaha kecil yang tidak memiliki lisensi dari Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Disperindagkop dan UKM) Provinsi DIY. Disperindagkop mengklaim total ada sekitar lebih dari 70 ribu UMKM yang mampu menyerap sekitar 500 ribu pekerja. Jumlah besar tersebut sesuai dengan kontribusi industri ini terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Provinsi DIY yang mencapai 3,5 miliar rupiah atau 13,5 persen dari total PDRB. Sektor ini berada di urutan ketiga setelah pertanian, kemudian sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Ketiga sektor utama inilah yang menyumbang 50 persen dari total PDRB DIY. Sejak pemerintah memberlakukan otonomi daerah tahun 1999, sejumlah daerah mulai berbenah dan mengembangkan potensi lokal untuk meraup pendapatan asli daerah (PAD). Tak terkecuali, Provinsi DIY, yang tergolong memiliki PAD dengan nilai kecil. Dengan PAD yang kecil dan sumber daya alam yang terbatas, DIY harus memutar otak untuk mencukupi belanja daerah selama setahun.

Meski mengandalkan sektor pertanian; industri pengolahan nonmigas; serta perdagangan, jasa, dan restoran, namun DIY tak mampu mendongkrak PAD secara signifikan. Ini terlihat jelas dari rendahnya proporsi PAD terhadap total pendapatan daerah, dibanding besarnya subsidi yang diberikan pemerintah pusat. Dalam APBD DIY 2010 yang dirilis pemerintah provinsi DIY, PAD DIY berjumlah 621 miliar rupiah. Nominal ini

30

ARYA ZENDHY NUGRAHA & MUHAMMAD ROBBY SANJAYA | HIMMAH

31

BAYU PUTRA PAMUNGKAS | HIMMAH

hanya mampu menutup separuh dari total belanja daerah di tahun yang sama. Belanja daerah DIY tahun 2010 mencapai 1,3 triliun rupiah.

Dalam buku yang berjudul Otonomi dan Pembangunan Daerah, Mudrajad Kuncoro mencoba mengungkap penyebab kecilnya persentase PAD dibanding total pendapatan daerah. Ada lima sebab. Pertama, kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah. Kedua, tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan. Ketiga, dari beragam jenis pajak di daerah, hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan. Keempat, ada kekhawatiran apabila daerah memiliki sumber keuangan yang tinggi, maka akan terjadi disintegrasi dan separatisme. Dan, kelima, kelemahan dalam pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Pola pemerintahan desentralisasi secara tersirat sebenarnya telah ada sejak zaman kolonial. Belanda yang menjajah Indonesia, mem32

bagi wilayah tanah air menjadi beberapa wilayah administratif dan pemerintahan. Pada tahun 1922, Belanda membentuk gewest (setingkat provinsi), regentschap (kabupaten), dan staatsgemeente (kota madya).

Pemerintah Indonesia, kemudian mengadopsi konsep ini, memberikan otonomi yang luas kepada daerah sejak tahun 1945 hingga 1959. Namun, di tahun 1959, Soekarno membatasi otonomi di daerah melalui sistem yang ia sebut Demokrasi Terpimpin.

Demokrasi Terpimpin tidak berlangsung lama. Kekuasaan Soekarno tumbang, lalu Soeharto menjadi presiden menggantikan Soekarno. Akibat gerakan separatis yang mulai muncul di beberapa daerah, Orde Baru yang dikuasai Soeharto membuat tata pemerintahan menjadi sentralistis. Sistem ini bertahan hingga 33 tahun. Saat Soeharto lengser, desakan masyarakat untuk mereformasi birokrasi kian tinggi. Sampai akhirnya, otonomi daerah menemukan bentuknya hingga kini.

AHMAD Sumiyanto, anggota Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY, berkomentar soal pemikiran sejumlah pelaku usaha. Ia berpendapat, pasar bebas merupakan suatu hal yang tak bisa dihindari masyarakat dan harus direspons positif. Menurut Sumiyanto, komisinya sedang fokus untuk membangun pasar tradisional. Ia berkali-kali mengkritisi sejumlah bisnis retail yang terus menghimpit pasar tradisional.

Lewat penguatan pasar tradisional inilah, menurut Sumiyanto, ekonomi mikro masyarakat akan ikut tumbuh. Komisi B sekarang sedang menggodok peraturan daerah (perda) soal ini.

Dalam beberapa kesempatan kunjungan kerja, Sumiyanto mengaku kerap bertemu para pelaku UMKM. Sebagian dari mereka berharap pemerintah memberikan kemudahan memperoleh akses modal dan membantu pemasaran. Meski demikian, Sumiyanto mengaku wewenang teknis ada pada Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM. DPRD hanya memiliki fungsi legislasi dan penganggaran, yaitu fungsi memberikan persetujuan kebijakan dan fungsi anggaran. Namun, berdasarkan penelusuran HIMMAH, dari kumpulan perda selama kurun waktu delapan tahun terakhir, tak ada satupun perda DIY yang berkaitan dengan usaha kecil mikro. Sedangkan, dari sisi penganggaran, berdasarkan APBD DIY 2010, pemerintah menganggarkan 19,7 miliar rupiah untuk Disperin-

33

dagkop dan UKM. Jumlah tersebut terdiri dari 11,3 miliar belanja pegawai dan 8,4 miliar untuk belanja barang, modal, dan jasa.

Pasar Bebas dan Tujuh Problem Sebuah mobil kijang hitam merapat di depan lobi utama kantor Disperindagkop dan UKM. Setelah membantu seorang pria lanjut usia turun dari mobil, Pria itu diam sejenak dan menoleh. Meski belum pernah bertemu saya, ia tahu bahwa saya adalah orang yang akan mewawancarainya.

Sebagai seorang kepala dinas, RM Astungkoro orang yang sibuk.

Tetapi, ia kaget juga, ketika tahu saya telah satu bulan menunggu kesediaannya untuk wawancara. Kata Astungkoro, surat yang saya berikan melalui sekretarisnya, tak pernah sampai ke tangannya. Saya akhirnya berhasil membuat janji dengan Astungkoro, setelah menghubungi ponsel pribadinya.

Ruang kerja Astungkoro cukup luas, kira-kira hampir 40 meter persegi. Di salah satu sisi ruang kerjanya, ada sebuah peta DIY berukuran besar. Peta ini menggambarkan jenis dan jumlah sentra industri di seantero DIY. Di sudut ruangan, tampak papan putih penuh dengan coretan dan bagan-bagan yang membentuk sebuah sistem kerja.

Astungkoro memiliki pandangan sendiri soal peran otonomi daerah dalam membangun industri di DIY. Namun, menurutnya, keluhan salah satu pelaku usaha tak lantas bisa menggeneralisasi permasalahan di sektor industri. Ia berpendapat, pemerintah melalui Disperidagkop telah melakukan berbagai upaya. Walau demikian, karena keterbatasan biaya, tak semua program mampu menyentuh pelaku UMKM. “Pemerintah memberikan fasilitas kemudahan. Sarana transportasi dibuka, jalan diperbaiki, infrastruktur dibangun. Sekarang ini yang ditangani tidak hanya satu saja. Ada Kasongan, Manding, Bobung, dan lain-lain.�

Kata Astungkoro, problem UMKM merupakan masalah yang cukup pelik. Meski ia seorang sarjana teknik sipil, Astungkoro fasih menjelaskan permasalahan UMKM dari sudut pandang pemerintah. Secara umum, ia mencatat ada tujuh faktor yang menjadi hambatan berkembangnya UMKM. Di antaranya adalah sumber daya manusia, modal, desain produk, pemasaran, infrastruktur, jejaring, dan teknologi informasi.

Ia mengambil contoh Kasongan. Saat mulai membuat produk, pengusaha

34

MUHAMMAD ROBBY SANJAYA | HIMMAH

Sumber: Disperindag Provinsi DIY

ARYA ZENDHY NUGRAHA | HIMMAH

35

akan terbentur dengan bahan baku, yang mungkin saja tak lagi bisa diperoleh di Kasongan. Setelah bahan baku, pengusaha bisa menghadapi masalah lain, seperti modal yang terbatas. Belum lagi soal jenis produk yang bisa diterima pasar dan persoalan lainnya.

Astungkoro tak sepakat jika pemerintah harus bertanggung jawab soal minimnya perlindungan UMKM dari kegagalan transaksi, seperti yang terjadi pada Sarjimin, pengusaha kerajinan di Dusun Manding, Sabdoadi, Bantul. “Kalau ada yang melakukan transaksi, terus wanprestasi, apakah pemerintah yang harus menanggung? Itu pertanyaannya. Pemerintah hanya memfasilitasi. Contohnya, transaksi pembayarannya yang dipermudah. Kita tak bisa mengganti, hanya bisa membantu menyelesaikan problem. Ini masuk ke ranah hukum,” ujarnya.

Ia juga tak sependapat dengan keluhan Sarjimin yang merasa para pelaku usaha dibatasi karena tak bisa langsung mengekspor produk mereka. “Ekspor itu nggak bisa sembarangan. Ada aturan mainnya. Nggak bisa kayak jualan antar provinsi.” Ia memberi contoh, beberapa negara di Eropa dan Amerika saat ini memberi aturan ketat soal barang mebel yang masuk. Mereka kini tak lagi menerima perabotan yang komponen utamanya berupa kayu jati murni. Kayu jati diizinkan hanya untuk melapisi perabotan. Menurut Astungkoro, peraturan ketat seperti inilah yang membuat tidak semua perajin dapat langsung mengekspor produk mereka. “Jika ada barang yang sudah diterima di luar negeri, maka barang tersebut dikumpulkan, kemudian dikirim,” ujar Astungkoro.

Terlebih lagi, menurutnya, produk lokal sering tak memiliki daya saing. Dari segi kualitas dan harga, tak lebih baik dari produk asing yang masuk ke Indonesia. “Januari 2010 kemarin, kami ada agreement pasar bebas dengan China. Bea masuk dinolkan. Itu keuntungan. Tapi, kalau harga dan kualitas mereka lebih baik, itu bisa menghancurkan produk dalam negeri.”

Soal program pelatihan Disperindagkop yang dinilai Ajiek Tarmidzi tidak tepat sasaran, Astungkoro menanggapinya dengan nada datar.

“Sah-sah saja ada yang bilang tidak ingin pelatihan ini, pengennya pelatihan itu. Tapi, yang jelas, pelatihan yang kami berikan, ada yang membutuhkan. Kami tidak bisa mengabulkan semua keinginan. Anggarannya terbatas.”

36

Otonomi daerah, dalam pandangan Astungkoro, tidak menawarkan sesuatu yang baru. Dari segi pendanaan, meski terkonsentrasi di daerah, pemerintah provinsi maupun pusat tetap memiliki pos anggaran di sektor tertentu. Astungkoro berpendapat, untuk menilai gagal tidaknya otonomi daerah, haruslah melihat indeks pertumbuhan ekonomi (IPE). Berdasarkan data tahun 2010, IPE DIY berada pada angka 4,87. Sedangkan, rata-rata IPE nasional berada dalam kisaran 6,1. IPE sendiri sebenarnya cenderung naik turun dari tahun ke tahun (lihat tabel). Ia juga menjelaskan bahwa yang memberi andil dalam pertumbuhan ekonomi bukanlah pemerintah, melainkan investasi swasta. “Di tahun 2011 saja, ada 15 hotel yang mau dibangun di DIY. Artinya apa? Pertumbuhan ekonomi kita karena investasi swasta. DIY targetnya 5,2. Bagaimana bisa ke sana? Sembilan sektor harus bergerak (lihat tabel Peran Sektoral di DIY). Sekarang, orang mau bikin pasir besi saja didemo,� jelas Astungkoro.

Bung Hatta dan Hikayat Petani Nganjuk Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (PSEK UGM) terletak di kompleks B Universitas Gadjah Mada. Bangunan-bangunan di situ lebih mirip rumah ketimbang kantor. Arsitekturnya kuno dengan usia yang tak kurang dari setengah abad. Walau terkesan tua, namun tampak terawat.

Awan Santosa, seorang peneliti di PSEK UGM, bersedia mengobrol soal sengkarut UMKM di DIY. Selain aktif sebagai peneliti, Santosa juga dosen. Ia mengajar beberapa studi yang berhubungan dengan ekonomi.

Beberapa universitas swasta di Yogyakarta memintanya menjadi pengajar mata kuliah Kewirausahaan untuk tingkat diploma maupun sarjana.

Jam mengajarnya bervariasi. Ada pagi, ada malam. Anak didiknya mulai dari anak muda yang baru lulus SMA hingga karyawan.

Sesuai dengan lembaga ia bernaung, Santosa fokus membahas masalah UMKM di DIY dengan pendekatan ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan adalah gagasan sistem ekonomi di mana rakyat yang mengerjakan, memiliki, serta menikmati hasil produksi. Mubyarto, seorang guru besar Universitas Gadjah Mada, adalah orang yang memopulerkan gagasan ini. Meski, sebenarnya, konsep ini lahir dari pemikiran Bung Hatta pada tahun 1930-an.

37

Saat itu, Bung Hatta gusar melihat perekonomian Indonesia yang carut marut di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Rakyat jauh dari kata sejahtera. Ia lantas menuliskan pemikirannya di harian Daulat Rakyat dengan judul Ekonomi Rakyat. Ekonomi Rakyat yang ia maksud, tak lain adalah ekonomi kaum pribumi. Saat itu, dari segi kesejahteraan, kaum pribumi jauh tertinggal. Kaum penjajah berada di kelas ekonomi atas serta kaum timur asing berada di kelas menengah. Hatta pun sadar, untuk keluar dari situasi ini, Indonesia harus bebas dari cengkeraman penjajah. Selain berjuang demi kemerdekaan, Hatta pun menggalang kekuatan ekonomi rakyat melalui koperasi. Gagasan inilah yang menjadi landasan konsep ekonomi kerakyatan.

Banyak ekonom kemudian mengembangkan ide Hatta. Serupa tetapi tak sama, Emil Salim, Sumitro Djojohadikusumo, dan Mubyarto mengembangkan Sistem Ekonomi Pancasila dengan pengertian mereka masing-masing. Titik tekannya sama, kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Sistem ini condong mengarah ke sosialisme. Mubyarto kemudian menerjemahkannya menjadi ekonomi kerakyatan. UGM yang menjadi almamater Mubyarto, lantas mendirikan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan.

Saat ini, beberapa dosen dan peneliti tergabung dalam PSEK. Ada Revrisond Baswir, Edy Suandi Hamid, hingga Awan Santosa.

Jika melihat dari sisi ekonomi kerakyatan, Santosa menilai kondisi di DIY jauh panggang dari api. Di kota Yogyakarta dan Sleman, meski ratarata penduduk memiliki kesejahteraan yang tinggi, namun tingkat pengangguran juga tinggi. Sedangkan, di tiga kabupaten agraris, yaitu Bantul, Kulon Progo, dan Gunung kidul, meski memiliki tingkat pengangguran rendah, namun tingkat kesejahteraannya juga rendah. Santosa menilai, hal ini terjadi karena akses modal intelektual yang minim. Meski banyak perguruan tinggi di DIY, namun masyarakat mempunyai keterbatasan mengaksesnya. Hasilnya, ekonomi golongan bawah tidak berkembang.

Selain itu, Santosa juga mengkritik industri di DIY yang banyak dikuasai pemain besar. Serikat pengusaha mikro tak banyak mendapat tempat. Belum ada koperasi yang mampu menaungi masyarakat secara solid. Menurut Santosa, otonomi daerah tak mengarah ke demokratisasi ekonomi, melainkan demokratisasi politik. Namun, kata Santosa, daerah tak bisa sepenuhnya disalahkan. “Regulasi di daerah itu, hanya regulasi

38

minor. Misalnya, perda penataan pasar. Sedangkan, yang mempunyai pengaruh besar itu undang-undang. Dan, undang-undang inilah yang bertentangan dengan prinsip ekonomi kerakyatan,” katanya.

Dari hasil riset PSEK UGM di sejumlah pasar, kata Santosa, masalah yang paling menonjol adalah bahan baku, modal finansial, dan pemasaran. “Itu persepsi mereka. Masalahnya adalah pengetahuan yang minim.

Mengapa pemasaran jadi kendala? Karena, mereka tak punya pengetahuan soal marketing. Mengapa modal finansial jadi masalah? Karena, mereka tidak punya pengetahuan pembiayaan akses keuangan,” jelas Santosa.

Ini miris. Mengingat, DIY sebagai daerah tujuan pendidikan, memiliki ratusan perguruan tinggi. Dari hasil riset PSEK kepada 300 pedagang di 15 pasar tradisional di DIY, mereka yang mendapatkan pelatihan dan pengembangan usaha, angkanya kurang dari sepuluh persen.

Kata Santosa, hal ini membuktikan bahwa kemajuan teknologi dan intelektual tidak menyentuh kalangan bawah. “Selama ini, ada paradigma semakin banyak kampus, profesor, dan dokter, maka secara otomatis kondisi sosial akan naik. Tapi, fakta di lapangan tidak begitu,” ujar Santosa. Menurutnya, hal yang paling penting dibenahi adalah modal intelektual. “Kita selalu berpikiran yang menjadi masalah adalah modal material. Bantuannya pun begitu. Selalu alat-alat pertanian, kredit dengan bunga rendah, dan lain-lain. Padahal, yang penting adalah modal intelektual. Selama ini, tidak ada penguatan ke situ.”

Sengkarut ini, menurut Santosa, pangkalnya ada pada sistem ekonomi yang diterapkan Indonesia. Selama masih menganut sistem ekonomi kapitalis yang menuhankan modal dan keuntungan, maka kesejahteraan masih jauh dari harapan. Santosa punya cerita. Di Nganjuk, Jawa Timur, ada polisi yang menegur beberapa petani karena mengembangkan varietas unggulan tertentu. Polisi menganggap petani melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAKI). “Misalnya saja tempe. Masak tempe dipatenkan. Itu pengetahuan kolektif. Setiap orang berhak,” kata Santosa. Ia merasa semangat HAKI untuk menghargai inovasi dan kekayaan intelektual, justru membuat rakyat kecil sulit berkembang. Ini tak sesuai dengan semangat ekonomi kerakyatan.

PSEK kini sedang mencoba merumuskan indikator ekonomi kerakyatan. Ada beberapa poin yang tidak Santosa jelaskan secara rinci. PSEK

39

sedang menguji coba indikator ini di Penajam Pasir Utara, salah satu kabupaten di Kalimantan Timur. Santosa dan kawan-kawan berharap, jika indikator ini teruji, maka evaluasi penerapan ekonomi kerakyatan dapat dilakukan di seluruh daerah. *** Namun, indeks pertumbuhan ekonomi dan indikatornya bukanlah sesuatu yang mudah dipahami Sarjimin. Deretan angka dan grafis di atas kertas tak mampu mengubah nasibnya. Sarjimin dan sejumlah pengusaha lain masih terjebak dalam romantisme masa lalu, saat usaha miliknya masih mendatangkan banyak rezeki. q Reportase bersama A.Ikhwan Fauzi, T. Ichtiar Khudi A, Arya Zendhy N, B. Kindy Arrazy

40

Wajah Pendidikan dalam Bingkai yang Kacau Otonomi dalam dunia pendidikan dan kekacauan di sana sini.

Oleh Wening Fikriyati

Diana sudah duduk di ruang tamu saat saya datang ke rumahnya. Ia tak bangkit dari sofa ketika saya menemuinya dan mengulurkan tangan untuk bersalaman. Begitu pun saat saya berpamitan nanti. Ia tak mengantar saya sampai pintu. Diana memang sedang sakit. Badannya serasa kaku dan kakinya sulit untuk berjalan. Ia pun kesulitan untuk berdiri. Hari itu, Diana terpaksa tak masuk kerja.

Nama lengkapnya Awalludiana Cipta Kusuma. Saat ini, usianya 16 tahun. Anak pertama dari Waluyo dan Udia Rahasih ini tinggal di Baturetno, Kecamatan Banguntapan, Bantul. Rumahnya sederhana. Luasnya sekitar 4,5 x 5 meter, terdiri dari dua kamar, ruang tamu, dapur, serta kamar mandi. Rumah ini merupakan bantuan pemerintah pascagempa yang mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 2006 silam.

Saat itu, Diana dan keluarganya sempat tinggal di rumah kakeknya karena rumah mereka rusak parah.

Diana tak dapat melanjutkan sekolah setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Banguntapan pada tahun 2010. Ia tak menyangka orang tuanya tidak memiliki biaya untuk menyekolahkannya.

Padahal, Diana sudah coba mendaftar ke beberapa sekolah di Bantul. “Rasanya, yo..., sedih banget, Mbak. Tiap pagi, kan, ngelihatin temanteman kayak gitu (berangkat sekolah-red). Rasanya berat banget, Mbak,� tutur Diana. Matanya berkaca-kaca. Suaranya parau.

Sulit bagi Diana untuk menerima kondisi keluarganya. Ia bahkan pernah mencoba mengakhiri hidup dengan minum obat anti nyamuk.

Selain itu, ia terpaksa berbohong kepada beberapa temannya. “Ya, aku bilang sekolah, tetapi di sana..., jauh. Soalnya malu.� Diana lantas tertawa malu-malu.

MUHAMMAD ROBBY SANJAYA | HIMMAH

Rahasih, ibu Diana, tak lagi bekerja sejak melahirkan anak kedua. Tak sampai setahun kemudian, ia hamil anak ketiga. Asih -demikian Rahasih biasa dipanggil- pun disibukkan mengasuh kedua anaknya yang masih balita. Akhirnya, keluarga Diana hanya mengandalkan penghasilan Waluyo sebagai tukang kayu di sebuah toko meubel tak jauh dari rumah.

Penghasilannya 22.500 rupiah per hari dan dibayarkan per minggu. Waluyo juga memiliki rumah yang disewakan di Kranon. Akan tetapi, uang sewa yang ia dapat tak cukup untuk membiayai sekolah Diana. Sementara, kedua anaknya yang masih balita juga menghabiskan biaya yang besar untuk membeli susu.

Selama tidak sekolah, Diana bekerja di sebuah percetakan. Ia berangkat pukul 07.00 WIB dan pulang saat petang. Terkadang, ia pulang pukul 21.00 WIB jika sedang lembur. Upahnya dua ribu rupiah per jam. “Ya, daripada di rumah. Kayak gitu juga buat kesibukan dan dikit-dikit bantu,� ungkap Diana dengan logat Jawa yang kental.

Diana masih ingin bersekolah. Tahun 2011, ia mencoba mendaftar sekolah lagi. Dengan bantuan dari Yuliani Putri, sekretaris jenderal (sekjen) persatuan orang tua peduli pendidikan (Sarang Lidi), ia berharap dapat bersekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 1 Banguntapan.

42

Menilik Pendidikan Pascaotonomi Daerah Ditemui di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Samsudin Nurseha terlihat sedang bekerja dengan laptopnya. Tampak beberapa berkas ditumpuk di sisi kiri meja. Pria yang biasa disapa Samsul ini tampak rapi dengan kemeja lengan panjang warna cokelat. Ia adalah Kepala Divisi Ekonomi, Sosial, dan Budaya LBH Yogyakarta.

Berbicara tentang otonomi pendidikan, Samsul berpendapat bahwa semangat otonomi daerah dalam penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya baik, yaitu memangkas birokrasi. Jika sebelumnya penyelenggaraan pendidikan ditentukan oleh pemerintah pusat, maka setelah adanya otonomi daerah, segala hal yang berkaitan dengan proses belajar mengajar menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (pemda). Akan tetapi, pengesahan otonomi ini tidak dibarengi dengan kesiapan pemda dalam melaksanakannya. “Kalau dilihat dari politik anggaran misalnya, di level Provinsi Yogyakarta, tiap tahunnya, dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), porsi pengeluaran terbesarnya masih untuk belanja aparatur pemerintahan,� tutur Samsul.

Persoalan anggaran juga muncul dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah-sekolah. Masih ada anak-anak seperti Diana yang merasakan mahalnya biaya pendidikan. Tahun 2010, LBH Yogyakarta menangani sekitar 20 pengaduan yang mengeluhkan adanya pungutan liar di sekolahsekolah di kota Yogyakarta. Setelah ditelusuri oleh LBH, ternyata pungutan tersebut dilegitimasi oleh peraturan walikota yang membolehkan sekolah menghimpun dana dari masyarakat untuk memenuhi kebutuhan operasional sekolah.

Selain itu, belum ada jaminan bagi masyarakat untuk bisa mengakses sekolah. “Ada banyak pengaduan yang masuk ke LBH, salah satunya, berkaitan dengan anaknya yang nggak bisa melanjutkan sekolah gara-gara nggak mampu bayar sumbangan pembinaan pendidikan (SPP),� ungkap Samsul.

Tak melulu soal pembiayaan pendidikan, masalah infrastruktur masih mewarnai penyelenggaraan pendidikan di DIY. Infrastruktur sekolahsekolah di DIY belum merata. Samsul menceritakan, seorang anak sekolah dasar (SD) di daerah Gunung Kidul, harus berjalan kaki sejauh tiga kilometer untuk menjangkau sekolahnya. Ketika anak tersebut masuk

43

Reni Triwidiastuti. Tinggal di Dusun Pringtali, Desa Kebonharjo, Kabupaten Kulon Progo.

Setiap berangkat dan pulang sekolah, Reni harus melalui jalan terjal dengan tikungan dan tanjakan yang curam sejauh enam kilometer. Tak jarang, kondisi aspalnya rusak dan tak ada angkutan umum.

SMP, ia harus menempuh jarak sepuluh kilometer karena di kecamatan tempat tinggalnya tidak ada SMP. Di sekitar tempat tinggal anak tersebut, banyak anak-anak yang hanya lulus SD dan akhirnya tidak melanjutkan sekolah. Karena, walaupun secara ekonomi orang tuanya masih mampu, tetapi tidak memiliki fasilitas untuk mengantar jemput anak mereka. SeARYA ZENDHY NUGRAHA | HIMMAH dangkan, untuk naik angkutan umum setiap hari, orang tua keberatan karena membutuhkan biaya lagi. “Itu, kan, menjadi persoalan tersendiri bagi masyarakat DIY dalam menikmati hak sebagai warga negara,� ujar Samsul.

Pernyataan Samsul tadi mengingatkan saya pada Reni Triwidiastuti.

Ia tinggal di Kulon Progo, tepatnya di Dusun Pringtali. Saat ini, Reni duduk di kelas 10 sekolah menengah atas (SMA). Sebelumnya, ia bersekolah di SMP Negeri 2 Girimulyo. Setiap hari, ia harus menempuh perjalanan sejauh enam kilometer untuk menuju sekolahnya. Setiap berangkat dan pulang sekolah, Reni harus melalui jalan terjal dengan tikungan dan tanjakan yang curam. Tak jarang, kondisi aspalnya rusak. Berlubang di sana-sini. Angkutan umum pun tak ada yang melalui jalan itu. Karena orang tua Reni tak sanggup mengantar jemput ke sekolah, akhirnya ia membonceng temannya tiap hari. Sebelumnya, Reni pulang pergi ke sekolahnya berjalan kaki. Teman-temannya di sekolah pun masih banyak yang berjalan kaki, padahal beberapa dari mereka rumahnya lebih jauh dari rumah Reni.

Cerita Samsul tentang anak-anak di Gunung Kidul tadi terjadi pula di Kulon Progo. Ketimpangan jumlah sekolah dibandingkan banyaknya 44

anak usia sekolah memang tampak pada beberapa kabupaten di DIY. Hal ini, terutama karena kondisi geografis tiap kabupaten yang berbeda-beda.

Misalnya saja, Gunung Kidul yang luas wilayahnya mencapai 1.485,36 kilometer persegi. Jumlah SMA dan SMK di kabupaten terluas di DIY ini hanya 66 sekolah, padahal jumlah penduduk usia 16—18 tahun ada 31.909 jiwa. Bandingkan dengan kota Yogyakarta yang memiliki jumlah SMA dan SMK sebanyak 75 sekolah dengan jumlah penduduk usia 16— 18 tahun sebanyak 27.655 jiwa dan luas wilayah hanya 32,5 kilometer persegi. Dengan luas wilayah yang jauh lebih kecil, kota Yogyakarta justru memiliki sekolah lebih banyak. Padahal, jumlah anak usia SMA atau SMK di kota Yogyakarta lebih sedikit dibanding Gunung Kidul.

MESKI pemerintah sudah menyediakan bantuan operasional sekolah (BOS), bahkan pemerintah daerah memberikan bantuan operasional daerah (BOSDA), namun biaya pendidikan yang mahal masih dikeluhkan oleh masyarakat. Beberapa orang tua yang tidak tertampung di komite sekolah, lantas membentuk suatu komunitas yang diberi nama Sarang Lidi, akronim dari persatuan orang tua peduli pendidikan. Mereka membentuk komunitas karena merasa tidak tertampung aspirasi mereka. Sekjen Sarang Lidi, Yuliani Putri, banyak bercerita tentang maraknya pungutan di sekolah-sekolah sehingga membuat biaya pendidikan semakin mahal.

Mahalnya biaya pendidikan, antara lain disebabkan oleh tidak adanya batasan yang jelas bagi sekolah-sekolah dalam menghimpun dana pendidikan dari masyarakat. Hal ini, terutama pada sekolah menengah yang tidak mendapatkan dana BOS. Yuli mengkritik pedas tingginya biaya yang dihimpun dari wali murid. Sarang Lidi bahkan menemukan banyak pemborosan yang dilakukan pihak sekolah dalam menyusun anggaran belanja. “Uang itu akhirnya dihambur-hamburkan untuk insentifinsentif. Padahal, gurunya adalah pegawai negeri. Harusnya, kan, kalau sudah pegawai negeri, ia gak boleh ngambil untuk insentif, atau untuk transportasi. Ini, kan, gak boleh. Nah, di sini, kan, sudah terlihat jelas,” kata Yuli. “Ini anggaran SD aja udah menggila. Coba lihat, gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan, tunjangan fungsional, tunjangan fungsional umum, dan tunjangan beras.”

45

Sumber: Buku Panduan BOS

ARYA ZENDHY NUGRAHA | HIMMAH

Yuli memberi contoh bagaimana pemborosan dan mark up dilakukan oleh pihak sekolah dalam menyusun anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS). Suatu ketika, Yuli pernah menjadi anggota komite sekolah di sebuah SMA negeri di Yogyakarta. Tiap kali rapat komite, anggota yang hadir tak lebih dari 14 orang. Jika diasumsikan, biaya konsumsi rapat tiap orang 15.000 rupiah, kemudian dikalikan 12 bulan, maka dana yang dihabiskan tak lebih dari empat juta rupiah. Tetapi, kenyataannya,

46

untuk rapat komite sekolah di APBS dianggarkan 178 juta rupiah. Padahal, pada praktiknya, rapat komite dilaksanakan tiga sampai empat bulan sekali. “Sudah saya kasih tahu tadi, hal-hal pemborosan itu sepele, (tapi) kalau diakumulasi itu bisa menjadi banyak,� tutur Yuli berapi-api.

Yuli juga menemukan masih ada sekolah yang mengelola seragam sekolah siswa, padahal saat ini sudah tidak diperbolehkan. Selain itu, ada juga upaya-upaya represif yang dilakukan terhadap peserta didik yang belum membayar uang sekolah, seperti menahan rapor, menahan ijazah, tidak memperbolehkan siswa ikut ujian, dan sebagainya. Padahal, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 Pasal 52, disebutkan bahwa pungutan oleh satuan pendidikan wajib memenuhi ketentuan.

Antara lain, tidak dipungut dari peserta didik atau orang tua atau wali yang tidak mampu secara ekonomi, serta tidak dikaitkan dengan persyaratan akademis untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar peserta didik, dan atau kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.

Yuli menambahkan, “Bahkan, swadaya masayarakat itu, kan, bisa dikatakan kalau memang gak mampu, gak dipungut, ya, gak masalah. Kan, sudah dibiayai negara. Kalau biaya dari negara itu tidak hanya untuk tunjangan-tunjangan, wali murid itu, ya, bolehlah membayar. Tetapi, sedikit, tidak banyak. Tidak seperti sekarang ini yang seenaknya sendiri.�

Menurut Yuli, masalah berikutnya yang muncul dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah berupa penggunaan anggaran sekolah yang tidak transparan. Masih banyak orang tua yang tidak diberi kesempatan untuk meneliti laporan pertanggungjawaban (LPJ) sekolah. Selain itu, tidak semua orang tua memahami dan mampu mengkritisi APBS yang disusun oleh satuan pendidikan. Pada gilirannya, orang tua pun tak dapat mengawasi sekolah secara maksimal.

Komite sekolah sebagai representasi wali murid ternyata juga tak cukup mampu mengawasi dan mengontrol pelaksanaan pendidikan. Yuli menceritakan bahwa tak jarang pemilihan komite sekolah ditentukan oleh sekolah. Padahal, dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 5 tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan, dijelaskan bahwa Komite Sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua atau wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Tetapi, kenyataannya, Yuli dan kawannya tidak diterima ke-

47

tika mencoba untuk mendaftar sebagai anggota Komite Sekolah di salah satu SMA di Yogyakarta lantaran Komite Sekolah tersebut sudah dibentuk.

Sumber: Dokumentasi Komunitas Sarang Lidi ARYA ZENDHY NUGRAHA | HIMMAH

Salah satu contoh pemborosan dalam penggunaan dana sekolah yang disoroti oleh Komunitas Sarang Lidi

48

SIANG itu, Baskara Aji sedang menandatangani tumpukan berkas di meja kerjanya. Namun, dengan ramah, pria yang menjabat sebagai kepala Dinas Pendidikan DIY mempersilakan kami masuk dan duduk di kursi depan meja kerjanya. Di ruang itu, memang ada dua meja kursi. Selain meja kerja, terdapat satu set meja kursi tamu di tengah-tengah ruangan. Di sisi utara, ada televisi layar datar yang ukurannya cukup besar. Tampak dua buah ponsel diletakkan di atas meja kerja.

Baskara mengakui bahwa pada awal penerapan otonomi daerah, masalah pembiayaan pendidikan memang ada. Ini karena penerapan otonomi pembiayaan tidak bersamaan dengan otonomi wewenang dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Hal ini menyebabkan banyak program pendidikan yang tidak terbiayai. Akan tetapi, menurut Baskara, saat ini sudah tidak ada lagi masalah pembiayaan dalam penyelenggaraan pendidikan. “Kalau soal pembiayaan, sekarang sudah tertata dengan perundangan-undangan yang baru. Pemerintah pusat sudah memberikan dana-dana tersebut ke kabupaten atau kota dalam bentuk dana transfer, dan itu sudah tidak ada masalah lagi,� tambahnya.

Terkait upaya represif yang dilakukan sekolah kepada siswa yang tidak membayar tagihan sekolah, Baskara mengakui hal tersebut memang ada. Akan tetapi, menurutnya, masalah tersebut lebih kepada masalah internal sekolah dengan wali murid yang bersangkutan. Jika wali murid sudah menyanggupi untuk membayar, maka ia harus membayar sesuai dengan kesepakatan. Namun, jika wali murid tidak punya alasan yang kuat perihal ketidaksanggupan membayar, sebaiknya sekolah tetap menyelesaikannya dengan cara yang baik.

Masalah lain pada dunia pendidikan sejak otonomi adalah adanya indikasi korupsi. Berdasarkan wawancara dengan Samsul dan Yuli sebelumnya, kasus pungutan liar yang diadukan ke Sarang Lidi maupun LBH ternyata mengarah kepada indikasi adanya korupsi di sekolah. Saya menyampaikan hasil temuan saya tadi kepada Baskara. Ia menanggapi bahwa dirinya belum pernah menemukan adanya korupsi di lingkungan satuan pendidikan. Menurutnya, selama ini, yang terjadi adalah penyalahgunaan dana tidak sesuai dengan peruntukannya. Misalnya saja, dana BOS digunakan untuk merenovasi gedung. “Tapi, kalau penyalahgunaan dana BOS untuk memperkaya diri itu tidak ada.�

49

Terkait masalah lain, yakni soal pemerataan pendidikan, saat ini Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) mengupayakan dengan teknologi informasi. Kini, sekolah-sekolah di pelosok sudah mendapat akses materi pembelajaran secara online seperti halnya anak-anak yang bersekolah di perkotaan.

Mendengar hal itu, saya kembali teringat pada cerita Reni tentang sekolahnya. Reni berkata, di laboratorium komputer milik sekolahnya hanya tersedia lima unit komputer. Reni dan teman-temannya harus berbagi komputer tersebut saat pelajaran teknologi informasi dan komputer (TIK). Padahal, dalam satu kelas terdapat 27 siswa. Itu berarti satu unit komputer digunakan oleh lima sampai enam siswa.

Berbicara tentang angka partisipasi pendidikan, Baskara menilai tidak ada masalah dalam hal partisipasi pendidikan. Menurutnya, angka partisipasi kasar untuk SD di DIY sudah lebih dari 100 persen dan SMP juga sudah mendekati 100 persen. “Hanya untuk SMA yang masih belum 100 persen,� ungkap pria berkemeja biru ini.

Namun, jika dilihat dari angka partisipasi murni, memang ada beberapa daerah yang belum mencapai seratus persen. Berdasarkan data Dikpora DIY tahun 2010/2011, Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk tingkat SD memang sudah seluruhnya mencapai seratus persen, bahkan lebih.

Namun, jika dilihat dari Angka Partisipasi Murni (APM), hanya Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta yang sudah mencapai seratus persen untuk jenjang sekolah dasar. Angka ini cenderung menurun untuk jenjang selanjutnya. Bahkan, untuk jenjang sekolah menengah atas atau kejuruan angka partisipasi murni tertinggi hanya mencapai 88,18 persen dan dicapai hanya di kota Yogyakarta.

Menanggapi persoalan tersebut, Baskara menjelaskan bahwa jika persoalan ekonomi yang menghalangi siswa untuk mengenyam pendidikan, maka akan disediakan beasiswa agar tidak ada siswa yang putus sekolah. Ada dua beasiswa yang diberikan. Pertama, untuk siswa aktif yang kurang mampu. Kedua, beasiswa diberikan kepada siswa yang telanjur putus sekolah. “Nah, bagi siswa yang putus sekolah, maka beasiswa itu kita sebut sebagai beasiswa retrieval,� papar Baskara. Bagi kepala sekolah yang mengembalikan siswa putus sekolah, maka ia bisa mengklaim ke dinas pendidikan provinsi melalui dinas kabupaten setempat.

50

Penjelasan Baskara tentang beasiswa itu bisa menjadi secercah harapan bagi siswa yang tidak mampu bersekolah. Namun, mengingat pengelolaan pendidikan yang masih carut-marut, akankah siswa seperti Diana benar-benar punya harapan kembali ke sekolah? q Reportase bersama Anugerah I.R. Paputungan, Arya Zendhy Nugraha, Dwi Kartika Sari, dan T. Ichtiar Khudi Akbar.

Darmaningtyas, pengamat pendidikan:

“MBS itu bukan Manajemen Berbasis Sekolah, tetapi Masyarakat Bayar Sendiri.�

Pengelolaan pendidikan masih carut-marut pada era Otonomi Daerah ini. Permasalahan seputar pungutan liar, pemerataan akses pendidikan, manajemen berbasis sekolah yang masih kacau, dan sebagainya, masih menghiasi wajah otonomi di dunia pendidikan.

Berikut penuturan Darmaningtyas kepada Wening Fikriyati dari HIMMAH. Darmaningtyas adalah pengamat pendidikan yang juga pengurus Majelis Luhur Tamansiswa, Yogyakarta. Ia juga penulis buku Pendidikan Rusak-Rusakan dan Tirani Kapital dalam Pendidikan.

51

Seperti apa dampak otonomi daerah terhadap dunia pendidikan?

Pada era Otonomi Daerah, kewenangan pendidikan dasar dan menengah itu ada di daerah, sedangkan wewenang pendidikan tinggi tetap di pusat. Terjadi perubahan pada pendidikan tingkat dasar dan menengah. Kalau dulu kebijakan sifatnya sentralistis, sekarang tidak lagi. Jadi, bupati dan walikota memiliki wewenang penuh atas kebijakan pendidikan dasar.

Nah, karena otonominya ada di bupati dan walikota, kebijakan dasar dan menengah di setiap da-

erah akan sangat dipengaruhi oleh kapasitas dari bupati dan walikota masing-masing. Ada bupati dan walikota yang sangat care dengan pendidikan, maka pendidikannya bagus. Tetapi, ada bupati dan walikota yang menjadikan pendidikan itu sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD), pendidikannya bisa mahal karena apa-apanya dipungut biaya. Ada juga bupati yang menjadikan pendidikan sebagai basis dukungan massa, maka kebijakan untuk pendidikan dasar menjadi sangat politis. Pengangkatan pejabat pendidikan, termasuk kepala sekolah disandarkan pada apakah orang tersebut mendukung dirinya sebagai calon bupati atau walikota atau tidak. Jadi, itu sangat politis, maka dampaknya beragam sekali. Tergantung pada bupati dan walikota.

Bagaimana dengan di DIY? DIY sendiri secara umum yang bisa kita lihat itu berdampak pada distribusi. Misalnya, di Gunung Kidul itu kelebihan guru PNS, sedangkan di Jogja atau di Bantul mungkin kurang. Tetapi, karena ada otonomi, maka kelebihan guru yang ada di Gunung Kidul tidak bisa serta merta pindah di tempat lain karena di tempat lain belum tentu mau menerima.

Selain itu juga berkenaan kesejahteraan guru. Ada daerah yang

memberikan tunjangan kesejahteraan, selain gaji guru dari pusat. Tetapi, ada daerah yang tidak.

Atau, memberikan, tetapi jumlahnya kecil. Lalu, ada juga guru yang diatur sebagaimana PNS biasa, pagi jam segini harus masuk dan pulang jam sekian. Tidak seperti dulu, kini guru diatur sesuai jam mengajarnya.

Lalu, berkenaan biaya operasional sekolah. Ada daerah yang memberikan bantuan operasional sekolah daerah (BOSDA). Jumlahnya juga beragam. Tetapi, ada juga daerah yang tidak memberikan. Sehingga, semua harus dibayar sendiri. Ada juga daerah yang memberikan perhatian besar pada sekolah swasta, tetapi banyak juga yang tidak.

Bagaimana otonomi pendidikan berpengaruh terhadap pembiayaan pendidikan oleh pemerintah daerah?

Tiap daerah punya kebijakan sendiri. Jogja punya kebijakan sendiri, Bantul punya kebijakan sendiri, Gunung Kidul punya kebijakan sendiri, Kulon Progo punya kebijakan sendiri, dan Sleman punya kebijakan sendiri. Seperti Jogja, kan, agak ketat, ya?! Oke, kalau sudah ada BOS, besar pungutan yang boleh dilakukan adalah sisanya. Misalnya, biaya operasio52

nal per murid per tahun mencapai satu juta, lalu BOS-nya sudah ada 500 ribu, maka yang ditarik hanya kekurangannya yang 500 ribu.

Jadi, yang boleh dipungut hanya kekurangan dari biaya operasional itu. Tetapi, ada juga di tempat lain yang dengan dana BOS itu, seperti di Gunung Kidul, karena biaya hidupnya lebih murah, dana BOS itu di beberapa daerah bisa menutupi semua biaya operasional.

Namun, di beberapa sekolah di perkotaan, seperti di ibu kota kabupaten, kan, tidak bisa. Di satu wilayah pun beragam. Ada yang betul-betul bisa menggratiskan, ada yang menggratiskan separuh, ada yang menggratiskan 75 persen, tetapi ada pula yang tidak bisa menggratiskan. Jadi, perbedaannya tidak hanya per daerah, tetapi juga per wilayah.

Apakah pascaotonomi daerah pendidikan semakin mahal?

Saya kira kalau mahalnya itu tidak hanya disebabkan oleh otonomi, tetapi juga kebijakan nasional yang tidak jelas terhadap pendidikan. Yang jelas, otonomi menjadikan kebijakan pendidikan di tiap-tiap daerah jadi tidak seragam. Setiap daerah, memiliki kebijakan sendiri-sendiri. Penyebab biaya pendidikan mahal tidak hanya karena otonomi daerah, tetapi ka53

rena kebijakan pemerintah pusat yang tidak jelas.

Kebijakan yang tidak jelas seperti apa?

Ya, komitmen pemerintah dalam hal penegakan pendidikan.

Sekarang ini, kan, pendidikan gratis hanya diwujudkan dengan BOS. Sementara, BOS itu hanya mencover mungkin sekitar 30 persen biaya pendidikan, jadi tidak cukup untuk bisa menggratiskan.

Bagaimana penerapan manajemen berbasis sekolah selama ini?

Kalau kita baca konsep manajemen berbasis sekolah di negara maju yang ditiru oleh pemerintah Indonesia, MBS itu untuk mendemokratisasikan pendidikan. Jadi, yang diotonomikan itu dua hal.

Pertama, manajemen. Kedua, substansi pendidikannya atau kalau di perguruan tinggi otonomi di bidang akademis.

Manajemen itu berarti pengelolaannya. Nah, yang dikelola adalah dana dari pemerintah. Sedangkan, akademisnya, seperti model pembelajaran, metode yang dipakai, guru, dan mau pakai team teaching atau tidak, itu yang mestinya diotonomikan. Tetapi, di sini, pada konsep MBS itu, yang diotonomikan adalah soal pencarian dana.

Jadi, seperti yang dulu saya sebut,

MBS itu bukan manajemen berbasis sekolah, tetapi masyarakat bayar sendiri. Itu yang membuat MBS menjadikan sekolah semakin mahal. Karena, mestinya yang diotonomikan itu soal manajemennya.

Lantas, siapa yang seharusnya mengawasi penyelenggaraan pendidikan?

Kalau dalam masyarakat demokrasi, maka yang seharusnya banyak berperan adalah masyarakat sipil. Entah itu diwujudkan dalam komunitas pengguna jasa atau diwujudkan dalam kelembagaan seperti LSM. Ini yang harus mengontrol. Kalau pemerintahannya lemah, maka masyarakatnya lemah. Ya, jadinya seperti itu.

Masyarakat sipil kita memang sekarang masih lemah. Karena, banyak orang yang tidak memiliki minat. Apalagi di daerah-daerah itu, kan, kebetulan juga memiliki keterbatasan sumber daya manusia. Kebanyakan orang-orang yang pintar dan memiliki keahlian itu larinya ke kota. Sehingga, di daerah mengalami krisis sumber daya manusia.

Padahal, untuk dapat mengontrol kebijakan pemerintah, masyarakat harus memiliki tingkat literate tertentu. Artinya, kalau anak-anak muda yang belum punya banyak

pengalaman, argumennya lemah, lalu mau melakukan kontrol terhadap kebijakan, maka pengambil kebijakan akan memandang sebelah mata. Tetapi, kalau orang memiliki data dan posisi yang kuat, maka pengambil kebijakan akan segan.

Apakah dengan adanya MBS ini membuka peluang munculnya korupsi?

Ya. Secara otomatis, kalau ada uang, ada peluang, maka akan memunculkan korupsi. Di situlah pentingnya kontrol dari masyarakat.

Bagaimana supaya uang yang ada itu tidak membebani, tetapi digunakan untuk peningkatan kualitas.

Karena itu penggunaan anggaran itu harus transparan dan penyusunan anggaran itu harus partisipatif, melibatkan semua unsur di dalam sekolah.

Kalau sekarang ini, kan, anggaran disusun oleh kepala sekolah, Tata Usaha, dan beberapa guru.

Yang benar, anggaran itu disusun oleh semua komunitas guru, semua guru masuk, perwakilan murid ada, perwakilan orang tua ada.

Kalau itu dilakukan, saya kira korupsinya bisa diminimalisasi.

Selama ini anggaran pendidikan masih banyak dihabiskan untuk belanja aparatur negara.

54

Bagaimana pendapat Anda?

Ya. Karena tidak ada kontrol.

Tidak ada perencanaan yang partisipatif, sehingga tidak ada yang bisa mengarahkan bahwa mestinya budget untuk pendidikan yang lebih besar adalah untuk operasional sekolah misalnya, itu tidak ada.

Itulah fungsi dari kontrol masyarakat. Bagaimana supaya dana yang ada ini lebih tersalurkan untuk pengembangan pendidikan.

Sebenarnya, untuk belanja pegawai pun tidak masalah, sepanjang itu dipakai untuk peningkatan kesejahteraan guru sehingga guru bisa menjadi lebih semangat. Mungkin, penyediaan alatnya sedikit. Tidak apa-apa. Tergantung pada hasil, apakah menunjang peningkatan mutu pendidikan atau tidak.

Bagaimana dengan pemerataan mutu pendidikam di tiap daerah di DIY? Saya kira kalau dari segi pemerataan, kita belum mengalami pergeseran dari tahun 1980-an. Tahun 1980-an itu, kan, tetap saja yang bagus-bagus seperti SMA 1, SMA 3, dan SMA 8. Kalau SMP, ya, SMP 5 dan SMP 8. Sampai sekarang, kan, masih itu. Jadi, dari segi kualitas belum mengalami pergeseran.

Saya kira masih sama.

55

Salah satu faktornya karena kebijakan pemerintah yang lebih banyak memberikan support pada sekolah-sekolah favorit dan kurang memberi support pada sekolah-sekolah pinggiran. Sekolah yang bagus ini makin bagus, sekolah yang di pinggiran makin tertinggal. Kalau misalnya pemerintah membalik saja, lebih memberi support pada sekolah-sekolah yang kurang bagus, mungkin akan terjadi peningkatan mutu pendidikan di sekolah-sekolah yang kurang bagus, sehingga orang-orang tidak berburu sekolah di kota.

Lalu, apa yang harus dilakukan dinas pendidikan untuk mengatasi masalah-masalah yang ada terkait dengan penerapan otonomi pendidikan?

Kebetulan, DIY itu, kan, daerah yang miskin, APBD-nya juga rendah. Jadi, saya kira tidak ada yang bisa diharapkan, kecuali kita dorong agar kegiatan pendidikan itu efisien.

Misalnya, kegiatan seperti study tour yang menghabiskan banyak biaya sebaiknya dihapuskan. Pungutanpungutan lain yang nggak jelas, itu juga dihapus. Kalau dua hal ini bisa dilakukan oleh dinas pendidikan, maka pendidikan dapat meningkat, meski dengan dana yang terbatas.q

Kala Jiwa Belum Utama Daerah pun membebek pusat yang tak prioritaskan kesehatan jiwa.

Oleh: M. Hanif A.

LEKUK perkampungan Kotagede cukup membingungkan buat ditelusuri.

Pangkalnya susah berjumpa dengan ujung bagaikan taman labirin. Ganggang selebar manusia membentang tangan bertemu dan membentuk sudut-sudut tajam. Mayoritas rumah tak punya teras yang lapang. Sangat padat. Membunyikan klakson motor adalah anjuran sebelum berbelok menelusuri gang demi gang. Tak jarang badan motor bersenggolan dari arah berlawanan.

Di salah satu mulut gang, Susanti−bukan nama s­ ebenarnya−tinggal bersama ayah dan kakak kandung laki-lakinya. Lahir pada 1979, Susanti semasa sekolah cukup berprestasi. Lewat penuturan ayahnya, Rama−bukan nama sebenarnya−Susanti pernah juara tilawatil quran. Sewaktu sekolah dasar, ia meraih juara ditingkat Kecamatan Kotagede. Pun sewaktu masuk bangku menengah pertama, ia juara ditingkat Kota Yogyakarta.

Persisnya juara berapa, Rama sudah lupa.

Tahun berganti tahun. Tak lama setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) Piri pada tahun 2000, Susanti sempat mendaftar kerja di salah satu perusahaan di Semarang. Belum rejeki. Ia tak diterima. Gagal dapat kerja, Susanti memutuskan menikah. Naas, perceraian tiba sebelum usia pernikahan setahun. Rama mengakui perceraian itu yang membuat Susanti terserang sakit.

“Nggih gila (Ya gila),” jawab Rama sesuai perkataan dokter. Ditanya jenisnya apa, Rama tidak tahu.

“Mulai tahun pinten sakit? (Mulai tahun berapa sakit?)” tanya saya.

“Nggih bangsa tahun 2000 (Ya sekitar tahun 2000),” jawab Rama.

“Bada lulus niku? (Setelah lulus itu?)”

REVANGGA TWIN T. | HIMMAH

Tim dokter rumah sakit grhasia sedang memeriksa perkembangan pasien. Dalam proses penyembuhan pasien gangguan jiwa selain menggunkan obat, masyarakat sekitar juga harus diberi pendidikan agar bisa menerima penderita gangguan jiwa.

“Nggih. Lulus kawin terus cerai. (Ya. Lulus kawin terus cerai)” “Tahun pinten niku? (Tahun berapa itu?)”

“Setengah tahun itungan bar lulus. (Hitungannya setengah tahun setelah lulus)” “Sakit niku mergi bar cerai? (Sakit itu karena habis cerai?)”

“Nggih, (Ya)” jelas Rama.

Sesehari Rama lah yang merawat Susanti. Bila banyak pikiran (stresred), Susanti sering membangunkannya tengah malam.

“Sik sok sering kambuh? (Masih sering kambuh?)” tanya kami.

“Nggih nek akeh pikiran, kambuh. (Ya kalau banyak pikiran kambuh)” “Nek kambuh pripun? (Kalau kambuh bagaimana?)”

“Nggih boten iso turu njaluk lungo-lungo mawon. (Ya tidak bisa tidur minta bepergian saja)” “Ngamuk-ngamuk boten? (Mengamuk tidak?)”

57

“La nggih (Ya iya)” “Ngamuk marah-marah niku? (Mengamuk marah-marah begitu?)”

“Mboten, nggih nesu ngoten ra gelem nandang gawe mung arep lungo, ra krasan nang omah, (Tidak, ya marah begitu tidak mau bekerja hanya bisa bepergian, tidak betah di rumah)” jawab Rama.

Sampai sekarang jatah obat gratis dari Puskesmas Kotagede I masih rutin ia ambil. Bila Susanti kambuh, ia yang mengantar ke puskesmas guna ditangani psikolog. Giliran ditanya kunjungan rumah dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Yogyakarta, Rama menegaskan tidak pernah.

AGUS yang sesehari bertugas di Dinkes Kota Yogyakarta Bidang Pelayanan Kesehatan Dasar dan Rujukan menuturkan, pelayanan gangguan jiwa di Kota Yogyakarta ada dua mekanisme, yaitu aktif dan pasif. “Mekanisme pasif keluarga dan pasien datang ke puskesmas. Mengambil obat sepuluh hari sekali di puskesmas. Kalau sudah baik, dia datang sendiri, puskesmas kan punya dokter perawat dan psikolog. Mekanisme aktif yaitu kita mengunjungi ke rumah. Pasien kenapa sudah lama tidak mengambil obat, kita menyadarkan mereka, menyarankan untuk berobat ke puskesmas lagi,” jelas Agus yang kami temui di kediamannya.

“Kalau dia butuh perawatan sampai mondok di rumah sakit, kami sarankan dari puskesmas untuk dibawa ke RSJ Grhasia atau RSJ Soerojo Magelang. Itu gratis dengan jamkesda, asal ada KTP kota,” tambah Agus.

Sementara itu, Kepala Dinkes Sleman Mafilindati Nuraini mengklaim wilayahnya jadi pioner penempatan psikolog di pelayanan dasar, yaitu puskesmas. Linda mencoba menjelaskan, mulai tahun 2004 dinkes Sleman membuat kebijakan satu psikolog mengampu dua puskesmas. Kebijakan ini berdasarkan hasil kajian dinkes bahwa kasus-kasus yang ada di puskesmas sebagian besar adalah gangguan-gangguan psikologis. Dua tahun kemudian sampai sekarang, satu psikolog mengampu satu puskesmas. Klaim Linda ini bisa dibuktikan dengan membandingkan Kabupaten Bantul yang tidak punya psikolog dan psikiater di tingkat puskesmas.

Menurut Linda, kebijakan ini mendapat apresiasi dari berbagai kalangan.

Pun, dari level pelayanan puskesmas, Sleman punya dua puluh lima.

Puskesmas rawat inap berjumlah lima, yaitu Puskesmas Ngemplak 1, Puskesmas Kalasan, Puskesmas Mlati 2, Puskesmas Sleman, dan Puskes-

58

mas Minggir. Status rawat inap sendiri mengacu pada fasilitas tempat tidur minimal sepuluh. Sedang, dua puluh puskesmas lain masih rawat jalan. Masing-masing puskesmas mempunyai program khusus kesehatan jiwa yang dipegang oleh perawat.

Ditambah pula pelatihan tambahan bagi para dokter umum di puskesmas guna meningkatkan kompetensi penanggulangan masalah gangguan jiwa. Jadi, para dokter tersebut berstatus dokter umum bukan dokter ahli kesehatan jiwa.

Bentuk lain pelayanan kesehatan jiwa di Kabupaten Sleman yaitu concelling corner. Pelayanan ini diberikan oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Sleman khusus bagi para pegawai di instansi seluruh Sleman yang berjumlah sekitar tiga belas ribu. Para psikolog dari dinkes juga didatangkan ke BKD untuk memberikan layanan concelling corner.

Penggiliran para psikolog dari dinkes dan puskesmas juga dilakukan untuk memberikan layanan konseling di berbagai instansi. Seperti, badan keluarga berencana, badan pemberdayaan masyarakat, dan badan perlindungan anak.

Pelayanan kesehatan jiwa di Propinsi DIY ada yang mirip satu sama lain, yaitu membentuk Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) yang melibatkan para kader. Para kader ini dilatih oleh puskesmas guna mendeteksi secara dini orang-orang yang berpotensi terkena gangguan jiwa. Usai mendeteksi para kader melapor ke puskesmas guna tindakan lebih lanjut.

Linda membeberkan lebih luas terkait kerjasama Dinkes Sleman dengan RSJ Grhasia mengenai pembentukan DSSJ. Pertama kali DSSJ dicanangkan di Desa Selomartani, Kecamatan Kalasan. Latar belakang pembentukan DSSJ berdasarkan kasus gangguan jiwa yang berakhir dengan bunuh diri yang dialami oleh salah satu anggota keluarga di Kalasan.

Meski agak lupa kapan kasus itu terjadi, Linda menguraikan bahwa dulu kasus itu sudah teridentifikasi serius oleh psikolog. Kunjungan rumah segera dilakukan, tak tahunya orang bersangkutan sudah bunuh diri.

59

M. HANIF A. | HIMMAH

Intinya, DSSJ melatih para kader sebagai kepanjangan tangan para petugas, mengingat jumlah petugas yang terbatas. Para kader ini akan membantu deteksi dini gangguan jiwa serta melakukan edukasi dan sosialisasi. Harapannya adalah jangan sampai ada kasus gangguan jiwa yang berujung pasung bahkan berakhir bunuh diri.

Linda sedikit berkisah. Selain DSSJ, pelatihan kader juga dilakukan pasca erupsi Gunung Merapi 2010. Seluruh aparat baik tingkat kecamatan maupun desa diikutsertakan untuk melakukan deteksi awal gangguan jiwa di masyarakat. Tak luput pula para guru melakukan deteksi awal di sekolah-sekolah. Hasil deteksi para kader ini kemudian dikirim ke puskesmas guna tindakan lebih lanjut. Bila terindikasi gangguan jiwa, bisa melakukan terapi di puskesmas. Segala macam obat tersedia disana. Lalu bila puskesmas sudah tidak berwenang lagi melakukan terapi, maka harus dirujuk ke RSJ Grhasia atau Rumah Sakit Sardjito.

Selain itu, pendampingan psikologis juga dilakukan Dinkes Sleman di pos-pos pengungsian serta hunian-hunian sementara. Banyak bantuan pendampingan psikologis dari akademisi Universitas Islam Indonesia, Universitas Gajah Mada, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Pengecualian berlaku bagi Kota Yogyakarta yang tak mengenal konsep DSSJ, mengingat secara administrasi adalah kotamadya.

Agus mengatakan, di Kota Yogyakarta sendiri disetiap kecamatan bahkan kelurahan sampai Rukun Warga (RW) ada kader jiwa. Satu RW rata-rata tiga kader. Di sisi lain kualitas para kader pun tak sepi dari kritik. Sedangkan untuk daerah Bantul sudah menggunakan perpanjangan tangan melalui kader, tapi dari kader meskipun sudah sering dilatih tetapi belum terlalu peka. “Seharusnya ide-ide untuk melakukan bunuh diri itu sudah harus dicegah dan dihilangkan. Jangan sampai sudah mau melaksanakan bunuh diri baru dicegah. Itu sangat sudah terlambat karena dia akan mencoba melakukannya lagi nanti,� sesal Karmijono, Kepala Seksi Pelayanan dan Rujukan Dinkes Bantul.

Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Arida Oetami menambahkan, pelibatan para kader sebagai antisipasi meningkatnya penderita ganggguan jiwa di tengah kekurangan tenaga kesehatan. “Kader dilatih untuk mendeteksi secara dini, jangan sampai jadi sakit berat. Bila sudah mengalami gangguan jiwa ringan tiba-tiba

61

REVANGGA TWIN T. | HIMMAH

Toto sedang berkunjung ke rumah salah satu pasien gangguan jiwa di daerah Kotagede, Jogjakarta. Toto sebagai kader kesehatan jiwa hampr setiap hari akan bergantian mengunjungi pasien gangguan jiwa untuk memastikan kondisi pasien.

terdeteksi sehingga dia sudah bisa berkonsultasi. Kalau jiwa kan nggak harus dengan obat ya, bisa berkonsultasi ke puskesmas. Nanti bila oleh puskesmas dianggap sakitnya berat lalu dirujuk ke rumah sakit kabupaten. Rumah sakit kabupaten kan sudah ada psikiaternya. Kalau di rumah sakit kabupaten dia tidak bisa menangani karena lebih berat lagi baru dirujuk ke rumah sakit Grhasia. Ngawekani kurangnya jumlah tenaga itu tadi, kita berdayakan kader di masyarakat,� tukasnya.

Kadangkala satu perawat mengampu satu pasien. Bahkan bisa satu perawat menangani sepuluh pasien bila kondisinya sudah tidak ketergantungan bantuan atau sudah mampu beraktivitas. Begitu kata Arida. Menanggapi jumlah psikiater di Propinsi DIY yang cuma 30 orang, Arida menilai mungkin karena minat jadi dokter dan psikiater tidak ada. “Dokter umum aja kita masih kurang kok untuk seluruh Indonesia,� ungkapnya.

Mekanisme pelayanan sudah dijelaskan masing-masing pihak, namun kesehatan jiwa tetap belum masuk prioritas. Seperti di Kabupaten Bantul yang fokus pada kematian ibu dan bayi, balita gizi buruk, serta penyakit menular. “Tidak hanya di Bantul tapi di pusat juga seperti itu. Hal ini yang menyebabkan ketika kita melaporkan untuk permintaan bantu62

an terkait gangguan jiwa tidak begitu mendapatkan respon. Pada 2013 kemarin untuk pelaksanaan tahun 2014 sudah mengajukan pendanaan buat perbaikan pelayanan gangguan jiwa, juga ndak dapet,” tutur Karmijono. Di Kota Yogyakarta pun demikian, “Kesehatan jiwa bukan prioritas.

Yang utama seperti kematian ibu bayi,” tutur Agus.

Begitu pula Kabupaten Sleman, yang secara struktural terdapat seksi kesehatan khusus. Seksi ini menangani kesehatan mulut serta gigi, selain kesehatan jiwa. Seksi ini termasuk eselon IV dalam organisasi tata kerja Dinkes Sleman.

Untuk di Kulon Progo sendiri menurut Suci dari Dinkes Kulon Progo menerangkan, di sana ada tim khusus yaitu Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM). Anggotanya dari lintas sektor, tak cuma dinkes saja. Ada dari Dinas Sosial, Dinas Kesejahteraan Masyarakat, Dinas Pendidikan, serta Kepolisian Resort.

“Tujuan dibuatnya untuk mengatasi permasalahan kesehatan jiwa di kabupaten.”

“TPKJM maksudnya, ada semacam kerjasama atau kalau ada kasus rujukan misalnya si A di desa ini mengamuk nah ini peran lintas sektoralnya. Nanti dari pihak kepolisiannya mengamankan si penderita kemudian dari kesranya mencarikan surat-suratnya, dari kesehatannya memberikan injeksi atau obat penenang,” jelas Suci.

Namun berbeda dengan tingkat kabupaten atau kota, untuk tingkat provinsi kesehatan jiwa kini sudah menjadi prioritas. “Kalau sekarang kita penyakit tidak menular. Termasuk jiwa, kanker, jantung, dan hipertensi. Karena soal penyakit menular masyarakat sudah lebih care,” tutur Arida. *** Sardjito adalah nama rumah sakit milik Propinsi DIY. Jalan Kesehatan membelah rumah sakit ini dengan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada.

Ditemui di ruang kerjanya, Silas Ismanto memperkenalkan diri sebagai Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa yang berada di Kelompok Staf Medis (KSM) Psikiatri Sardjito. KSM ini bertugas menangani masalah kesehatan jiwa. Silas menerangkan, pelayanan kesehatan jiwa di Sardjito meli-

63

puti rawat jalan juga rawat inap. Sebagai rumah sakit kelas A, Sardjito hanya melayani rawat tingkat tiga.

“Jadi pasien yang menggunakan jaminan kesehatan tidak bisa langsung ke Sardjito, tetapi harus ke tingkat 1 (puskesmas-red) dulu. Jika tidak bisa baru di tingkat 2 (rumah sakit umum-red), kalau misal tingkat 2 tidak sanggup, baru dibawa ke Sardjito (tingkat 3-red).”

“Jika tidak menggunakan jaminan kesehatan bisa langsung ke Sardjito,” jelas Silas.

Bila kasus gangguan jiwa masih ringan ditangani puskesmas, bila sudah berat baru bisa ditangani di Sardjito. Adapun tempat tidur jumlahnya 24.

Lebih rinci Silas menjelaskan tahap penanganannya, “Lewat UGD ( untuk pasien yang histeris, teriak-teriak-red), jika pasiennya cukup tenang (kooperatif-red) bisa di poliklinik. Selain obat, penanganannya itu dengan terapi kejang listrik, yang ketiga dengan psikoterapi. Terapi kejang listrik ini diberikan untuk pasien dengan depresi berat. Lebih cepet daripada dengan obat. Dilihat kondisi pasien dulu, jika masih kooperatif tidak akan diberi kejut listrik.”

RSJ Grhasia terletak di Jalan Kaliurang Km. 17, Pakem, Sleman. Grhasia merupakan rumah sakit khusus jiwa kelas A milik Propinsi DIY. Di sini kapasitas rawat inap berjumlah 210 tempat tidur. Malahan, menurut dinkes provinsi, akan ditambah jadi 350.

Tahap penanganan Grhasia sedikit berbeda dengan Sardjito. Instalasi Gawat Darurat (IGD) menangani pasien gangguan jiwa berat yang disertai kondisi gaduh dan gelisah. Bila ada indikasi rawat inap yang dinyatakan oleh dokter, maka dari IGD akan dibawa ke Instalasi Rawat Inap (IRI). Pasien akan mendapat perawatan kurang lebih seminggu di IRI, kemudian dibawa ke bangsal tenang. Sedangkan untuk penanganan di klinik jiwa untuk pasien dengan keluhan gangguan jiwa ringan. Bisa juga pasien gangguan jiwa berat tetap di klinik jika selama ia tidak gaduh dan gelisah. Klinik jiwa ini bersifat rawat jalan.

Grhasia sudah bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Jaminan ini terdiri dua jenis, yaitu Penerima Biaya Iur (PBI) dan non-PBI. “Yang non-PBI ini BPJS mandiri. Mereka punya kelaskelasnya. Jamkesos untuk masyarakat miskin yang tidak tercover BPJS

64

atau jamkesmas. Yang tidak tercover jamkesos, sama jamkesda,” terang Tuti Handayu, Kepala Subbid Data dan Informasi Media Grhasia.

Grhasia punya beberapa syarat agar pasien lolos sebagai peserta BPJS. Pertama, harus bawa surat rujukan yang bisa diperoleh di fasilitas kesehatan primer meliputi klinik, dokter keluarga, dan puskesmas.

Dengan catatan, surat rujukan yang sifatnya jiwa. Kedua, persyaratan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Syarat KTP diberlakukan bagi penanggung jawab dan peserta (pasien). Penanggung jawab adalah seseorang yang nantinya diajak koordinasi oleh Grhasia.

Diutamakan berdomisili di Yogyakarta. Ketiga, harus punya kartu BPJS. Keempat, syarat Surat Egibilitas Peserta (SEP) yang diperoleh saat datang ke Grhasia. Surat ini semacam verifikasi data. “Kalau persyaratan tidak memenuhi kita terpaksa menolak,” tukas Tuti.

“Terkait pembinaan pasien pasca pengobatan, kalau yang nggak punya keluarga ditempatkan di Panti Sosial Bina Karya sama Panti Sosial Karya Wanita,” jelas Tuti. Pantauan dokter pun tetap dilakukan selama pemberdayaan di panti. “Dia (dokter-red) tetap mengadakan kunjungan, 3 hari sekali apa ya,” tegas Setyarini Hesti Lestari, Kepala Bagian Program Kesehatan Dinkes Propinsi DIY.

*** Di usia yang makin tua, Rama memilih sering beraktivitas di rumah. Pekerjaannya sebagai loper salah satu koran sudah lama ia tinggalkan. Dan, Susanti adalah suka-dukanya.

“Kedah sabar mawon, mboten diujo terus. sewengi dudakan raiso turu, pengen lungo yo dijagani ojo nganti lungo (Dirasakan dengan sabar saja. Jangan mengeluh terus. Semalaman tidak bisa tidur. Mau pergi ya dijaga biar jangan sampai pergi).” q

65

Prasangka Tak Akan Cerahkan Jiwa “Mereka tak hanya butuh makan dan minum, tetapi juga rangkulan dari masyarakat.”

Oleh: Hasinadara P.

BALONKU ada lima rupa-rupa warnanya.” Slamet mulai bersenandung lirih di depan puluhan orang. Mereka bernasib sama seperti Slamet. Orangorang tersebut adalah para penderita gangguan jiwa yang tinggal di Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Setiap pukul 08.00 WIB, mereka berkumpul di tengah lapangan konblok berukuran 15 x 10 meter. Seorang pendamping tampak membimbing mereka untuk bergantian bernyanyi satu per satu.

PSBK merupakan panti rehabilitasi sosial untuk gelandangan, pengemis, dan eks penderita gangguan jiwa. Panti yang terletak di Tegalrejo, Yogyakarta ini kini menampung sebanyak 50 eks penderita gangguan jiwa (psikotik). Para psikotik ini merupakan orang-orang yang telah menjalani pengobatan, sehingga kondisi kejiwaan mereka bisa dikatakan baik.

“Di sini kita latih mereka agar mampu mandiri. Apabila mereka mampu kembali bekerja, itu sudah bagus sekali,” papar Ari Winarto, salah satu pekerja sosial (peksos) PSBK DIY. Setiap hari ada kegiatan yang dilakukan para eks psikotik. Mereka melakukan aktivitas seperti kerajinan tangan, memasak, senam bersama, menyanyi bersama, dan lain-lain. Para penghuni panti ini tak berada di panti selamanya. Apabila keluarga mereka masih terlacak, mereka akan dikembalikan ke keluarganya untuk beberapa saat. Ari pun berkata, “Kalau sudah baik mereka bisa pulang dulu, tilik (menengok-red) keluarga.

Jadi dilatih sosialisasi dengan keluarga.” Menurutnya, bila seorang psikotik tidak menjalani rehabilitasi sosial setelah menjalani perawatan di rumah sakit, maka bisa kambuh kembali.

REVANGGA TWIN T. | HIMMAH

Sertifikasi ISO menuntut fasilitas dan layanan pada rumah sakit, termasuk rumah sakit jiwa. Setiap tahunya RSJ Grhasia menyiapkan anggaran untuk menam bah ruang perawatan dan fasilitas.

Rehabilitasi sosial merupakan salah satu cara agar eks psikotik bisa kembali seperti sediakala, meskipun tak 100 persen kejiwaan mereka pulih. Menurut pengalaman Ari yang sering bersinggungan dengan mereka, ada eks psikotik yang mampu mandiri dan bekerja. “Ada beberapa dari mereka setelah dari sini bisa bekerja sebagai tukang sablon, nyetak (mencetak-red) foto, dan lainnya,� tutur Ari. Panti rehabilitasi menjadi sebuah pijakan bagi para eks penderita gangguan jiwa kembali ke masyarakat. Seperti halnya Tutik, 35 tahun, seorang eks psikotik yang kini telah kembali ke rumah. Ia tinggal di se buah rumah bercat kuning bersama sang ayah, Daelami, di Ngeksigondo, Kotagede, Yogyakarta. Selain ayah, seorang kakak lelaki, Zainal, yang tinggal tak jauh dari rumah itu, selalu menemani Tutik dan ayahnya.

Tahun 2000, Tutik baru saja menyelesaikan pendidikan Diploma 2 (D2). Tak lama setelah itu, ia harus kehilangan seorang ibu. Menurut Daelami, sang ibu meninggal karena angin duduk atau bisa disebut dengan 67

serangan jantung mendadak. Namun hidup harus terus berjalan. Enam bulan berlalu, ia pun menikah dengan seorang pria asal Minggir, Sleman.

Sayangnya, pernikahan mereka hanya seumur jagung. Belum genap setahun, Tutik dan suaminya bercerai. Sejak saat itulah wanita berkulit sawo matang ini mulai menampakkan tanda-tanda gangguan kejiwaan.

Tutik mulai sering mudah marah, sulit tidur saat malam hari, dan tak betah di rumah. Puncaknya, ia pergi dari rumah berhari-hari, berjalan tak tentu arah. Beruntung, ia ditemukan petugas satpol PP sehingga keluarga bisa mengambilnya kembali. Mengetahui kondisi kejiwaan Tutik semakin tak stabil, keluarganya pun membawanya ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sardjito.

Tutik menjalani perawatan di Sardjito selama dua bulan. Tampak membaik, ia kembali pulang ke rumahnya. Namun entah karena sebab apa, ia masih mengalami sulit tidur pada malam hari dan membangunkan sang ayah. “Nek pas kambuh nangike kulo tengah bengi, jarene ‘wediwedi’ ngoten (Kalau pas kambuh, saya dibangunkan ketika tengah malam.

Ia mengatakan ‘takut-takut’ begitu),” cerita Daelami. Bila sudah begitu, bisa saja tiba-tiba Tutik pergi tanpa sepengetahuan orang rumah.

Pernah suatu kali Tutik berjalan sampai Magelang. Kemudian, saat ada razia dinas sosial setempat, ia ikut terjaring dan dimasukan ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof. Dr. Soerojo, Magelang. Ia lantas mondok di sana selama sebulan. Setelah keadaannya mulai membaik, ia dipindahkan ke Panti Karya Kota Yogyakarta untuk menjalani rehabilitasi sosial selama dua bulan.

Keadaan Tutik berangsur-angsur membaik. Ia jarang kambuh dan lebih banyak di rumah. Ketika kami menemuinya beberapa waktu lalu, ia tampak begitu ceria menyambut kedatangan kami dan Toto Sudiyatno, seorang peksos Dinas Sosial (Dinsos) DIY. Kini, sehari-hari ia mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti menyapu dan mencuci piring. Ia juga gemar membaca koran.

Anak bungsu dari tujuh bersaudara ini sadar betul akan kondisi kejiwaannya. Ia pun sempat bercerita, sebulan yang lalu ia terjaring razia.

“Saya diciduk (dijaring-red), diborgol, lalu dibawa ke Grhasia. Soalnya saya ngamuk nang dalan (mengamuk di jalan-red),” ucapnya lugu sambil terkekeh kecil.

68

Selain berkegiatan di rumah, Tutik sesekali turut serta dalam pengajian di Masjid Pondok Pesantren Nurul Ummah. Dia juga mahir membaca ayat Al Qur’an sejak kecil, sehingga kini ia terkadang mengajar mengaji anak-anak di masjid dekat rumahnya.

Dengan kegiatan-kegiatan tersebut, Tutik menjadi jarang kambuh.

Ia juga tetap mengonsumsi obat serta memeriksakan diri ke dokter setiap dua minggu sekali. Selain itu, penerimaan dari warga sekitar juga membantunya tak kambuh. Zainal pun bercerita,“Ya sudah pada maklum keadaan Tutik seperti itu. Kene sedulur kabeh (Sini saudara semua-red).”

Nasib berbeda dialami Win, 43 tahun. Pria ini mengalami gangguan jiwa semenjak pulang dari perantauan. Sejak Sekolah Menengah Atas (SMA), ia sudah merantau ke Jember, Jawa Timur, mengikuti sang ayah.

Kemudian setelah lulus SMA, ia merantau ke Samarinda, Kalimantan Tengah, untuk bekerja.

Setelah bekerja empat tahun di Samarinda, Win kembali. Namun sayangnya ia tak langsung kembali ke rumah. Dinsos Kota Surakarta menemukannya sedang berjalan dengan keadaan yang compang-camping. Lalu ia pun dirujuk ke RSJ Soerojo untuk menjalani pengobatan.

Win dirawat di Soerojo selama dua bulan. Kemudian setelah dirasa cukup membaik, ia dikirim ke Panti Sosial Bina Laras (PSBL) Sukabumi untuk menjalani rehabilitasi sosial. Di tempat tersebut, ia menjalani berbagai kegiatan dan pelatihan. Salah satunya, ia diajari untuk merawat tanaman hias sebagai bekal bekerja selepas dari panti tersebut.

Win selesai menjalani rehabilitasi selama dua tahun. Tahun 2013, ia kembali ke Yogyakarta menemui sang ibu di Purbayan, Kotagede. Putra sulung dari dua bersaudara ini kini lebih sering di rumah. Adiknya, Tanti, telah berumah tangga dan tak lagi tinggal bersama kakak dan ibunya.

Sedangkan ayahnya sudah berpisah dengan ibunya sejak Win berumur enam tahun dan Tanti berusia dua tahun.

Selepas dari PSBL, Win masih sering kambuh. Beberapa kali ia masuk RSJ Grhasia untuk menjalani pengobatan. “Dia juga kadang pulang sendiri dari rumah sakit, belum habis masa rawat inapnya. Katanya panas dan nggak krasan (betah-red) di sana,” ujar Tanti. Adik satu-satunya Win kini lebih sering berada di rumah untuk menjaga Win bila terjadi kekambuhan.

Sembari menjaga kakaknya, ia juga menunggu anak-anaknya yang sedang

69

sekolah. Sedangkan ibu pergi ke Pasar Kotagede dari pagi hingga menjelang ashar untuk mencari nafkah sebagai penjahit permak jeans.

Bila Win mengalami kekambuhan, ia bisa merusak barang-barang di sekitarnya. Selain itu, ia juga dapat pergi dari rumah selama beberapa hari. Tanti terkadang takut bila sang kakak sedang kambuh. “Dia kadang jalan-jalan keluar rumah. Malam hari baru pulang. Kadang di kamar mandi lama,” cerita Tanti.

Akhir-akhir ini, keadaan Win mulai membaik. Meski masih kambuh, namun tak sesering dulu ketika belum menjalani rehabilitasi. Tanti mengatakan bahwa kini kakaknya sudah mau menyapu dan menyuci baju sendiri. Win juga rutin menjalani kontrol ke Soerojo tiap sebulan sekali dengan diantar suami Tanti.

Kehidupan Win lebih banyak dihabiskan di rumah. Tetangga sekitar cenderung tidak peduli dengan keadaannya. Tanti berkata, “Sekarang di sini solidaritasnya kurang. Dulu teman Mas Win ada yang ngajak (mengajak-red) kumpul di cakruk (gardu-red) atau masjid. Sekarang temannya itu sudah pindah rumah.” Terkadang pula bila Win sedang kambuh, ada saja tetangga yang komplain ke Tanti atau ibunya.

Kisah di atas merupakan gambaran bahwa orang dengan gangguan jiwa akan selalu terkena stigma dari masyarakat. Keluarga terkadang merasa malu memiliki anggota yang terkena gangguan jiwa. Menurut Arida Oetami, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi DIY, menyadarkan masyarakat akan gangguan jiwa ini justru yang paling susah. “Masyarakat diberi penyuluhan sekali dua kali tidak cukup. Mereka akan bilang, ‘Anda tidak pernah merasakan seperti saya, bagaimana malunya saya, diejek, dikucilkan oleh lingkungan saya’.” ujar Arida seolah mengisahkan pengalamannya.

Arida yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Grhasia bercerita bahwa sekitar tahun 2011, saat mendekati hari raya idul fitri, rumah sakit tersebut penuh Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dibanding hari-hari lainnya. “Karena mereka tidak ingin diketahui bila salah satu anggota keluarganya ada yang terkena gangguan jiwa, sehingga ditaruh di rumah sakit,” tuturnya.

Menurut Sulasmi, psikiater di Grhasia, stigma akan orang gangguan jiwa masih dirasa berat. Maka dari itu, seorang penderita harus dimotiva-

70

AHMAD TAUPIK B. | HIMMAH

si agar tidak minder serta diberi banyak aktivitas di samping pengobatan. “Masyarakat sekitar juga harus diberi pendidikan agar bisa menerima penderita gangguan jiwa,” imbuhnya.

Stigma tersebut akan tetap ada walaupun dewasa ini sudah mulai berkurang. Menurut Psikiater yang telah bekerja selama 17 tahun ini, masyarakat sudah mulai sadar bahwa gangguan jiwa bukan suatu kutukan. “Mereka sebenarnya mengerti namun masih malu,” ucap Lasmi. Hal seperti itu kemudian ditangani dengan penyuluhan kesehatan jiwa kepada masyarakat agar stigma ini semakin berkurang.q Catatan: Untuk menjaga privasi penderita gangguan jiwa serta keluarga yang bersangkutan, nama mereka dalam tulisan ini disamarkan.

71

Mantan Ketua Panja RUU Kesehatan Jiwa, Nova Riyanti Yusuf:

“Kita Telat Banget Soal Undang-undang Kesehatan Jiwa” Oleh Moch. Ari Nasichuddin

Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Jiwa (Keswa) akhirnya di-sahkan menja di UU oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Selasa, 8 Juli 2014. Pengesahan ini tentu setelah mengalami proses lama dan cukup berbelit-belit.

Banyak kisah dan kendala dalam penyusunan UU yang notabene sudah pernah ada pada masa pemerintahan Presiden Sukarno ini.

Pada Selasa 10 Juni 2014, reporter HIMMAH Irwan A. Syambudi berhasil menemui Nova Riyanti Yusuf, selaku Ketua Panitia Kerja RUU Keswa di daerah Pondok Indah, Jakarta. Politisi yang biasa dipanggil Noriyu ini mengaku mesti “berpeluh keringat” seorang diri untuk sekadar menggolkan RUU tersebut menjadi Program Legislasi Nasional (Prolenas) 2014.

Kenapa harus ada UndangUndang (UU) khusus kesehatan

jiwa, apakah UU Kesehatan yang ada tidak mengakomodir?

Secara historis, UU Keswa pernah ada pada tahun 1966 dan ditandatangani oleh Bung Karno.

UU itu sepertinya tidak kekal. Tapi meng-cover luar biasa. Mulai dari pelayanan, sampai pemenuhan hak asasi seorang penderita ganguan jiwa, seperti warisan.

Ketika memasuki orde baru, UU Keswa ini dimasukan dalam aspek UU yang menjelaskan tentang kesehatan jiwa yaitu UU Kesehatan No. 23 tahun 1992.

Paling baru sekarang UU Kesehatan No. 36 tahun 2009. Dari UU tahun 1992 sampai 2009 tidak ditindak lanjuti dengan peraturan pelaksana. UU ini kan hanya payung hukum nanti menteri terkait langsung mengeluarkan Peraturan Menteri. Nah, peraturan menteri ini tidak ada sama sekali.

72

ABDURAHMAN AL-ASYKARI | HIMMAH

73

Secara urgensi, yang diatur dalam UU Kesehatan itu hanya pelayanan kesehatannya. Kemudian, fasilitas yang disediakan tidak siap.

Pertama, fasilitasnya sendiri tidak ada. Rumah Sakit Jiwa (RSJ) itu hanya layanan tersier.

Pelayanan kesehatan itu ada primer, sekunder, dan tersier. Pelayanan kesehatan sekunder yaitu Rumah Sakit Umum Pemerintah (RSUP), Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), dan rumah sakit yang mempunyai poliklinik rawat inap jiwa. Kemudian yang primer itu puskesmas bagi masyarakat.

Dalam konteks ini tidak semua provinsi punya RSJ. Tidak semua RSUP punya poliklinik jiwa apalagi rawat inap. Tidak punya darurat psikiatrinya di UGD. Apalagi puskesmas, ada sekitar 9000 puskesmas di Indonesia itu hanya 1000 yang memberikan pelayanan kesehatan jiwa. Padahal di papan keterangan puskesmas, menyebutkan bahwa salah satu pelayanan yang harus diberikan oleh puskesmas adalah kesehatan jiwa.

Bila berbicara tentang sumber daya keswa di Indonesia itu hanya 600. Okelah, belum tentu jumlah masyarakat Indonesia 245 juta jiwa itu gangguan jiwa, tergantung konteksnya. Kita ini rentan

bencana, salah satunya Yogyakarta. Saya pernah punya program di Yogyakarta waktu letusan Gunung Merapi, bisa dilihat di website saya.

Tujuan program ini yaitu melatih kader lokal untuk memahami institusi kesehatan jiwa. Karena mereka tidak paham. Padahal kader lokal yang bisa membantu. Daripada semua mendapatkan ahlinya dari luar negeri akan ada kendala. Salah satunya bahasa, dua terkendala budaya, nilai-nilai lokal mereka belum tentu paham.

Saya pun berinisiatif untuk membuat program itu. Saya tarik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Dinas Kesehatan. BNPB saya kasih proposal mereka keluarkan sekitar Rp 600 juta dan saya tidak pernah pegang, langsung saya kasihkan ke Dinas Kesehatan. Mereka langsung kelola, itu prinsipnya. Itu yang harusnya politisi-politisi itu lakukan.

Tapi tidak banyak yang kongkrit turun. Nah, itu dari segi sumber daya manusia. Memang kurang, tapi bisa dilatih. Lima ratus orang dilatih, prinsip-prinsipnya sesuai kebutuhan. Itu yang tidak diatur dalam UU kesehatan.

Masalah pemasungan juga kita singgung di UU kita (UU Keswared), bahwa sebenarnya pemasung-

74

an itu tidak diperbolehkan. Jadi, UU kita juga mengatur pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan hukum, kepentingan kesehatan pejabat publik, kepentingan kesehatan profesi-profesi yang kemungkinan ada kesulitan di dalam proses mereka bekerja. Jadi luas sekali bahasannya, tak mungkin UU kesehatan sanggup mencangkup itu semua.

Saya pernah ke Jepang, diundang oleh pemerintah sana. Saya mau diundang tapi dengan satu syarat, saya ingin melihat fasilitas rumah sakit jiwa juga. Akhirnya saya diajak mereka ke RSJ. Jadi, RSJ di sana ternyata mempunyai unit khusus untuk mereka yang membunuh, memperkosa, membakar, karena ada gangguan jiwa. Mereka tetap punya ruang kesehatan jiwa tapi hukumannya seperti penjara.

Misal, ada pelaku sodomi dimasukan ke penjara, bisa saja yang satu sel dengan pelaku terkena tindakan sodomi. Kalau ditaruh di bangsal jiwa, karena dia kena gangguan jiwa ya tambah sakit jiwa karena di sana ketakutan.

Jadi jalan tengahnya yaitu bangsal untuk penderita sakit jiwa yang pernah melakukan kekerasan dan mengganggu orang lain. Terlalu luas memang RUU ini. Kalau di Je-

75

pang, khusus ini, UU-nya sendiri.

Kalau di Jepang, udah jauh banget perkembangan UU Keswa-nya. Di Amerika, UU Keswa untuk anak sekolah lagi digarap sama mereka.

UU Keswa khusus pendirian pusat penelitian kesehatan jiwa saja sudah ada sejak jamannnya John F. Kennedy. Nah kita ini telat banget.

Sebenarnya apa faktor utama penyebab gangguan jiwa di Indonesia?

Paling mudah kita bicara teoritis. Ada istilahnya biologis, psikologis, dan sosial. Ketiga hal itu yang menyebabkan gangguan jiwa.

Biologis itu, entah ada kelainan di otak, trauma, kondisi fisik atau kondisi medis umum yang menimbulkan gangguan jiwa. Secara faktor psikologis, itu macam-macam, tapi utamanya terbentuk dari pola asuh. Ciri kepribadian seseorang terbentuk ketika menginjak usia 18 tahun. Sedangkan faktor sosial bisa bermacam-macam, bisa karena tingkat ekonomi, bencana alam, dan lainnya. Tidak mudah orang itu bisa terkena gangguan jiwa. Ketiga aspek itu harus secara bersamaan mempengaruhi.

Media itu juga punya peran.

Ketika media sering memperlihatkan pembunuhan, pembacokan itu punya dampak juga. Itu sangat ber-

bahaya. Mereka bisa merusak dan mempengaruhi.

Di dalam UU Kesehatan di bab Kesehatan Jiwa, salah satu pasal menyebutkan begini: “Ketentuan lebih lanjut dalam upaya kesehatan jiwa, diatur dalam peraturan pemerintah.� Maksud pemerintah di sini pemerintah daerah atau pemerintah pusat?

Spesifik, pemerintah pusat juga pemerintah daerah. Menteri artinya bukan menteri kesehatan saja. Menteri terkait seperti Kementrian Sosial. Itu tidak mau, siapa yang mau bekerja seperti itu, makanya kayak ditemukan kasus pasung sebanyak 50 ribu orang.

Hukum itu harus jelas.

Jadi syarat ketidakjelasan ya?

Iya, jangan pakai pasal karet (pasal yang multitafsir-red). Lari semua.

Selama ini apa hambatan terbesar dalam merancang UU Keswa?

Salah satu hambatannya ialah kita kerja kayak di akuarium, ada teman-teman yang tidak disorot media tidak kerja. Baru kemarin saya memimpin sidang komisi 2 hari baru selesai. Saya mau Agustus RUU disahkan karena September saya udah tidak jadi DPR.

Kalau saya tidak masuk DPR tahun 2009 ya, Direktorat Kesehatan Jiwa mau dibubarin. Padahal levelnya cuma eselon III. Kalau saya tidak masuk 2009, bisa tidak ada ceritanya RUU kesehatan jiwa.

Setelah masuk Alhamdulillah kan, ternyata perjuangan masih panjang.

Jadi setiap periode baru DPR, ada Program Legislasi Nasional (Proglenas) 5 tahun langsung. Yang membuat saya agak pusing, ternyata kalau Prolegnas harus prioritas.

Saya buat naskah akademik 4 bulan. 30 orang ahli saya kumpulin, ini di luar DPR, saya kerja sendiri. Ketika sudah masuk Prolegnas, untuk bisa menjadi prioritas ternyata PRnya masih panjang. Butuh banyak pembahasan. Salah satunya mesti bikin naskah akademik. Untung 30 orang ini mau tidak dibayar.

Setelah naskah akademik jadi segera saya serahkan ke DPR. Tetapi kita mengalami kesulitan tampaknya mesti memakai legal drafter. Legal drafter itu mengawasi agar naskah akademik sesuai dengan perundang-undangan hukum. Akhirnya saya panggil ahli hukum, dan mereka minta bayaran Rp 200 juta, tetapi setelah proses nego saya bisa bayar Rp 50 juta saja. Selain itu saya juga harus mengeluarkan Rp 300 juta untuk pe-

76

nasihat hukum yang bisa memastikan naskah akademik sesuai dan untuk bayar legal drafter.

Bayangin, tenaga sudah habis, uang banyak keluar, orang sudah banyak yang saya libatkan. Saya masukan ke badan legislasi, ternyata mereka merasa belum menerima. Padahal saya sudah menyerahkan ke badan tersebut sebanyak empat kali.

Jadi sudah diserahkan tapi mereka bilang belum menerima?

Belum.

Dengan alasan?

Ya tidak terima. Itu dulu 2011.

Karena saya ingin memprioritaskan pada 2012. Empat kali baru mereka terima.

Alasannya empat kali?

Ya nggak ada.

Jadi itu tadi, tahun 2010 baru diterima Badan Legislasi (Baleg).

Setelah diterima Baleg, pada saat masuk paripurna, RUU kesehatan jiwa tidak masuk prioritas. 2012 belum masuk.

Pertengahan 2012, diajuin lagi.

Alhamdulillah pas pertengahan 2012 itu berhasil. Dan Alhamdulillah juga, saya diangkat menjadi Wakil Ketua Komisi IX. Semua itu terjadi dengan sendirinya. Saya n 足 ggak pernah bermimpi jadi pimpinan tiba-tiba dapat kepercayaan itu.

77

RUU saat ini persentasenya 80%, periode hampir selesai, semisal tidak terlahir sebagai UU, bagaimana?

Tidak akan pernah terjadi.

Jadi pertaruhannya sekarang saya akan berjuang mati-matian mau deal sama siapa. Beneran deh. Harus sekarang.

Anggaran kesehatan Indonesia tahun ini sebesar 3,8 persen. Sedangkan WHO menganggarkan sekitar 5 persen. Kesehatan jiwa tidak sampai 1 persen dari anggaran kesehatan.

Menurut Anda bagaimana?

UU Kesehatan itu perlu diingat. Kementrian Kesehatan itu tidak sendiri. Kalau bicara kesehatan itu ada badan-badan. Ada Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan lain-lain. Jadi anggaran kesehatan harus dijumlah, dari BPOM dan BKKBN. Tapi, tetap belum sampai 5 persen.

Kalau bicara dana kesehatan harus dijumlahkan dengan BPOM dan BKKBN. Tapi gini, kesehatan jiwa itu minimal 5 persen, dari total anggaran kesehatan. Saat ini baru 1 persen. Ada satu hal yang mengecewakan. Aspek kesehatan jiwa itu sangat luas.

Salah satunya ketika saya menjadi salah satu tim Badan Narkotika Nasional (BNN). Suatu ketika saya pernah diajak BNN ke Portugal untuk kumpul LSM. Ada satu progres yang memalukan, anggaran untuk Instansi Penerima Wajib Lapor (IPWL) anggarannya besar sekali.

Kita sepakati di Komisi IX, itu sekitar Rp18 Milyar. Akan tetapi ternyata dana sebesar itu tak terpakai secara maksimal. Sekarang kita (Komisi IX-red) anggarkan sekitar Rp 7 Milyar. Artinya, saya mendukung anggaran kesehatan jiwa itu 5 persen asal terserap oleh masyarakat. Jadi dengan adanya UU ini (UU Keswa-red), masing-masing ada posnya. Kalau sistemnya jelas, enak kan ngeluarin uangnya. Sekarang kan nggak jelas.

Kalau di daerah, alasan tidak berjalannya program terkait penanganan gangguan jiwa karena masalah dana. Bagaimana tanggapan Anda?

Alasan itu merupakan alibi yang paling enak. Penyakit itu di Indonesia. Kalau menurut saya masalahnya bukan karena ekonomi daerah itu. Karena ekonomi daerah kayaknya tidak apa-apa deh. Mungkin pemerintah daerah lebih paham masalah di daerah seperti apa dan dia tahu kearifan lokal, dia tahu

kualitas masyarakatnya. Harusnya mereka tahulah ini biangnya.

Kalau masalah fasilitas khususnya tentang kesehatan jiwa, Indonesia itu cenderung satu perawat untuk kesehatan jiwa 1 orang banding 10. Padahal idealnya 1 banding 4. Sekarang rumah sakit pun demikian. Kalau Anda tadi bilang setiap provinsi itu tidak semua ada rumah sakit jiwa, apalagi di rumah sakit swasta, mereka belum mendirikan poli jiwa karena tidak ada faktor daya tarik masyarakat.

Itu persepektif orang swasta kenapa belum masuk ke arah sana.

Bagaimana tangapan Anda ketika dihadapkan permasalahan seperti ini?

Kalau fasilitas sosial pasti banyak yang kurang. Harusnya pemerintah siap di setiap lini sistem rujukan berjalan, karena kalau fasilitas masyarakat pun bisa bangun.

Mestinya pemerintah lebih melatih kader-kader lokal.

Jauh tidak jika kita ingin menuju kesana dengan kondisi masyarakat seperti ini?

Saya yakin pada waktunya bisa. Masyarakat kita susah. Masyarakat yang tidak aware dengan kondisi yang ada. Saya melihat masyarakat kita bisa untuk bergerak,

78

memang berangkat dari mental.

Mereka sudah bergerak cuma butuh guide. Butuh waktu yang tidak sebentar, harus reformasi karakter, perubahan paradigma, masyarakat kita masih paradigma sakit, bagaimana caranya lingkungan bisa merawat pasien.

Untuk jiwa saya juga tidak ingin seperti ini terus. Pasung yang tercatat cuma sekian, padahal yang dipasung 50 ribu, orang dengan gangguan jiwa hanya 10 persen yang berangkat ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes).

Yang lain kemana? Entah tidak ada fasilitas, entah tidak tahu fasilitas.

Tapi ini semua artinya konsep sakit. Mereka sakit dan belum tertangani. Mereka sakit makanya mereka perlu dipasung.

UU Keswa ini akan menggalakkan juga promotif. Preventif,

79

pencegahan gangguan jiwa, peningkatan derajat kesehatan jiwa, baik melalui pemahaman, melalui informasi, pendidikan dan lainlain. Kalau sudah begitu, tidak usah banyak-banyak psikiater, perawat jiwa. Karena paradigmanya sehat, baik psikis maupun jiwa. Paradigma sehat itu harus mulai terus termasuk kesehatan jiwa. Jadi jangan paradigma sakit, tapi paradigma sehat.

Setelah tidak menjadi anggota DPR, bagaimana Anda memperjuangkan masalah keswa?

Meski sudah tidak menjadi anggota DPR, saya akan tetap memperjuangkan masalah keswa.

Saya akan kembali ke teman-teman saya yang turut memperjuangkan masalah keswaa\. Karena untuk memperjuangkan masalah ini banyak jalannya.q

Sang Beras Tumpah Sebuah keluarga harus merawat anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa selama 22 tahun. Tiga tahun terakhir, ia dipasung karena keluarganya tidak lagi sanggup merawat.

Oleh Irwan A. Syambudi

PADA bulan Maret 2014, dua orang pria dan satu wanita paruh baya mendatangi kediaman Sanijah. Mereka adalah petugas Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grhasia. Tujuan mereka berkunjung adalah menjemput penghuni bangunan yang berada di kebun belakang rumah Sanijah.

Kini, bangunan semi permanen seluas dua kali satu setengah meter dengan dinding kayu yang berongga, beratap viber, dan beralaskan tanah itu tidak lagi berpenghuni. Sanijah tidak tega melihat anak perempuannya tinggal di bangunan itu. Kini, perasaannya sedikit lega setelah anak perempuannya mendapatkan perawatan yang lebih layak.

Keluarganya sudah hampir menyerah merawat dan membawanya berobat ke rumah sakit. Sepulang dari mendapatkan perawatan di rumah sakit, kondisinya pasti kembali tidak stabil. Ia sering berbicara sendiri dan pergi berhari-hari tanpa pamit, hingga seringkali Sanijah panik, kemudian mencarinya ke desa-desa sekitar.

Suatu ketika, sepulang mendapatkan perawatan rumah sakit yang pertama pada tahun 1992, ia pergi sampai ke Desa Guwokiskendo yang jarak dari rumahnya sama jika ingin pergi ke Yogyakarta. Berkali-kali pergi, tapi ia dapat kembali ke rumah. Ingatannya masih utuh jika ditanya alamat rumah. Itu yang membuat Sanijah kerapkali dihubungi orang dari desa lain karena mendapatkan laporan dari warga.

Merasa tidak mendapatkan hasil apapun, Sanijah kemudian membawa anaknya ke paranormal di daerah Gamping, Yogyakarta. Di sana, Sanijah disarankan untuk menikahkan anak perempuannya itu dengan harapan jika nanti memiliki suami dan anak, sikapnya dapat berubah karena memiliki tanggung jawab terhadap keluarganya.

Warsih, begitu anak perempuan Sanijah itu sering dipanggil. Umurnya 32 tahun. Ia mempunyai perawakan yang putih bersih dan langsing dengan tinggi sekitar 165 sentimeter. Dengan bentuk fisiknya yang seperti itu, mudah saja jika ingin menarik perhatian pria. Sesaat setelah mendapatkan anjuran dari paranormal tersebut, Sanijah didatangi seorang pria perantauan asal Pulau Sumatera. Paijan namanya.

Harapan akan mendatangkan kesembuhan, Sanijah lantas menikahkan anaknya dengan Paijan. Namun, lagi-lagi harapan itu sia-sia. Berkalikali Warsih malah sering keluar masuk rumah sakit karena kondisinya yang tidak stabil. Begitu pun dengan Paijan yang tak memiliki pekerjaan tetap. Bekerja serabutan sebagai buruh tani sampai tukang batu ia lakoni.

Setelah menikah, Warsih diajak Paijan untuk tinggal bersama di sebuah gubug, bangunan semi permanen yang didirikan Paijan di atas lahan garapannya. Ia memang telah dipercaya seseorang untuk menggarap lahan yang ditanami jagung.

Setelah kurang lebih dua tahun pasangan suami istri itu tinggal bersama, mereka tinggal satu atap bersama Sanijah karena pemilik lahan meminta mereka pergi dari gubug itu. Entah sebab apa yang tak Sanijah ketahui, tiba-tiba Paijan pergi meninggalkan Warsih. Sanijah menilai Paijan juga memiliki ganguan jiwa karena sikapnya yang labil, sering marah, dan memukuli Warsih. Penilaian itu memang tidak berdasar pada bukti medis tentang kondisi kejiwaan Paijan, tapi Sanijah meyakini demikian.

Ijazah pendidikan terakhir yang ditempuh Warsih masih tersimpan rapi oleh Sanijah. Tertulis, Warsih menamatkan pendidikannya pada tahun 1991 di SMP Muhammadiyah Sermo. Prestasi di mata pelajaran Bahasa Inggris dan Matematika memang tak mentereng karena hanya mendapatkan nilai 5. Namun, mata pelajaran lain rata-rata mendapatkan nilai 7 dan 8. Foto di ijazahnya tergambar Warsih yang memiliki rambut sebahu dengan sorot mata yang malu-malu.

Warsih mulai memiliki gejala-gejala gangguan jiwa setelah lulus SMP. Seperti yang dikisahkan Sanijah, saat pulang dari rumah saudaranya di Bandung, ia mengajak Warsih untuk membantu tetangga yang memiliki hajatan pernikahan. Di keramaian hajatan itu, Warsih nampak bingung.

Bahkan, selang beberapa waktu kemudian ia jatuh pingsan.

Warsih remaja adalah gadis yang pemalu. Sama dengan gadis remaja lain, ia pernah menjalin hubungan dengan teman sekolahnya. Hubung81

REVANGGA TWIN T. | HIMMAH

Sanijah mengunjungi bekas tempat pemasungan Warsih selama 3 tahun. Dahulu Sanijah membangun tempat ini bersama tetangga untuk mengurung Wasih, bahkan sudah dua kali dilakukan perbaikan.

an mereka sudah begitu dekat. Sanijah juga sudah mengenal baik teman laki-laki Warsih. Ia sering menjemput Warsih di rumah dan mengajaknya keluar hanya untuk melihat pertunjukan seni di Kota Wates. Sanijah mengetahui anak perempuannya itu telah mengikat janji dengan pemuda yang ia sukai, tapi pada akhirnya mereka berpisah.

Setelah Warsih berpisah dengan teman semasa sekolahnya itu, ia kembali menjalin hubungan dengan Paeman. Pemuda desa ini ternyata saudara jauh paman Warsih yang bernama Joyo.

Merasa Warsih memiliki gejala ganguan jiwa, Joyo lantas tak setuju dengan hubungan mereka. Paeman disuruhnya untuk berpisah dengan Warsih.

Sejak saat itu, kebencian Warsih terhadap Joyo tak lagi dapat dipendamnya. Sanijah mengisahkan, ia pernah mengajak Warsih melihat malam kesenian yang diadakan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN). Selang beberapa waktu kemudian, ia melihat Warsih memisahkan diri dari keramaian.

82

Sanijah mulai khawatir melihat raut muka Warsih yang bingung sambil membawa obor. Ia mengikuti Warsih yang ternyata berjalan menuju rumah Joyo.

“Dasar wong tuwo ora adil! (Dasar orang tua tidak adil!-red)” Sesampainya di rumah Joyo, Warsih berteriak sambil mengarahkan obor dari daun kelapa kering yang tersulut api ke arah muka Joyo. Seketika itu juga sebagian rambut Joyo terbakar. Melihat kejadian itu, Sanijah sontak meraih obor dari tangan Warsih dan membuangnya. Sanijah pun segera menolong Joyo yang tersulut api hingga tidak ada luka yang berarti.

“Dasar wong edan! (Dasar orang gila!-red),” teriak Joyo kepada Warsih. Bersama sang suami, akhirnya Sanijah membawa Warsih pulang.

“Wis pak, ora usah ditanggepi. Lha nek wong edan kok malah ditanggepi.

Mengko lak yo malah dadi edan kabeh. (Sudah pak, tidak usah ditanggepi.

Kalau orang gila kok malah ditanggapi. Nanti malah jadi gila semua-red).” *** Sanijah ingin bertemu kembali dan merawat cucunya. Sambil berkacakaca, ia mencoba kembali menceritakan kedua cucunya yang kini tidak diketahui keberadaannya. Tahun, bulan, dan tanggal kelahirannya pun ia tidak ingat betul.

Rambut Sanijah yang digelung sudah mulai memutih. Wanita berusia 65 tahun ini sehari-hari mengenakan kemben dipadu kebaya khas Jawa. Bahasa yang ia gunakan adalah Bahasa Jawa halus.

Ia hanya ingat kala peristiwa berdarah G-30S merebak dan banyak orang bersembunyi di daerah kampungnya, ia baru saja menikah dengan Kamtono yang terpaut usia 20 tahun dengannya. Ia lupa waktu pasti pernikahannya, kira-kira tahun 1967. Berapa usia cucunya pun ia tak ingat.

Dirinya hanya bisa mengira-ngira kini cucu pertamanya sudah masuk kelas empat SD dan yang kedua berusia sekitar tujuh tahun.

Pernikahan Warsih dan Paijan menghasilkan tiga anak. Anak pertama bernama Sukarno dan yang kedua Siti Maesaroh. Anak terakhir Warsih meninggal di kandungan kala itu. Karena kondisi kejiwaan Warsih yang semakin parah setelah ditinggal suaminya, ia tidak tahu kalau dirinya dalam kondisi hamil. Tiga bulan mengandung, akhirnya ia keguguran.

Setelah Warsih tinggal bersama Sanijah, ia sempat merawat kedua cucunya hingga kurang lebih satu tahun. Namun, karena harus mera83

REVANGGA TWIN T. | HIMMAH

Sanijah membuat minuman untuk suaminya, kondisi ekonomi yang rendah membuat Sanijah enggan untuk memperbaiki rumah dan memilih menyisihkan uangnya untuk pengobtan anaknya.

wat pula Warsih yang kondisinya semakin parah, ia melepaskan cucunya untuk diadopsi orang lain. Sekarang, cucu pertamanya berada di sebuah panti asuhan di daerah Magelang, sementara cucu keduanya diasuh orang yang juga tidak diketahui nama dan alamatnya. Sebenarnya, ia telah menyimpan kertas yang tertulis alamat panti asuhan dan orang yang telah mengadopsi cucunya. Namun, menantunya memintanya ketika pergi meninggalkan rumah. Tak dinyana, ternyata menantunya pergi entah ke mana hingga kini ia pun tak tahu rimbanya.

Dahulu, ia memang sangat kerepotan harus mengurus dua cucu dan merawat Warsih. Ia juga memiliki kekhawatiran jika cucunya tinggal bersama Warsih, mereka menjadi tidak aman. Kala itu, Warsih seringkali menyakiti dirinya sendiri dengan memukul-mukul kepala. Oleh sebab itu, Sanijah merelakannya dengan harapan kedua cucunya mendapatkan kehidupan yang lebih layak di tempat lain.

84

Kini, kondisi Warsih berangsur-angsur membaik setelah rutin melakukan rawat jalan di Puskesmas Kokap 2. Hal itu membuat Sanijah semakin merindukan cucunya. Ia ingin bertemu dengan cucunya. jika memungkinkan, ia ingin merawat kembali Sukarno dan Siti Maesaroh.

Terlebih, terakhir kali ia mengetahui Sukarno tinggal di panti asuhan. Baginya, masih memungkinkan jika ia ingin mengambilnya kembali. Sementara itu, karena dirinya sadar cucu perempuannya telah diadopsi orang lain, maka tidak mungkin jika ia mengambilnya kembali begitu saja. *** Sejak Warsih dinyatakan mengalami gangguan jiwa setelah lulus SMP pada tahun 1991, keluarga Warsih sudah mengeluarkan banyak biaya.

Bersama suaminya, Sanijah banting tulang untuk mencari biaya pengobatan. Sanijah bersyukur memiliki kebun yang mendatangkan rezeki bagi keluarganya. Sanijah bersama Kamtono menanam cengkeh, kopi, dan kakau di kebun sekitar rumahnya, yang luasnya 700 meter persegi.

Kamtono mengisahkan, dulu sebelum tahun 1992, ia dapat mencukupi kebutuhan dengan menjual cengkeh hasil kebunnya. Namun, setelah Presiden Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) yang mengharuskan semua hasil cengkeh dari petani dibeli oleh negara, harga cengkeh menjadi anjlok hingga tidak ada lagi nilainya. Kemudian, ia menanam kakau dan kelapa yang harganya lebih stabil. Tanaman kakaunya sekarang memang tidak lagi terawat. Buahnya yang banyak terkena hama membuatnya kini tidak lagi menghasilkan keuntungan. Kini, yang sedikit mendatangkan rezeki tinggal pohon kelapa. Ia kerap didatangi pembeli kelapa dan bagi hasil dengan penderes pohon kelapa tersebut untuk bahan baku pembuatan gula. Di daerah Kokap, deres atau menyadap nira dari pohon kelapa masih menjadi salah satu mata pencaharian warga.

Pertama kali Warsih masuk ke RSJ Puri Nirmala, ia menghabiskan biaya sebesar Rp 700.000,00. Tahun 1992, nominal itu terbilang sudah sangat besar karena nilai tukar rupiah terhadap dolar sekitar dua ribu rupiah. Dahulu, hasil perkebunan cukup untuk membiayai Warsih. Namun, lamanya pengobatan yang dijalani Warsih akhirnya membuat keluarganya menyerah.

Sanijah menuturkan, setelah Warsih memiliki anak dan melihat kondisinya yang belum stabil, sering pergi, mengamuk, dan memukuli 85

dirinya sendiri, sanak keluarga yang lain menganjurkan agar Warsih dibuatkan sebuah gubuk di kebun belakang rumah. Sejak saat itu, aktivitas tidur, makan, dan buang air dilakukan Warsih di gubuk itu. Ia menempati gubuk itu selama kurang lebih tiga tahun. *** Rumah Sanijah berada di sekitar perbukitan Waduk Sermo, Desa Hargotirto, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo. Jaraknya dari Kota Yogyakarta satu setengah jam jika menggunakan kendaraan bermotor.

Waduk Sermo merupakan satu-satunya waduk di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Waduk ini diresmikan pada masa orde baru, yakni tahun 1996. Hutan yang berada di sekitar Waduk Sermo merupakan wilayah konservasi alam.

Di dekat waduk itulah keluarga Sanijah tinggal. Dinding rumah mereka bukan berbahan dasar semen, pasir, ataupun batu bata, melainkan anyaman bambu. Jika siang hari, rumah itu menjadi terang karena cahaya bisa menembus ke dalam. Di bagian dalam terdapat triplek yang digunakan untuk membedakan ruang tamu dan kamar tidur. Meskipun lantainya dari tanah, Kamtono tak pernah mengenakan alas kaki. Ia lebih memilih menggunakan alat bantu jalan dengan empat tuas karena kelumpuhan yang dialaminya.

Dua kursi dan satu meja yang menghadap televisi 14 inci di ruang tengah menjadi tempat hiburan mereka satu-satunya. Pada malam hari, Kamtono dan Sanijah sering bercengkerama sambil menyaksikan televisi hingga larut malam. Warsih tak jarang pula ikut menonton televisi.

Tidak ada foto keluarga atau hiasan rumah seperti bunga dan lukisan. Ketika Sanijah ditanya, “Ini pukul berapa?� Ia tak bisa menjawab karena jam dinding yang tergantung setinggi dua meter di dinding triplek rumahnya itu mati. “Jamnya memang sudah lama mati, tidak ada yang sempat mengganti baterainya. Bapak sudah lama sakit dan tidak bisa sekadar ganti baterai jamnya. Kelik juga tidak sempat. Kalau datang ke sini saja cuma sebentar,� ungkapnya.

Kelik adalah panggilan untuk anak kedua Sanijah. Ia sudah berumah tangga dan memiiki satu orang anak. Rumahnya tak jauh dari kediaman Sanijah, berjarak sekitar 50 meter. Dibandingkan rumah Sanijah, dinding 86

rumah Kelik sudah tembok. Lantainya pun berubin putih. Di samping rumahnya, ada sebuah bangunan setengah jadi yang rencananya akan digunakannya sebagai gudang penyimpanan pakan ayam. Sehari-hari, Kelik bekerja memelihara ayam pedaging. Ia memiliki kandang ayam yang isinya rata-rata 1000 ekor. Kandang ayamnya terletak di kebun milik keluarga istrinya yang jaraknya tak jauh dari rumah Kelik, hanya 10 menit jika berjalan kaki. Kelik adalah lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Jurusan Listrik. Namun, ia enggan memanfaatkan keahliannya.

Dirinya lebih memilih memelihara ayam pedaging daripada menjadi tukang listrik, berkebun, atau menderes pohon kelapa.

Berbeda dengan adik laki-laki Kelik yang bernama Sariyanto, anak ketiga Sanijah yang lulusan Teknik Mesin SMK ini lebih memilih merantau ke Malaysia untuk bekerja. Sanijah mengaku, kebutuhan makan dan merawat Warsih sedikit terbantu dengan kiriman uang yang diberikan anak bungsunya tersebut. *** Mobil ambulans melewati jalan cor yang terlihat sengaja dibuat pas hanya untuk ban mobil. Namun, mobil tersebut tak berani melintas hingga depan rumah Sanijah karena curam dan batuannya yang licin serta berlumut. Kanan kiri rimbun pepohonan. Sumber mata air juga terlihat di pinggir jalan. Warga memanfaatkannya untuk kebutuhan sehari-hari dengan membuat penampungan sementara. Sekitar seratus meter melewati jalan itu, barulah tampak jalan beraspal. Puskesmas jaraknya hanya sekitar 200 meter dari jalan beraspal. Warsih bersama Sanijah berjalan kaki jika akan pergi rawat jalan untuk sekadar meminta obat dan berkonsultasi kepada dokter di puskesmas. Seorang dokter perempuan yang bertugas di puskesmas memeriksa Warsih dengan stetoskop, kemudian mengecek tekanan darahnya. “Semuanya normal. Kondisinya sudah mulai membaik. Mbak Warsih kalau di rumah ngapain saja, sudah biasa bantu-bantu ibu atau tidak?� tanya Dokter. Warsih pun hanya menjawabnya dengan tersenyum malu.

Sanijah ikut menjawab, “Ya sedikit-sedikit sudah bantu, bu.�

Sekarang, Kondisi Warsih memang sudah stabil. Ia rutin mengonsumsi obat yang didapatnya dari puskesmas terdekat. Setelah dirawat di Grhasia selama dua bulan, Warsih memang melakukan rawat jalan.

87

Sebelum adanya bantuan pelayanan jaminan kesehatan yang mulai diterimanya setelah awal tahun 2014, Sanijah hampir putus asa. Ia bahkan membuatkan bangunan baru bagi Warsih di samping bangunan sebelumnya yang sudah hampir roboh. Tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, bangunan ini hanya berdinding kayu yang berongga, beratap viber, berlantai tanah, dan tanpa penerangan. Meskipun ia mengaku tidak tega, tapi dirinya sudah tidak memiliki cara lain untuk merawat Warsih.

Sarjan, sepupu mereka, yang sering menemani Sanijah mengantarkan Warsih ke rumah sakit juga mengaku sudah putus asa. Kadang, ia merasa kasihan terhadap Sanijah yang dinilainya gigih merawat Warsih. Ketika kedua adik Warsih membutuhkan biaya untuk sekolah dan ia juga harus mencari biaya untuk perawatan Warsih, Sanijah memutuskan untuk pergi ke Lampung selama dua tahun. Di sana, ia menjadi buruh kebun kopi.

Sarjan merasa terkesan dengan kesabaran Sanijah yang merawat Warsih bertahun-tahun. Semenjak suami Sanijah lumpuh 10 tahun silam karena syarafnya yang terjepit, Sarjan lah yang selalu menemani Sanijah dan sebagai penjamin ketika masuk ke rumah sakit.

Tujuh kali Warsih masuk rumah sakit, Sarjan mengaku berkali-kali mendapatkan penolakan dari pihak rumah sakit karena selalu menunggak pembayaran biaya rumah sakit. Pada waktu masuk rumah sakit kali ketiga, Warsih benar-benar ditolak. “Maaf pak karena biaya perawatan yang kemarin belum lunas. Jadi, tidak bisa masuk dulu.�

Seorang petugas rumah sakit tidak mengizinkan Warsih untuk dirawat. Sarjan tak kehabisan akal. Ia menunggu sampai petugas rumah sakit bergantian berjaga shift. Karena tidak mengenali Sarjan, akhirnya petugas rumah sakit mengizinkan Warsih untuk dirawat. *** Selama Warsih tinggal di bangunan itu, berkali-kali Warsih mencoba melarikan diri. Atap yang terbuat dari viber tersebut sempat dijebol oleh Warsih dan digunakan sebagai pintu untuk melarikan diri. Lantai yang terbuat dari tanah sempat digalinya untuk membuat jalan melarikan diri. Berkali-kali mencoba, berkali-kali pula Warsih masuk kembali. Bersama Kelik dan Sarjan, Sanijah biasa mencari Warsih, kemudian memasukkan kembali Warsih ke dalam bangunan itu.

88

“Biasanya kalau mau memasukkan Warsih setelah kabur ya, saya taruh makanan kesukaan dia.”

Warsih juga pernah mengungkapkan rasa takutnya tinggal di bangunan itu. Ketika itu, Sanijah yang biasa mengantarkan makanan, melihat Warsih begitu ketakutan.

“Mak, mau bengi ono wong ireng gede duwur. (Mak, tadi malam ada orang besar tinggi hitam-red)” Sanijah menanggapi dengan nada bercanda.

“Iku gendruwo. Piye kowe gelem diajaki? Nek gelem yo kono. (Itu Genderuwo. Bagaimana kamu mau diajak? Kalau mau ya ke sana-red)” “Emoh (Tidak-red),” Jawab Warsih dengan ketakutan.

Di belakang bangunan itu terdapat aliran sungai. Jika musim hujan datang, airnya cukup deras. Banyak selang air yang digunakan warga untuk menyalurkan air dari mata air di dekat bangunan melintasi sekitar tempat yang ditinggali Warsih. Untuk memandikan Warsih, Sanijah biasa mengambil selang itu dan kemudian disemprotkan dari luar.

Kini, Sanijah bersyukur karena melihat Warsih tidak lagi tinggal di bangunan itu. Harapannya sekarang mengembang.

Sanijah mengibaratkan Warsih sebagai beras yang telah tumpah ke tanah. Meskipun diambil lagi dan ditimbang, tidak akan sama beratnya karena sebagian beras telah ada yang kotor dan tidak bisa untuk dimasak.

Begitulah harapannya terhadap Warsih. Meskipun tidak akan pulih 100 persen, ia tetap bersyukur dengan kondisi Warsih sekarang ini.q Reportase bersama Revangga Twin T., Raras Indah F., dan Desi Rahmawati

89

Harga Mahal Edukasi Jiwa Dengan dalih program jiwa bukan menu pokok, birokrat mengesampingkan hak masyarakat untuk mendapat psikoedukasi. Padahal, warga sedang di tengah ketakutan dan ketidaktahuan kala menghadapi penderita gangguan jiwa.

Oleh: Raras Indah F. “AKU kok ning kene wae. Aku arep bali. (Aku kok disini saja. Aku mau pulang).� “Arep ning ndi? Tak uculke, kowe malah nyusahke aku. (Mau kemana?

Aku lepas, kamu malah menyusahkan aku).�

Inilah percakapan kakak beradik seperti yang diceritakan Rahmanto (50), warga Dusun Sanggrahan Lor, Desa Bendungan, Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang memiliki anggota keluarga Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

Rahmanto menunjukkan keberadaan Jamali (63) yang ia tempatkan di ruang isolasi selama kurang lebih delapan tahun. Benar saja, saat kami menilik sebuah kamar berukuran 5 x 6 meter yang berada di samping ruang tamu, hawa isolasi mulai terasa. Kamar tersebut memiliki tiga pintu, yaitu bagian depan, dalam, dan belakang rumah. Namun ketiganya tertutup rapat. Jendela pun bukan dari kaca, melainkan kayu yang terpaku.

Untungnya, cahaya masih memiliki celah untuk masuk ke kamar Jamali melalui ventilasi.

Rahmanto enggan mengizinkan kami untuk masuk ke dalam kamar Jamali. Ia khawatir kakaknya akan mengamuk karena kehadiran orang yang tak dikenalnya. Mengamuk adalah alasan Rahmanto membatasi gerak Jamali. Selain diisolasi, ia juga mengikatkan kaki kanan Jamali ke kaki dipan tanpa kasur dengan menggunakan tali tambang. Agar Jamali tidak bisa melarikan diri, Rahmanto mematok keempat kaki dipan. Akhirnya, Jamali pun menjadi tidak berdaya.

Di ruang berlantai semen dan bercahayakan lampu bohlam setiap malam ini, Jamali hanya menghabiskan waktu dengan berceloteh, berte-

riak, bernyanyi, makan dan minum, meneguk obat kapsul, serta membuang hajat. Ia berkesempatan keluar kamar hanya saat Rahmanto memandikannya. Itu pun hanya berlaku dua atau tiga hari sekali.

Sebelum terisolasi, kedua kaki Jamali pernah diikat Rahmanto menggunakan tali tambang. Namun, ia berusaha memutar otak agar bisa lepas dari jeratan tali tersebut. Ia lantas meminta korek api kepada adiknya tersebut. Ternyata, ia memanfaatkan api itu untuk memotong tali tambang dan akhirnya lepas. Kejadian itu membuat Rahmanto berpikir lebih keras lagi bagaimana cara agar kakaknya tidak bisa bergerak bebas.

Ia pun beralih akal menggunakan rantai yang digembok. “Dulu gembok habis berapa aja, dilepas paksa. Kekuatannya hebat tenan!� ujarnya.

Rahmanto bukan tanpa rasa bersalah melakukan tindakan tersebut. “Yo nggo njogo (Ya untuk menjaga) lingkungan. Kalau ada apa-apa yang tanggung jawab kan yang ngerawat,� ungkapnya.

Rahmanto memasuki tempat pemasungan Jamali yang sudah dihuni selama 8 tahun.

Setiap harinya hanya Rahmanto yang berani memasuki ruangan tersebut, bahkan istri dan anak Rahmanto enggan untuk menengok Jamali.

REVANGGA TWIN T. | HIMMAH

91

Semenjak Jamali menderita gangguan jiwa sekitar 20 tahun silam, perilakunya memang dianggap meresahkan keluarga dan masyarakat. Ia tidak lagi mengenali anggota keluarganya. Semua dianggap mati. Seseorang yang dahulu gemar membantu almarhum orang tuanya berladang, sekarang menjadi brutal. Ia tidak segan-segan menendang dan menonjok ibunya hingga berakibat patah tulang. Selain itu, ia juga berulang kali berusaha masuk sumur. “Tiap hari nyemplung (menceburkan diri) sumur.

Terus! Sumur sawah terus! Bener nyemplung. Pas ketiga (musim kemarau) ya, nyemplung sumur nggak bisa naik. Yang tahu itu malah orang-orang,” kata Rahmanto menggebu-gebu.

Percakapan kami di ruang tamu ini kadang terhenti saat mendengar Jamali berceloteh. Rahmanto hanya tersenyum. Maklum, ia sudah paham dengan maksud celotehan kakaknya nomor tiga itu. Kadang Jamali berceloteh sendiri. Di lain waktu, ia mendendangkan tembang jawa atau Koes Plus, sebuah grup musik era ’70-an.

Dahulu, Rahmanto sudah mencoba berbagai cara untuk menyembuhkan Jamali. Melalui informasi yang ia peroleh dari tetangga, ia mendatangi paranormal. Atas dasar rasa percaya, ia melakukan apa yang diperintahkan oleh dukun-dukun tersebut. Seorang dukun pernah menyuruh Rahmanto untuk memandikan Jamali tepat pukul 12 malam. Air untuk bermandi pun bersyarat, yakni harus berasal dari tujuh sumur tetangga dan bertabur bunga. Sayangnya, cara ini tidak manjur.

Rahmanto mencoba mendatangi dukun lain. Dukun satu ini berpesan agar Rahmanto mengafani janin bayi yang terbuang, memasukkannya ke peti, kemudian memakamkanya di kuburan. Ternyata, cara ini tidak juga mempan untuk memulihkan kondisi Jamali yang Rahmanto anggap pikirannya tidak genap seratus persen itu.

Lelaki bertubuh tinggi tegap ini tidak patah arang. Ia lantas mendatangi seorang dalang tersohor kala itu. Si dalang ini meminta Rahmanto menabur bunga di bawah kasur Jamali saat sedang kambuh. Namun, masih saja nihil. Kali terakhir, ia beralih ke tempat pengobatan yang berkedok agama. Di sana, Jamali meneguk air yang telah diberi do’a-do’a oleh santri. “Efeknya nggak mental (manjur) e,” ucapnya.

Beberapa waktu kemudian, Rahmanto mulai mengenal pengobatan medis. Untuk pertama kalinya ia mengantarkan Jamali ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sardjito, Yogyakarta. Di sana, Jamali menjalani 92

rawat inap selama sepuluh hari. Sepulang dari Sardjito, ternyata Jamali masih belum menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Oleh karena itu, Rahmanto pun membawa Jamali ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof. Dr. Soerojo, Magelang untuk menjalani rawat inap. “Pulang yo obat rutin, tapi masih kambuh terus. Terus dari sana pokoknya tidak ada kurangnya, semakin menjadi. Itu ya masih diiket lagi,” tuturnya.

12 Januari 2013, Jamali kembali dirujuk ke RSJ. Selama enam bulan, ia menjalani rawat inap di Grhasia, Yogyakarta. Sayang, sepulangnya dari rumah sakit yang dahulu bernama Lali Jiwo itu, ia kembali kambuh. Kondisi yang kontinu ini akhirnya membuat Rahmanto menyerah. Sampai saat ini, ia mengurungkan niat untuk membawa Jamali ke rumah sakit jiwa dan memilih menempatkannya di ruang isolasi. “Wis bola-bali hasile ngono kuwi. Yo sing terakhir iki sampai enam bulan ora ana perubahan sama sekali ketoke (Sudah berulang kali hasilnya seperti itu. Ya yang terakhir ini sampai enam bulan tidak ada perubahan sama sekali kayaknya),” ungkap lelaki yang memiliki tiga putra ini.

Ternyata, bukan hanya perkara putus asa. Jamali termasuk salah satu penderita gangguan jiwa kurang beruntung lantaran ia tidak mendapatkan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Untungnya Rahmanto masih bisa menggunakan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) untuk merujuk kakaknya ke Grhasia. Dengan Jamkesda, ia memperoleh keringanan biaya sebesar Rp 5 juta. Namun, ia tidak jadi bernafas lega.

Enam bulan menjalani rawat inap di Grhasia, Jamali ternyata dikenai biaya sebesar Rp 16. 241.920. Ini tentu suatu nominal yang besar bagi seorang pekerja ladang seperti Rahmanto. Selanjutnya, ia menggunakan Jaminan Kesehatan Sosial (Jamkessos) dan mendapat keringanan biaya yang sama dengan Jamkesda.

Untuk menutupi kekurangan biaya, pihak Grhasia pun menyarankan Rahmanto agar melayangkan surat kepada gubernur DIY. Ia baru bisa benar-benar bernafas lega saat permintaannya dikabulkan Sultan. “Batinku kok kayak berat banget. Kadang-kadang kalau ke sana tuh sedih rasanya karena terbentur biaya,” kenang lelaki yang gemar memakai kaos kopassus itu.

Sebenarnya, bukan Jamali saja yang tidak mampu bergerak secara leluasa. Pun Rahmanto. Semenjak ia diserahi tanggung jawab oleh saudara-saudaranya untuk menjaga kakaknya, ia tidak bisa keluar jauh dari rumah. Apalagi untuk mencari nafkah di luar daerah seperti yang dahulu 93

ia lakukan. Kewajibannya bekerja di luar digantikan oleh istri yang berjualan tempe di pasar. Berdagang tempe saja belum cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, apalagi untuk dua putra terakhir mereka yang sedang mengenyam pendidikan di bangku SMK dan SD. Oleh karena itu, sembari menjaga kakaknya, ia juga berladang tanaman dan memelihara seekor sapi betina untuk kemudian anak sapi tersebut dijual.

Sampai saat ini, Rahmanto rutin mengambilkan obat untuk Jamali ke Puskesmas Wates. Ia tidak berharap penuh kakaknya bisa sembuh.

“Sing penting rutin ngombe obat, ora ngomel-ngomel (Yang penting rutin minum obat, tidak mengomel),” katanya.

Tidak satu waktu pun ia terlambat bertandang ke puskesmas saat obat tersebut habis. Jamali harus rutin meminum obat karena hanya itu yang membuatnya lega. “Paling iso (bisa) dijemput maut. Wis bebas ngono lho. Ndak kayak aku, kapan berakhir ngono. Nek dipikir suwe tenan e. (Sudah bebas gitu lho. Kalau seperti aku, kapan berakhir gitu. Kalau dipikir sungguh lama e).” Matanya menyiratkan keputusasaan meskipun ia tampak menebar senyuman di hadapan kami. *** Seratus meter di depan rumah Rahmanto adalah tempat tinggal Rusmadi (42), lelaki yang juga masih memiliki hubungan darah dengan keluarga Rahmanto. Kami pun berbincang-bincang di teras depan rumahnya.

Sebagai salah satu warga Sanggrahan Lor yang mengetahui seluk-beluk kehidupan Jamali, ia menceritakan perilaku Jamali yang dianggap meresahkan masyarakat. “Parah-parahnya itu tahun ’90-an,” ujarnya. “Ketemu orang biasanya nyapa, malah ngomong sendiri. Pernah itu ketahuan saat berpapasan lawan arah. Ada yang nanya, dia diam saja. Sekitar 10 meter, kemudian dia balik lagi dan mukulin orang yang nanya tadi menggunakan gagang sabit. Saat itu warga was-was soalnya mau mukulin orang lain.”

Rahmanto tampak berdiri bersandar di tiang teras rumah Rusmadi sembari menghisap rokok. Matanya menerawang ke arah lain, namun sesekali ia menyahut percakapan kami. Ia tidak menyangkal apa yang dikatakan Rusmadi tentang kakaknya.

Rusmadi sebenarnya tidak setuju jika Jamali harus dikurung di ruang isolasi. Namun ia beranggapan, jika tali itu dilepas, maka Jamali bisa

94

membahayakan orang lain. Apalagi jika keluar rumah, ia bisa saja berteriak-teriak, mengganggu warga dan tanaman mereka, ataupun masuk ke sumur orang. “Kalau keluar, tetangga lain juga merasa takut. Yang paling takut itu keluarga. Kalau misalnya dia dilepas terus melukai orang lain kan beban keluarga itu,” imbuhnya.

Ia mengaku pernah berupaya mendekati Jamali untuk mengajaknya bercerita. “Saat dipasung, begitu orang mau masuk, dia udah teriak duluan. Jadi daripada dia makin parah, akhirnya selama ini tetangga tidak mendekati.” Seharusnya keluarga penderita gangguan jiwa serta orangorang di sekitarnya bisa mendapatkan dukungan. “Tapi untuk kasus Jamali ini karena sudah tua jadi susah.”

Lewat penuturan Rusmadi pula, lingkungan sekitar sebenarnya menginginkan penderita gangguan jiwa mempunyai tempatnya sendiri, misalnya rumah sakit. Sayangnya mereka belum terbiasa dengan birokrasi jika akan mengurus administrasi. Kesulitan masyarakat ini harus bertambah dengan belum adanya sosialisasi kesehatan jiwa oleh kader setempat. Akibatnya, warga hanya berbekal kesadaran diri untuk memaklumi keberadaan para penderita gangguan jiwa di tempat tinggal mereka.

“Warga sangat butuh kader untuk sosialisasi, untuk mengatasi waktu berpapasan. Kita nggak tahu sikap kita harus bagaimana. Sebenarnya sangat perlu, tapi selama ini belum ada,” tegas Rusmadi.

Di tengah percakapan kami, tiba-tiba seorang wanita berambut panjang terkuncir datang menghampiri kami dan duduk di sebelah Rusmadi. Ternyata ia adalah istri Rusmadi, Sri Suratmi (35), yang juga kader Sanggrahan Lor RT 13. Dari penuturan Suratmi, kami mengetahui bahwa di tempat ini kader memang belum mendapatkan penyuluhan serta pelatihan tentang kesehatan jiwa dari Puskesmas Wates. Selama ini, tugasnya hanya berfokus pada posyandu, PAUD, atau pendataan.

“Kalau kita lihat program-program puskesmas ataupun kader puskesmas memang banyak. Di sana kan terpampang, ” kata Rusmadi. “Cuma yang diterjunkan sampai kader dusun itu yang umum-umum saja.”

“Nek (Kalau) jiwa belum,” ujar Suratmi menimpali.

Ditanya soal upaya masyarakat untuk memberi usul tentang sosialisasi kesehatan jiwa, Rusmadi pun hanya tersenyum. Ia mengaku pernah mengerahkan pikiran dan tenaga untuk mengusulkan program-program

95

tertentu untuk masyarakat, namun ternyata biaya menjadi kendala. “Adanya diam. Nggak cuma kader, siapa saja kebanyakan gitu kalau terbentur kendala dana, akomodasi tadi,” imbuhnya. “Jadi kalau nggak ada yang nggerakin dari atas (pihak puskesmas atau kader-red), dari bawah ya diam.” *** Di lain waktu, kami mengunjungi lagi rumah Suratmi. Bersamaan dengan kami, kala itu ada pula seorang wanita yang bertandang ke rumah Suratmi untuk mengantarkan administrasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ia adalah Tri Ratmani (33), Kader Dusun Sanggrahan Lor RT 11.

Di sana, kami pun berbincang-bincang soal keberfungsian kader di tengah-tengah penderita gangguan jiwa di dusun mereka. Ternyata, mereka sebenarnya membutuhkan penyuluhan kesehatan jiwa untuk kemudian bisa diteruskan kepada masyarakat. “Soalnya warga kayak sini ada yang stress. Terus tiba-tiba ntar ngamuk kan bisa untuk pencegahannya gimana,” ujar Suratmi. “Pokoknya dari pihak puskesmas ada yang ngurusi gitu. Bisa nolong gitu lho mbak. Kan kasihan kalau orang yang nggak punya,” imbuhnya. Meskipun mereka membutuhkan sosialisasi tersebut, namun mereka belum bisa memberikan saran kepada pihak Puskesmas Wates. “Kita mau ngusulin piye gitu lho mbak (Kita akan mengusulkan gimana gitu lho mbak),” ungkap Suratmi. “Garapane wong kathah (Orang kerjaannya banyak-red),” timpal Ratmani.

Soal upah, mereka hanya menerima imbalan uang sebesar Rp 30.000,00. Uang tersebut dibayarkan setiap tiga bulan sekali. Itu pun masih terkena potongan pajak. “Totalnya kalau nggak Rp 26.000,00 ya Rp 27.000,00 apa ya,” kata Suratmi. Kawan di sampingnya pun mengiyakannya. *** Pagi itu kami menemui dua wanita paruh baya yang berseragam dinas warna biru di ruang kerja Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Mereka mempersilakan kami duduk di kursi-kursi yang melingkari sebuah meja besar. Di meja itulah, kami dan Arida Oetami serta Setyarini Hesti Lestari saling duduk berhadapan.

Mereka angkat bicara menyoal kesehatan jiwa.

96

Arida selaku Kadinkes DIY mengatakan perlu adanya pembentukan program kesehatan jiwa masyarakat untuk mengantisipasi kurangnya tenaga kesehatan jiwa di tengah merebaknya penderita gangguan jiwa. Program ini menekankan pada pemberdayaan kader di masyarakat. Mereka berharap kader yang telah dilatih bisa mendeteksi secara dini warga yang mengalami gangguan jiwa, sehingga jika ada penderita yang terindikasi mengalami gangguan jiwa berat, maka upaya konsultasi bisa dimulai.

Konsultasi pertama bisa dilakukan di Puskesmas. Bila pihak puskesmas menganggap sakit yang dialami penderita lebih berat, mereka bisa merujuknya ke rumah sakit kabupaten. Begitu juga ketika pihak rumah sakit tidak bisa menangani penderita, maka mereka bisa merujuk penderita ke RSJ Grhasia. “Ngawekani (menyiasati) kurangnya jumlah tenaga itu tadi, kita berdayakan kader di masyarakat,” imbuh Arida.

Standar kader yang bisa turut berperan di dalam program kesehatan jiwa (keswa) adalah mereka yang terlatih. Secara berjenjang, pihak Grhasia melatih rumah sakit kabupaten atau kota. Kemudian, rumah sakit tersebut akan melatih puskesmas. Baru setelah itu puskesmas bisa melatih kader-kader. “Di lima kabupaten kota itu sudah ada semua,” ujar Arini ihwal pemerataan kader kesehatan jiwa di DIY. Arini menjelaskan, kader-kader yang sudah dilatih otomatis akan menyebarkan penyuluhan keswa kepada masyarakat sekitar. Melalui peran kader, mereka bisa memberdayakan keluarga dan masyarakat untuk mampu menerima kembali penderita gangguan jiwa, bukan malah menjauhinya. Hal ini guna mengantisipasi adanya penderita gangguan jiwa yang kembali rawat inap di rumah sakit lantaran kambuh.

“Masyarakat itu belum mau menerima orang yang gangguan jiwa ini setelah pulang dari rumah sakit. Jadi mereka masih menstigmatisasi orang dengan gangguan jiwa, dianggap dia sudah tidak layak bersosial,” kata Arini. Padahal menurutnya, penderita sebenarnya bisa bersosialisasi jika masyarakat menerimanya. “Justru jangan disingkirkan atau dipasung.”

Arida menganggap cukup sulit untuk menyadarkan masyarakat.

Padahal mereka seharusnya sadar bahwa memasung penderita gangguan jiwa adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia. “Tapi masyarakat sekarang bukan tentang itu, yang penting tidak direpotkan oleh pende-

97

rita ini,” imbuhnya. “Bahkan yang sudah dipasung lalu diterapi di RSJ Grhasia, sudah sembuh dipulangkan, kemudian balik dipasung. Ya karena masyarakatnya ini.”

Arini juga mengatakan, pihaknya banyak melakukan edukasi atau penyuluhan. Hal ini sebagai upaya promosi kesehatan jiwa (promotif), pencegahan terjadinya gangguan jiwa (preventif), serta diagnosis dan penatalaksanaan gangguan jiwa (kuratif) ringan seperti penyediaan obatobatan yang dioperasionalisasikan oleh puskesmas. “Jumlah tenaga kesehatan terbatas, maka promotif preventif kita gunakan masyarakat. Kita nggak bisa bilang pasti. Masyarakat ini harus berulang-ulang diingatkan,” kata Arida.

8 Juli 2014, rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Jiwa menjadi Undang-Undang (UU). Dalam UU Kesehatan Jiwa Pasal 40 Ayat 1 tertulis bahwa upaya promotif kesehatan jiwa ditujukan untuk (a) meningkatkan derajat kesehatan jiwa masyarakat secara optimal, (b) menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggarakan hak asasi ODGJ, dan (c) meningkatkan pemahaman serta penerimaan keluarga dan masyarakat terhadap ODGJ. Sementara pasal 41 berisi upaya promotif kesehatan jiwa dilaksanakan di lingkungan keluarga dan masyarakat.

Terkait pencegahan, pasal 46 berisi tentang upaya preventif yang ditujukan untuk (a) mencegah timbulnya gangguan jiwa, (b) mengurangi faktor risiko akibat gangguan jiwa pada masyarakat secara umum atau individu; dan/atau (c) mencegah timbulnya masalah psikososial. Pun dalam pasal 47, upaya preventif dilaksanakan di lingkungan keluarga dan masyarakat. *** Puskesmas Wates adalah satu-satunya puskesmas yang berada di Kecamatan Wates. Puskesmas ini terletak di Bendungan Kidul, berjarak kurang lebih tiga kilometer jika ditempuh dari Sanggrahan Lor. Pagi itu kami menemui Kepala Puskesmas Wates, Anie Mursiastuti. Wanita berambut pendek, berkacamata, dan berperawakan lemah-lembut ini mempersilakan kami memasuki ruang kerjanya. Sesaat kemudian, ia memang-

98

REVANGGA TWIN T. | HIMMAH

Suratmi, kader di dusun Sanggrahan Lor, Wates sangat mengharapkan adanya sosialisasi menganai penangan penyakit jiwa mengingat banyaknya penderita gangguan jiwa di Kulon Progo.

gil seorang wanita dari luar ruang bernama Emi Setyaningsih agar ikut bergabung bersama kami.

Di ruang tamu ini, Anie memaparkan soal realisasi program keswa di puskesmas yang ia bawahi. “Pemasungan itu kalau bisa sudah kurang dari muka bumi, terutama di DIY, khususnya di Wates ini,” ujar Anie. Selama ini pihaknya baru bisa sebatas memberikan pengertian kepada keluarga untuk tidak memasung penderita gangguan jiwa. Lantaran masyarakat sulit diberikan pengertian, pihaknya belum berhasil membawa penderita ke rumah sakit jiwa. “Ternyata itulah kelemahan kita,” ungkapnya.

Sebelumnya pihak Anie sudah sedikit dikejar-kejar oleh dinas kesehatan agar segera mengirimkan penderita gangguan jiwa terpasung ke rumah sakit jiwa. Namun, hal tersebut belum berhasil. “Kita juga menunggu dari dinas karena mereka sudah mau memfasilitasi. Grhasia kadang juga nggak ada tempat, jadi kemarin memang agak berhenti,” terangnya.

99

Kendala lain yang terjadi adalah terbatasnya jumlah tenaga perawat jiwa di Puskesmas Wates. Puskesmas ini mengandalkan Emi seorang sebagai satu-satunya pemegang program kesehatan jiwa untuk menjalankan dua jenis pelayanan, yaitu Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) di poli puskesmas dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) melalui kunjungan rumah penderita gangguan jiwa.

“Kewalahan sampai nggak bisa fokus ke situ ya. Misalkan mengunjungi pasien satu, terus nggak bisa dikunjungi semua karena saya kan masih punya tugas di sini. Tenaganya hanya ada satu dan penderitanya banyak,” terang wanita berkacamata ini. Di Kecamatan Wates, jumlah penderita gangguan jiwa mencapai kurang lebih 100 orang. Oleh karena itu, ia memprioritaskan mengunjungi penderita gangguan jiwa yang ia rasa berat, misalnya pasien pasca opname.

“Tenaga kita mungkin tidak sesuai dengan jumlah desa yang ada di sini. Misalnya saja kita hanya mempunyai perawat enam sampai tujuh, bidan tujuh, padahal desa delapan. Padahal sebenarnya satu bidang memwilayahi satu desa. Dokternya juga cuma ada dua,” terang Anie. Operasionalisasi puskesmas sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) harus mengikuti Pemerintah daerah (Pemda) yang merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Hal ini yang membuat pihak Anie tidak bisa leluasa begitu saja merekrut tenaga medis.

Selain terbatasnya tenaga medis, di puskesmas ini juga belum ada optimalisasi peran kader-kader untuk merambah program kesehatan jiwa. Padahal menurut Anie, kader memiliki peran yang besar. Mereka setidaknya bisa menginformasikan kepada puskesmas, kemudian akan ada tindak lanjut berupa kunjungan ke rumah penderita gangguan jiwa maupun koordinasi dengan aparat desa. “Kita memang seharusnya selalu mengingatkan kepada kader bahwa segala permasalahan kesehatan itu, mereka ujung tombak kami, yang ada di lini paling bawah itu,” kata Anie.

Puskesmas ini belum memfungsikan kader untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat lantaran mereka tidak fokus terhadap pasien jiwa.

“Mungkin mereka terlupakan atau karena dianggap sudah hal yang biasa, sudah lama bertahun-tahun seperti itu kondisinya,” ujar Anie.

Ia juga mengatakan, masalah jiwa sebenarnya bukan menjadi tanggung jawab bidang kesehatan saja, melainkan juga kerja sama dengan

100

instansi lain seperti dinas sosial, kesejahteraan masyarakat, atau polisi.

Dahulu ada program kegiatan bernama Tim Pembina Pembina Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM). Tapi, sekitar tiga sampai empat tahun ini sudah tidak ada lagi, baik di tingkat kabupaten maupun kecamatan.

Tanggal 17 Mei 1980, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (Mendagri RI) mengeluarkan Surat Edaran No. 440.05/I 908/PUOD tentang Pembentukan Badan Pembina dan Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat. Untuk memperlancar pembentukan dan pelaksanaan BPKJM, Mendagri kemudian mengeluarkan Surat Edaran ke-2 No. 054.4/046/ PUOD tanggal 8 Januari 1981 dan ke-3 No. 44005/743/PUOD tertanggal 25 Februari 1982.

TPKJM merupakan tim yang melaksanakan program-program kesehatan jiwa masyarakat di kabupaten atau kota yang keanggotaannya terdiri dari beberapa perangkat daerah terkait, kepala kepolisian resort, dan direktur rumah sakit jiwa di wilayahnya. Pelaksanaannya berada di bawah koordinasi sekretaris daerah kabupaten atau kota. Sementara itu, operasionalisasi sehari-hari berada di bawah koordinasi kepala dinas yang membidangi kesehatan. Secara khusus, tugas mereka adalah melaksanakan program khusus dengan mengacu kepada program umum dan menu yang ada di dalam ruang lingkup masalah kesehatan jiwa, meliputi pelaksanaan standar pelayanan minimal bidang kesehatan jiwa masyarakat.

Menurut Anie, jika kegiatan tersebut diaktifkan, maka permasalahan jiwa bisa diselesaikan bersama-sama secara lintas sektoral, yang mana masing-masing instansi akan menyelesaikan permasalahan jiwa sesuai dengan kewenangan dan Tugas, Pokok, dan Fungsi (Tupoksi) masing-masing. “Kita nggak bisa kalau dari kesehatan sendiri menyelesaikan masalah kesehatan jiwa. Tidak akan bisa. Butuh dukungan dari pihak lain,” tegasnya.

Kepala Bidang Pelayanan Medis Dinkes Kulon Progo, Ananta Kogam Dwi Korawan, tidak menampik soal keberadaan TPKJM yang belum merata di semua kecamatan di Kulon Progo. “Itu merupakan suatu menu, boleh diambil boleh tidak. Bagi puskesmas yang care sama kesehatan jiwa itu pasti ada,” ujar Kogam saat kami temui di ruang kerjanya. Meskipun Surat Keputusan (SK) Kabupaten sebelumnya sudah ada, saat ini SK tersebut masih dalam proses revisi. Setiap tahun SK ini akan mengalami perubahan-perubahan lantaran bergantinya personil.

101

Kogam mengatakan, tidak meratanya TPKJM di semua kecamatan di Kulon Progo adalah lantaran masing-masing ego sektor tidak ada rasa memiliki. Belum lagi dengan anggaran kesehatan jiwa di kabupaten yang sangat kecil. Di lain sisi ia tidak memungkiri bahwa problema jiwa sangat penting. “Masalah kesehatan jiwa itu mungkin sekian persen dari masalah medis. Lebih banyak masalah sosial, lho. Medis sudah dilaksanakan, pemberian obat sudah dilakukan, jaminan kesehatan sudah dibikin. Yang tidak ada jaminan sosial,” tegasnya.

Selain TPKJM, sampai saat ini peran kader memang masih sebatas membantu mengatasi masalah kesehatan ibu dan anak, lingkungan, gizi, atau imunisasi. “Nanti sewaktu-waktu kita harus khusus menyampaikan tentang kesehatan jiwa. Mungkin yang selama ini jarang kita lakukan,” ujar Anie.

Terkait stigma negatif masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa, Emi menyanggah hal tersebut. Ia menganggap masyarakat telah peduli dengan penderita gangguan jiwa. Ketika ada penderita sedang mengamuk, masyarakat akan menghubungi puskesmas untuk kemudian ditindaklanjuti. “Nggak terus cuek,” katanya. “Kita kan nggak bisa tahu semuanya kalau tanpa ada informasi dari masyarakat,” kata Anie menimpali.

Soal dana, Saat ini anggarannya hanya disediakan untuk merujuk penderita ke rumah sakit jiwa. Selebihnya, pihak Anie baru mampu menganggarkan dana untuk mengunjungi rumah penderita saja. Selain itu, Puskesmas Wates juga belum sempat menganggarkan dana untuk kader, mengingat program jiwa hanya merupakan kegiatan penunjang, bukan termasuk program prioritas Millenium Development Goals (MDGs).

Akibatnya, dana yang dikucurkan tidak bisa dimaksimalkan secara utuh.

“Kalau nggak salah, satu bulannya satu kader hanya Rp 10.000,00. Barubaru ini, 2013 kayaknya,” kata Anie.

MDGs adalah hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai berjalan sejak September 2000. Isinya berupa delapan butir tujuan untuk dicapai di tahun 2015. Targetnya adalah tercapainya kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada tahun 2015.

Anie tidak bisa terlalu berharap banyak kepada kader lantaran mereka tidak memiliki insentif untuk kerja kader. Paling tidak mereka semes-

102

tinya bisa mengingatkan para kader di setiap pertemuannya, baik tingkat kecamatan atau desa. Kenyataannya, hal tersebut belum mereka lakukan secara rutin. “Itu yang membuat masalah ini agak tersingkir ya.� q Catatan: Untuk menjaga privasi penderita gangguan jiwa serta keluarga yang bersangkutan, nama mereka dalam tulisan ini disamarkan.

103

Kesunyian dari Ponorogo Bagaimana mereka bertahan hidup dalam ketidaksempurnaan?

Oleh: Maya Indah C. Putri

NAMANYA Boiran Kampret (30). Ia seorang penyandang tunagrahita berat di Dusun Tanggungrejo, Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Di usianya yang telah matang, ia tidak mampu berjalan, bicara, mengenali orang-orang di sekitarnya, meminta makan saat lapar, buang hajat, ataupun mandi. Sepanjang hari ia hanya duduk di lantai rumahnya yang beralaskan tanah sembari diam dengan pandangan mata kosong. Sesekali ia tertawa sendiri tanpa sebab pasti. Beberapa menit kemudian, ia bisa berubah 180 derajat, berteriak histeris hingga terdengar sejauh 500 meter dari rumahnya. Ini tergantung suasana hati.

Siang itu 20 April 2014, kami menyambangi rumahnya dengan ditemani oleh seorang Jogoboyo Karangpatihan bernama Samuji (40).

Seperti biasanya, Kampret berteriak histeris sambil memukulkan kedua tangan ke kepala dan tubuhnya. Rasa sakit karena memar di tubuh dan kepala tidak ia rasa. Mungkin pukulannya yang terus-menerus itu menjadi salah satu penyebab wajahnya tirus dan rahangnya sangat menonjol.

Luka bekas cakaran dan gigitan banyak dijumpai di sekujur tubuhnya.

Melihat semua itu, Mbah Danem (80) membiarkannya saja, menganggap perilakunya adalah hal biasa dan wajar. Ia sudah terlampau sering melarang Kampret melukai dirinya sendiri, namun sekalipun tak pernah diindahkannya. Ia tidak mengerti. “Bodo kuwi mbak. Bodo, bodo (Bodoh itu mbak. Bodoh, bodoh),� ungkapnya berkali-kali. “Yo wis koyo ngono kwi mbendino (Ya sudah kayak gitu itu setiap hari).� Mbah Danem adalah ibu Kampret yang setia merawat dan membantu seluruh kebutuhannya sehari-hari.

Entah apa jadinya Kampret tanpa Mbah Danem. Ia yang menyandang keterbelakangan mental sejak lahir ini tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Suatu ketika, Mbah Danem pernah pulang ke rumah dengan tergopoh-gopoh selepas menjual kayu yang didapatnya dari hutan.

Ia mendapati Kampret sedang makan tanah di lantai rumah. “Bodo tenan (Sungguh bodoh),� katanya.

Mbah Danem memiliki jadwal khusus untuk Kampret. Dengan menggunakan patokan sinar matahari, ia memberi makan Kampret setiap siang dan menjelang malam. Soal mandi dan berganti pakaian, ia menjadwalkannya dua hari sekali. Sementara untuk membuang hajat, Kampret biasa melakukannya di tempat.

Mbah Danem adalah tumpuan keluarga. Meskipun setiap hari ia mengurus pekerjaan rumah tangga dan mencari nafkah seorang diri, namun tenaga dan semangatnya masih kuat. Raut mukanya pun tidak menampakkan beban.

Saat itu, Mbah Danem mengenakan baju kebaya putih yang telah pudar menjadi kecoklat-coklatan berpadu dengan jarik coklat lusuh serta jilbab kupluk hijau yang tidak kalah kusamnya. Maksud hati jilbab kupluk itu untuk menutupi rambutnya yang telah beruban, tapi ternyata hanya terkesan sebagai hiasan. Mengikuti leluhurnya, ia juga mengkonsumsi suruh setiap hari. “Ben untune kuat (Biar giginya kuat),� katanya. Mungkin benar karena di usianya sekarang, giginya masih utuh meskipun berwarna kuning.

Kegiatan sehari-hari Mbah Danem tak pasti. Tapi selalu saja ada hal yang harus dikerjakannya. Setiap pagi ia pergi mencari rumput untuk makan tiga kambingnya. Setelah itu, ia kembali ke rumah untuk memasak menu makan siang sekaligus malam. Kemudian, ia biasanya pergi menjadi buruh ramban kacang atau jagung. Buruh ramban artinya memanen hasil ladang orang lain. Pekerjaannya tersebut tergantung masa panen.

Kadang ia menjadi buruh ramban tiga bulan sekali.

Ia juga tidak jarang bercocok tanam jagung, kacang, atau sayuran di pelataran rumahnya untuk kebutuhan makan sehari-hari. Mencari kayu bakar di hutan untuk kemudian dijual pun ia lakoni. Ia menjual kayukayu tersebut dengan harga Rp 10.000,00 setiap ikatnya. Setiap bulan, ia bisa mengantongi Rp 100.000,00 sampai Rp 300.000,00.

105

“Nabung mboten, mbah (Nabung tidak, mbah)?” tanyaku.

“Duwite entek kanggo maem mbedinten (Uangnya habis buat makan setiap hari),” jawabnya seraya tertawa.

Untuk menu makan hari ini, Mbah Danem memasak nasi yang dicampur tiwul, sayur, serta tempe. Ini adalah makanan favorit Kampret.

“Kampret lek e kula sukani beras kalih tiwul naming dicuthiki. Ning yen jangane tempe lak ngguyu (Kampret kalau dikasih nasi sama tiwul cuma dibuat mainan. Tapi kalau sayurnya tempe terus tersenyum),” ungkapnya. Selain menu tersebut, setiap tiga kali seminggu, ia biasanya mencampurkan beras di tiwul yang ia masak. Begitu caranya mensiasati menu agar terhindar dari rasa bosan.

Di dapur Mbah Danem, tidak tampak perabotan-perabotan masak yang lengkap kecuali dua piring, satu gelas, dan beberapa sendok yang menghiasi meja di sudut ruangan. Sembari mengaduk-aduk beras di tungku api, kami pun berbincang-bincang mengenai dirinya. Ia tampak malu-malu. Sebentar-bentar tersenyum menunduk.

“Agamane nopo, mbah (Agamanya apa, mbah-red)?” tanyaku.

“Agamane nggih ngoten niku (Agamanya ya kayak gitu-red),” jawabnya sambil tersenyum.

Samuji mengatakan, rata-rata warganya memiliki tingkat ekonomi sangat rendah. Secara turun-temurun, rata-rata setiap kepala keluarga tidak menjalankan ibadah agama. “Di KTP (Kartu Tanda Penduduk) islam, tapi nggak pernah sholat. Namun kalau lebaran ya ikut,” ungkapnya seraya tertawa.

Selain Kampret, Mbah Danem juga tinggal bersama suaminya, Mbah Lamin (80) yang menderita katarak di kedua matanya sejak 20 tahun silam. Kini, ia tidak mampu lagi memenuhi kewajiban sebagai kepala keluarga. Sehari-hari, ia hanya bisa duduk di halaman rumah dan diam. Sesekali ia tidur di tikar merah yang sekaligus menjadi tempat tidur keluarga tersebut.

Perawakan Mbah Lamin kurus kering, keriput di sekujur kulit tubuh, dan uban di seluruh rambut. Ia menggunakan tongkat kayu untuk membantunya berjalan karena badannya sudah membungkuk. Saat itu, ia sedang rebahan dengan hanya bercelana pendek hitam lusuh. Mbah Danem mengabarkan kedatangan kami dan ia pun segera beranjak dari

106

tikar. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya saat ia membalas jabat tangan kami. Pun ketika kami mengobrol dengan Mbah Danem, ia tak turut serta menjawab. Yo wis koyo ngono (Ya sudah kayak gitu),” celetuk Mbah Danem.

Mbah Danem dan Mbah Lamin dikaruniai satu putra dan seorang putri. Anak pertama bernama Paijem (32 ). Ia sudah berkeluarga dan sekarang tinggal bersama suaminya di desa sebelah. Kata Samuji, Paijem adalah orang normal, tapi memiliki kekurangan dalam hal berpikir. “Lemot banget orangnya,” ungkapnya. Meskipun pemikiran Paijem di bawah rata-rata, ia pernah menikah dua kali dan kini dikaruniai empat anak.

“Yang dinikahi orangnya lemot juga,” imbuhnya.

Meskipun Mbah Lamin, Mbah Danem, dan Kampret hidup dalam kemiskinan dengan kondisi tempat tinggal yang tidak layak huni, mereka tidak pernah terserang penyakit. “Saya juga heran mbak. Nggak pernah sakit, “ ujar Samuji. “Dulu rumahnya tidak begini. Dari anyaman bambu, jauh dari layak.”

Ponorogo, sebuah kota kecil yang terkenal dengan seni reognya, beberapa tahun belakangan ini memang tengah menjadi buah bibir media.

Media santer menyebut lima desa dengan julukan kampung idiot, yaitu Dayakan, Sidoharjo, Krebet, Karangpatihan, dan Pandak. Julukan ini didasari pada kurang lebih 5,7 persen penduduknya menyandang tunagrahita.

Kelima desa tersebut terletak di tiga kaki gunung sekaligus, yaitu Gunung Bangkong, Kukusan, dan Rajekwesi. Karena berada di kawasan pegunungan kapur, tanah di desa-desa tersebut menjadi kurang subur.

Hal ini membuat kegiatan bercocok tanam sebagai mata pencaharian utama warga menjadi terhambat. Sumber mata air yang sangat langka juga seringkali menyebabkan kekeringan panjang.

Penghasilan warga menjadi tidak menentu. Akibatnya, sebagian besar mereka hidup di garis kemiskinan. Bukan hanya itu, Dinas Kesehatan (Dinkes) dan Dinas Sosial (Dinsos) Ponorogo juga meyakini tanah yang kurang mengandum yodium disebut-sebut sebagai faktor utama tingginya penyandang tunagrahita di desa-desa tersebut.

Desa Karangpatihan berjarak 22 kilometer dari pusat Kota Ponorogo.

Luas desa tersebut sebesar 1336,6 hektar, terdiri dari 34 Rukun Tetangga

107

RAHMAT WAHANA | HIMMAH

108

(RT), delapan Rukun Warga (RW), serta empat dusun, yaitu Tanggungrejo, Krajan, Blibis, dan Bendo. Berdasarkan data profil desa, 89 warganya tercatat mengidap tunagrahita, baik ringan, sedang, maupun berat yang tersebar di semua dusun. Jumlah penyandang tunagrahita terbanyak ada di Tanggungrejo dengan total 65 orang, sembilan orang di Blibis, delapan orang di Krajan, serta tujuh orang di Bendo.

Sejak media mengekspos berita tentang kampung idiot, bantuan terus mengalir ke Karangpatihan. Salah satunya adalah bantuan renovasi rumah sebanyak 41 unit, termasuk tempat tinggal Mbah Danem. Bila berkunjung ke sana, kita akan menjumpai rumah-rumah petak berdinding kayu yang hanya memiliki satu ruang berukuran 5x5 meter dengan warna cat biru dan putih. Tidak ada ruang tamu, tidur, ataupun makan.

Satu ruang seringkali digunakan untuk berbagai macam fungsi. Berbeda dengan rumah lain, hunian Mbah Danem memiliki satu ruang tambahan, yaitu dapur dengan dinding anyaman bambu yang telah usang. Selain rumah, Mbah Danem juga mendapatkan bantuan seekor kambing yang sekarang sudah beranak dua. *** Sekitar 700 meter dari rumah Mbah Danem, ada seorang penyandang tunagrahita sedang bernama Jedeng (30). Ia bukan salah seorang warga yang mendapat bantuan renovasi rumah seperti keluarga Mbah Danem.

Dinding rumahnya hanya dari bambu yang sudah banyak lubang. Gelap dan pengap. Di dalamnya pun hanya ada dipan tanpa kasur yang hanya cukup untuk satu orang.

Lelaki yang tidak bisa bicara ini gemar merokok. Menurut Dwi, warga kampung sebelah yang mengantar kami ke rumahnya, salah satu pengaruh negatif dari ekspose media adalah warga terkesan menjadi manja dan pamrih. Seperti halnya Jedeng yang terbiasa mendapat imbalan ketika ada tamu berkunjung ke rumahnya.

Awal kedatangan kami, Jedeng enggan menemui, bahkan menunjukkan ekspresi marah. Ia tidak mau difoto sebelum diberi uang Rp 5.000,00.

Saat kami memberinya uang, seketika sikapnya melunak.

Sehari-hari, Jedeng sangat bergantung kepada kakak perempuannya, Situk (35). Kebetulan tempat tinggal Situk yang bersuamikan Katijo (40)

109

itu tinggal di samping rumah Jedeng. Ia bisa duduk di belakang rumah Situk dari pagi hingga sore jika kakaknya tersebut tidak menyuruhnya masuk rumah. Ia juga tidak akan makan jika Situk tidak menyodorinya makanan.

Jika data Desa Karangpatihan mencatat 89 warganya menyandang tunagrahita, ternyata kebanyakan orang di sana mengalami lemah otak.

Contoh kecil adalah Situk dan Katijo. Mereka adalah sepasang suami istri yang mempunyai otak lemah. Mereka bisa melakukan kegiatan sehari-hari seperti kebanyakan orang, tapi akan terlihat berbeda ketika berinteraksi langsung. Mereka membutuhkan waktu lama untuk menangkap maksud lawan bicaranya, meskipun yang dibicarakan adalah hal sederhana. Tingkah laku mereka lebih mirip seperti anak kecil. Kadang tidak merespons apa yang kita tanyakan, melainkan hanya tersenyum atau tertawa.

Sebenarnya, sebutan kampung idiot yang disandang Karangpatihan kurang tepat karena idiot adalah tingkatan tertinggi penyandang tunagrahita. Data desa menunjukkan, penyandang tunagrahita berat di sana hanya empat orang, yaitu Kampret, Gareng, Duni, dan Jemari dengan usia masing-masing yang masih produktif, yaitu rentang 25-40 tahun.

Tunagrahita atau keterbelakangan mental merupakan suatu perkembangan mental yang tidak lengkap atau terhenti. Ini ditandai oleh rendahnya ketrampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat intelegensi, yaitu kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Berdasarkan tingkat intelegensi, ada tunagrahita jenis ringan, sedang, dan berat.

Pertama, penyandang tunagrahita ringan atau debil. Meskipun penyandang jenis ini tidak mampu mengikuti program sekolah biasa, tapi mereka masih memiliki kemampuan untuk berkembang dalam hal membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Selain itu, mereka termasuk orang yang tidak bisa melakukan penyesuaian sosial secara mandiri.

Kedua, penyandang tunagrahita sedang atau imbesil. Mereka memiliki kecerdasan sangat rendah, sehingga tidak dapat belajar secara akademik. Namun, mereka dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri, seperti makan, berpakaian, tidur, atau mandi, serta menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya.

Ketiga, penyandang tunagrahita berat atau idiot. Penyandang ini benar-benar tidak dapat melakukan kegiatan apapun. Mengenali seseorang

110

bahkan berbicara pun mereka tidak mampu. Dengan kata lain, mereka membutuhkan perawatan penuh dari orang lain di sepanjang hidupnya. *** Warto (50) adalah warga Sidoharjo yang sudah tidak asing lagi dengan keberadaan para penyandang tunagrahita. Adik bungsu Warto yang menyandang tunagrahita terkurung di dalam kandang kambing. Sekat anyaman bambu menjadi pemisah antara adiknya dan kambing. “Ya bagaimana, kalau nggak dipasung nanti kabur,” kata Warto. Selain adiknya, di belakang rumahnya juga ada sebuah keluarga yang keempat anggotanya mengidap tungrahita. Menurutnya, tidak ada pihak yang bisa disalahkan atas fenomena ini. “Saya yakin, pemerintah juga pernah ke sini.

Pasti tahu keadaan ini semua,” ujarnya.

Sama seperti Karangpatihan, sebagian penyandang tungrahita di Sidoharjo juga mendapat bantuan kambing. Namun, bagi Warto itu tidak cukup membantu. “Malah banyak yang dijual kambingnya,” ungkapnya. Hal ini tidak terlepas dari orang-orang tidak bertanggung jawab yang mencari celah keuntungan di tengah kepolosan orang tunagrahita. “Mereka (penyandang tunagrahita-red) dihasut buat jual kambingnya,” imbuhnya.

Warto meyakini, saat ini warga Sidoharo membutuhkan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM). “Kalau tunagrahita berat memang sama sekali tidak bisa diberdayakan dan sepenuhnya butuh bantuan orang lain.

Kalau tunagrahita sedang atau ringan masih bisa diberdayakan. Setidaknya mereka bisa mengurus diri sendiri, dan untuk warga normal tapi miskin harus diberdayakan untuk meningkatan taraf kualitas hidup mereka,” ujarnya.

Sidoharjo adalah desa dengan penyandang tunagrahita tertinggi.

Data Balai Desa Sidoharjo menyebutkan, dari total 6262 penduduk, 318 diantaranya menyandang tunagrahita. Desa ini terbagi atas tiga dusun, yaitu Karang Sengon, Klitik, dan Sidowayah. Sebelumnya tiga dusun tersebut merupakan bagian dari Krebet. Namun mulai tahun 2007 mereka resmi menjadi desa sendiri dengan nama Sidoharjo. Alasannya, ketiga dusun tersebut selalu tertinggal dalam pemerataan pembangunan dan kegiatan pelayanan masyarakat. Setelah menjadi desa sendiri, Sidoharjo memiliki alokasi dana sendiri dan penyaluran bantuan seperti Program

111

Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) lebih tepat sasaran.

“Saking luasnya Krebet, kita jadi kurang diperhatikan,” tukas Parnu selaku Kepala Desa Sidoharjo pertama yang juga makelar jual beli sapi tersebut.

Sidoharjo memiliki tanah berkapur. Lokasinya lebih jauh dari pusat pemerintahan karena berada tepat di lereng Gunung Rajekwesi. Bercocok tanam adalah mayoritas mata pencaharian penduduknya. Tetapi tanah kapur yang kurang subur dan sulitnya mendapatkan air menjadi kendala mereka untuk bercocok tanam.

Penelitian Gerakan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) mengungkap, air tanah yang berasal dari sumur yang dikonsumsi warga Sidoharjo tidak mengandung yodium. Padahal zat ini sangat mutlak dibutuhkan manusia, terutama bagi ibu hamil dan orang-orang dengan usia produktif. Yodium mengandung hormon tiroit yang sangat mempengaruhi pembentukan sel saraf dan kinerja otak manusia.

Oleh karena itu, tindakan pertama pemerintah adalah memberikan kapsul beryodium untuk warga yang berisiko tinggi, seperti ibu hamil, wanita subur, dan anak sekolah. Dari tahun 2011 hingga sekarang, mereka mendistribusikan garam yodium gratis kepada masing-masing kepala keluarga melalui pemerintah desa.

Menanggapi hasil penelitian GAKY, Parnu sebagai putra asli Sidoharjo tidak sependapat. Ia tahu betul seluk-beluk dusun-dusunnya. Ia menganalogikan, biasanya satu sumur digunakan untuk 44 Kepala Keluarga (KK). Tapi kenyataanya hanya satu sampai dua KK saja yang terkena tunagrahita. “Lanek ngono aku lakyo keno, mbak (Kalau begitu aku berarti kena, mbak-red),” ujarnya. Menurutnya ini disebabkan oleh banyak faktor, bukan hanya karena kekurangan yodium. Ia lebih percaya, penyandang tunagrahita di desanya merupakan sisa-sisa warga terdahulu yang mengalami masa gagal panen panjang. Penyandang rata-rata berumur 45-46 tahun keatas, meskipun ada satu-dua orang yang berusia 17-25 tahun.

“Ada yang ditelantarkan kedua orangtuanya merantau ke luar negri.

Ada yang disebabkan jatuh sehingga saraf di punggungnya terganggu yang menyebabkan kecacatan permanen,” ungkapnya.

“Ada yang yang bilang karena perkawinan sedarah pak?” tanyaku.

112

“Saya lahir disini dan itu sama sekali mboten bener (tidak benar).

Ora...Ora (Tidak...Tidak),” bantahnya.

Tahun 1965-1966 terjadi kemarau panjang di kawasan lereng Gunung Rajekwesi. Saat itu Parnu berusia enam tahun. “Kulo sampun kelingan niku (Saya sudah ingat itu),” ungkapnya. Dua tahun berturut-turut, lima desa ini mengalami kekeringan panjang dan gagal panen. Ia menyebutnya sebagai masa larang pangan atau tikus. “Jangankan panen, ketika benih jagung baru disebar saja sudah habis dimakan tikus dulu.” Oleh karena itu, tanaman yang bisa hidup di sana hanya berupa rempah-rempah seperti kunyit, jahe, kencur dan ganyong.

Parnu menganggap penanganan tunagrahita sangat terlambat jika baru dilakukan sekarang karena hal itu seharusnya dilakukan ketika masa tikus terjadi. Sekarang, warga Sidoharjo lebih membutuhkan pengentasan tunagrahita. Di lain sisi, ia mengakui sekarang kondisi desanya jauh lebih baik. Warga sudah mulai sadar akan gizi dan SDMnya juga jauh Warga menunjukan kondisi tanah yang tak bisa ditanami di lahan pertanian yang mereka garap di Desa Krebet, Kecamatan Jambon. Akibatnya, banyak warga desa kekurangan zat gizi dalam makanan, termasuk yodium.

ALDINO FRIGA P.S | HIMMAH

113

lebih maju. Ini salah satu dampak positif dari berjalannya program “Sekolah Nyanguni Anak Sing Becik” atau dikenal dengan sebutan Sanguakik, sebuah gagasan dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Yang bersekolah di sana bukanlah anak-anak, melainkan wali murid. Materi yang disampaikan berupa sosialisasi pentingnya pendidikan untuk anakanak. Hasilnya, rata-rata anak-anak yang lulus Sekolah Dasar (SD) bersedia melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). “Mbiyen kayak gitu (Dulu seperti itu-red) nggak ada. SD ya sudah,” imbuh Parnu. *** Didik (15) adalah salah satu penyandang tunagrahita ringan di Sidowayah. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya dan seorang adik perempuan di rumah yang beralaskan tanah dan hanya memiliki sebuah tikar. Ayahnya bernama Paimun (40), ibunya Supi (30), dan adiknya Dwi (10). Dari penuturan saudara sepupu Didik, Ismani (28), meskipun orang tua Didik berperilaku normal, namun mereka lemah dalam berpikir.

Tahun lalu, Kementrian Sosial menyekolahkannya di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita (BBRSBG) Kartini, Temanggung, Jawa Tengah. Ini merupakan lembaga yang melayani kesejahteraan sosial bagi penyandang tunagrahita. Di sana, ia diajarkan untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri dan menjaga kebersihan.

Dari penuturan Ismani, Didik mengalami perubahan setelah satu tahun bersekolah di Kartini. Ia menjadi orang yang sangat menjaga kebersihan. Setiap hari, ia rajin mandi dan mengganti pakaiannya sendiri. Ditemani Ismani, kami pun berniat mengajak mengobrol Didik. Untungya, ia bersedia kami ajak bersalaman. Beberapa detik kemudian ia lari. “Aku adus sek (Aku mandi dulu-red),” teriaknya. Memang begitu tingkah lakunya sepulang dari Kartini. Ia kurang percaya diri bertemu dengan orang baru sebelum ia mandi.

Bukan hanya satu keluarga seperti ini saja di Sidoharjo. Jeboh (60) adalah penyandang tunagrahita ringan yang tinggal bersama sang ibu, Mbah Temu (80). Meskipun Ibu Jeboh mengalami katarak di kedua matanya, tapi ia lihai memanjat. Kurang lebih tiga hari sekali, ia memanjat pohon jati untuk mengambil daun jati. Jeboh pun akan menungguinya di bawah, membawa daun-daun tersebut untuk kemudian dijualnya.

114

Dahulu, Mbah Temu tinggal satu atap dengan ayam-ayamnya. “Bau banget, wis ora koyo omah, mbak (Bau sekali, sudah tidak seperti rumah, mbak),” ungkap Widarto, salah seorang warga Sidoharjo yang menemani kami ke rumah Jeboh. Rumah Mbah Temu pun direnovasi setelah pemerintah setempat mengunjunginya. Hunian berukuran 4x4 meter yang berdinding kayu itu memiliki dua ruang. Ruang pertama digunakannya sebagai ruang tamu, ruang tidur sekaligus kandang ayam. Ruang kedua difungsikannya sebagai dapur.

Mbah Temu yang telah renta masih mencari nafkah untuk keluarganya, sedangkan Jeboh di rumah saja menyalurkan hobi memasaknya.

“Yang ada di dapur dimasaknya semua,” ungkap Widarto. Suatu kali Mbah Temu pernah mendapat sumbangan telur sebanyak tiga kilogram dan Jeboh memasaknya semua. *** Awal 2010 lalu, pemerintah melalui Kementrian Sosial membuat balai pemberdayaan untuk menangani kasus tunagrahita di Ponorogo bernama Rumah Kasih Sayang (RKS). RKS merupakan organisasi sosial independen yang kegiatan utamanya melayani dan memberdayakan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Organisasi ini berpusat di Krebet. Alasannya, dahulu desa tersebut adalah gabungan dari Sidoharjo dan laporan yang masuk ke pemerintah pusat adalah data penyandang tunagrahita tertinggi berada di Krebet.

Tugas awal RKS adalah memberi makanan secara langsung kepada 228 penyandang tunagrahita. Program tersebut berakhir pada 2013 dan beralih fokus pada pemberdayaan penyandang tungrahita. Program ini lebih ditekankan kepada penyandang tunagrahita ringan dan sedang.

Hal ini lantaran mereka masih bisa dilatih mandiri dan diberdayakan untuk melakukan kegiatan.

Setiap hari minggu, penyandang tunagrahita dari Karangpatihan, Krebet, Dayakan, Sidoharjo, dan Pandak berkumpul di RKS untuk membuat berbagai ketrampilan, seperti mewarnai, bermain alat musik, membuat keset, dan gantungan kunci. Sayangnya, cara ini dianggap Jaenuri kurang efektif. Jarak menuju RKS yang jauh membuat tidak semua penyandang bisa ikut berpartisipasi. “Apalagi harus naik motor, mbak. Kalau jatuh repot,” imbuh ketua RKS tersebut.

115

Pihak RKS mewajibkan setiap desa memiliki 10 pendamping untuk mengawasi dan melatih penyandang tunagrahita agar membuat keterampilan secara mandiri. Namun, karena sulitnya mendampingi para penyandang, RKS ternyata masih membutuhkan pendamping tambahan.

Pemerintah menggaji setiap pendamping sebesar Rp 300.000,00 per bulan. Namun, mereka harus berbagi gaji tersebut dengan tenaga pendamping tambahan. “Ya kadang dapet, kadang nggak. Paling penting ikhlas,” ungkap Aneng, seorang pendamping dari Krebet.

Dari keterangan Aneng, dana operasional RKS sepenuhnya berasal dari Kementrian Sosial. Dalam laporan RKS tercatat, pertama kali RKS mendapat dana operasional dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Ponorogo. Tahun 2012, mereka mendapat dana dari Kementrian Sosial sebesar Rp 326 juta dan Rp 476 juta di tahun 2013.

Sejauh ini belum ada wacana untuk memberhentikan RKS. “Semua kebijakan dari kementrian (Kementrian Sosial-red),” terang Aneng. Sekarang, RKS masih mengayomi 100 penyandang tunagrahita yang tersebar dari lima desa. “Tolak ukurnya saya tidak tahu. Tahu-tahu sudah terpilih seratus orang,” ujarnya. Kata Aneng, ketika RKS akan diaktifkan, masing-masing desa hanya diminta mengumpulkan data–data penyandang tunagrahita.

Warga binaan RKS memiliki keunikan masing-masing. Ada seorang tunagrahita sedang yang sangat rapi dalam membuat keset. Namanya Satu. Dalam sehari, ia bisa membuat satu keset. “Lumayanlah, bagi mereka itu penghasilan,” ungkap Aneng. Satu keset biasanya dijual seharga Rp 15.000,00. Rp 7.000,00 akan masuk keuangan RKS, sisanya menjadi milik para pembuatnya. Dari hasil pembuatan keset, Satu akhirnya bisa memiliki telpon genggam bekas yang dibelinya dengan harga Rp 100.000,00.

“Kalau dapat telpon mbak, duh senangnya bukan main. Padahal yang telpon ya pendampingnya aja,” ungkap salah seorang pendamping. *** Eko Mulyadi (25) adalah Kepala Desa Karangpatihan. Sebagai penduduk asli sana, ia tahu betul kondisi desanya. Sedari kecil ia terbiasa berbaur dengan tetangganya yang menyandang tunagrahita. “Kalau di sini tidak ada yang aneh, semuanya biasa saja,” ungkapnya. Mereka diperlakukan

116

sama layaknya orang normal pada umumnya. Warga pun sering memberi bantuan logistik untuk para penyandang tunagrahita.

Sejak gencarnya berita tentang kampungnya, ia mengakui banyak bantuan konsumtif datang silih berganti. Namun, bantuan tersebut hanya sedikit membantu karena tidak bertahan lama. “Bantuan sembako, paling sebulan habis,” ungkapnya. Oleh karena itu, ia mencetuskan suatu kelompok masyarakat (pokmas) bernama Karangpatihan Bangkit. Pokmas ini aktif mengirimkan proposal bantuan pemberdayaan desa kepada lembaga atau instansi terkait.

Eko mengatakan, mayoritas penyandang tuna grahita di desanya berumur 35 tahun ke atas. Ia menganggapnya sebagai peninggalan masa lalu. Menurutnya, kemiskinan menjadi faktor utama merebaknya penyandang tuna grahita di desanya. Karangpatihan adalah wilayah dengan lahan tandus yang hanya bisa ditanami ketika musim hujan datang. Ini sungguh menyulitkan para petani karena mereka tidak memiliki lahan untuk bercocok tanam. Padahal mayoritas mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Alhasil, mereka lebih menggantungkan hidup pada warga yang memiliki sawah atau ladang. Itu pun jika tenaga mereka dipakai. Upahnya minim, hanya sekitar Rp 50.000,00 per lahan dan itu dibayar tiga bulan sekali.

Rata-rata warga Karangpatihan adalah kelas menengah ke bawah.

Oleh karena itu, kebanyakan mereka beralih menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW). “Tapi ya tetap seperti itu. Ibaratnya TKI itu kaya mendadak tapi miskin mendadak,” ungkap Eko. Uang yang mereka dapat dari bekerja di luar negri digunakan untuk memperbaiki rumah. Selebihnya, mereka tetap tidak memiliki anggaran untuk makan sehari-hari. “Makanya kadang bingung. Kalau syarat ngasih bantuan patokannya rumah, rumah bagus tapi nggak punya uang ya banyak,” imbuhnya.

Karena faktor kemiskinan, pihak Perhutani membolehkan warga Karangpatihan membuka lahan melalui izin pemerintah. Akhirnya, banyak warga di sana yang membuka lahan. Sayang, di samping berakibat hutan menjadi gundul, tindakan ini ternyata tidak banyak membantu mereka.

Lantaran lahan hanya bisa ditanami ketika masa penghujan, warga tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari secara rutin.

Pemerintah desa telah mencoba program-program untuk mengentaskan kemiskinan seperti Bantuan Langsung Masyarakat (BLSM) 117

ataupun Bantuan Langsung Tunai (BLT). Pun bantuan-bantuan reguler pemerintah seperti beras miskin (raskin), Program Keluarga Harapan (PKH), bangunan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Namun, Eko menganggap bantuan paling penting adalah pemberdayaan karena cara inilah yang bisa membuat warganya mandiri dan sejahtera. Ia mencontohkan bantuan kambing, ayam, dan lele dari pemerintah yang bisa membuat mereka memiliki pendapatan pasti. Rentang delapan bulan hingga setahun, mereka dapat menjual anak kambing. Di sisi lain, warga juga membutuhkan pasar untuk menjadi sarana penjualan barang-barang kerajinan mereka hasil pemberdayaan KRS. Tanpa pembeli, ketrampilan yang mereka buat tidak akan ada hasilnya.

Selain itu, tantangan berat dalam memberdayakan penyandang tunagrahita adalah masalah komunikasi. Ini mengingat mereka membutuhkan komunikasi khusus untuk memahami lawan bicaranya. Mereka kadang lebih mengerti bahasa isyarat untuk memahami sesuatu. Misalnya, mereka lebih mengerti jadwal makan lele adalah saat sinar matahari mulai terbit dan tenggelam.

Banyaknya bantuan konsumtif sepertinya memang berdampak negatif bagi warga. Hal ini tercermin ketika kami berjalan di daerah sana, mereka banyak yang meminta uang kepada kami. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah desa lebih mengontrol bantuan yang masuk. “Banyak yang nanya, bantuan apa yang butuh? Saya jawab mending (lebih baik) kasih pelatihan,� ungkap Eko. Penyandang tunagrahita di sana juga membutuhkan pendidikan untuk menunjang kemandirian mereka. Di Kabupaten Ponorogo tidak ada Sekolah Luar Biasa (SLB) karena rata-rata penyandang tunagrahita berumur 35 tahun. *** Menanggapi hal ini, pihak Dinkes Ponorogo mengatakan, tidak ada penelitian khusus yang menerangkan jumlah normal penyandang tunagrahita di suatu wilayah. Namun, dr Pretty Brilian Oktovina selaku Ketua bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinkes Ponorogo menerangkan bahwa angka penyandang tunagrahita di Ponorogo

118

sangat memprihatinkan. “Sebenarnya ini sudah lama. Tahun 2006 kabar ini mencuat lagi di Indonesia bahkan internasional,” ungkapnya. Hasil penelitian lapangan, pengobatan medis, ataupun pemeriksaan laboratorium tanah dan air menyatakan bahwa yodium menjadi penyebab utama banyaknya penyandang tunagrahita di sana.

Berbagai upaya telah mereka lakukan. Sebagai tindakan utama, mereka memberi kapsul beryodium untuk warga yang berisiko tinggi, seperti ibu hamil, wanita subur, dan anak sekolah. “Gangguan akibat kekurangan yodium bagi bayi lahir sampai dewasa itu tidak akan bisa disembuhkan kembali menjadi normal,” terang Pretty.

Yodium berfungsi untuk membentuk hormon tiroit. Hormon ini mempengaruhi perkembangan metabolisme, salah satunya pembentukan sel saraf dan tumbuh kembang manusia. Apabila ibu hamil mengalami kekurangan yodium, maka janin dalam kandungannya akan mengalami efek negatif salah satunya perkembangan otak terhambat pada janin tersebut. “Maka yang kita lakukan adalah pencegahan preventif terhadap lahirnya bayi-bayi yang mengalami kekurangan yodium.”

Pretty juga menjelaskan, banyak penyandang tunagrahita tinggal di wilayah pegunungan kering, yang mana yodium tidak dapat tertanam dengan baik di wilayah tersebut. Padahal, seharusya zat yang bisa diperoleh dari air, tanah, atau makanan ini dapat dikonsumsi masyarakat seharihari. Oleh karena itu, pemerintah memberikan bantuan air agar masyarakat dapat mengkonsumsi yodium dengan kadar yang cukup.

“Sebenarnya banyak daerah lain seperti tempat kita, biasanya daerah-daerah dengan pegunungan kapur. Karena tandus, pepohonan jarang bisa tumbuh dengan baik. Air hujan yang turun tidak dapat terserap, melainkan langsung meluncur ke tanah. Karena tidak ada penyangganya, maka air tanah larut. Bedanya, di wilayah lain SDM mereka sudah baik,” terangnya. Maka dari itu, sasaran utama Dinkes Kabupaten Ponorogo tahun 2015 adalah memutus tali kekurangan yodium di lima desa tersebut.

Saat ini Ponorogo memiliki lingkungan pondok sosial (liponsos) yang menampung para Penyandang Masalah Kesejahteraan sosial (PMKS), seperti anak terlantar, anak jalanan, pengemis, gelandangan, pengemis, orang gila, dan wanita tunasusila. Namun, pihak Dinsos Ponorogo mengatakan, langkah yang kurang dilakukan adalah pembuatan panti jom-

119

po. “Banyak kasus orang ditinggal mati saudaranya sehingga ia (penyandang tungrahita-red) harus hidup sendiri,� ungkap Moh. Daroini selaku Ketua Bidang Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial.

Dinsos juga mengaku belum mampu menyediakan kebutuhan sekolah untuk penyandang tunagrahita karena dana yang dibutuhkan sangat besar. Pemerintah daerah melalui Dinsos telah memberikan bantuan dana langsung sebesar Rp 300.000,00 bagi penyandang tunagrahita berat. “Sejak saya menjabat dari 2009, tetep segitu, tidak pernah tambah,� imbuhnya. Menurutnya, memutus angka kemiskinan dan pemberdayaan SDM adalah yang dibutuhkan warga desa dengan sebutan kampung idiot tersebut.q

120

Jalan Buntu Menuju Layanan Kesehatan, Otonomi Daerah dan Romantisme Masa Lalu, dan Wajah Pendidikan Dalam Bingkai yang Kacau dimuat di Majalah HIMMAH Edisi 01|Thn. XLV|JULI 2012.

Kala Jiwa Belum Utama, Prasangka Tak Akan Cerahkan Jiwa, Sang Beras Tumpah, Harga Mahal Edukasi Jiwa, dan Kesunyian dari Ponorogo, dimuat di Majalah HIMMAH Edisi 01|Thn. XLVII|DESEMBER 2014.

121

Profil LPM Himmah

LEMBAGA PERS MAHASISWA (LPM) MUHIBBAH, cikal bakal LPM ini, lahir 11 Maret 1967 dikala Republik Indonesia mengalami masa transisi pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Pembredelan yang sempat dialami tahun 1978 dan 1982 oleh penguasa kala itu, (Pangkopkamtib dan Deppen RI atas nama pemerintah Orde baru), tidak menggoyahkan keteguhannya untuk terus meneriakkan suara kaum yang tertindas dan termarjinalkan secara struktural.

Terbukti dengan kelahiran kembali pada tahun 1983 dengan nama HIMMAH. Nama yang artinya semangat, besar, serta cita-cita ini senantiasa menggelorakan ruh perubahan bagi masa depan kemanusiaan. Di tengah kondisi sosial-politik yang bergolak, HIMMAH menjadi kawah candradimuka untuk menempa mereka yang tidak ingin diam melihat penindasan dan pembodohan sistematik terus-menerus menghantui kehidupan bangsa ini.

122

Tentang Penulis

Dwi Kartikasari Menempuh Pendidikan Dokter selama di UII. Jabatan terakhir di HIMMAH sebagai Koordinator Jaringan Kerja. Sekarang sedang menempuh karir sebagai dokter.

Anugrah Ikhlas Riansyah Paputungan Menempati posisi sebagai Pemimpin Redaksi KOBARkobari selama di HIMMAH. Mengambil studi Pendidikan Dokter di UII dan sekarang berprofesi sebagai dokter di daerah asalnya.

Wening Fikriyati Sekarang bergiat di Institut DIAN/Interfidei. Sempat menjadi Pemimpin Redaksi di HIMMAH. Pernah tercatat sebagai mahasiswa Psikologi di UII. M. Hanif Alwasi Menempuh studi Arsitek di UII. Selama di HIMMAH menjabat sebagai Sekretaris Umum. Sekarang aktif mengikuti forum diskusi sosial dan tata kota.

Hasinadara P. Menjadi Sekretaris Redaksi sewaktu bergiat di HIMMAH. Menempuh studi Komunikasi konsentrasi Jurnalistik di UII. Sekarang sedang giat menyelesaikan karya ilmiahnya.

Moch. Ari Nasichuddin Posisi terakhir di HIMMAH sebagai Pemimpin Umum. Belajar di jurusan Teknik Informatika selama di UII. Sekarang menjadi Programmer di Geek Garden Software House dan Redaktur Pelaksana di Media Kooperasi Literasi.co.

123

Irwan A. Syambudi Tercatat sebagai mahasiswa Manajemen di UII. Menempati posisi Pemimpin Redaksi sebagai jabatan terakhir di Himmah. Kegiatan sekarang dalam proses menyelesaikan karya ilmiahnya dan menjabat sebagai Redaktur Derap Terkini di Media Kooperasi Literasi.co.

Raras Indah F. Sekarang tercatat sebagai mahasiswa Magister Psikologi di UII. Jabatan terakhir di HIMMAH sebagai Redaktur Pelaksana. Menempuh studi S1 jurusan Psikologi di UII. Maya Indah C. Putri Menempuh studi jurusan Informatika di UII. Sempat menjadi Direktur Perusahaan 24,1 di Himmah. Sekarang bergiat di salah satu perusahaan di Semarang.

124