12 minute read

Laporan Utama

“Insya Allah siap (menghadapi digitalisasi). Tapi presentasenya memang belum mencapai 100%, paling tidak 80% yang sudah kita capai. Terbukti pada tanggal 17 November, pelaksanaan Assessment Nasional (AN) kan juga sudah murni digital ya, sudah murni berbasis komputer,”

kan sebagai main-learning, saya katakan belum 100% siap. Karena masih perlu beberapa perbaikan lagi. Jika full online, secara akademik mungkin masih baik-baik saja, tapi kalau berbicara soal mental health, kemudian pembentukan karakter, itu yang saya nggak yakin bisa,” ungkapnya yang juga merupakan salah satu pengajar di Universitas Terbuka saat ditemui di kediamannya (22/12/2021).

Advertisement

Disisi lain, Imam Muslihin mengungkapkan bahwa sudah ada kesiapan untuk menghadapi digitalisasi pendidikan, khususnya di Ponorogo sendiri. “Insya Allah siap (menghadapi digitalisasi). Tapi presentasenya memang belum mencapai 100%, paling tidak 80% yang sudah kita capai. Terbukti pada tanggal 17 November, pelaksanaan Assessment Nasional (AN) kan juga sudah murni digital ya, sudah murni berbasis komputer,” jelasnya.

Meskipun demikian, nampaknya kesiapan tersebut baru bisa dinikmati oleh beberapa wilayah saja sehingga digitalisasi pendidikan dapat dikatakan masih bersifat eksklusif di Indonesia. Apalagi jika menilik pelaksanaan digitalisasi pendidikan di Indonesia. Dalam akses internet, diketahui bahwa terdapat perbedaan yang cukup tinggi antara akses internet di perkotaan dan pedesaan sebesar 27% pada tahun 2018. Hal ini diperkuat dengan hasil survei UNICEF yang dipublikasikan pada (16/06/2020) melalui situs unicef.org, dimana dari tanggal 18 hingga 29 Mei 2020 dan 5 hingga 8 Juni 2020 melalui kanal U-Report yang terdiri dari SMS, WhatsApp, dan Facebook Messenger, diketahui bahwa 35% siswa mengungkapkan bahwa salah satu tantangan utama dalam pelaksaan daring adalah akses internet yang buruk.

Selain itu, masih ada banyak guru yang belum sepenuhnya beradaptasi dengan kondisi daring. Perubahan seringkali masih sebatas pada medianya saja, yakni saat daring pembelajaran dilakukan melalui teknologi digital, namun belum dibarengi dengan kesiapan guru dalam melakukan pendampingan selama pembelajaran. Diambil dari survei yang sama milik UNICEF, 38% siswa merasa bahwa mereka kekurangan bimbingan guru. “Kalau penjelasan dari guru (yang berupa video) itu di kelas satu ada, kelas dua jarang, dan kelas tiga sama sekali tidak ada,” tutur Erli, salah satu wali murid di MIN Paju Ponorogo (20/12/2021).

Terkait pendampingan guru selama daring hingga pembelajaran hybrid, Fitri mengaku bahwa tidak ada pendampingan secara khusus bagi seluruh tingkatan. Pendampingan hanya fokus pada anak-anak kelas satu yang masih kesulitan untuk membaca. “Kalau pendampingan itu ya ndak ada yang khusus. Yang khusus itu hanya kelas satu. (Anak-anak) yang belum bisa baca tulis itu kan ada beberapa, nah yang lain dipulangkan dulu. Lha, yang belum bisa baca tulis itu diberi pelajaran tambahan,” ujar Fitri.

Lebih lanjut, seperti yang ditulis Ari Budi Santosa dalam publikasi berjudul Potret Pendidikan di Tahun Pandemi: Dampak COVID-19 Terhadap Disparitas Pendidikan di Indonesia, digitalisasi pendidikan di Indonesia justru diinisiasi oleh sektor swasta dalam bentuk start-up seperti Zenius dan Ruangguru yang pada dasarnya dibentuk oleh masyarakat urban di kota-kota besar. Ekslusivitas digitalisasi pendidikan juga masih terpusat di Pulau Jawa saja sehingga memperlebar ketimpangan pendidikan yang memang sejak awal sudah menjadi masalah pelik di Indonesia. Dengan demikian, apakah benar bahwa Indonesia sudah siap untuk menghadapi digitalisasi pendidikan? Lantas apa saja pekerjaan rumah pemerintah guna menunjangnya? Tentu inilah yang menjadi tanda tanya besar kedepannya.

Titah Gusti P. (28.19.205) Dela Septiana (29.20.211)

Pendidikan merupakan sarana yang membebaskan seseorang dari kebodohan dan yang timbul akibat kebodohan tersebut, seperti contoh kemiskinan, gampang ditipu, pola pikir sempit dan lain sebagainya. Dikarenakan semakin tingginya pendidikan seorang maka semakin tinggi pula pengetahuannya, dengan begitu dapat meningkatkan peluang untuk berkarir, pekerjaan dan kedudukan yang lebih baik.

Di Negara Indonesia terdapat dua lembaga kementerian yang menaungi pelaksana pendidikan di bawahnya, yakni Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) dan Kementerian Agama (Kemenag), yang sama-sama memiliki tujuan untuk membangun cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kemdikbudristek merupakan salah satu dalam kementerian pemerintah Indonesia yang membidangi dalam urusan pengelolaan kebudayaan, penelitian, teknologi dan pendidikan. Sedangkan Kemenag merupakan salah satu kementerian dalam pemerintah Indonesia yang membidangi dalam urusan keagamaan.

Kemdikbudristek membidangi seluruh jenjang pendidikan umum yakni TK/SD/ SMP/SMK dan sederajat serta Perguruan Tinggi. Sedangkan Kemenag membidangi dalam urusan pendidikan Islam yakni RA/MI/MTs/MA, MAK dan Perguruan Tinggi Agama Islam (UIN/IAIN/STAIN). Adanya

Dilematis Pendidikan:

Asinkron Kebijakan Kemdikbudristek dan Kemenag

"Hal ini terlihat pada jarak pendirian sekolah/madrasah tidak ada kesepakatan antara Dinas Pendidikan dan Kemenag, sehingga memicu ketimpangan lembaga pendidikan yang saling berdekatan, ketimpangan yang kerap terjadi adalah salah satu lembaga pendidikan tersebut mengalami penurunan jumlah siswa."

dua kementerian yang menaungi lembaga pendidikan ini menjadikan sistem di Indonesia berjalan secara berlainan, yaitu pembedaan antara mata pelajaran umum dengan mata pelajaran agama. Tidak hanya berbeda dalam pemilahan pe- ajaran namun juga dalam tataran operasional antara sekolah yang berada di bawah naungan Kemendikbud dan madrasah yang berada di bawah naungan Kemenag memiliki kebijakannya masing-masing.

Kebijakan negara pada bidang pendidikan yang meliputi sistem, kelembagaan, kurikulum, dan proses pendidikan merupakan produk dari berbagai elemen politik yang ada di lembaga legislatif dan eksekutif. Maka tak salah jika pendidikan saat ini disebut sebagai cermin dari politik pendidikan nasional (Djamas, 2009:193). Kebijakan pendidikan dilaksanakan dan dirumuskan berdasar visi dan misi pendidikan. Dalam hal ini, Kemdikbudristek dan Kemenag melaksanakan pendidikan di Indonesia sesuai dengan kebijakan yang mereka keluarkan secara berbeda.

Namun dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemdikbudristek dan Kemenag tentu masih ada yang tidak selaras atau tidak seimbang, seperti contoh: aturan jarak pendirian sekolah dan madrasah yang jarak antar satu sekolah dengan sekolah lainnya atau satu ma- drasah dengan madrasah lainnya minimal tiga kilometer. Hal itu diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Persoalan aturan jarak pendirian sekolah dengan madrasah ini tidak ada peraturan ataupun pedoman yang diberikan oleh pemerintah daerah. Hal ini terlihat pada jarak pendirian sekolah/madrasah tidak ada kesepakatan antara Dinas Pendidikan dan Kemenag, sehingga memicu ketimpangan lembaga pendidikan yang saling berdekatan, ketimpangan yang kerap terjadi adalah salah satu lembaga pendidikan tersebut mengalami penurunan jumlah siswa. Namun Dinas Pendidikan beralasan bahwa penurunan jumlah siswa bukan hanya dari jarak sekolah yang saling berdekatan, tapi bisa juga ada faktor lain yang memengaruhi kondisi tersebut. Selanjutnya dalam kebija- kan jadwal Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Pelaksanaan terkait PPDB sekolah merujuk pada Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2017 pada Pasal 55, namun berbeda dengan madrasah yang mengacu dengan pe- raturan yang dibuat Kemenag pusat, dan bukan wewenang dari pemerintah daerah dalam pelaksanaannya. Sehingga dalam pelaksanaan PPDB oleh sekolah yang berada di bawah naungan Kemdikbudristek dengan madrasah yang di bawah naungan Kemenag tidak terlak- sana secara bersamaan.

Dalam pendidikan umum yang berhadapan dengan pendidikan agama sering menimbulkan insinkronisasi atau kecemburuan pada pengelolaan komponen pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat pendidikan tinggi. Dan dalam pengelolaannya seperti pengalokasian dana, bantuan buku, penempatan guru, perhatian, pembinaan manajerial, bantuan buku, media pembelajaran, hingga pemberian beasiswa.

Pendirian Sekolah dan Madrasah

Pada Permendikbud Nomor 36 Tahun 2014 tentang Pedoman Pendirian, Perubahan, dan Penutupan Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah mengatur mengenai pokok-pokok dalam peraturan sebagai syarat pendirian dan penutupan satuan pendidikan. Pendirian satuan pendidikan atau mendirikan se-

kolah baru sama halnya pembukaan satuan pendidikan baru. Terdapat pada Pasal 2 bahwa pendirian dan perubahan satuan pendidikan dasar dan me- negah dapat dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan Masyarakat. Lalu persyaratan pendirian satuan pendidikan pada Pasal 4 meliputi: hasil studi kelayakan, isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi serta manajemen dan proses pendidikan. Lebih jelasnya terdapat pada BAB II Persyaratan Pendiririan Satuan Pendidikan dan untuk Tata Cara Pemberian Izin Pendirian Satuan Pendidikan pada BAB III.

Lalu pada pendirian madrasah yang merupakan penetapan pendirian satuan pendidikan madrasah yang diselenggarakan oleh organisasi berbadan hukum dalam bentuk yayasan/ lembaga/lainnya setelah memenuhi peryaratan adminsitratif, teknis dan kelayakan. Adapun prosedur untuk pendirian ma- drasah merujuk pada Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 1385 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknik Pendirian Madrasah yang diselenggarakan oleh masyarakat 1. Organisasi berbadan hukum selaku organisasi calon penyelenggara mengajukan proposal pendirian madrassah dengan dokumen persyaratan: administrative, teknis, kelayakan. 2. Proposal pendirian madrasah disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Kemenag setempat melalui Kepala Kantor kemenag 3. Kepala Kantor Kementrian Agama menugaskan Kepala Seksi Pendidikan Madrasah untuk membentuk tim verifikasi paling sedikit tiga orang yang berantokan dari unsur Seksi Pendidikan Madrasah dan Pengawas Madrasah 4. Tim verifikasi melakukan verifikasi dokumen proposal pendirian madrasah berdasarkan persyaratan yang telah ditentukan 5. Apabila hasil verifikasi dokumen memenuhi persyaratan, maka tim verifikasi dokumen melakukan verifikasi lapangan, jika tidak maka Kepala Kantor Kemenag menyampikan ke organisasi calon penyelenggara. 6. Jika memenuhi maka Kepala Kantor Kemenag memberi rekomendasi ke pendirian madrasah ke Kepala Kantor Wilayah Kemenag memberitahukan hasil verifikasi kepada calon organisasi penyelenggara 7. Berdasarkan rekomendasai dari Kepala Kantor Kemenag, kepala Kantor Wilayah Kemenag mengadakan rapat pertimbangan pemberian izin pendirian madrasah yang melibatkan verifikasi lapangan dan para kepala seksi pendirian madrasah, 8. Kepala bidang pendidikan madrasah dapat melakukan verifikasi lapangan ulang untuk menentukan kelayakan pendirian madrasah. 9. Kepala bidang pendidikan madrasah melaporkan hasil keputusan rapat pertimbangan pemberian izin pendirian madrasah kepada kepala kantor wilayah kementerian agama 10. Apabilan kelengkapan persyaratan pendirian madrasah terpenuhi berdasar hasil keputusan rapat pertimbangan pemberian izin pendirian madrasah, Kepala Kantor Wilayah atas nama menteri agama menetapkan keputusan pemberian izin operasional pendirian madrasah dan piagam pendirian madrasah 11. Apabila kelengkapan persyaratan pendirian madrash belum terpenuhi berdasarkan keputusan rapat pertimbangan penetapan izin pendirian madrasah, kepala kantor wilayah melalui kepala bidang pendidikan madrasah memberitahukan hasilnya kepada organisasi calon penyelenggara. 12. Kepala bidang pendidikan madrasah menyampaikan asli keputusan menteri agama tersebut dan asli Piagam Pendirian Madrash kepada organisasi calon penyelenggara dengan menyampaikan fotokopi salinan keputusan tersebut kepada: kepala kementrian agama setempat dan direktur jenderal pendidikan islam.

Dan syarat lembaga pendidikan baru yakni memenuhi

Kepala Kantor Kementrian Agama menugaskan Kepala Bidang Pendidikan Madrasah untuk membentuk tim verifikasi palng sedikit tiga orang yang beranggotakan dari unsur Seksi Pendidikan Madrasah dan Pengawas Madrasah.

syarat administratif pendirian madrasah: a. Penyelenggara pendidikan merupakan organisasi berbadan hukum b. Memiliki struktur organisasi, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan pengurus c. Mendapat rekomendasi dari Kepala Kantor Kementerian Agama d. Memiliki kesanggupan untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan paling sedikit sampai 1 tahun pelajaran berikutnya.

Sumber daya manusia dalam memenuhi kualifikasi pendirian madrasah, yakni:

Kurikulum

Salah satu komponen penting dalam pendidikan adalah kurikulum. Kurikulum menurut Nasution merupakan suatu perencanaan yang bertujuan untuk melancarkan proses be- lajar-mengajar di bawah bimbingan dan tanggungjawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya. Kurikulum merupakan posisi strategis dalam mendeskripsikan visi, misi, dan tujuan pendidikan sebuah bangsa serta kurikulum sebagai sentral muatan nilai yang ditransformasikan kepada peserta didik. Mengenai kurikulum, masyarakat awam telah mengenal berbagai kurikulum seperti Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Kurikulum berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) serta Kurikulum 2013, dengan bergulirnya kurikulum tersebut sering muncul beberapa pihak anekdot dengan bergantinya menteri, maka juga akan berganti kurikulumnya. Hal tersebut diamini oleh pemerhati Universitas Gajah Mada (UGM), yang menyatakan bahwa setiap pergantian menteri akan selalu membawa paket baru di masa kepemimpinannya (Maf, 2013).

Pelaksanaan kurikulum oleh Kemenag dan Kemdikbudristek dapat dilaksanakan dalam satu sekolah/madrasah, setidaknya menurut Kemenag, begitupula dengan penguruan tinggi umum/Islam. Universitas Muhammadiyah Ponorogo, misalnya, yang menerapkan kurikulum dari Kemenag untuk Fakultas Agama Islamnya, dan menerapkan kurikulum dari Kemendikbud untuk fakultas umumnya. Selain kurikulum, tenaga pengajar juga terpisah dalam dua naungan, yakni dosen Kemenag (dosen yang di bawah naungan Kemenag) dan dosen Kemdikbudristek (dosen yang berada di naungan Kemdikbudristek) yang dalam kualifikasinya berbeda.

Pembedaan naungan kementerian ini tidak hanya terjadi pada perguruan tinggi, sekolah menengah juga Menggunakan sistem yang sama. Meskipun sekolah yang bersangkutan menggunakan sis-

tem dari Kemdikbud akan tetapi dalam hal pelajaran agama akan mendapatkan bimbingan dan kurikulum dari Kemenag, bukan hanya kurikulum keagamaan saja yang mendapatan bimbingan kemenag, akan tetapi juga guru mata pelajaran agama juga difasilitasi Kemenag. Meskipun, jika dalam satu kelas terdapat lima siswa yang beragama nonmuslim dan bersifat minoritas maka Kemenag akan memfasilitasi guru agama bagi murid yang minoritas ini, “jika ada mata pelajaran agama di sekolah Kristen gurunya juga akan kita bina, dan diberikan kurikulum dari Kemenag Pusat,” tutur Syaikhul Hadi selaku Kepala Kemenag Kabupaten Ponorogo. Kurikulum yang diterapkan oleh sekolah dan madrasah tentu berbeda. Sebuah lembaga pendidikan yang berkategori sekolah sudah pasti akan menganut sistem kurikulum yang diberikan oleh Kemdikbudristek yang dikoordinasi oleh Dinas Pendidikan, sedangkan untuk Lembaga Pendidikan yang berkategori Madrasah akan menganut sistem kurikulum dari Kemenag Pusat yang dikoordinasi oleh Kemenag Provinsi lalu ke Kemenag Kabupaten. Namun, meskipun lembaga pendidikan yang berkategori sekolah yang dibawah naungan Kemdikbudristek terdapat mata pelajaran agama yang notabene, mata pelajaran ini, di bawah naungan dan koordinasi Kemenag mata pelajaran agama akan tetap diberikan dan diatur oleh Kemdikbudristek, “untuk sekolah semuanya tetap dari Kemdikbudristek Pusat,” ungkap Imam Muhlisin selaku Kabid SD Dinas Pendidikan. Hal ini berbeda dengan Syaikhul Hadi yang menyatakan bahwa kurikulum untuk pelajaran agama diberikan oleh Kemenag.

Hal itu menunjukan bahwa tidak ada keserasian yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut, Imam Muhlisin menyatakan bahwa memang dari segi peraturan sudah berbeda. Dari beberapa peraturan menunjukkan ketidakserasian antara peraturan Kemenag dan Kemdikbudristek tersebut, seperti pendirian sekolah, kurikulum dan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) serta alokasi dana.

Kurangnya Tenaga Pengajar Agama

Soal tenaga pengajar, terutama bagi guru pendidikan agama minoritas dinilai kurang untuk mencukupi pembelajaran siswa, sehingga siswa yang berbeda sekolah akan mengadakan kegiatan belajar mengajar dengan cara bergabung dalam satu tempat. Seperti halnya SMP Katolik Slamet Riyadi, siswa-siswa dari SMP sekitar Kabupaten Ponorogo akan ikut bergabung di dalamnya dalam pelajaran Agama Katolik, dikarenakan jumlah guru agama katolik hanya satu orang. “Beberapa sekolah yang ada di Slahung, Sampung atau di Pulung bergabung menjadi satu disana, karena gak mungkin kalau satu guru mengajar di sekolah-sekolah yang hanya satu orang saja yang beragama katolik,” ungkap Maria Yustriciasanti selaku Kepala Sekolah SMP Katolik Slamet Riyadi.

Kekurangan guru ini menyebabkan beberapa sekolah pada mata pelajaran tertentu terutama mata pelajaran agama yang pemeluknya minoritas memaksa siswanya bergabung belajar ke sekolah lain. Meskipun tenaga pengajar pada sekolah yang dinanungi oleh Kemdikbud diatur dalam perekruitan CPNS yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Namun, kurangnya tenaga pengajar dalam mata pelajaran agama ini, disinyalir karena pemerintah pusat tidak meng-acc kebutuhan yang diajukan oleh Kemenag ataupun Dinas Pendidikan. “Tapi kabar terakhir itu kabupaten Ponorogo sering kali mengusulkan ke pusat tapi belum di acc tapi masalahnya disana saya juga tidak tau, “ tambah Maria.

Adanya permasalahan kurangnya guru agama di sekolah, sehingga yang terdaftar guru Katolik sebanyak lima orang se-kabupaten Ponorogo, salah satunya SMAN Ponorogo yang setiap hari berkumpul untuk mata pelajar gabungan. Bahkan saat ini guru PNS di sekolah tersebut sudah tidak ada semenjak DPK (PNS yang diperbantukan) dihapus.

Menurut Syaikhul Hadi, mendapatkan pengajaran agama dalam sebuah sekolah merupakan hak yang diperoleh siswa. Walaupun ada siswa non muslim pada suatu sekolah terdapat lima siswa namun, haknya harus tetap terpenuhi. “Jika ada sekolah yang terdapat siswa yang beragama non islam, maka juga berhak mendapatkan pelajaran tentang agamanya.” Jelasnya

Zanida Iqra M. (27. 18. 189) Aldian Yoga H. (29. 20. 207)