
4 minute read
Komunikasi dengan Dosen Pembimbing Masih Menghambat Penyelesaian Tugas Akhir
Kenyataannya, komunikasi dengan dosen pembimbing selama pengerjaan tugas akhir masih menjadi hambatan yang berpotensi untuk menunda kelulusan mahasiswa.
Oleh: Dina, Anastasya.
Advertisement
diwawancarai ASPIRASI melalui Zoom Meeting pada Rabu, (1/3).
Kelulusan menjadi momen yang paling ditunggu oleh mahasiswa tingkat akhir. Tentunya ada syarat yang harus dipenuhi sebelum mahasiswa dinyatakan lulus, salah satunya adalah penyelesaian tugas akhir.
Peran dosen pembimbing yang sangat penting dalam proses pengerjaan tugas akhir seharusnya diiringi dengan realisasi peran tersebut. Namun, hal itu nyatanya malah menjadi bumerang bagi sebagian mahasiswa dan menghambat proses penyelesaian tugas akhirnya.
Seperti yang dialami oleh salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) angkatan 2018 yang mengaku mengalami hambatan dalam penyelesaian tugas akhir karena adanya kendala komunikasi dengan dosen pembimbing.
Kepada ASPIRASI, ia menjelaskan bahwa komunikasi dengan dosen pembimbing sempat berjalan satu arah selama dua bulan lamanya sebelum akhirnya berhasil melakukan bimbingan.
“Jadi kurang lebih dua bulan kita gak ketemu, ngga bimbingan. Tapi aku tetap chat sampai akhirnya kita bimbingan,” ungkapnya saat
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa bimbingan secara tatap muka ia dapatkan sekali hingga dua kali, tetapi bimbingan selanjutnya ia inisiatifkan melalui fitur komentar di dokumen atau komentar langsung melalui WhatsApp lantaran kesibukan dosen pembimbingnya.
“Kalau bimbingan offline atau online bisa dihitung jari. Cuma karena kita tau dosen itu sibuk, akhirnya kita ngalah untuk ngikutin apa maunya dosen,” terangnya.
Serupa tapi tak sama, ASPIRASI juga mendapat konfirmasi dari salah satu mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ilmu Komputer (FIK) yang turut mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas akhir miliknya.
Mahasiswa FIK tersebut menyayangkan bagaimana komunikasi dengan dosen pembimbing selama masa bimbingan cukup sulit dibangun sehingga kejelasan dari revisi-revisi yang seharusnya dapat dilakukan menjadi tidak maksimal.
Hal tersebut berimbas dengan pemberian revisi dari dosen penguji yang mengharuskannya kembali ke titik awal pengerjaan tanpa adanya argumen pembelaan dari dosen pembimbing. Padahal, terangnya, pada awalnya judul tersebut sudah disetujui oleh dosen pembimbingnya.
“Di awal itu beliau bilang ke aku bahwa judul aku itu masih bisa dipake. Tapi ternyata pas sidang, beliau malah menyetujui dosen penguji mengubah judul itu,” ungkapnya kepada ASPIRASI melalui Zoom Meeting pada Sabtu, (11/3).
Menanggapi hal tersebut, Dekan FIK Ermatita menjelaskan bahwa pemberian revisi bukan semata-mata untuk menyulitkan mahasiswa, tetapi karena dosen memang harus mengikuti standar yang telah ditentukan oleh masing-masing fakultas.
“Kompetensi kita ini punya standar. Mungkin mahasiswa merasa kalau ini menyulitkan, tapi sebenernya dosen ini diminta untuk mengikuti standar dari dalam,” komentarnya kepada ASPIRASI pada Kamis, (15/3).
Kendati demikian, mahasiswa tingkat akhir FIK tersebut menilai bahwa dosen pembimbing turut memiliki andil besar dan seharusnya dapat memberikan umpan balik yang matang selama masa bimbingan kepada para mahasiswanya.
“Kalo menurut dosen itu udah enggak (sesuai), mending bilang dari awal. Apalagi ketika mahasiswa lagi ragu,” ujarnya sarat kekecewaan.
Kendala mengenai tugas akhir juga dialami oleh salah satu mahasiswa dari Fakultas Hukum (FH). Mahasiswa tersebut mengaku bahwa pengerjaan tugas akhirnya terhambat karena dosen pembimbing yang kurang responsif dalam proses penjadwalan waktu bimbingan.
Ia mengungkapkan bahwa dibutuhkan waktu tujuh bulan sebelum akhirnya ia dapat melakukan bimbingan. Ajuan bimbingan tugas akhir yang ia kirim pada bulan September tahun lalu baru berbuah manis di bulan Maret.
“Dari September ke Maret itu ada rentang waktu yang sangat lama, beliau bilang itu ada antrean yang mau dibimbing, kemudian beliau juga ada kegiatan lain,” jelasnya kepada ASPIRASI pada Kamis, (16/3).
Mengaku sempat mendatangi langsung dosen pembimbing ketika pesannya tidak kunjung dibalas September lalu, usahanya tidak berhasil ketika ajuan bimbingannya ditolak karena belum adanya perjanjian di antara keduanya.
Hal tersebut membuatnya urung untuk mendatangi langsung kembali dosen pembimbingnya selama tujuh bulan, sebelum akhirnya memaksakan mendatangi kembali pada bulan Maret.
“Pernah di bulan September mendatangi langsung, kemudian dia bertanya, ‘memangnya sudah janjian?’ Saya jadi agak traumatik untuk datang lagi. Akhirnya saya, ya, sudah paksakan bulan ini (Maret) datang dan Alhamdulillah diterima,” ceritanya.

Serba Salah, Mahasiswa Menilai Belum Memiliki
Ruang Aman
Wadah beserta ruang aman untuk mahasiswa menyampaikan keluhan mengenai dosen pembimbing nyatanya belum memiliki eksistensi dan regulasi yang pasti di kampus bela negara.
Dekan FISIP Kusumajanti menjelaskan bahwa mahasiswa FISIP dapat menyampaikan keluhannya kepada Kepala Program Studi (Kaprodi) dan juga terdapat evaluasi dosen pembimbing pada setiap akhir semester.
“Segala keluhan mahasiswa dapat disampaikan kepada Kaprodi. Bahkan di FISIP jika akhir semester dilakukan evaluasi pembimbingan dan mahasiswa diijinkan untuk mengajukan pergantian pembimbing skripsi ke Kaprodi.” jelasnya secara tertulis melalui WhatsApp kepada ASPIRASI pada Jumat, (17/3).
Tak jauh berbeda, Erma juga menerangkan bahwa FIK memiliki regulasi untuk menindaklanjuti keluhan terhadap dosen pembimbing melalui Kaprodi. Kaprodi sendiri yang akan turun tangan dan memediasi masalah tersebut agar menemukan jalan terang.
“Kita akan memediasi jika ada laporan terkait yang demikian. Jadi dari Kaprodi juga memantau tugas akhir tersebut,” jelasnya.
Mengenai hal ini, ASPIRASI pun turut mewawancarai Wakil Rektor (Warek) I Dudy Heryadi. Ia menegaskan bahwa permasalahan ini sudah sepantasnya diselesaikan dengan baik oleh tiap-tiap fakultas, bertahap sesuai sistem yang ada. Jika tidak terselesaikan di tingkat dekanat fakultas, keluhan tersebut dapat dilanjutkan kepada dirinya selaku Warek I.
“Anda kumpulkan syarat bukti laporannya, Anda lapor ke Kaprodi–kaprodinya diem aja misalnya sebulan ga jawab, kirim ke Dekan. Dekan gak jawab, kirim ke saya,” tegasnya kepada ASPIRASI pada Selasa, (28/3).
Sementara itu, mahasiswa FISIP yang menjadi narasumber ASPIRASI, sebelumnya mengaku sempat melaporkan keluhan tersebut melalui pihak Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP alih-alih melalui Kaprodi, tetapi belum mendapat progres yang signifikan.
Menurutnya, rasa bimbang dan ketakutan mengenai bagaimana pandangan dosen pembimbing menjadi subjektif kepada pelapor juga turut menjadi pertimbangan mahasiswa untuk tidak melaporkan keluhan tersebut secara terangterangan, terlebih melalui Kaprodi.
“Kadang riskannya di sini, sebenarnya ini hak kita buat bimbingan, buat ngerjain skripsi dan sebagainya. Tapi kalau kita bergerak buat minta, takutnya dosennya subjektif ke kita, makin kesel ke kita,” terangnya.
Sependapat, mahasiswa FH yang menjadi informan ASPIRASI sebelumnya juga merasa bahwa posisinya sebagai mahasiswa akan sangat dirugikan. Berbagai pertimbangan seperti posisi dosen yang lebih tinggi dari mahasiswa menjadi alasannya untuk tidak melapor.
“Kalau misalnya saya melaporkannya bisa jadi saya tidak diluluskan. Ada berbagai macam konsekuensi yang akan saya terima,” ucapnya getir.
Ia menilai sekalipun ada wadah untuk mengakomodasi permasalahan ini, mahasiswa tidak serta-merta dapat diuntungkan karena mereka berada di posisi di mana mereka tidak bisa leluasa menolak apapun.
Bahkan sekalipun itu anonim, menurutnya, sulit untuk sepenuhnya berlindung karena cepat atau lambat identitas pelapor akan mudah diketahui mengingat batasan lingkup mahasiswa bimbingan itu sendiri.
“Pasti ketahuan siapa yang melapor sekalipun itu anonim. Kalau kita berlindung dibalik jumlah angkatan bisa jadi (terlindungi). Tapi kalau misalnya lima-enam-tujuh-delapan orang (jumlah mahasiswa bimbingannya), tidak bisa,” tandasnya pesimis. []
