
4 minute read
Karisma Sang Tini
ChristianLeonardo
21 April, 1879. Tanggal kelahiran seorang gadis cantik nan elok bernama
Advertisement
Tini. Ia dilahirkan di sebuah desa kecil yang berlokasi di Jepara, Jawa
Tengah. Sejak kecil, Tini selalu diajarkan untuk menjadi seorang yang penurut, khususnya menuruti perintah dan permintaan laki-laki. Ia masih belum mengerti kenapa hal itu adalah sebuah “keharusan” karena umurnya yang masih kecil.
“Ibu, kenapa kita harus menjadi seorang penurut?
Bukankah kita juga manusia yang mempunyai keinginan?” tanya Tini kepada ibunya.
Sang ibu menggelengkan kepalanya dan membelai kepala Tini. “Kita sudah ditakdirkan seperti ini, nak.” Jawaban tersebut terngiang-ngiang di pikiran Tini.
Tini merupakan seorang pekerja keras yang tidak pernah lelah membantu ibunya keliling berjualan kue di sekitar desa. Setiap hari ia bangun pagi untuk membersihkan rumah, membantu ibunya menyiapkan adonan yang dibuat dari awal, dan membawa keranjang kue hingga sore hari. Itulah keseharian Tini dan sang ibu.
Pada sisi lain, saudara lakilaki Tini, Adi, pergi ke sekolah untuk menuntut ilmu setiap hari. Tiap pukul 12 siang, Adi pulang dari sekolah dengan berbagai kisah menarik yang hendak diceritakan kepada seluruh keluarganya.
“Bapak! Ibu! Hari ini Adi diajarkan cara menulis pantun sama Bapak Dimas! Coba dengar ini,” seru Adi dengan kegirangan. Ia memperlancar suaranya dan mulai berbicara,
“Bersyukur sebelum tua, karena hidup tak abadi. Halo, teman-teman semua.
Perkenalkan nama saya Adi.”
Kedua orang tua Adi bertepuk tangan dengan tawa yang keluar dari mulut mereka, sedangkan
Tini hanya bisa melihat dengan senyuman tipis di wajahnya; menginginkan apa yang Adi miliki pada saat itu — pendidikan.
Suatu hari, saat Tini dan ibunya berkeliling untuk menjual kue, mereka melewati sebuah komplek sekolah. Terdapat banyak sekali anak-anak — yang semuanya adalah laki-laki
— di sekitar sekolah; bermain, membeli makanan ringan, ataupun membaca buku. Tini menatap pemandangan yang telah lama ia dambakan dan berkata kepada dirinya sendiri, “Kapan ya aku bisa seperti mereka?”
Sejak saat itu, Tini bertekad untuk merubah masa lalu menjadi masa depan yang cerah bagi seluruh rakyat, khususnya kaum perempuan.
Pada suatu pagi, Tini bangun dari tidurnya dan bergegas mendatangi sang ibu. “Ibu! Tini nggak mau hidup seperti ini lagi! Tini mau bisa belajar! Tini mau bisa punya banyak teman! Tini mau bisa ke sekolah bertemu guru! Tini- Tini mau bisa hidup normal…” teriak si gadis kecil dengan getaran di suaranya. Sedikit demi sedikit, air mata yang telah terkumpul menetes, membasahi pipinya yang merah. Tangannya terkepal oleh emosi dan harapan. Kakinya yang mungil ia hentakan ke lantai berulang kali.
Ibunya terkejut oleh jerit
Tini yang tidak pernah berteriak sekalipun. “Nak, ibu akan mengusahakannya ya, kamu bersabarlah.”
“Ibu bohong! Kita perempuan akan selalu ditindas oleh laki-laki!
Kenapa ibu diam saja!” pekik
Tini untuk terakhir kalinya sebelum ia bergegas pergi meninggalkan ibunya.
Keesokan harinya, Tini mengumpulkan beberapa lembar kertas yang kemudian ia tulis menggunakan sebuah pulpen hitam dan merah yang berkata, “Perempuan juga punya hak untuk
BEBAS”. Kertas-kertas tersebut lalu Tini bagikan kepada orang-orang yang ia temui di jalan — ibu penjual jamu, bapak ketua desa, bahkan pembawa koran. Tak lama setelah itu, Tini bertemu dengan sebuah kelompok muridmurid sekolahan. Ia dengan antusias berlari kepada mereka dan memberikan sebuah poster buatannya.
“Apa ini?” tanya salah satu murid laki-laki.
“Poster, untuk mendukung perempuan.”
“Hah? Perempuan? Mau apa kalian? Perempuan itu tugasnya hanya memasak, mencuci baju, dan membersihkan rumah!” semua anak-anak tersebut menertawakan Tini dan depan yang cerah bagi seluruh rakyat, khususnya kaum perempuan. posternya, yang kemudian dirobek dan diinjak oleh murid tersebut. Amarah memenuhi Tini, dan ia pun mendorong murid laki-laki tersebut hingga jatuh ke tanah, mengotori seragam putih yang ia kenakan.
Tini berlari sekuat tenaga untuk menghindari kelompok murid yang mengejarnya demi membalaskan perbuatan Tini. Ia tersandung oleh sebuah batu besar, dan lutut serta sikunya pun berdarah. Tidak menghiraukan rasa sakit yang ia rasakan, Tini berdiri dan berlari lagi secepat mungkin ke arah rumahnya. Sesampainya di gang rumahnya, Tini berteriak memanggil ibunya, “Ibu! Ibu! Ibu!”
Sang ibu keluar dari rumah karena jeritan anaknya yang nyaring. “Tini! Kamu kenapa?! Dari mana saja kamu? I- ini kenapa badan kamu kotor semua?! Tangan dan kakimu juga berdarah!”
Karya
FKIP 30
Teriak ibu Tini karena khawatir melihat anaknya yang telah menghilang selama setengah hari kembali dengan baju yang dikotori oleh tanah, serta tangan dan kaki yang dilengkapi oleh darah dan memar. Sang ibu kemudian memeluk erat anaknya dan membawanya masuk ke dalam rumah untuk mengobatinya.
Tini menangis di tempat tidurnya, sedih akan perbuatan yang ia dapati.
Namun, hal tersebut tidak mematahkan semangat Tini dalam membuat perubahan bagi kaum perempuan.
Mulai saat itu, Tini menyisihkan sedikit uang dari hasil penjualan kue setiap harinya. Ia meletakkan uang tabungannya ke dalam celengan yang terbuat dari galon air.
Sembari menabung untuk menjalankan rencananya, Tini juga tetap membuat poster-poster dari kertas yang ditempelkannya di seluruh bagian desa.
Seiring berjalannya waktu, Tini bertambah umur, dan ia menjadi semakin terkenal akan kegigihan dan semangatnya dalam menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi kaum perempuan. Suatu pagi yang cerah, matahari menyinari seluruh desa yang diramaikan oleh pidato Tini.
"Barangsiapa tidak berani, dia tidak bakal menang, itulah semboyanku!
Maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia! Kata ‘aku tiada dapat’ melenyapkan rasa berani. Kalimat ‘aku mau’ membuat kita mudah mendaki puncak gunung. Maka mari kita katakan bersama, ‘Aku mau belajar, aku mau sekolah, aku mau menuntut ilmu!’”
Pidato Tini diramaikan oleh sorakan dari perempuanperempuan dan wanitawanita desa tersebut.
Pidatonya yang berkobar dengan api menyulut semangat semua kaum perempuan di desa itu dan bersama, mereka mengumpulkan uang.
Sedikit demi sedikit, uang mulai terkumpul, dan tanpa disadari, tabungan yang mereka satukan sudah lebih dari cukup untuk memulai pendidikan bagi kaum perempuan.
Tini terus melanjutkan pidato dan kampanyenya yang bertujuan untuk menyadarkan rakyat bahwa pendidikan adalah untuk semua. “Ibu, aku masih ingat ketika ibu menjawab pertanyaanku. Ibu mengatakan bahwa kita sudah ditakdirkan seperti ini. Menurutku itu salah.
Takdir seorang manusia, hanya dialah yang memegang. Takdir seorang manusia, bukanlah milik siapapun. Takdir seorang manusia, tidaklah untuk ditentukan oleh manusia lain,” seru Tini, air menetes dari matanya yang disinari oleh bintang-bintang harapan.
Lalu ia melanjutkan, “Takdir kita kaum perempuan dan wanita, hanyalah milik kita, dan hanyalah dapat ditentukan oleh kita sendiri.”
Ibu Tini mendengarkan pidato putrinya yang berkarisma dari pojok kerumunan dengan mata yang berkilap, bangga akan putrinya yang berani membela kaum perempuan untuk lebih maju dan mendapatkan perlakuan yang sama. “Karisma anakku… karisma sang Tini… Kartini.”
Pada saat itulah, terlahir seorang pahlawan wanita yang bernama Kartini.
Karya
FKIP 32