Hal 06_oke

Page 1

EDISI 0 1 8 TTAHUN AHUN I 01

di bawa oleh para ulama dari daerah Bugis yang notabene di daerah tersebut sudah bersentuhan dengan tarekat sammaniyah ini lebih awal dan populer dengan nama Khalwatiyah Sammaniyah. Ditambah lagi banyaknya ditemukan di Pambusuang kitab-kitab tasawwuf terdahulu (tassopuq) yang beraksara lontara serta berbahasa Bugis. Bahkan di Pambusuang sampai dengan tahun 1990an bahasa pengantar yang dipakai oleh para kiyai dalam memberikan pengajian halaqah adalah kebanyakan berbahasa Bugis. Menurut Abu Bakar Aceh dalam bukunya “Pengantar Ilmu Tasawwuf” (1980:340) bahwa ciri-ciri tarekat ini antara lain adalah zikirnya yang keraskeras dengan suara yang tinggi dengan kalimat la ilaha illa Allah, disamping itu juga terkenal dengan ratib samman-nya yang hanya mempergunakan kata Huw (Dia allah) ketika sudah larut dalam berwirid. Adapun ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Syekh Samman ini antara lain adalah memperbanyak shalat dan zikir, lemah lembut kepada fakir miskin, tidak cinta dunia, menukarkan akal basyariah dengan akal rabbaniyah, serta tauhid kepada Allah dalam zat, sifat, dan af’al-Nya. Wirid dan Gerakan Rate’ Sammang Menurut Snouck Horgonje seperti dikutip Alwy Shihab (2009: 215), Ratib Samman sangat terkenal di Indonesia, namun sudah banyak mengalami modivikasi. Bahkan dikatakan juga bahwa ratib samman tidak banyak berbeda dengan ratib tarekat yang lain, perbedaanya hanya terletak pada gerakan-gerakan anggota badan ketika membacanya. Kalau kita coba bandingkan gerakan ratib samman (rateq sammang) yang ada Pambusuang dengan yang ada di tempat lain misalnya di Sumatra ataupun di Kalimantan, maka ada perbedaan dalam hal gerakan maupun waktu pelaksanaannya. Adapun wiridnya bisa dikatakan hampir sama. Di daerah lain misalnya, ratib samman biasanya dilakukan ba’da salat Isya bahkan sampai subuh. Sementara di Pambusuang hanya dilakukan di mesjid setelah melaksanakan salat tarwih dan salat witir. Bahkan yang lebih rutin dilakukan adalah membaca ratib alhaddad yang notabene ratib ini berafiliasi pada tarekat Al-Haddad. Hal ini boleh jadi karena di Pambusuang sejak dahulu tidak ada tarekat yang secara resmi dianut oleh masyarakat Pambusuang. Sehingga terdapat berbagai wiridan yang notabene berafiliasi atau berasal dari

Laporan Utama beberapa tarekat yang mu’tabarah, misalnya ratib samman yang berakar pada tarekat samman dan ratib Haddad yang bersal dari tarekat Al-Haddad yang didirikan oleh Sayyid Abdullah bin Alawi bin Muhammad Alhaddad. Mungkin ini juga salah satu keunikan Pambusuang yang dahulu terkenal sebagai “gudangnya” para ulama di Tanah Mandar yang para ulamanya tidak menganut secara resmi aliran tarekat tertentu dan hal ini mengakibatkan terdapatnya berbagai macam wiridan atau zikir yang berafiliasi pada berbagai macam aliran tarekat mu’tabarah, seperti tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Khalawatiah, Sammaniyah, Tarekat Al-Haddad, Al-Khalidiyah dan sebagainya. Biasanya, ketika suatu daerah tidak berkembang suatu tarekat, maka biasanya organisasi keagamaan lain, seperti halnya Muhammadiyah, lebih mudah berkembang. Namun kenyatannya di Pambusuang keduanya itu tidak berkembang sekalipun pernah ada usaha untuk itu jauh sebelum Indonseia merdeka. Oleh karena ratib samman telah mengalami berbagai macam modifikasi, maka ratib samman (rateq sammang) yang ditradisikan di Pambusuang mempunyai ciri dan cara tersendiri yang berbeda di daerah lain. Sekalipun tujannya

sama, yaitu untuk mengingat Allah dan meminta perlindungan kepada-Nya agar terhindar dari bala’ dan bencana serta bertaqarrub kepada-Nya. “Rateq sammang” di Masjid Pambusuang dilaksanakan pada bulan Ramadhan sehabis shalat Witir dan berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Dimulai dengan wirid La ilaha illa Allah minimal 25 kali dalam keadaan duduk, kemudian peserta rateq berdiri (diikuti dengan jamaah yang ada dalam masjid) dengan ucapan Allah Hay (Allah Maha Hidup) dengan lantunan suara yang keras yang disertai dengan gerakan anggota tubuh yaitu tangan dan kaki serta kepala juga bergoyang menyesuaikan gerakan tubuh. Dalam gerakan tersebut sepintas menyerupai bentuk tarian tertentu. Bahkan dalam tahap ini biasanya yang ikut dalam wiridan ini sangat khusyu dan biasanya kalimat Allah Hay berubah menjadi hanya kata Huw (Dia Allah). Selama pelaksanaan “rateq sammang”tersebut, kalimatkalimat ratib dibaca dengan irama qashidah atau nasyid, sementara yang lain hanya mengucapAllah Hay atau Huw. Pakaian yang dipakai adalah biasanya pakaian putih berlengan panjang (bayu kattiung atau bayu kurung) dan berkopiah. Pelengkap lain yang tak kalah pentingnya dalam “rateq sammang” adalah bacaanratibberupa qasidah atau nasyid dan

beberapa ayat Al-Qur’an yang berisi tentang kebesaran dan keagungan sifat sifat Allah serta berisi tentang salawat dan pujian kepada baginda Rasulillah saw. Demikianlah sekilas tentang “rateqsammang” di yang sampai sekarang masih tetap eksis dan ditradisikan di Mesjid Pambusuang. Sebenarnya masih banyak tradisitradisi sufi yang di praktekan di Masjid At Taqwa Pambusuang selama bulan Ramadhan sejak puluhan taun lalu, seperti pembacaan ratib al haddaad, “mallagu di coppo” (sudah tidak diadakan), dan ibadah-ibadah ritual lainnnya seperti, salat qadha(massalle kalla), salatlalilatul qadar, salat tasbih, salatmattammaqi koroqangdan lain sebagainya. (ed-mra) Referensi:Abu Bakar Aceh (1980), Pengantar ilmu Tasawwuf;Alwy Shihab( 2009), Akar Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi, Akar Tasawuf di Indonesia;Sri Mulyati (et.al), (2004), Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia *Dosen Tatap pada Jurusan Tarbiyah STAIN Datokarama Palu, Alumnus Pesantren Nuhiyah Pambusuang.

--koranmandar/m. ridwan--

6

Kegiatan “Rateq Sammang” di Mesjid At Taqwa Pambusuang


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.