
3 minute read
Ras, Kuasa, dan Kolonisasi
Colonial Wars of 19th Century Southeast Asia”. Namun buku ini bukanlah terjemahan darinya.
Yang membedakannya adalah naskah terjemahan dalam bahasa Indonesia ini melulu hanya memuat tulisan kedua editor di atas dan membatasi lingkup pembahasannya hanya untuk yang berlangsung di HindiaBelanda saja Tidak menyertakan pembahasan tentang Filipina, Melayu, dan juga hal-hal dari penulis lain yang ada di dalam edisi berbahasa Inggris Padahal esai-esai yang lain itu juga bagus dan bermanfaat untuk perbandingan mengenai jalannya kolonisasi di kawasan Asia Tenggara. Ada satu esai, yang disertakan dalam kumpulan esai ini, membahas tentang Raffles di Singapura. Tapi, pembahasan yang menyinggung Singapura itu lebih berpokok pada Raffles, yang dalam esai ini diulas figurnya sebagai tokoh manusia sesungguhnya dan tokoh mitos.
Advertisement
Jadi, buku ini tidak bisa disebut sebagai buku terjemahan dari buku berbahasa Inggris sebelumnya, sebab lebih cocok disebut sebagai “penerbitan ulang” kumpulan esai para editor itu. Sehingga bisa dimaklumi bila dalam kolofonnya juga tidak mencantumkan “original title” dari buku ini.
mendapatkan mitra dagang dari penguasa lokal Yaitu dengan menikahi penduduk pribumi. Lahirlah suatu generasi anak-anak blasteran, mestizo, sebagaimana dijalankan oleh Inggris di Bengala, Spanyol di Filipina, dan orang Indo-Belanda di Jawa. Abad ke-19 dapat dikatakan sebagai Abad Pembaratan, sebab di sepanjang abad itu hampir semua negara di Asia Tenggara telah jatuh ke tangan orang-orang Eropa. Bukan hanya secara politis dan militer, namun juga secara kultural Pembaratan juga terjadi pada gaya hidup masyarakat lokal.
Eropa diuntungkan dari ekspansi perdagangan dan militernya ke Asia Tenggara, sementara negara-negara lokal di Asia Tenggara nyaris tidak bisa melakukan pembalasan setimpal Pengetahuan orang Eropa makin maju dan nyaris menguasai pengetahuan mengenai Timur sehingga studistudi tentang masyarakat Timur yang eksotik itu pun lahir Masyarakat Asia Tenggara kemudian dipetakan dan diidentifikasi Kemudian lahirlah definisi yang ketat, perbedaan yang jelas antara orang Eropa dan orang lokal (bukan Eropa, liyan) berdasarkan ras dan darah.
Uang memang bukan segalanya, tetapi segalanya akan sulit apabila tidak ada uang. Nah, untuk itu kelola dengan bijak keuangan kita agar hidup kita hidup tenang dan sejahtera. “live the life you can afford, not the life you wish you can afford”(Kristin Wong)
Buku baru ini merupakan kumpulan 6 buah esai mengenai konstruksi identitas pada masa kolonialisasi Belanda, tepatnya pada awal abad ke-19, yakni ketika Daendels mewakili pemerintah Prancis yang menundukkan Belanda menguasai Jawa (1808 hingga akhir Perang Jawa atau Perang Diponegoro 1830). Setelah keenam esai itu, ada esai penutup yang bagus karena merangkum semua pembahasan sebelumnya.
Dihias dengan banyak foto yang informatif, judul buku yang provokatif ini pun sesuai dengan harapan untuk memahami mengapa kebijakan rasial diambil di masa kolonial.
Buku ini memiliki kemiripan dengan buku suntingan mereka berdua sebelumnya yang berjudul “Racial Difference and the
Kembali ke pokok soal: mengapa kebijakan rasial perlu diterapkan? Hal ini dijelaskan pada esai pertama, yang mereka tulis berdua. Ini berhubungan dengan riwayat Asia Tenggara yang menjadi arena perdagangan dan sekaligus kontestasi antar negara di kawasan itu.
Kedatangan orang-orang Eropa (Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda) ke kawasan Asia Tenggara membuat peta persaingan di Asia Tenggara menjadi kompleks. Bukan hanya karena antar negara Eropa itu sendiri sudah bersaing, tapi juga karena mereka memasuki kawasan yang sudah dinamis oleh persaingan Lalu, bagaimana agar orang-orang Eropa itu bisa memenangkan kontestasi? Ada strategi menarik yang dijalankan, agar orang Eropa
Proses pembedaan rasial ini terus berlangsung di kawasan Asia Tenggara, lalu terlembagakan dalam berbagai area: ekonomi, politik, pendidikan, dan sosial. Di abad ke-19 inilah kita mengenal dualisme ekonomi, hukum, dan juga pendidikan (pendidikan dipisah antara untuk orang Belanda totok, Belanda blasteran, dan pribumi) Snouck Hurgronje pernah memberi nasihat kepada pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk tidak menjalankan kebijakan Asimilatie, yakni k e b i j a k a n y a n g m e n y a m a k a n s e m u a p e n d u d u k d a l a m k o l o n i n y a d e n g a n pendidikan dan hukum yang sama. Lebih baik dipisah antara yang bisa diurus secara adat, dengan yang bisa diurus oleh pemerintah kolonial Dengan demikian pemerintah kolonial tidak menyinggung harga diri penguasa lokal Adat lokal dapat terus
Alumni :
Nama: Ririn Safitri, SE, MM, CPF

Fakultas : Bisnis
Program Studi : Manajemen
Wisuda : 2006 dijalankan dan pemerintah mendapatkan dukungan dari penguasa lokal.
Jadi, kebijakan rasial ini memang tujuannya adalah untuk memudahkan pengelolaan. Alasan utamanya adalah demi kemudahan pengendalian oleh negara kolonialis terhadap masyarakat yang amat beragam adat, etnisitas, kepercayaan, dan bahasa.
Bukankah cara itu juga akan memudahkan untuk mengenali kawan atau lawan? Tidak heran bila beberapa dekade kemudian, jelang memasuki abad ke-20, tanah seluas Nusantara ini bisa ditundukkan oleh negara sekecil Belanda.
Ini baru sepotong esai dari keseluruhan isi buku ini, tentang bagaimana ras itu bekerja dalam menguasai pengetahuan maupun politik dan teritori. Suatu refleksi yang bagus bagi kita yang sering melupakan pengetahuan lokal dan hanya mengadopsi begitu saja pengetahuan dari tempat lain***
Identitas Buku:
Judul Buku: Ras, Kuasa, dan
Kekerasan Kolonial di Hindia
Belanda 1808-1830
Penulis: Peter Carey & Farish
A.Nooro
Penerbit: Kepustakaan Populer
Gramedia, Jakarta
TahunTerbit: 2002
Tebal: 300 halaman
Resensi buku oleh: Mahatmanto (Dosen)