2 minute read

RESENSI BUKU “BH” KUMPULAN CERPEN EMHA

Emha Ainun Nadjib tergolong manusia multidimensi. Awalnya dikenal sebagai penyair, kemudian menulis naskah, novel, drama, esai, dan cerpen dengan berbagai tema sosial budaya yang relevan dengan kehidupan masyarakat kecil. Buku ini menunjukkan bagaimana Emha berevolusi menjadi penulis yang benar-benar matang dalam berpikir dan mengolah katakata. Cerpen BH ini merupakan salah satu buah kreativitas Emha dalam berbagai persoalan terkait kehidupan manusia, misalnya cerpen Ambang, Kepala Kampung, BH, Jimat, Lelaki ke 1.000 di Ranjangku, dan lain sebagainya.

Cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen BH karya Emha Ainun Nadjib berasal dari rentang masa 1977 – 1982. Berisi 23 kumpulan cerpen yang telah diterbitkan di Koran dan majalah seperti: Kompas, Sinar Harapan, Horizon, dan Zaman. Buku ini menarik untuk menjadi koleksi buku, karena dalam dunia kepenulisan cerpen, nama Emha jarang terdengar. Namun, mengikuti Emha bercerita lewat buku ini seperti membaca esai-esainya yang mengalir deras tak cuma soal sastra tetapi mencakup berbagai dimensi persoalan kehidupan.

Advertisement

Banyaknya cerpen dalam buku ini, maka penulis hanya akan menyajikan gambaran singkat pada beberapa cerpen seperti, Ambang dan BH. Kepandaian Emha dalam

IDENTITAS BUKU Judul : BH Penulis : Emha Ainun Nadjib No.ISBN : 9789797095864 Penerbit : PT Kompas Media Nusan- tara Tanggal Terbit : Cetakan Keempat - 2016 Jumlah Halaman : 246 Halaman Ukuran Buku : 14 x 21 cm

menyelami pergulatan batin terlihat jelas dalam judul “Ambang”. Tokoh utama terus meminta kepada Tuhan untuk segera mencabut nyawanya. Dialog-dialog panjang yang Emha sajikan dalam cerpen ini mencerminkan tokoh utama sudah kehilangan semangat hidupnya. Hampa, pasrah dan nyaris tidak waras.

Cerpen yang menjadi tajuk utama, “BH” yang mengangkat kisah LGBT, mengisahkan kisah dramatik dua orang laki-laki yang saling mencintai dan memahami arti cinta yang tidak hanya sekedar seks atau hubungan intim di dunia. Cerpen ini mengandung makna ketulusan dan kepandaian memelihara batas, walaupun ada kesempatan untuk “aku” melakukan apa yang Allah larang. Tulisan Emha yang membekas dalam benak penulis terkait cerpen ini “Marilah kita bercinta pada tempatnya. Kau mencintai itu dan bersedia menerima apa yang mampu kuberikan, sementara aku pun mencintai penderitaanmu”. Tulisan Emha ini membuat penulis merasakan, bagaimana perasaan seorang penganut LGBT.

Buku ini disajikan dengan bahasa yang khas ala Cak Nun (sapaan hangat beliau), dimana menyampaikan kritik secara menggelitik. Membuat pembaca tertawa miris atau justru malah simpati dengan kondisi yang disajikan. Kelebihan buku ini, meskipun cerpen ini dimuat dari rentang 1977 – 1982 hingga akhirnya dibukukan oleh Kompas sebagai kumpulan cerpen yang berjudul BH, akan tetapi kesemuanya memiliki dimensi yang lebih luas dan masih relevan dengan kondisi saat ini. Ketika kita sedang membaca cerpen ini, kita tidak sedang memandang permasalahan kehidupan 20 tahun yang lalu, ataupun 10 tahun yang lalu, tetapi kondisi saat ini. Hal ini tidak terlepas dari kedalaman berpikir seorang Emha Ainun Nadjib. Bahwa setiap persoalan dipetakan secara sungguh-sungguh, tidak dilihat secara parsial tetapi secara holistik.

Sayangnya, buku ini banyak memakai analogi yang jarang diketahui masyarakat awam. Buku ini juga memiliki bahasa yang berat, sehingga perlu 2 sampai 3 kali membaca untuk memahami hakikat yang ingin disampaikan dalam setiap cerpennya. Memahami, tulisan-tulisan ini tidak bisa langsung secara instan, sehingga perlu dicerna secara perlahan pada beberapa judul cerpen seperti, tajuk utama cerpen ini “BH”. Pembaca dituntut untuk memiliki kedalam berpikir dan memiliki sudut pandang yang luas, sehingga tidak gampang menyalahkan statement seseorang.

Penulis adalah mahasiswa Jurusan Geografi dan Juara Harapan 2 Penulisan Pustaka majalah Komunikasi