9 minute read

GAYA HIDUP PROBLEMATIK PADA MAHASISWAYANG MEMBUDAYA

Next Article
Tim Kerja

Tim Kerja

terpenuhi. Tentu media sosial berpengaruh besar terhadap hal ini. Sebab, media sosial dapat menjadi wadah untuk menunjukkan eksistensi seseorang. Misalnya, melalui fitur di Instagram mahasiswa dapat mengunggah foto aktivitas mereka saat magang atau organisasi yang tengah mereka ikuti. Pencapaian tersebut yang kemudian mendorong lahirnya standar tertentu untuk mendapatkan sebuah pencapaian. Seakan mau tidak mau, mahasiswa akan berusaha mencapai standar tersebut agar mereka tidak FoMO atau tertinggal oleh yang lainnya. Perasaan tidak ingin tertinggal di kalangan mahasiswa menimbulkan fenomena hustle culture. Hustle culturemerupakan gaya hidup yang mendorong seseorang untuk bekerja secara terus menerus demi mendapatkan pencapaian tertentu, sehingga mereka tidak memiliki banyak waktu untuk beristirahat. Banyak mahasiswa yang memilih untuk memiliki banyak kesibukan dalam satu waktu tertentu seperti kepanitiaan, organisasi, dan lomba karena tidak ingin tertinggal oleh pencapaian orang lain yang ditunjukkan di media sosial. Dengan menjadi hustler atau orang yang melakukan hustle culture, beban kerja yang dimiliki oleh mahasiswa bertambah. Mahasiswa memiliki tuntutan untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan dengan batas waktu tertentu, sehingga mereka terdorong untuk berperilaku hustle culture. Bagi mahasiswa yang memiliki banyak kesibukan lain seperti bergabung dengan beberapa organisasi atau mengikuti program magang, tentu memiliki beban kerja yang tinggi di samping beban akademik yang mereka miliki. Artinya, mereka sering lembur dan memiliki sedikit waktu untuk istirahat. Pola aktivitas hustle culture yang bekerja secara terus menerus dan memiliki waktu istirahat yang sedikit akibat perasaan FoMO dapat berdampak pada kesehatan. Jika mahasiswa tidak dapat menyesuaikan diri dengan banyaknya tuntutan dan tanggung jawab yang dimiliki, mereka akan mendapatkan tekanan tertentu. Tekanan inilah yang kemudian berpengaruh terhadap kondisi emosi dan stres. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Pertiwi E.M, et. all (2017) yang memaparkan bahwa mahasiswa di Universitas Surabaya memiliki stres yang tinggi akibat banyaknya beban kerja yang mereka miliki. Tak hanya mental, kondisi fisik juga dapat terganggu. Kesibukan yang padat yang tidak didukung dengan pola hidup sehat dapat membuat kelelahan dan mudah sakit. Dengan demikian, work life balance dalam kehidupan mahasiswa dapat diterapkan. Hal tersebut merupakan bentuk antisipasi atas timbulnya permasalahan yang terjadi akibat hustle culture. Melalui work life balance, mahasiswa dapat mengetahui hal yang memang harus dilakukan dan dikembangkan, tetapi tetap dibarengi dengan istirahat dan penghargaan yang sepadan atas kerja keras yang telah dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Advertisement

Balkeran, A. (2020). Hustle Culture and the Implications for Our Workforce (Thesis). CUNY Academic Works.

Digital 2022: Indonesia — DataReportal – Global Digital Insights. (2022, February 15). DataReportal – Global Digital Insights. Retrieved August 28, 2022, from DataReportal – Global Digital Insights website: https://datareportal.com/reports/digital-2022indonesia

Pertiwi, E., Hanifa, M., & Baju, W. (2017). Hubungan antara Beban Kerja Mental dengan Stres Kerja Dosen di Suatu Fakultas.Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(3), 260–268.

Pratiwi, F., Susilo, N., & Amelia, C. (2022). Fear of Missing Out pada Remaja di Masa Pandemi Covid-19. PHILANTHROPY: Journal of Psychology, 6(1), 6 1 – 6 7 . h t t p s : / / d o i . o r g / D O I : 10.26623/philanthropy.v6i1.4861

Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out. Computers in Human Behavior, 29(4), 1841–1848.

Pujarama, W. (2021). The Urge to Hustle: Narratives of Mediated Higher Degree Learning Interaction among University Students during Covid-19 Pandemic. Jurnal Ilmu Komunikasi, 1(1), 1–8.

Zaliha, Fitrian, E., Puspitasari, Y., & Anhar, V. (2021). FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN HUSTLE CULTURE PADA MAHASISWA DI MASA PANDEMI COVID-19.Jurnal IAKMI, 1–11.

FEAR OF MISSING OUT AND SOCIAL CLIMBING: GAYA HIDUP PROBLEMATIK PADA MAHASISWAYANG MEMBUDAYA

Bagas Damarjati

Kini, masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi di mana pun dan kapan pun. Hal ini karena pesatnya perkembangan teknologi dan informasi yang mengantarkan masyarakat menuju digitalisasi. Selain menjadi penunjang akses informasi, digitalisasi yang ditunjang dengan jejaring internet juga menawarkan berbagai platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, TikTok, Snapchat dan lain-lain, guna membantu edukasi dan interaksi masyarakat. Dewasa ini digitalisasi telah menjadi kebutuhan primer baru bagi masyarakat era modern. Hal ini selaras dengan pendapat Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis, “Bahwa ada instrumen baru di generasi milenial dan situasi ini membuat kebutuhan tidak hanya sandang, pangan dan papan. WiFi atau sinyal internet juga sekarang memiliki peran seperti kebutuhan layaknya makan setiap hari” (Selvia, 2020). Riset dari DataReportal (2022) menunjukkan bahwa terdapat 204,7 juta pengguna internet di Indonesia hingga Januari 2022 atau sekitar 73,7 persen dari seluruh populasinya. Sedangkan, pengguna media sosial di Indonesia berjumlah 191,4 juta pengguna. Parker (2003, dalam Suga 2020) menjelaskan mengenai kegunaan media sosial sebagai sarana interaksi masyarakat satu sama lain dengan cara membuat, membagi, dan saling bertukar informasi dan ide melalui kata-kata, gambar, serta video dalam suatu jaringan dan komunitas virtual. Sedangkan, Menurut Boyd dalam Nasrullah (2015) media sosial— sebagai kumpulan platform—memungkinkan individu atau komunitas untuk berkumpul, berbagi, berkomunikasi, bahkan saling berkolaborasi atau bermain. Media sosial sendiri memiliki kekuatan pada user-generated content (UGC), di mana konten yang dihasilkan berasal dari penggunanya, bukan dari editor sebagaimana di instansi media massa konvensional. Media sosial kini digemari oleh masyarakat, tak terkecuali mahasiswa. Mahasiswa—umumnya berusia 18 sampai 24 tahun—menduduki peringkat kedua dalam kelompok usia yang mendominasi penggunaan media sosial (We Are Social and Hootsuite, 2021). Masifnya penggunaan media sosial pada kalangan mahasiswa umumnya disebabkan oleh intensifnya interaksi dengan teman atau kerabat melalui pelbagai platform di media sosial atau sekadar berselancar di dunia maya. Konsumsi mahasiswa akan sosial media cenderung menimbulkan ketergantungan atau kecanduan untuk terus terhubung dengan orang lain (Suga, 2020). Bahkan, studi yang dilakukan University of Chicago Booth School of Business menemukan bahwa adiksi konsumsi media sosial lebih menimbulkan kecanduan dibandingkan alkohol dan rokok (Ngazis, 2012). Kecanduan bermedia sosial dapat menimbulkan dampak negatif, yakni perasaan takut dan khawatir apabila tidak mengakses media sosial untuk mencari informasi atau sekadar membagikan serta melihat kabar orang lain dalam satu hari saja. Fenomena ini sering disebut Fear of Missing Out (FoMO). Przybylski, dkk. (2013) menyebutkan bahwa FoMO merupakan keadaan kekhawatiran dari individu ketika dirinya tidak mengetahui kegiatan atau pengalaman orang lain dan saat ketidakhadiran dirinya. Selain itu, FoMO juga dimaknai sebagai keinginan individu untuk terus terhubung dengan orang lain dan mengetahui apapun aktivitasnya di media sosial (Akbar, dkk., 2018). Hetz (2015) memaknai FoMO sebagai ketakutan akan kehilangan momen. Maksudnya adalah adanya konstruksi sosial yang menyelidiki apakah individu khawatir akan kehilangan pengalaman yang individu lain miliki, dan Hetz menyelidiki relasi tersebut dengan keprihatinan mereka atas aktivitas yang hilang dalam budaya mereka (Akbar, dkk., 2018). FoMO dapat memberikan dampak pada individu untuk terus terhubung di media sosial, melihat “keseruan” aktivitas individu lain yang dirasa lebih baik daripada kehidupannya. Tak jarang, mereka yang melihat “keseruan” aktivitas individu lain merasa hidupnya tidak semenyenangkan dan semenarik itu. Cemburu. Alhasil, mereka yang mengalami FoMO cenderung mencoba meniru gaya hidup individu lain. Kecemburuan ini akan menciptakan keinginan untuk berkompetisi—menyaingi atau sekadar meniru gaya hidup. Mereka pun akan masuk dalam “lingkaran” konsumerisme. Jean Baudrillard memaknai pola konsumsi pada era kontemporer tidak dapat dipahami sebagai konsumsi nilai guna, tetapi sebagai konsumsi tanda atau simbol (Mahyudin, 2017). Konsumsi kini menjadi tindakan penggunaan simbol secara sistematis untuk menandai posisi dalam struktur sosial tertentu karena pada realitanya simbol dan identitas kultural dibentuk untuk menemukan makna-makna sosial tertentu. Baudrillard menganalisis gejala konsumerisme sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat kontemporer. Saat ini, komoditas dijadikan cara dalam menciptakan klasifikasi identitas pembeda dalam kerangka yang lebih luas. Dengan demikian, masyarakat konsumer—istilah yang diperkenalkan Baudrillard—tidak terpisah dari kompetisi gaya hidup, kelompok, dan kelas sosial. Individu pada akhirnya akan mengonsumsi identitas kultural berdasarkan kelas sosialnya. Setiap kelas sosial akan menjadi representasi karakteristik konsumsi kulturalnya (Mahyudin, 2017). Dengan kata lain, masyarakat dapat diklasifikasikan berdasarkan kemampuan konsumsi kulturalnya. Akibat dari klasifikasi tersebut, muncullah individu-individu yang berusaha melakukan tindakan sosial dengan tujuan meningkatkan kelas atau status sosialnya. Individuindividu ini disebut dengan social climber. Mereka akan melakukan segala hal demi pengakuan akan peningkatan status sosialnya. Permasalahannya adalah ketidakmampuan secara ekonomi dalam mengonsumsi komoditas

kultural kelas sosial di atas akan membuat mereka melakukan berbagai cara demi memenuhi kebutuhan sesuai tuntutan gaya hidup kekinian agar terlihat kaya. Aulawi (2017) berpendapat bahwa para pelaku social climbingakan merasa tidak nyaman, tidak percaya diri, serta khawatir tidak diterima oleh lingkungannya apabila tidak bergaya hidup kekinian. Oleh karenanya, berbagai cara akan dilakukan agar tampil mewah. Konsumsi atas simbol dan komoditas yang mewah akan membuat mereka memiliki identifikasi nilai-nilai sosial tinggi dan prestise tertentu (Aulawi, 2017 dalam Mahyudin, 2017). Kondisi ini tidak dapat terelakan. Memudarnya kemampuan berpikir kritis dan tergerusnya nilai spiritual karena keseruan dan kebahagiaan tidak dipahami sebagai ekspresi dari rasa syukur, tetapi diposisikan menjadi kenikmatan yang bergantung pada tanda dan simbol yang memengaruhi pandangan individu lain. Konsumsi akan objek bukan berdasar pada nilai guna, tetapi sebagai sarana untuk mengkomunikasikan makna sosial yang tersembunyi di dalamnya. Kompetisi akan fantasi dalam melakukan gaya hidup mewah tidak lagi terbendung. Bahkan, mereka rela melakukan gaya hidup layaknya konglomerat dengan mengikuti tren gaya hidup sesuai dengan tuntutan perkembangan budayanya. Dengan demikian, fenomena ini merupakan produk kultural yang dibuat oleh mereka yang berkecukupan secara ekonomi. Namun, tidak sedikit masyarakat yang memiliki kondisi ekonomi di bawahnya yang melakukan gaya hidup yang sama karena hasrat dan fantasinya sendiri, hingga menjamurnya budaya konsumerisme. Dalam lanskap kehidupan mahasiswa, tidak sedikit mahasiswa banyak menghabiskan waktu mereka untuk berselancar di media sosial. Terlebih, ketika pembelajaran daring yang membuat mahasiswa semakin intens menggunakan perangkat digital, termasuk gawai. Diantaranya, terdapat mahasiswa yang mengalami depresi karena adanya obsesi untuk mempertahankan eksistensinya di media sosial (Fauziah, 2021). Dalam mempertahankan eksistensinya, mahasiswa juga memiliki kecenderungan dalam melakukan praktik social climbing. Salah satunya berawal dari nongkrong di tempat fancy dan mewah. Agustiani (2020) menyebutkan bahwa budaya nongkrong menjadi “healing ” mahasiswa setelah disibukkan dengan aktivitas perkuliahan. Tempat nongkrong yang fancy dan mewah menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa dalam membentuk status sosial mereka. Salah satu caranya dengan mengunggahnya pada media sosial agar mendapat pengakuan dari individu lain. Adapun, individu yang menyaksikan unggahan tersebut mungkin akan masuk dalam fantasinya dan mengikuti hal yang serupa. Pola seperti ini akan terus berputar hingga fenomena konsumerisme masif menjadi budaya. Perkembangan teknologi dan informasi telah membawa masyarakat pada era digitalisasi dengan pelbagai dampak positif dan negatifnya. Adapun fenomena-fenomena yang memiliki dampak negatif bagi masyarakat, terkhusus mahasiswa yang memiliki intensitas aktivitas tinggi di dunia maya, mulai dari FoMO, social climbing, hingga konsumerisme. Budaya masyarakat modern dan gaya hidup kekinian—yang dibuat oleh masyarakat ekonomi berkecukupan—merupakan perihal yang melatarbelakangi masifnya fenomena-fenomena tersebut. Banyak mahasiswa yang memaksakan dirinya untuk mengikuti gaya hidup masyarakat kelas sosial atas demi eksistensial, pengakuan, dan penerimaan di lingkungannya. Dengan demikian, konsumerisme pada mahasiswa semakin menjamur akibat pemenuhan akan hasrat dan fantasi untuk bergaya hidup kekinian.

DAFTAR PUSTAKA

Agustianti, Suci, B., Rahma Amir. (2020). Fenomena Social Climber dalam Pandangan Hukum Islam: Studi Kasus Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum. Sahutna 1(3): 558-573.

Akbar, Rizki S., dkk. (2018). Ketakutan Akan Kehilangan Momen (FoMO) pada Remaja Kota Samarinda. Pskiostudia 7(2): 38-47.

Fauziah, Jihan A. (2021, 7 September). Problematika Fear of Missing Out (FoMO) di Kalangan Mahasiswa. Lini Kampus. Diakses dari https://linikampus.com/2021/09/07/problematikafear-of-missing-out-fomo-di-kalangan-mahasiswa

Mahyudin. (2017). Social Climber dan Budaya Pamer: Paradoks Gaya Hidup Masyarakat Kontemporer. Jurnal Kajian Islam Indisipliner 2(2): 117-135.

Ngazis, Amal N. (2012, 7 Februari). Kecanduan Media Sosial Lebih Parah dari Rokok. Viva.co.id, Diakses dari https://www.viva.co.id/digital/digilife/286128twitter-dan-facebook-lebih-nyandu-dari-rokok

Selvia, Novitri. (2020, 15 Oktober) Perilaku Baru Akibat Pandemi, Digitalisasi Kini jadi Kebutuhan Pokok. Padek. Diakses dari https://padek.jawapos.com/iptek/15/10/2020/perilaku -baru-akibat-pandemi-digitalisasi-kini-jadikebutuhan-pokok/

Tidar Aditya Suga. (2020). Hubungan Antara Fear Of Missing Out (Fomo) Dengan Intensitas Penggunaan Media Sosial Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Skripsi thesis, Universitas Airlangga.

OPINI

MAHASISWA

This article is from: