
2 minute read
Indonesia: Negara Maritim yang Kekurangan Garam?
Indonesia: Negara Maritim yang Kekurangan Garam?

Tambak Garam Terpal
Sumber: http://i1.wp.com/makobar.com/wp-content/uploads/2017/08/garam-terpal.jpg
Advertisement
BANDUNG, OCEANSIGHT – Indonesia merupakan negara kepulauan yang didominasi oleh lautan. Sekitar 64,85% wilayah Indonesia adalah lautan, terdiri atas luas laut teritorial, luas zona ekonomi eksklusif, dan luas laut 12 mil. Dari begitu luasnya lautan yang dapat tereksplorasi dan eksploitasi, ternyata pada bulan agustus lalu Indonesia sempat gempar dalam kegiatan mengimpor garam. Bahkan dilansir dari cnnindonesia.com, Indonesia sudah impor garam sejak 1990 silam.
Dilansir dari detik.com, Indonesia sudah sejak lama mengimpor garam. Pada November 2013, Indonesia mengimpor sebesar 217 ribu ton. Pada Januari 2014, tercatat ada 278 ribu ton garam impor yang masuk. Pada 2015, garam yang diimpor mencapai 2,1 juta ton. Selajutnya pada 2016, tercatat ada 276.299 ton garam impor masuk pada bulan maret, 95.263 ton pada bulan april, 152.366 ton pada bulan mei, dan 179.195 ton pada bulan Juni. Terakhir, pada April 2017 sebanyak 319,9 ribu ton garam diimpor. Garam yang diimpor ke Indonesia paling banyak berasal dari negara Australia dan India. Lantas, mengapa Indonesia harus mengimpor banyak garam dari luar? Menurut Kepala Pusat Riset Kelautan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), Riyanto Basuki, dalam artikel ‘Pasokannya Langka, Begini Kondisi Produksi Garam di RI’ pada situs detik.com, mengatakan tak semua pantai bisa dijadikan sentra produksi garam yang baik. “Produksi garam kan sangat tergantung cuaca, tingkat curah hujan, temperatur, angin, kelembaban, dan lainnya. Kalau curah hujan dan kelembaban tinggi, itu akan menghambat proses evaporasi (penguapan), menjadikan air laut jadi air tua (bahan baku garam) menjadi agak lambat. Ini membuat produktivitas petambak garam rendah,” Selain itu, pengelolaan garam di Indonesia juga masih dilakukan secara tradisional sehingga garam hasil produksi
”
kurang optimal baik kebersihan dan volume. Skala produksi garam yang kecil juga membuat panen garam kurang maksimal. Lahan sempit yang terfragmentasi kecil-kecil menjadi juga menjadi kendala produksi garam.
Seberapa besar tingkat konsumsi garam di Indonesia hingga harus melakukan impor garam? Menurut Penasihat Senior Bidang Ekonomi Bursa Efek Indonesia (BEI) Poltak Hotradero pada wawancaranya dengan liputan6.com, diperkirakan kebutuhan garam di Indonesia pada tahun 2017 mencapai 4,3 juta ton. Setiap tahunnya kebutuhan garam untuk konsumsi langsung adalah 750 ribu ton dan 3 juta ton untuk kebutuhan industri sedangkan pada 2016, Asosiasi Industri Pengguna Garam di Indonesia (AIPGI) menyatakan, petani garam hanya mampu memproduksi garam kurang lebih 144 ribu ton.
Menurut Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati Romica, dalam artikel “Impor Bukan Solusi Krisis Garam” di rmol.co, “Kebijakan ini merupakan upaya mangkirnya kehadiran pemerintah dari tahun ke tahun untuk menyelesaikan permasalahan dasar pergaramanan Indonesia.” Kata Susan. Kebijakan impor garam yang dinilai solusi instan seharusnya tidak dilakukan karena Indonesia memiliki tambak garam seluas 25.766 hektar. Tambak garam seluas itu harusnya dijadikan sebagai modal utama pemerintah untuk dapat keluar dari permasalahan impor garam. Menurut pusat data dan Informasi Kiara pada 2017, tercatat jumlah petambak garam Indonesia menurun drastis dari 30.668 jiwa pada tahun 2012 menjadi 21.050 jiwa pada tahun 2016. Hal ini dapat terjadi karena adanya kebijakan impor garam di Indonesia. Adanya permasalahan krisis garam ini seharusnya dapat menjadi perhatian untuk mewujudkan swasembada garam, salah satunya adalah kepastian usaha pegaraman sebagaimana teramanatkan dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. (nf, atf)

Salt-gathering in Cambodia. Image by: Elizabeth Curtis
https://lonelyplanetwpnews.imgix.net/2017/07/Salt-gathering-in-Cambodia-Image-by-Elizabeth-Curtis-768x1024.jpg
Oleh: Nurcholish Fauzi
Editor : Antaliesta