
2 minute read
Sakral dan profan Masyarakat
Aceh
Tradisi Meugang merupakan sebuah tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat Aceh dan dilaksanakan di semua wilayah dalam provinsi Aceh, khususnya pada umat Islam. Tradisi ini berupa pemotongan hewan (lembu atau kerbau) dan dimasak untuk dinikmati bersama keluarga, kerabat, dan yatim piatu oleh masyarakat Aceh.
Advertisement
Meugang biasanya dilaksanakan selama tiga kali dalam setahun, yaitu dua hari sebelum datangnya bulan puasa, dua hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, dan dua hari menjelang Idul Adha. Meugang pun kerap tergolong peristiwa sakral dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Tradisi Meugang dulunya dikenal dengan nama Makmeugang. Gang dalam bahasa Aceh berarti pasar, di mana di dalamnya terdapat para penjual daging yang digantung di bawah bumbu. Pada hari-hari biasa, tak banyak masyarakat umum yang mendatangi pasar itu. Namun, pada hari-hari tertentu yaitu menjelang bulan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, masyarakat akan ramai mendatangi pasar, sehingga ada istilah Makmu that gang nyan (makmur sekali pasar itu). Maka, jadilah nama Makmeugang.
Esensi Tradisi Meugang (Makmeugang) sejatinya sungguh sangat mulia. Tradisi Meugang memiliki nilai keislaman yang tinggi, walaupun secara tertulis tidak terdapat dalam Al Quran dan hadis Nabi. Hal ini bermula dari wujud kepedulian pemimpin (Sultan Iskandar Muda) kepada rakyatnya pada saat menyambut hari-hari besar seperti menyambut datangnya bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha dengan cara membagi-bagikan daging untuk dinikmati oleh masyarakat bersama keluarga, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (masyarakat miskin).
RumahAdatAceh
Tulak Bala pada hari Rabu Abeh ditandai orang berduyun-duyun datang ke tepi pantai sekadar duduk sambil makan bersama keluarga atau menggelar doa di tepi pantai atau surau. Tradisi ini adakalanya diselipi sejumlah ritual tertentu.
Tradisi yang masih kental di wilayah pesisir pantai barat selatan Aceh ini selalu dilakukan setiap tahun pada akhir bulan Safar dalam tarikh Islam. Aura yang tidak baik di bulan Safar dipercaya membuat manusia menjadi rentan oleh gangguan berbagai jenis penyakit. Orang Aceh menyebutnya sebagai 'bulan panas ' atau 'buleun seuum ' . Bulan ini diidentikkan dengan bulan 'turun bala'.
Prosesi Tulak Bala dulunya dilakukan dengan cara upacara berdoa bersamasama baik di meunasah (surau), dayah, sungai, pantai, ataupun pemandian.
Prosesi dipimpin oleh seorang teungku (ustaz) atau pemangku adat dengan membacakan doa-doa yang relevan atau berkenaan menolak bala.
Pada akhir prosesi Tulak Bala digelar kenduri berupa makan bersama-sama dari "bu kulah" (nasi di dalam bungkus) dan "eungkot punjot" (lauk berupa ikan) yang sudah dibawa dari rumah masing-masing.
Saat ini, Tulak Bala atau Rabu Abeh dianggap tidak lagi bermakna sakral, tetapi sudah berwujud profan.
Tradisi ini dianggap sudah bengkok dari substansi atau esensi mengapa tradisi ini dilakukan. Saat ini, tradisi Tulak Bala yang dibuat di pantai malah menjadi ajang rekreasi pada tataran lokal.
Pada kondisi tertentu, tradisi ini menjadi ajang bisnis. Pergelaran Tulak Bala mendeterminan penggelembungan pengunjung di pantai.
Di banyak tempat, tradisi ini bergeser menjadi ajang untuk hura-hura yang hakikatnya jauh dari esensi Tulak Bala, sebagai refleksi spiritualitas.
"Kegiatan Tulak Bala jadi aneh-aneh. Banyak gembira dan rianya. Padahal, Tulak Bala itu harusnya hari yang penuh perenungan, kekhusyukan, dan refleksirefleksi spiritualitas,"