3 minute read

Indonesia, Negara Seremonial

Indonesia, Negara Seremonial oleh Mukhlishul Amal Fasha, Staf Kasospol HMIP FISIP UI 2022

Beberapa hari yang lalu kita merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke-77 tahun. Berbeda dari dua tahun sebelumnya, kita mulai bisa bergerak bebas dengan melakukan upacara tanpa harus lagi terkekang dengan aturan ketat mengenai protokol kesehatan dan segala macamnya. Bahkan, Presiden Jokowi pun tampak sudah tidak lagi memakai masker. Sesuatu yang patut untuk disyukuri. Berbicara mengenai hari kemerdekaan yang identik dengan upacara menaikkan bendera. Sepertinya untuk sebagian besar masyarakat Indonesia hal itu tidaklah asing. Karena ketika sekolah dulu, kita biasa melaksanakannya setiap minggu di hari senin. Jika ditanya apa tujuan dari melakukan upacara bendera, tentu saja pasti akan dijawab dalam rangka menanamkan nasionalisme dan patriotisme sejak dini. Tetapi apakah itu efektif? saya tidak bisa menjawab, jawabannya ada di dalam diri Anda sendiri. Akan tetapi, Bung dan Nona sekalian, berdasarkan apa yang saya tulis tadi, ada satu poin yang dapat kita cermati, sadarkah bahwa kita negara yang kita tempati ini sangat gemar dengan seremonialitas? Jika Anda perhatikan, dulu, tahun 60-an Presiden Soekarno menggelontorkan jutaan dolar AS hanya untuk membangun bangunan dan monumen. Pada sisi yang lain, perekonomian masyarakat Indonesia pada saat itu begitu buruk; rakyat miskin dimana-mana, harga-harga melambung tinggi. Dan beliau membangun bangunan-bangunan tersebut hanya untuk tujuan politis, kurang seremonial apa? Contoh yang lain, 14 Maret 2022, Presiden Jokowi bersama para gubernur melakukan upacara mencampur tanah dan air yang diperoleh dari 34 provinsi di IKN Nusantara, kurang seremonial apa? Contoh yang lain lagi, baru-baru ini KPU telah membuka pendaftaran bagi partai-partai yang akan mengikuti pemilu 2024, dan partai-partai yang akan mendaftar datang dengan membawa rombongan besar yang tak jarang malah menimbulkan gangguan lalu lintas di sekitar kantor KPU, kurang seremonial apa? Contoh-contoh yang sudah saya sebutkan di atas menunjukkan bahwa negara ini memang gemar dengan hal-hal berbau seremonialitas. Lantas, kok bisa seperti itu, ya?

Advertisement

Bung dan Nona, apabila diperhatikan, masyarakat kita memang disatukan oleh seremonialitas. Saya rasa kita sepakat bahwa Sumpah Pemuda itu adalah hal yang sifatnya seremonial, akan tetapi ia memiliki substansi yang jelas. Tiga poin yang menjadi pokok dari Sumpah Pemuda memiliki keluhuran nilai yang menjadi basis perubahan arah perjuangan pada waktu itu. Selain itu, perlombaan tujuh belasan yang sering kita ikuti itu juga

merupakan acara seremonial-ritual sebagai simbol ekspresi dalam merayakan kemerdekaan, dan faktanya acara-acara tersebut terbukti memperkuat solidaritas masyarakat. Hal ini berarti kegiatan seremonial tidak selamanya merupakan kegiatan negatif yang tidak ada manfaatnya. Lantas, apakah ada kegiatan seremonial yang negatif? Wah tentu saja ada, dong. Terkadang, memang kita terperangkap dalam kegiatan seremonial yang kosong tidak ada isinya; hanya sebatas seremoni. Terutama dalam konteks demokrasi, seremonialitas adalah musuh yang harus diperangi. Karena hal itu berarti serangkaian proses demokrasi yang dijalankan hanya memiliki tujuan pragmatis-prosedural. Dan hal inilah yang menjadi masalah bagi semua negara yang baru menerapkan demokrasi, seperti Indonesia. Harus diakui memang, demokrasi Indonesia belum begitu matang seperti negara lainnya yang sudah lama menerapkan demokrasi. Demokrasi Indonesia belum begitu substantif dan setiap lima tahun hanya berkutat pada prosedur-prosedur yang begitu tidak mendidik. Lantas, apakah yang dimaksud demokrasi yang substantif? Secara singkatnya, demokrasi substantif adalah demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai subjek. Yang dimaksud subjek di sini adalah rakyat secara aktif dilibatkan dalam mencapai keputusan-keputusan politik sehingga keputusan itu adalah murni merupakan keputusan yang disetujui dan dikehendaki oleh rakyat. Banyak juga yang menyebut demokrasi substantif adalah demokrasi deliberatif, karena ia juga sama-sama menekankan pada kedudukan rakyat sebagai agen otonom yang ikut serta dalam pemerintahan masyarakatnya sendiri, baik langsung maupun melalui perwakilannya. Dengan kata lain, rakyat harus diberikan akses seluas-luasnya pada sistem politik. Berbeda halnya dengan demokrasi seremonial atau prosedural, ia hanya menempatkan rakyat sebagai objek yang digunakan sebagai pendulang suara pada pemilihan umum. Suara aspirasi terserap namun rakyat tidak diberikan akses terhadap sistem politik, alias keputusan tetaplah dipegang oleh elite-elite yang berkuasa. Hal inilah yang menjadi persoalan bagi negara-negara dengan demokrasi yang relatif muda, seperti Indonesia. Untuk itu, meskipun kita sangat menggemari seremonialitas, akan tetapi jangan sampai seremonialitas itu justru malah merugikan kita sendiri. Jangan sampai seremonialitas itu lebih penting dibandingkan substansinya. Apalagi di negara demokrasi seperti Indonesia yang masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Persoalan demokrasi substansial dan seremonial-prosedural haruslah berjalan beriringan agar rakyat dapat tercerahkan dan ikut berkontribusi dalam setiap keputusan politik. Oleh karena itu, didiklah rakyat dengan menyeimbangkan seremonialitas dan substansinya!

This article is from: