
4 minute read
Strategi Budaya
from MAJALAH KASADHAR
MEMBENDUNG INTOLERANSI DAN RADIKALISME DENGAN STRATEGI BUDAYA
Bernardus Rahmanto ketika ditemui oleh kasadhar di ruang kerjanya, Kampus I, USD. Jumat (06/12). (Dok. Endy)
Advertisement

Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada Desember 2018 lalu menghasilkan rumusan strategi kebudayaan bangsa Indonesia secara detail. Strategi kebudayaan itu buah dari amanat Undang-Undang (UU) No.5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dalam UU tersebut, pemajuan kebudayaan bangsa Indonesia berpedoman pada empat hal. Keempatnya adalah Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah kabupaten/kota, Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah provinsi, Strategi Kebudayaan, dan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan. Semuanya tersusun dari tatar paling bawah, yaitu kabupaten/ kota.
dewasa ini yang terusik oleh isu intoleransi dan radikalisme, kebudayaan daerah menjadi salah satu poin penting. "Kebudayaan-kebudayaan daerah setempat harus terus dihidupkan kembali," kata B. Rahmanto, Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, saat ditemui Kasadhar di kantornya, Jumat (6/12/2019). Pak B, sapaan akrabnya, berpendapat tradisi-tradisi lokal dapat menjadi benteng terakhir untuk menangkal masuknya paham-paham yang tidak sesuai dengan jatidiri bangsa. "misalnya, ritual-ritual adat yang ada di setiap daerah, jika terus digalakkan, akan mempersatukan masyarakat setempat."
Terpupuknya fondasi persatuan itu diyakini menyulitkan paham-paham yang bertentangan dengan Pancasila untuk berkembang di tengah masyarakat. Penekanan terhadap tradisi lokal sebagai penanggulangan munculnya bibit-bibit intoleransi dan radikalisme juga harus menyasar kalangan muda sebagai generasi penerus bangsa. "Mereka harus tahu dan dikenalkan jati dirinya bahwa kita mempunyai budaya yang khas, budaya Indonesia," tutur Pak B. Hal tersebut untuk merespons fakta bahwa penyebaran pengaruh radikalisme sudah menyasar kaum muda, bahkan anak-anak. "Intoleransi dan radikalisme bukan berasal dari Indonesia. Tidak ada budaya radikal di Indonesia, apalagi melibatkan perempuan dan anak -anak," ujar Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Andrian Waworuntu, seperti dikutip dari kebudayaan. kemdikbud.go.id. Menurut Pak B, untuk menghidupkan dan melestarikan kembali kebudayaan lokal kepada masyarakat, khususnya para generasi milenial, lebih efektif jika melakukan pendekatan secara personal, "Contohnya dengan menampilkan sesosok wanita mengenakan pakaian daerah dan diberi kalimat 'wanita lebih cantik saat berpakaian tradisional'," tukasnya. Dengan cara seperti itu, diharapkan mereka lebih familiar terhadap budaya asli bangsa Indonesia sehingga tidak mudah terpengaruh paham-paham yang tidak sejalan
dengan kepribadian bangsa. "Jika kebudayaan lokal itu sedikit demi sedikit menghilang, maka pengaruh -pengaruh tersebut akan lebih mudah merasuki sendi-sendi kehidupan dalam masyarakat."
Lingkup Pendidikan
Tidak hanya dari sisi kebudayaan, pendidikan juga berpengaruh. Ada faktor yang melatarbelakangi mengapa dunia pendidikan dapat berperan sama seperti kebudayaan dalam menangkal pengaruh intoleransi dan radikalisme. Dalam riset Setara Institute pada Mei 2019 menunjukkan fakta terdapat 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia terpapar paham radikalisme. Tidak hanya pada universitas, pada tingkat sekolah juga mulai bermunculan bibit-bibit tersebut. Penyebaran paham-paham itu menyasar dunia pendidikan sebagai media menyebarluaskan ajarannya yang berpotensi menyebabkan disintegrasi bangsa.
B. Rahmanto tidak menampik terhadap isu itu. "Maka dari itu, sentuh juga sisi pendidikan," ujar pak B. Dia berharap agar ada gebrakan atau strategi baru dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim yang baru bekerja tiga bulan, untuk menciptakan sistem yang menciptakan generasi muda berkarakter. "Ketika lulus, harus jelas tujuan dan langkah apa yang akan diambil," imbuhnya. Hal ini dapat mencegah para generasi muda bergabung ke dalam organisasi-organisasi yang berpotensi menyebarkan paham radikalisme dan hoaks. Mencetak generasigenerasi muda yang memiliki karakter kuat adalah salah satu upaya menutup celah berkembang biaknya intoleransi dan radikalisme di ranah pendidikan.
Hal tersebut sangat mendesak karena seperti diungkapkan peneliti Ma'arif Institute, Abdullah, gerakan radikalisme justru bermula dari generasi muda, pelajar dan mahasiswa. "Perlu memperkuat daya pikir dan nalar anak muda, (karena itu) intervensi harus dilakukan dari pendidikan," ucapnya masih dikutip dari kebudayaan. kemdikbud.go.id.
Pak B berujar ketegasan diperlukan karena jangan sampai intoleransi serta radikalisme merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. "Apalagi negara kita sedang merencanakan 'Indonesia Emas 2045' dengan para generasi milenial menjadi tulang punggugnya," jelas pria 73 tahun tersebut. Usaha membendung paham intoleransi dan radikalisme juga datang dari aspek bahasa.
Lingkup Bahasa
Menurut Pak B, saat ini para peneliti, pegiat, dan pengajar bahasa sedang mengupayakan agar bahasa-bahasa daerah di Indonesia tetap dilestarikan jagan sampai mati. Menurutnya, membumikan kembali bahasa-bahasa daerah sebagai wujud mempertahankan identitas bangsa di tengah derasnya arus informasi dari luar, baik yang bersifat positif maupun negatif. Termasuk juga paham-paham yang berpotensi merusak persatuan dan kesatuan bangsa yang datangnya dari luar Indonesia, seperti diungkapkan Andrian Waworuntu. "Namun kita hendaknya juga menguasai satu bahasa asing, paling tidak bahasa Inggris, agar dapat mengenalkan budaya kita ke luar," kata pria kelahiran Bantul, DIY ini.
Lebih lanjut, ia berharap pemerintah lebih menggalakkan dan menaruh perhatian lebih terhadap isu-isu seputar kebudayaan. Apalagi di tengah ujian terhadap keutuhan dan persatuan bangsa oleh masuknya pengaruh luar. "Saya pikir agar mengena sampai ke masyarakat di tatar paling bawah, pagelaran-pagelaran seni harus digalakkan. Anggaran yang ada jangan hanya menyasar sektor ekonomi saja, tetapi juga budaya yang harus terus dipelihara," pungkasnya. Budaya yang tidak hanya mencakup tentang kesenian saja, tetapi juga meliputi budaya dalam lingkup pendidikan, politik, dan sebagainya. (Dion)