4 minute read

Ketika Rempah Bali Berserikat dalam Usadha

Keberadaan tradisi penggunaan rempah di Bali, meski belum diketahui secara pasti muasalnya, dapat dibaca dalam beberapa catatan kuna, yang termaktub dalam prasasti-prasasti. Satu di antaranya adalah prasasti Batur Pura Abang A, sekitar abad ke-9. Prasasti tersebut menyebutkan, beberapa jenis tanaman rempah dibudidayakan pada masa pemerintahan raja-raja Bali Kuna abad ke-9 sebagai tanaman obat dan makanan. Masyarakat Bali niscaya telah memanfaatkan rempah-rempah sebagai bumbu masakan, obat, dan perangkat ritual sejak dulu kala, meski kondisi alam dan jejak-jejak perdagangan antarpulau menyiratkan bahwa sebagian besar rempah-rempah itu bukanlah tanaman endemik Pulau Bali.

Terlepas dari hal-hal di atas, rempahrempah Bali berdasarkan jenisnya dibagi menjadi tiga yaitu: 1. Rempah berupa buah/biji atau bunga, misalnya cengkih. jebugarum (buah pala). mica/sahang (merica hitam), mica gundil (merica putih), kapulaga, buah (pinang), tabia bun (lada panjang), asem (lunak), juuk lengis (jeruk nipis), juuk purut (jeruk keprok), belimbing wuluh, belimbing, delima, beligo, kelembak kasturi (kelembak yang harum), bidara, tingkih (kemiri), sarilungid, dan lain sebagainya. 2. Rempah berupa umbi atau akar seperti jahe, cekuh (kencur), isen (lengkuas), gamongan (lempuyang), temu-temuan, see (sereh), kayu manis, kunir, kesuna (bawang putih), bawang, adas, rumput teki, sereh, sente (keladi tikus), dan lain lain. 3. Rempah dari kulit, batang, akar, dan daun seperti cenana (cendana), majegau (gaharu), genje (ganja), wong (jamur), See (Sereh), jangu (deringo), kayu manis, mesui, cengkeh, Akar ilalang, kecubung, dan lain-lain.

Rempah-rempah Bali merupakan tumbuhan yang dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari terutama untuk pengobatan dan ritual. Pengobatan tradisional Bali merupakan pengetahuan organik orang Bali akan tumbuhtumbuhan organik mereka. Sebelum pengobatan modern masuk ke Bali, pengetahuan tradisional merupakan sarana kesehatan garda depan bagi masyarakatnya. Bahkan sampai saat ini, pengobatan tradisional memiliki kelebihan sehingga dapat bertahan di tengah gempuran pengobatan modern yang menawarkan kecepatan penyembuhan, kemudahan, ketersediaan produk dan sebagainya.

Pengobatan tradisonal bernama usadha. Pengobatan ini tidak hanya dimaksudkan untuk pengobatan manusia, tetapi juga pengobatan bagi hewan dan tumbuhan. Usadha-usadha ini termuat dalam lontar-lontar dan jumlahnya ratusan, di antaranya: 1. Usadha untuk tumbuhan: usadha sawah. 2. Usadha untuk hewan: usadha sato, ushada kuda, usadha paksi. 3. Usadha untuk manusia: usadha

Usadha sebagai pengobatan tradisional Bali. Usadha juga tertulis dalam lontar yang masih dipraktekan hingga sekarang (bawah).

Usadha sebagai pengobatan tradisional Bali. Usadha juga tertulis dalam lontar yang masih dipraktekan hingga sekarang (bawah).

foto: I.B.Putra Adnyana

foto: I Putu Putra Kusuma Yudha

punggung tiwas, usadha ila, usadha penyeseh beling, usadha tetenger beling, usadha dalem, usadha dalem jawi, usadha sasah bebai, kalimosada kalimosadi, usadha buda kecapi sari, usadha buda kecapi cemeng, usadha tantri, usadha manak, usadha upas, usadha cangkrim, usadha rare, usadha kuranta bolong, usadha ceraken tingkeb, usadha edan, usadha buduh, taru premana, usada jinyana sandhi, usada ketek meleng, dan lainnya.

Berdasarkan jenisnya, penyakit yang dapat diobati dengan rempah-rempah Bali adalah penyakit yang disebabkan oleh dua hal; yakni sekala (nyata) dan niskala (tidak nyata). Jika ditinjau dari jenis pengobatannya, penyakit dalam pengetahuan masyarakat Bali terdiri dari tiga jenis sakit yakni nyem (dingin), panes (panas) dan sebaha/dumedala (sedang), dan obat-obatan yang diberikan disesuaikan dengan penyakitnya. 1. Gelem Nyem (dingin) obatnya adalah rempah-rempah yang bersifat hangat; seperti jahe, cengkeh dan sebagainya. 2. Gelem Panes (panas) obatnya adalah rempah-rempah yang bersifat dingin atau mendinginkan tubuh dengan mengeluarkan keringat; seperti bawang merah dan daun dadap. 3. Sebaha/dumelada (sedang) obatnya adalah yang bersifat netral; seperti kunyit dan jenis temu-temuan.

Mengunyah sirih sudah diperkenalkan sejak dini dalam ritual “Metruna Nyoman” di desa Tenganan Pegringsingan.

Mengunyah sirih sudah diperkenalkan sejak dini dalam ritual “Metruna Nyoman” di desa Tenganan Pegringsingan.

foto: I.B.Putra Adnyana

Berbicara mengenai usadha, jenis sakit, dan penyembuhnya, tentunya sangat berkaitan dengan Ceraken atau ceraken usadha. Ceraken itu sendiri berarti kumpulan. Dalam ceraken terdapat budidaya tanaman obat seperti jebugarum (buah pala), jahe, cekuh (kencur), isen (lengkuas), temu-temuan, see (sereh), Cenana (Cendana), majegau (gaharu), wong (jamur), jangu (deringo), kayu manis, mesui, cengkeh, dan lain lain.

Adapun cara pengobatan dengan menggunakan rempah di Bali, yakni dengan lima cara yaitu loloh (diminum/ jamu), boreh (balur), simbuh (sembur), tutuh (tetes) dan tampel (tempel). Pada masa lalu, apabila ada yang sakit maka pertolongan pertama sebelum dibawa ke mantri atau merogoh isi ceraken dan mengambil bahan bahan obat-obatan tradisional untuk selanjutnya digunakan sesuai dengan kebutuhan; boreh, loloh, simbuh dan sebagainya.

Upacara/Ritual

Ritual atau upacara merupakan nafas kehidupan masyarakat Bali. Upacara atau ritual dilaksanakan oleh masyarakat Bali, ada yang setiap hari, setiap lima hari, setiap bulan, enam bulan kalender bali, satu tahun kalender Bali bahkan seratus tahun sekali (eka dasa rudra). Penggunaan rempah dalam setiap ritual masyarakat Bali, sangatlah besar dan banyak.

Beberapa rempah-rempah Bali memiliki fungsi ritual yang penting. Kemiri (Aleurites moluccana) adalah tumbuhan yang bijinya dimanfaatkan sebagai sumber minyak dan rempahrempah. Di Bali, kemiri sering kita jumpai saat pembuatan sarana upacara keagamaan, khususnya pada Banten Pejati.

Kemiri diletakkan bersamaan dan dalam satu tempat dengan telur, kelapa, beras, dan lain sebagainya. Kemiri merupakan simbol purusa (roh), kejiwaan, atau laki-laki. Selain dalam Banten Pejati, penggunaan kemiri atau tingkih dalam prosesi keagaman Hindu, juga terdapat pada upacara Tabuh Rah (persembahan tetes darah). Tabuh Rah merupakan taburan darah binatang yang digunakan untuk yadnya (kurban suci), biasanya menggunakan ayam sebagai persembahannya dengan cara diadu sampai salah satu mengeluarkan darah. Sebelum ayam yang akan dijadikan persembahan ini diadu, kemiri atau tingkih yang merupakan simbol bintang akan diadu terlebih dahulu. Tradisi penggunaan rempah di Bali tetap eksis sampai saat ini dan kedepannya, karena rempah-rempah bukan hanya untuk pengobatan dan bahan baku bumbu kuliner. Rempahrempah Bali juga memiliki fungsi lain; yakni sebagai alat pendukung kegiatankegiatan ritual. Selama budaya dan masyarakat Bali masih bertahan selama itu juga rempah-rempah tetap bertahan pada fungsinya; yaitu pengobatan dan ritual. (I Putu Putra Kusuma Yudha)