9 minute read

Plano Edukasi: Paradigma Perencanaan Kota

PARADIGMA PERENCANAAN KOTA : dalam Kata dan Makna PARADIGMA PERENCANAAN KOTA

Marselinus Nirwan Luru, merupakan seseorang di balik buku “Paradigma Perencanaan Kota”. Pria yang lahir di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur ini adalah lulusan S1 Perencanaan Wilayah dan Kota di Universitas Trisakti dan melanjutkan studi magisternya di Universitas Indonesia jurusan Kajian Pengembangan Perkotaan.

Advertisement

“Kegalauan”, baik dalam keseharian maupun dalam diskusinya, merupakan alasan awal pria yang akrab disapa Bang Nirwan ini menulis bukunya. Menurutnya, terkadang paradigma dipelesetkan sebagai teori atau konsep, begitupun sebaliknya. Padahal hal tersebut merupakan dua hal yang berbeda. Paradigma mengakar pada “cara pandang” yang muncul dari “cara melihat” dan “cara berfikir”. Cara melihat diartikan sekedar perabaan dari luar dan penggambaran sesuatu dan melihat apakah hal tersebut merupakan suatu masalah atau potensi. Sementara cara berfikir berarti mendeskripsikan dengan benar-benar menggali potensi dan masalah. Jadi paradigma berbicara bagaimana kita menggambarkan dan mendeskripsikan tentang sesuatu.

Mengapa paradigma itu begitu penting?

Paradigma merupakan falsafah atau dasar untuk memandang sesuatu, pada hal ini khususnya dalam konteks Perencanaan Wilayah dan Kota. Jika cara pandang yang dipakai kurang baik maka output yang dihasilkan akan kurang baik pula. “Ketika suatu hal terjadi, saya dapat meraba dan mendeskripsikan persoalan dan fenomena tersebut dari akar-akarnya. Karena ketika saya tidak punya paradigma yang baik, maka saya juga tidak akan mempunyai kesimpulan yang baik pula. Sebab, cara paradigma sangat mempengaruhi cara kita berfikir menganalisis, dan hal itu sangat mempengaruhi kesimpulan yang kita hasilkan.” jelas pria yang kini berprofesi sebagai dosen bidang studi Perencanaan Wilayah dan Kota di Universitas Trisakti ini.

Bang Nirwan mempunyai dua alasan mengapa paradigma tentang perencanaan kota menjadi topik yang diambil. Pertama, alasan psikologis, latar belakang beliau yang menekuni ilmu bidang Perencanaan Wilayah dan Kota serta memilih bidang tersebut dalam jalan hidupnya, membuat beliau merasa harus ditunaikan dengan karya. Buku ini adalah “bentuk bakti” beliau terhadap bidang ilmu yang dicintainya melalui karya yang sangat sederhana. Kedua, alasan substantif, adalah sebuah refleksi atas teori, peraturan, konsep mengenai potensi-potensi kota dan bagaimana memberi arahan mengenai pengembangan kota. Beliau sendiri melihat bahwa konsep, aturan, dan teori itu adalah anak kandung dari paradigma. Jadi, seseorang melahirkan teori, konsep, dan peraturan karena adanya cara pandang. Selain itu, paradigma merupakan sebuah “corong” bagi ilmuwan-ilmuwan. Namun, apa arti dari paradigma perencanaan kota itu sendiri?

Bang Nirwan menjelaskan bahwa awalnya para ahli membiasakan penggunaan kata paradigma dengan sebutan POV (Point of View) atau jendela untuk meneropong berbagai fenomena, persoalan atau potensi yang terjadi disekitar kita. Ada atau tidaknya kejadian yang berkaitan dengan ilmunya, seorang ilmuwan dan orang lain yang memiliki perhatian terhadap fenomena-fenomena perkotaan akan menggali potensinya. Andai mereka ingin merencanakan sesuatu yang didasarkan dengan cara pandang, mereka pasti akan menangani fenomena-fenomena tersebut dengan cara pandang yang mereka punya. Jadi paradigma perencanaan kota adalah cara pandang atau Point of View seorang perencana terhadap persoalan, fenomena dan potensi yang ada disekitarnya, kemudian diturunkan sebagai sebuah falsafah yang menjadi sebuah pegangan untuk ilmuwan-ilmuwan baru yang akan melahirkan konsep-konsep dan cara pandang baru yang muncul dari pergulatan mereka.

Buku “Paradigma Perencanaan Kota” ini dikhususkan untuk mahasiswa program studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Arsitektur, atau praktisi-praktisi yang mungkin dapat menjadikan buku ini referensi sederhana. Namun juga, karena buku ini membicarakan tentang paradigma, semua orang yang memiliki perhatian dengan isu-isu mengenai Perencanaan kota dapat menjadi sasaran sampingannya. Dengan memahami buku ini, kita dapat memahami bahwa produk-produk perencanaan ini lahir dari paradigma abad-abad sebelumnya.

PARADIGMA PERENCANAAN KOTA : PARADIGMA PERENCANAAN KOTA

Buku “Paradigma Perencanaan Kota” ini dikhususkan untuk mahasiswa program studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Arsitektur, atau praktisi-praktisi yang mungkin dapat menjadikan buku ini referensi sederhana. Namun juga, karena buku ini membicarakan tentang paradigma, semua orang yang memiliki perhatian dengan isu-isu mengenai Perencanaan kota dapat menjadi sasaran sampingannya. Dengan memahami buku ini, kita dapat memahami bahwa produk-produk perencanaan ini lahir dari paradigma abad-abad sebelumnya.

Buku ini menyajikan cara pandang suatu perencanaan kota dengan bagaimana suatu kota ini menjadi layak huni, aman dan nyaman. Pembaca masing-masing dapat menurunkan konsep mereka sendiri. Jadi, buku ini menyajikan cara pandang komperehensif (concept comprehensive planning) tetapi bukan soal projectnya melainkan soal pola pikirnya. Karena tiap orang memiliki pandangan sendiri baik terhadap kota atau perencanaan di dalamnya. Pandangan-pandangan tersebut lahir dari falsafahnya sendiri, lahir dari kesukaan terhadap suatu fenomena atau disiplin ilmunya sendiri, yang membantu perencanaan kota untuk merencanakan kota masa depan yang lebih baik.

Dalam buku ini terdapat 18 tulisan mengenai paradigma dan 9 tulisan menyajikan fenomena-fenomena kota yang berkeliaran di sekitar kita. Jumlah total sub bab dalam buku ini berjumlah 27 sub bab. Di dalamnya terdapat macam-macam paradigma perencanaan kota.

Namun, bukankah inti dari perencanaan itu sendiri adalah mengorganisir hal-hal untuk masa depan?

Menurut Bang Nirwan, macam-macam paradigma perencanaan itu muncul karena ada perbedaan cara pandang yang lahir dari keresahan-keresahan mereka (para ilmuwan). Jadi, paradigma itu pasti banyak macamnya, namun paradigma yang lebih baik adalah paradigma yang harus melalui perdebatan-perdebatan lama yang dinikmati. Jika bicara tentang perencanaan kota dan masa depan, sebenarnya adalah dua hal yang berbeda. Karena hal-hal untuk masa depan berasal dari suatu rencana yang mempertimbangkan mengenai masa kini, masa lalu dan masa depan yang akan lahir dari paradigma yang baik dan kuat. (Paradigma merupakan akar dari konsep-konsep untuk masa yang akan datang dan harus menjadi landasan suatu perencanaan).

Isu - isu Nasional Terkait

Buku ini memuat 18 tulisan mengenai paradigma dan 9 tulisan menyajikan fenomena-fenomena kota yang berkeliaran disekitar kita. Diantaranya terdapat 2 isu-isu nasional yang ingin diangkat oleh Bang Nirwan sebagai penulis dalam konteks yang masih sesuai. Pertama, pemilu. Aspek perencanaan wilayah dan kota harus hadir dalam kontestasi-kontestasi seperti ini untuk perencanaan pembangunan Indonesia. Insan yang bergelut dalam bidang ini hadir memdalami visi dan misi baik presiden, kepala daerah dan lain sebagainya. Pesannya, sebagai anak muda perencana harus terlibat dalam kontes politis. Harapannya paling tidak pada saat pencoblosan, karena suara kita akan menentukan perencanaan wilayah dan kota kedepannya. Kita tidak bisa membiarkan kondisi politis terjadi tanpa ikut berperan dengan hadir di bilik suara. Kedua, dalam buku ini terdapat tulisan mengenai era digital 4.0, yang ingin mengangkat tentang transformasi peran planner. Planner saat ini berbeda dengan planner era 1.0 yang didominasi dengan pemerintah yang sangat sentralistik. Planner hanyalah planner yang berkerja untuk dirinya. Tidak terlibat dalam proses dan keputusan perencanaan. Lalu, planner era 2.0 yang sudah masuk dalam sistem prosesnya, tetapi dominasi pemerintah masih kental dan sangat idealis pemerintahan. Planner 3.0 (kurang lebih abad ke-19) berperan semacam God of City, semua perencanaan kota diberikan kepada planner, pemerintah hanya mengetahui saja dan mengaplikasikannya, kebalikan dari era 1.0 dan 2.0. Pendekatan era 3.0 sangat rasionalistik dan objektif.

11 Seiring waktu berjalan, masuk ke era 4.0 planner bukan lagi menjadi domain, harapannya planner dapat menjadi advokat masyarakat dan mendorong partisipasi tinggi dari masyarakat. Planner diharapkan menurunkan ego pikirnya, lebih membuka telinga untuk mendengar masyarakat. Planner hadir mendampingi dan memformulasi masukan akar rumput. Apa yang disampaikan masyarakat kepada pihak yang berwenang, meski menghadapi tantangan pendanaan dan waktu, tetap dapat diusahakan untuk dicarikan jalan keluarnya. “Poinya adalah kita sebagai seorang perencana dituntut harus menjadi planner populis yang hadir di tengah masyarakat. Karena jika direfleksikan dari aturan-aturan kita, Indonesia menganut sistem desentralisasi, yang berarti peran masyarakat sangat penting. Asas politik pembangunan kita itu harus demokratis dan desentralis, maka di sinilah peran planner untuk menjembatani. Kita belum kuat seperti ikan salmon yang melawan arus.”, katanya.

Bang Nirwan menjelaskan, pada jaman penjajahan VOC Belanda memakai paradigma sentralik berbasis penguasa dan sedikit paradigma utopia karena lahir dari impian-impian “si penguasa” saja, dan menyamakan Jakarta dengan tempat asal penjajahnya. Lalu pada jaman orde lama dan orde baru, paradigma yang digunakan yaitu paradigma positivistic, yang mana perencanaan lahir dari hal-hal yang berwujud fisik, berbau ilmu pengetahuan yang bisa diuji, objektif, dan tanpa pengaruh siapa-siapa begitu adanya dari hasil pengamatan, namun hanya ada diawang-awang. Periode ini juga kental dengan sentralik. Lalu jika ditanya paradigm apa yang dipakai saat ini, jawabannya yaitu sedang memasuki postpositivistik yang rasionalistik dan partisipatif. Sebagai contoh, adanya RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), meskipun juga belum maksimal.

Beliau juga menambahkan, untuk Indonesia sendiri tepatnya harus memakai paradigma yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada dan harus didukung serta dengan menganut sistem-sistem telah ada. Paradigma partisipatif dan rasionalistik harus tetap dijalankan dan partisipasi masyarakat harus benar-benar diikutsertakan untuk produk-produk perencanaan. Lalu indikasi untuk perkembangan yang membaik atau memburuk, sebenarnya belum ada indikator tetap karena beliau sendiri belum membaca penelitian yang menilai secara kuantitatif baik atau buruknya suatu perkembangan. Tetapi dilihat dari fenomena-fenomena keterlibatan masyarakat dalam perencanaan, dan kenyataannya pembangunan kita saat ini, sekiranya pembaca bisa menilai baik atau buruknya. Namun jangan salahkan paradigmanya, kekeliruan sesungguhnya terletak pada eksekutor. Karena luasnya lingkup perencanaan, diperlukan cara mewujudkan sebuah rencana yang idealis pada masa saat ini, saat mungkin pembangunan masih terasa sangat jauh dari kata “keadilan”.

Untuk mewujudkan perencanaan idealis nyatanya masih jauh dari harapan, karena kawalahan dari pemanfaatan dan pengendalian. Tetapi untuk produk planner (sumber daya, regulasi, dll) sudah hampir sampai taraf ideal, walaupun masih banyak “PR” seperti RDTR yang belum banyak terselesaikan. Pada pengendaliannya, sanksi-sanksi administratif tidak menimbulkan efek jera, karena tidak dijalankan pula sanksi pidana. Untuk pembangunan yang terasa jauh dari keadilan, bagaimanapun keadilan itu bersifat relative. Hal yang harus dipikirkan adalah bagaimana harus menciptakan perencanaan bersifat substantif yang menciptakan rencana yang cenderung menyelesaikan masalah-masalah besar, dan adil secara ruang = adil bagi masyarakat.

Dari semua paradigma perencanaan yang disebutkan oleh Bang Nirwan, belum ada yang diakui sempurna dan tidak ada yang mutlak. Yang ada dalah perencanaan yang sesuai konteks waktu, orang dan ruang. Seperti Paradigma Positivistik saat itu eranya sedang mengagungkan ilmu pengetahuan sehingga paradigma itu pada eranya mungkin dianggap sempurna.

Menelisik Beberapa Makna

Ada statement menarik dalam sub bab “Bencana” dalam buku ini. Pernyataan tersebut yaitu dikatakan bahwa, “Negara telah gagal untuk menyejahterakan warganya”. Namun, di sini juga dijelaskan fungsi negara untuk memberikan perlindungan kepada penduduk dari ancaman bencana. Sedangkan bencana pada dasarnya adalah aktivitas alam itu sendiri. Dalam hal ini, Bang Nirwan berpendapat bahwa kalimat “negara telah gagal” itu sebenarnya adalah kalimat provokatif, karena penanganan bencana saat ini lebih bersifat responsif dan periodik bukan adaptif. Ketika bencana terjadi, kita baru sibuk. Seharusnya dengan upaya adaptif, yaitu perencanaannya sudah tanggap dengan bencana yang akan datang, dilakukan jauh-jauh hari dan tertuang dalam produk-produk perencanaan. Sebetulnya sudah ada pada UU No. 26/2007 tetapi tidak pernah dieksekusi secara maksimal sehingga korban baik korban jiwa ataupun kerugian materi masih tergolong tidak sedikit. Sehingga beliau mengatakan bahwa “Negara telah gagal untuk menyejahterakan warganya melalui perencanaan yang adaptif”.

Lalu dalam sub bab “Bersikap” dikatakan bahwa pentingnya warga kota untuk melakukan upaya kontrol diri, karena kota itu dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Namun apakah pada kenyataannya masyarakat kita ini sudah mencerminkan upaya control diri tersebut? Menurut Bang Nirwan untuk masyarakat Indonesia terutama warga Jakarta belum mencerminkan sikap kontrol diri tersebut, kaidahnya belum dijalankan. Bisa dilihat dari fenomena-fenomena di sekitar kita. Bahkan hal kecil pun belum terlaksana dalam upaya kontrol diri. Seperti menjaga kebersihan dengan membuang sampah pada tempatnya sehingga antisipasi terjadinya banjir, penyalahgunaan trotoar untuk bejualan dan alif fungsi menjadi jalan lintas kendaraan bermotor yang membuat semrawut, dan membuat kota tak ramah pejalan kaki.

Proses

Dalam penulisan buku “Paradigma Perencanaan Kota” Bang Nirwan tidak mendapati kesulitan yang berarti. Hal ini karena beliau meluangkan waktu yang begitu banyak, dan waktunya tersebut dijadwalkan oleh beliau sendiri. Lalu, karena berfikir dan menuangkan fikirannya dalam tulisan adalah hobinya, beliau menjalani ini semua dengan enjoy dan baik-baik saja. Tetapi, kesulitannya ada pada saat mencari penerbit dan pengontrolan saat proses penerbitan, karena dilakukan di tempat yang jauh dari Jakarta yaitu di Probolinggo, Jawa Timur. Sehingga pengerjaan penerbitan buku ini sedikit sulit apabila ada penyesuaian dengan setting buku yang berbeda. Namun, beliau besyukur dan berterima kasih kepada semua pihak yang terlibat dan mendukung proses dibuatnya buku ini.

“Perencanaharus menurunkan ego pikirnya, lebih membuka

telinga untuk mendengar masyarakat

”- MARSELINUS NIRWAN LURU -

This article is from: