8 minute read

Catatan metodologi

Atribut grup dan kepemilikan

Sejauh ini belum ada database yang dapat diakses publik yang berisi rincian lengkap dari izin perkebunan di Indonesia dan grup perusahaan yang mengendalikannya. Banyak konsesi milik perusahaan didirikan secara formal, terdaftar di bursa saham dengan struktur induk dan anak perusahaan secara konvensional. Perusahaan ini mencantumkan entitas anak perusahaan dan/ atau perkebunan mereka lebih kurang secara komprehensif di situs web mereka atau dalam laporan tahunan mereka. Greenpeace menggunakan sumber publik tersebut sebagai dasar kategorisasi grup perusahaan-perusahaan ini, dilengkapi dengan informasi yang diambil dari dokumen perizinan dan sumber lain.

Akan tetapi, sebagian konsesi memiliki model kendali tidak langsung, seperti menjadi bagian dari jaringan kompleks perusahaan yang dimiliki oleh individu atau keluarga yang hubungannya tidak (atau hanya sebagian) diketahui publik. Pada beberapa kasus, perusahaan terkenal dan berprofil tinggi mungkin memiliki sekelompok 'perusahaan bayangan' yang terhubung secara sembunyi-sembunyi selain anak perusahaan perkebunan yang diakui; sebagian lainnya tidak memiliki perusahaan induk tunggal dan grup tersebut sebagian besarnya terdiri dari perusahaan swasta, yang tidak terdaftar di bursa saham mana pun. Anggota keluarga yang berbeda mungkin merupakan pemegang saham yang sebenarnya di perusahaan yang berbeda, atau bagian dari grup yang mungkin berada di luar negeri, sehingga membuat pengendali sebenarnya tidak dapat diketahui. Pada kasus lain, pemegang saham sah mungkin saja merupakan nominee, dengan adanya kesepakatan dengan pemilik manfaat lain yang belum diungkapkan kepada publik.

Keberadaan grup ini penting untuk dilihat dalam artian luas, yaitu melampaui hubungan kepemilikan langsung dan mencantumkan bentuk-bentuk kendali lain (seperti pemegang kendali keuangan, manajerial, operasional atau lainnya). Hal ini harus dilakukan untuk menyiasati cara-cara di mana pemilik yang tidak beritikad baik dalam mengaburkan kepemilikan mereka atas operasi perkebunan yang terlibat dalam perusakan hutan, yang mungkin mereka lakukan untuk menghindari dampak buruk terhadap anak perusahaan mereka yang diakui ke publik.

Komposisi sejumlah grup tidak langsung ini, dan alasan di balik interpretasi Greenpeace terhadap mereka (secara umum dan individu) ditetapkan oleh Accountability Framework Initiative (AFI). Inisiatif ini mendefinisikan grup perusahaan sebagai:545

Totalitas badan hukum yang berafiliasi dengan perusahaan dalam suatu hubungan di mana salah satu pihak mengendalikan kegiatan atau kinerja pihak lainnya. Faktor-faktor yang digunakan untuk menentukan apakah suatu perusahaan merupakan bagian dari grup perusahaan yang lebih luas meliputi:

Formalitas hubungan: Apakah ada kepemilikan formal, seperti melalui struktur kepemilikan investasi? Dideklarasikan sebagai grup: Apakah grup secara terbuka menyatakan bahwa perusahaan berhubungan? Kendali keluarga: Apakah perusahaan dimiliki atau dijalankan oleh anggota keluarga yang sama? Kendali keuangan: Apakah ada pengaturan keuangan yang terikat kontrak atau kesepakatan lainnya yang menunjukkan satu pihak mengendalikan kinerja pihak lain? Kendali manajemen: Apakah ada banyak tumpang tindih pejabat antara perusahaan-perusahaan tersebut? Kendali operasional: Apakah tanah di bawah kendali operasional grup perusahaan? Kepemilikan manfaat: Apakah kepemilikan akhir disembunyikan di perusahaan luar negeri atau dengan menggunakan nominee? Shared resources: Apakah perusahaan memiliki alamat terdaftar yang sama, tanah atau aset fisik lainnya, atau penyediaan fungsi atau layanan perusahaan?

Perusahaan pemilik konsesi dianggap terdeklarasi sebagai anggota grup jika pengakuan ini berasal dari perusahaan itu sendiri, seperti dalam laporan tahunan perusahaan atau laporan ke bursa saham, dalam situs resminya, atau komunikasi kemajuan tahunannya ke RSPO. Bagi perusahaan yang tidak terdeklarasi seperti ini, maka indentifikasi mengacu pada analisis terhadap profil perusahaan yang disediakan oleh otoritas resmi (Indonesia, Malaysia, dan Singapura).

Profil perusahaan di Indonesia disediakan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Informasi yang tersedia berupa nama dan alamat pemegang saham maupun pengurus terkini, historinya, dan rincian alamat perusahaan. Terdapat kemungkinan adanya perubahan kepemilikan saham atau pengurus barubaru ini dan belum terdeteksi, terutama jika perubahan dilakukan setelah Greenpeace terakhir kali memperoleh profil tersebut. Laporan ini menjadikan profil perusahaan tersebut sebagai referensi utama mengenai individu yang ada pada perusahaan maupun perusahaan itu sendiri, seperti informasi tentang alamat resmi perusahaan dan pengurus.

Apabila perusahaan pemilik konsesi tidak mendeklarasikan informasi grup atau afiliasinya, dan tidak terdapat informasi pada profil perusahaan di Kementerian Hukum dan HAM, maka laporan ini akan mempertimbangkan setiap bukti yang ditemukan berdasarkan pada indikator AFI lainnya. Berikut beberapa contoh bukti yang ditemukan tersebut:

• Pernyataan individu yang bekerja atau dekat dengan perusahaan dan memiliki afiliasi dengan grup. Misalnya informasi detail pekerjaan pada

LinkedIn, Facebook, dan Instagram karyawan atau pemilik perusahaan; • Berbagi alamat kantor resmi atau lokal dengan perusahaan yang termasuk dalam suatu grup; • Terdapat tumpang tindih yang signifikan antara direksi/komisaris atau personel lain dalam posisi manajemen dengan perusahaan lain yang tergabung dalam suatu grup; • Menunjukkan tanda-tanda hubungan keluarga yang jelas dengan grup, misalnya melalui alamat bersama dan/atau nama keluarga dari individu yang terdaftar sebagai pemegang saham atau pejabat perusahaan • Muncul dalam laporan media sebagai terkait dengan suatu grup (bobot yang lebih besar diberikan pada artikel di mana juru bicara perusahaan resmi/dikenal dikutip atau disebutkan dalam siaran pers, dibandingkan dengan artikel di mana nama-nama/pemilik hanya disebutkan oleh reporter) • Secara jelas melakukan rekrutmen secara bersama-sama dengan perusahaan yang tergabung dalam satu grup • Muncul sebagai bagian dari grup perusahaan berdasarkan dokumentasi lapangan (misalnya, tanda di dalam atau di sekitar perkebunan yang berlogo perusahaan, kesaksian dari pekerja) • Menunjukkan bukti investasi keuangan yang cukup signifikan oleh anggota grup yang mengindikasikan tingkat pengendalian oleh grup tersebut

Menetapkan struktur dan penentuan grup secara informal adalah pekerjaan yang kompleks. Pembuktian tersebut membutuhkan waktu yang lama dan hasil yang diperoleh pasti belum sempurna. Secara khusus, sejumlah perusahaan yang terafiliasi dengan grup secara informal, sering melakukan restrukturisasi kepemilikan atau pengelolaan perusahaan perkebunan mereka - mungkin tujuannya untuk mengaburkan kendali mereka yang sebenarnya. Oleh karena itu, pekerjaan pemetaan struktur perusahaan/grup mereka tersebut terus berlangsung.

Bukti yang ditemukan seperti dicatat di atas hanya menjadi dasar atribusi grup dalam laporan ini kalau cukup banyak bukti ditemukan untuk menunjukkan hubungan kuat berdasarkan definisi AFI di atas. Mungkin ada beberapa ketidakpastian seputar sifat sebenarnya dari keterhubungan ini dalam kasuskasus demikian - tujuannya adalah untuk menetapkan dasar kendali antara perusahaan dan oleh karena itu kami mengacu pada kaitan grup dibandingkan konsep sempit kepemilikan legal melalui kepemilikan saham.

Greenpeace telah menyurati sejumlah perusahaan dan individu yang dibahas dalam laporan ini guna menanggapi temuan kami, termasuk kesimpulan kami tentang keterkaitan perusahaan dengan grup yang relevan. Tanggapan yang diterima oleh Greenpeace dapat dilihat secara lengkap di sini.

Permohonan Informasi Publik

Greenpeace Indonesia selama beberapa tahun telah mengajukan permohonan informasi tentang lisensi, perizinan, survei hutan dan lahan gambut, dan permohonan informasi lainnya dari lembaga pemerintah Indonesia. Sayangnya, terlepas dari mandat yang terkandung dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, banyak permohonan semacam itu yang ditolak atau diabaikan. Pada laporan ini, selama tahun 2020 Greenpeace Indonesia mengirimkan kembali surat resmi kepada instansi pemerintah di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan izin. Beberapa tanggapan telah diterima, dan data tersebut telah digunakan dalam laporan ini. Namun, tidak mungkin untuk memastikan telah mendapatkan informasi lengkap tentang semua perizinan dan dokumentasi terkait, dan laporan ini bertujuan untuk mencerminkan ketidakpastian tersebut dalam teks di mana memungkinkan. Salinan izin yang dibagikan oleh LSM lain yang mereka terima dari pemerintah selama penelitian atau advokasi mereka sendiri juga telah digunakan untuk melengkapi data yang diperoleh Greenpeace Indonesia.

Pengamatan pembukaan hutan dalam laporan ini didasarkan dengan membandingkan kumpulan data Global Forest Change, tutupan lahan pemerintah dan peta gambut (lihat sumber di bawah) dan peta konsesi dengan kualitas terbaik yang tersedia, biasanya diperoleh dengan meminta dokumen dari lembaga perizinan, dan mendigitasi peta dari tiap dokumen izin konsesi terkait.

Pemetaan dan pembukaan hutan

Sumber data dan peta:

Laporan ini menggunakan data Global Forest Change yang dipublikasikan oleh University of Maryland, yang memberikan perkiraan hilangnya hutan selama periode 2000–2019. Perubahan pada tutupan kanopi pohon didapatkan dari kumpulan citra Landsat bebas awan. Pada kumpulan data ini, pohon didefinisikan sebagai semua vegetasi yang lebih tinggi dari 5 meter, sedangkan hilangnya hutan didefinisikan sebagai perubahan status hutan menjadi non-hutan yang ditunjukkan dengan hilangnya tutupan kanopi pohon secara keseluruhan pada skala piksel Landsat. Setiap piksel mewakili area yang berukuran sekitar 30 x 30 meter, atau kurang dari sepersepuluh hektar. Karena keterbatasan teknis ini, pembukaan lahan di petak-petak yang lebih kecil dari areal tersebut tidak dimasukkan dalam estimasi tahunan hilangnya hutan.

Peta tutupan lahan Indonesia, yang sekarang diproduksi setiap tahun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dianggap sebagai representasi yang dapat diandalkan dari hutan dan penggunaan lahan lainnya. Dataset 2019 adalah referensi utama yang digunakan (jika peta sejarah dirujuk, hal tersebut akan disebutkan secara eksplisit), dan semua referensi untuk tipe hutan (hutan primer, hutan rawa, dll) didasarkan pada klasifikasi di peta ini kecuali jika dikatakan berbeda.

Peta gambut yang digunakan merupakan peta resmi yang bersumber dari pemerintah Indonesia. Untuk analisis umum, Greenpeace menggunakan kumpulan data gambut yang diterbitkan pada 2011 oleh Kementerian Pertanian. Penelitian lebih lanjut selama dekade terakhir telah memperbaiki data, tetapi ini tetap menjadi kumpulan data nasional terbaru yang disediakan pemerintah secara gratis. Untuk beberapa wilayah penting di Provinsi Papua bagian selatan (Kabupaten Mappi, Merauke dan Boven Digoel), Greenpeace Indonesia telah membeli salinan peta gambut terbaru yang diterbitkan pada tahun 2019. Semua temuan terkait gambut di wilayah tersebut telah diverifikasi keabsahannya terhadap kumpulan data tersebut. Data spasial lain terkait gambut menjadi acuan poin-poin dalam laporan ini, antara lain peta Kawasan Hidrologi Gambut dan kawasan prioritas restorasi gambut oleh Badan Restorasi Gambut.

Peta indikatif wilayah yang termasuk dalam Moratorium Hutan diterbitkan oleh KLHK setiap kali ada revisi pada peta.

Penghitungan karbon di atas permukaan tanah yang tersimpan di hutan (lihat box, Bagian 1, dan Studi Kasus 9) didasarkan pada perkiraan jumlah karbon yang disimpan per hektar di masing-masing dari enam kelas hutan dalam dokumen tingkat acuan emisi hutan (Forest Reference Emission Level/FREL) Indonesia yang dikirimkan ke UNFCCC. Perhatikan bahwa ini adalah perkiraan karbon yang disimpan dan bukan karbon yang akan dilepaskan ke atmosfer jika hutan diubah menjadi perkebunan - untuk ini,metodologi yang lebih kompleks perlu digunakan, dengan mempertimbangkan jumlah variabel yang lebih luas.

Greenpeace berupaya untuk mempertahankan peta konsesi perkebunan yang komprehensif di seluruh Indonesia, berdasarkan rangkaian data yang berbeda. Analisis tidak selalu mudah karena satu konsesi mungkin memiliki izin lokasi, IUP, pelepasan hutan, dan HGU dengan batas yang berbeda. Pada laporan ini, kami telah memutuskan untuk fokus terutama pada perusahaan yang konsesinya dikeluarkan dari kawasan hutan, dan karenanya telah melakukan analisis spasial berdasarkan batas pelepasan hutan. Hal ini dianggap paling relevan karena sebagian besar analisis berkaitan dengan keputusan yang diambil oleh KLHK (atau sebelumnya Kementerian Kehutanan).

Selama proses penyusunan laporan ini, pada Februari 2021, sejumlah regulasi baru dikeluarkan untuk mengimplementasikan perubahan yang tertuang dalam UU Cipta Kerja 2020.546 Banyak di antaranya adalah hal yang berkaitan dengan prosedur untuk mengeluarkan izin dan masalah lain yang dibahas dalam laporan ini. Akan tetapi, karena banyaknya undang-undang baru dan waktu yang terbatas, kami tidak memasukkan analisis lengkap peraturan baru tersebut ke dalam laporan ini.

Perubahan Regulasi dan Kebijakan

546 Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, teks lengkap dapat diakses di: https://www.setneg.go.id/view/index/undang_undang_ republik_indonesia_nomor_11_tahun_2020_tentang_cipta_kerja