5 minute read

MERENUNGI KEMBALI DEKADE 60-AN MELALUI PERSPEKTIF SINEMA INDONESIA

Tahun 1966 iki jaman edan Man” salah satu kutipan dalam film Hiruk-Pikuk

Advertisement

Si Al-Kisah The Science of Fictions mengisyaratkan sebuah hiruk-pikuk gegar zaman yang terjadi dalam rentang tahun tersebut. Sebuah kejadian yang besar menimpa negri ini yang tiap tahun akan selalu terputar kembali dalam memori kelam bangsa Indonesia.

Sebagai warga negara Indonesia, pastinya sudah sangat familiar terhadap peristiwa besar yang terjadi pada tahun 1966. Setiap tahunnya kita pasti akan dibawa kembali untuk melihat dan merenungi memori pahit tahun tersebut meskipun keabsahannya masih menjadi perbincangan panas.

“Hiruk-pikuk gegar zaman 60-an menjadi penanda akibat dari sebuah peristiwa besar pasca perang dunia dua yang membawa dua kubu besar saling bersaing. Rentetan peristiwa dalam perang dingin, perlombaan antariksa, hingga perlawanan terhadap komunisme yang memuncak pada dekade tersebut menjadikan dekade 60-an menjadi sebuah gegar zaman yang rusuh, memecah belah, dan pembunuhan terhadap hak asasi.

Gegar zaman 60-an telah menjadi memori akan sebuah dekade yang pahit bagi sejarah dunia. Melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi pada era tersebut, kita dapat melihat kembali untuk belajar, berdiskusi, dan merenungi terhadap masalah-masalah yang ada. Terlebih lagi, pada era keterbukaan saat ini, kita mampu memperoleh berbagai informasi dan referensi sebagai bahan renungan terhadap peristiwa tersebut, salah satunya adalah melalui dunia perfilman.

Melalui dunia perfilman, kita mampu diajak kembali dalam gambaran gegar zaman yang ada. Salah satu keajaiban sinema adalah bagaimana ia bisa membawa kembali memori terhadap kenangan masa lalu melalui beragam perspektif pula. Keragaman cerita yang dituangkan dalam perspektif sinema dapat menjadi bahan acuan, gambaran, serta referensi yang beragam dalam memaknai peristiwa yang ada.

Dalam sinema Indonesia misalnya, penyajian peristiwa gegar zaman dekade 60-an di Indonesia terus menerus menjadi pembicaraan yang panas. Terlebih lagi sejak era reformasi, keterbukaan terhadap kebenaran informasi dan kebebasan berbicara membawa kembali memori serta pengungkapan sejarah terhadap hiruk-pikuk yang terjadi pada masa itu.

Sinema sebagai media yang mampu mengasah indra dan rasa mampu melukiskan kembali tentang sebuah kenangan dan cara berpikir melalui narasi-narasinya. Hiruk-Pikuk Si AlKisah The Science of Fictions (Yosep Anggi Noen) menyajikan sebuah komentar dan sentilan terhadap “fiksi” yang ditampilkan melalui dua arus masa, yaitu masa lalu dan masa kini. Melalui film ini, kita disuguhkan pada hiruk-pikuk mengenai kebohongankebohongan yang terjadi pada sejarah, media, hingga manusia yang disuguhkan melalui pantomim tubuh astronaut jadi-jadian bernama Siman.

Ketika dunia barat sedang berlombalomba menginjakkan kaki di Bulan, bangsa ini sedang bergelut dengan perang antar ideologi tahun 1966. Hadir sebagai film dengan narasi dua babak waktu yang berbeda. Namun, hadir sebagai gambaran bahwa setiap era, setiap orang memiliki rahasianya masing-masing yang disimpan hingga busuk dikerumuni lalat-lalat.

Mereka yang berusaha berbicara benar akan dibungkam, dianggap gila. Pendaratan bulan, G30s, politisi narsis, mereka tetap sama di setiap eranya, sama-sama tetap berkuasa.

Sedangkan orang seperti Siman, dianggap nya tak waras, menjadi ajang tontonan, dan terus dikendalikan oleh mereka yang berkuasa.

Membicarakan dekade 60-an di Indonesia tak bisa luput mengenai

Pengkhianatan G 30 S PKI (Arifin C. Noer). Film ini telah menghantui masa kecil sebagian besar warga Indonesia tentang gambaran kekejaman Partai

Komunis Indonesia (PKI) terhadap 7

Jenderal angkatan perang yang disiksa di Lubang Buaya. Film ini tiap tahunnya pada bulan september sempat diwajibkan untuk diputar pada stasiun televisi nasional. Film propaganda yang dibiayai oleh

Perusahaan Film Negara (PFN) ini sengaja dibuat dengan tujuan edukasi mengenai klaim “fakta sejarah” oleh

Orde Baru kala itu.

Dibalik kontroversi mengenai kebenaran sejarah dan “pencitraan” karakter Soeharto, film ini merupakan suguhan mengenai peristiwa 1966 yang disuguhkan secara kolosal dengan dialog-dialog yang hingga kini tertanam dalam core memory bagi siapapun yang menontonnya.

Mengesampingkan kontroversinya, yang jelas film ini memberikan gambaran seperti apa keadaan bangsa

Indonesia pada 1966 dan otoriter

Orde Baru sebagai bahan renungan dan pembelajaran mengenai sejarah bangsa yang kelam.

Berbanding arah dengan film sebelumnya, Jagal: The act of killing (Joshua Oppenheimer) menghadirkan gambaran bengis yang terjadi pada korban pembantaian terduga PKI pasca G30s yang disajikan melalui perspektif pelaku secara dokumenter.

Melalui keberanian sang sutradara menghadirkan topik yang sangat sensitif dengan pendekatannya untuk membuat sang pelaku, salah satunya

Anwar Congo untuk berbicara membuat film dokumenter ini menjadi gambaran serta pengungkapan fakta sejarah yang mencengangkan. Melalui reka adegan peristiwa bengis yang diperagakan secara langsung oleh pelaku mampu membuat rasa getir dan tidak mengenakkan mengenai sisi gelap sejarah Indonesia.

Selaras dengan topik yang sama, Senyap: The Look of Silence (Joshua Oppenheimer) sebagai sequel menghadirkan peristiwa pasca G30s melalui perspektif keluarga korban.

Salah satunya adalah Ramli, korban pembantaian massal terduga PKI, adik korban yang berprofesi sebagai tukang kacamata keliling berusaha mencari titik terang atas kaburnya sejarah yang tertulis pada buku pelajaran. Menghadirkan pengalaman penuh rasa cemas, haru, dan menyayat hati tentang bagaimana sosok-sosok pelaku yang enggan membuka matanya dan merasa sesal meskipun telah mendapatkan kacamata yang baru, mereka tetap melihat sejarah melalui satu sisi matanya yang kabur dan enggan membuka sisi lainnya untuk melihat lebih jelas.

Begitu pula pada tiga film selanjutnya yang membicarakan korban perempuan dan Gerakan Wanita

Indonesia (Gerwani) yang dicap dekat dengan komunisme. Sang Penari (Ifa Isfansyah) menghadirkan kisah pilu yang diangkat atas novel “Ronggeng Dukuh Paruk” yang menceritakan tentang sepasang kekasih Rasus dan Srintil di sebuah desa miskin, Dukuh Paruk, Banyumas. Srintil sebagai perempuan desa dengan mimpinya untuk menari ronggeng sebagai warisan leluhurnya, yang ia tahu hanyalah menari. Di lain sisi Rasus merupakan seorang tentara dengan tugasnya mengemban pada negara.

Dengan keadaan desa yang miskin dan warga desa yang buta aksara mampu dimanfaatkan oleh Partai Komunis untuk memperoleh suara dalam pemilu. Film ini tampil sebagai perwujudan gegar yang terjadi pasca

G30s yang turut menyeret masyarakat tak berdosa kedalam bencana dahsyat kala itu.

You and I (Fanny Chotimah) menghadirkan dokumenter kisah pilu terhadap “kakak-adik” Kaminah (70 tahun) dan Kusdalini (74 tahun), keduanya bertemu dan menjadi saudara ketika berada dalam penjara tanpa vonis apapun sebagai terduga yang terlibat dalam gerakan G30s. Keduanya tumbuh bersama saling menyayangi layaknya kakak-adik.

Dalam masa tuanya Mbah Kaminah menuntun kakaknya Kusdalini dalam mengingat teman-temannya melalui foto-foto dalam genggamannya. Bahkan dalam masa tuanya mereka masih menyempatkan diri untuk berkumpul dan berdiskusi bersama teman-teman bekas lembaga pemasyarakatan dan menonton TV untuk membicarakan teman-temannya sebagai korban konflik masa lalu.

Berkali-kali Mbah Kaminah mengucapkan JASMERAH “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”.

Lentera Merah (Hanung Bramantyo) tampil sebagai sajian film horor dengan tema utama malam kaderisasi unit kegiatan mahasiswa Majalah

Lentera Merah yang terinspirasi

Majalah Lentera dan buku karangan

Soe Hok Gie “Di Bawah Lentera Merah”. Mengisahkan tentang keberlangsungan Lentera Merah yang sempat dibredel pada masa pasca

G30s, serta Risa (Laudya Cynthia Bella) yang menjadi korban pembunuhan terduga PKI, menjadi konflik utama yang menghantui malam kaderisasi tersebut.

Hiruk-pikuk tahun 60-an tak hanya membahas persoalan politik saja, melainkan dalam dekade tersebut terdapat kisah-kisah kecil mengenai persoalan cinta yang secara tak langsung bersinggungan terhadap gegar zaman yang ada. Kambodja (Rako Prijanto) membawakan kisah sederhana sepasang suami istri yang terlibat dalam perselingkuhan.

Hiruk-pikuk masalah rumah tangganya yang sedang bermasalah turut serta terdampak terhadap peristiwa tahun 65. Melalui detail-detail kecil seperti radio, hingga perbincangan kecil soal musik “ngak ngik ngok” kita dibawa kembali melihat kondisi dalam dekade tersebut pada ranah yang kecil seperti rumah tangga.

Before, Now & Then (Kamila Andini) menjabarkan kisah subtil mengenai perjuangan Raden Nana Sunani untuk menjadi perempuan yang merdeka dari belenggu sistem patriarki yang menurungnya. Tampil sebagai korban masalah konflik dalam dekade tersebut, ia harus berjuang menjadi seorang perempuan yang berdikari dan menjalani norma laku yang tak ia inginkan. Selain itu, ia turut bergelut dengan masalah perselingkuhan yang justru membawanya menemui perempuan yang mendapatkan cap komunis menjadi tempat bersandarnya mencurahkan isi hati.

Dan yang terakhir adalah Gie (Riri Riza), yang menghadirkan manifestasi audio visual dari catatan-catatan Soe

Hok Gie melalui bukunya Catatan

Seorang Demonstran. Film ini menyajikan dan seakan merangkum seluruh kejadian dalam dekade 60-an semasa ia hidup.

Protes-protes Gie yang ditujukan pada manifesto politik demokrasi terpimpin Soekarno, ketegasannya berdiri dan membela keadilan bagi mereka yang tak berdosa dibantai dengan kejamnya, hingga rasa tanggung jawabnya ketika militer menduduki pemerintahan saat Orde Baru berkuasa.

Sebagai penutup, kejadian-kejadian dalam dekade 60-an haruslah dimaknai sebagai bentuk pembelajaran agar tidak lagi terjadi pecah belah dan pelanggaran hak asasi.

Kita sebagai kaum terpelajar haruslah melihat kembali sejarah melalui dua sisi arah dalam melihat kebenaran dan mampu berusaha belajar, bangkit, dan melukis masa depan cerah dari sejarah yang kelam.

Selamat melihat kembali hiruk-pikuk 60-an!

This article is from: