24 minute read

BUDAYA Batik Tiga Negeri - 54 PUJANGGA Subagio Sastrowardoyo Pernah Menyair Dulu - 57 SASTRA Ikatan

PERGURUAN TINGGI UNTUK PENYANDANG DISABILITAS

Tertuang dalam batang tubuh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia ke 4 berbunyi “... dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ...” yang berarti setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Tak terkecuali juga penyandang disabilitas atau difabel. Akan tetapi akses masuk mereka ke dalam perguruan tinggi masih terbatas. Dikutip dari laman Tirto.id, Dina Afrianty, peneliti La Trobe University, Australia, pada 2018 yang meneliti beberapa kampus berbasis Islam di Indonesia, ada penolakan terhadap calon mahasiswa penyandang disabilitas tunanetra yang ingin masuk fakultas tarbiyah (pendidikan). Alasan yang dikemukakan oleh kampus tersebut adalah, “untuk menjadi guru, seseorang tidak boleh buta”. Dukungan masyarakat bagi difabel masih kurang. Hal tersebut dipengaruhi oleh hambatan budaya, kebiasaan di masyarakat memandang bahwa difabel tidak mampu melakukannya. Dampaknya, jumlah difabel yang mengakses pendidikan tinggi masih sangat kecil.

Advertisement

Istilah kampus inklusi mulai sering didengar. Istilah kampus inklusi sendiri merujuk pada pengertian bahwa kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi juga mampu memfasilitasi dengan baik para penyandang disabilitas (kelompok difabel) untuk turut mendapatkan hak ilmu di perguruan tinggi. Dalam rangka untuk mencapai status inklusi tersebut, maka kampus perlu menyediakan berbagai sarana, baik sarana fisik maupun non fisik.

Dasar Hukum Hak Difabel

Paradigma perguruan tinggi terhadap

DOK. INTERNET

para difabel seharusnya dikembalikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak kaum difabel untuk mendapatkan pendidikan yang layak, termasuk pendidikan untuk memasuki jenjang perguruan tinggi telah diatur dalam perundang-undangan. Melalui UndangUndang (UU) No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah menetapkan pendidikan bagi penyandang disabilitas sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Disebutkan dalam UU tersebut bahwa pendidikan dilaksanakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial agar mendapat pendidikan khusus.

Pelaksanaan perguruan tinggi bagi penyandang disabilitas atau difabel diatur dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pasal 42 ayat 3. Di dalamnya mengamanatkan penyelenggaraan pendidikan tinggi untuk memfasilitasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas. Bahkan, ditegaskan bahwa penyelenggara pendidikan tinggi yang tidak membentuk Unit Layanan Disabilitas akan dikenai sanksi administratif, mulai dari teguran hingga pencabutan izin penyelenggaraan pendidikan. Meski begitu, pada realitasnya masih terdapat diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas atau difabel. Salah satu contoh yang paling gamblang adalah syarat “sehat jasmani dan rohani” setiap pembukaan pendaftaran mahasiswa baru melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Nasional (SBMPTN). Ketentuan tersebut

dapat menimbulkan persepsi bahwa para difabel tidak diperbolehkan mengikuti seleksi tersebut.

Sederet Kampus Inklusi

UIN Sunan Kalijaga adalah satu dari beberapa universitas yang telah menerapkan kampus inklusi untuk para difabel. Sejak 2007 UIN Sunan Kalijaga sebagai pelopor dalam memfasilitasi jalur pendidikan untuk penyandang disabilitas dengan membuat Pusat Layanan Disabilitas yang berfokus pada layanan dan dukungan akses. Pada tahun 2014/2015 di universitas tersebut terdapat 45 mahasiswa difabel dan menjadikannya sebagai universitas yang ramah bagi penyandang disabilitas di Indonesia. UIN Sunan Kalijaga memulai dengan membangun infrastruktur yang dapat diakses di semua bangunannya dan mengalokasikan anggaran institusionalnya sendiri untuk mendukung siswa difabel untuk terlibat aktif.

Beberapa universitas juga mulai membangun akses ramah difabel seperti membangun lift pada gedung-gedungnya atau perpustakaan universitas dengan standar internasional. Akan tetapi akses ramah difabel baru sebatas akses fisik. Masih ada banyak masalah lain seperti kurangnya kesadaran desain kurikulum inklusi dan pemberian materi oleh dosen.

Di Universitas Brawijaya, dalam penerimaan mahasiswa baru, pihak universitas dalam memberikan fasilitas kepada penyandang disabilitas harus “menjemput” calon mahasiswanya untuk melakukan proses seleksi. Setiap tahunnya, kampus tersebut menerima 20 hingga 25 mahasiswa difabel yang tersebar di 12 fakultas dari 17 fakultas di Universitas Brawijaya yang menerima mahasiswa penyandang disabilitas sejak tahun 2012. Diantaranya Fakultas Hukum, Fakultas Teknik, Fakultas MIPA, Vokasi, hingga Fakultas Kedokteran. Ada berbagai penyandang disabilitas, dari tuna rungu, tuna netra, tuna daksa, bahkan tuna grahita.

Universitas Brawijaya juga memfasilitasi para penyandang disabilitas sesuai dengan kebutuhannya. Seperti mahasiswa tuna rungu, maka disediakan penerjemah isyarat. Selain itu, di sana juga terdapat 79 volunteer yang akan membantu para penyandang disabilitas dalam melaksanakan proses perkuliahan. Meskipun hanya dibayar Rp. 12.000 per pendampingan, namun banyak yang mendaftarkan diri untuk membantu. Mereka juga diberi arahan bahwa tidak boleh bekerja atas dasar ‘belah kasihan’, karena disabilitas bukanlah sebuah penyakit melainkan identitas. Kampus inklusi akan seimbang jika akses fisik dan akses nonfisik dapat berjalan bersama. Bila hanya salah satu saja, maka masih sama saja terdapat diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.

Menurut Fadillah Putra, ketua Program Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya, Malang, untuk membangun infastruktur yang ramah untuk penyandang disabilitas tak mahal, diantaranya membangun lift untuk gedung perkuliahan bertingkat, membangun toilet disabilitas, guiding block, hingga memberikan relawan pendamping. Seharusnya mereka mampu, di tengah pendapatan atau income perguruan tinggi yang belasan bahkan puluhan miliar pertahun. Butuh kemauan untuk dapat mewujudkan kampus inklusi yang ramah akan penyandang disabilitas.

DOK. PRIBADI Asifatun Hidayah Mahasiswa Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) angkatan 2017. Kini menjabat sebagai PU LPM Edukasi 2020.

DILEMA AKTIVIS MAHASISWA DAN MAHALNYA BIAYA KULIAH

DOK. PRIBADI

Moh, Aji Firmansyah,

mahasiswa pendidikan Agama Islam 2017.

Nampaknya permasalahan regenerasi menjadi pembahasan lumayan penting dalam setiap internal organisasi kemahasiswaan. Pertanyaan setiap penerimaan mahasiswa baru adalah bagaimana cara membuat mahasiswa baru agar tertarik berorganisasi? Sementara banyak faktor yang membentur mahasiswa untuk tidak mengikuti organisasi. Salah satunya adalah UKT yang mahal, yang secara langsung atau tidak langsung menuntut mahasiswa lulus lebih cepat.

Kita tahu bersama, setiap mahasiswa baru yang datang setiap tahunnya bukan berasal dari keluarga dengan ekonomi berada pada kalangan menengah ke atas, melainkan mereka juga datang dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Karena diakui atau tidak, pendidikan tinggi sudah menjadi hal yang lumrah jadi tujuan.

Dengan latar belakang yang beragam tersebut tak heran mahasiswa juga punya beragam pilihan dalam menjalani kehidupannya menjadi seorang mahasiswa.

Menurut Maman S. Mahayana ada enam tipologi mahasiswa, yaitu: pertama, mahasiswa underdog; mahasiswa yang umumnya datang dari pedesaan, merasa tidak ada yang dibanggakan, berusaha menjadi mahasiswa yang baik, motivasinya tinggi untuk kuliah. Kedua, mahasiswa salon; mahasiswa yang datang dari kota dan keluarga berada, kuliah sekedar agar tidak menganggur, bersiap melanjutkan usaha orang tua, kampus sebagai tempat pamer kendaraan dan penampilan, tujuan status mahasiswa bukan ilmu. Ketiga; mahasiswa anak mami; mahasiswa yang berasal dari keluarga menengah atas, sungguhsungguh kuliah tapi tidak peduli kegiatan nonakademis, kerjanya hanya tidur dikost, ke kampus, dan pulang kampung. Tujuannya untuk segera menyelesaikan kuliahnya dengan baik agar memperoleh pekerjaan. Keempat, mahasiswa jalan pintas; mahasiswa yang motivasinya hanya memperolah gelar ijazah meskipun harus membayar nilai, melakukan plagiat skripsi atau membayar orang untuk di buatkan skripsi, menghalalkan cara untuk mendapatkan nilai baik, seperti menyontek, copypaste tugas kuliah, dan lain-lain. Kelima, mahasiswa

pekerja; mahasiswa dari keluarga pas-pasan atau karyawan yang ingin merubah nasib, biasanya sungguh-sungguh mengikuti kuliah, sering juga mengikuti kegiatan mahasiswa. Keenam mahasiswa unggulan; mahasiswa yang berasal dari keluarga terpelajar, secara ekonomi dan intelektual bagus, sering memanfaatkan masa kuliah untuk menempa diri di organisasi atau kegiatan ilmiah lainnya.

Berangkat dari tipologi ini sebenarnya para aktivis mahasiswa dituntut untuk membuat sebuah formulasi dalam merekrut anggota baru mereka agar proses regenerasi organisasi tetap berjalan. Mereka harus bisa meyakinkan mahasiswa baru entah bagaimana caranya. Misalnya saja, menunjukkan kelebihan organisasi mereka, prestasi anggotanya, dan lain-lain. Tak sedikit pula ada yang menggunakan cara-cara cerdik. Misalnya dengan cara menculik mahasiswa baru untuk tinggal di kesekretariatan mereka, dengan iming-iming akan difasilitasi apa yang mahasiswa baru butuhkan, atau mungkin dengan rayuan-rayuan maut dari anggota mereka yang tampan dan rupawan.

Hasilnya, tidak sedikit dari mahasiswa baru yang mempan akan usaha-usaha para aktivis mahasiswa itu. Dan tidak sedikit pula yang bodoh amat, seperti aku sendiri. Aku tidak tahu tentang alasan apa mereka yang memilih untuk tidak berorganisasi. Yang pasti mahasiswa baru berasal dari latar belakang berbedabeda. Tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk merekrut mahasiswa baru untuk berorganisasi. Faktornya banyak, terutama karena mahalnya biaya pendidikan yang membuat mahasiswa berpikiran bahwa kuliah harus cepat lulus, agar tidak terlalu banyak membayar. Terlebih biaya kuliah setiap tahun akan terus meningkat.

Selain biaya kuliah yang setiap tahunnya semakin mahal, faktor-faktor lain penyebab mahasiswa tidak minat berorganisasi di antaranya yaitu kurang menariknya kegiatan organisasi tersebut, gaya hidup mahasiswa yang mulai mewah dan didukung dengan lingkungan sekitar: warung kopi moderen, tempat hiburan, dan restoranrestoran.

Meski begitu, aku tetap yakin ketika mahasiswa bergabung dengan organisasi akan mendapatkan segudang manfaat. Segudang itu di antaranya: melatih kepemimpinan, menyalurkan bakat minat, belajar manajemen waktu dan pengalaman lainnya yang tentu saja dapat menunjang karir. Tak jarang pula kita akan dibenturkan dengan hal-hal akademik yang merupakan kewajiban utamanya. Intinya, aktif di organisasi atau fokus pada akademik adalah sebuah pilihan dan semuanya memiliki resiko tersendiri. Entah, di dalam organisasi baik tapi akademik keteteran atau organisasi lancar dan akademik pun lancar. Semua itu pilihan.

DOK. INTERNET

SUARA MAHASISWA

Redaksi menerima kiriman untuk rubrik suara mahasiswa berupa artikel dengan tema seputar dunia mahasiswa. Surat yang dikirim dilengkapi dengan identitas diri ke surel: eduonline9@gmail.com, atau bisa datang langsung ke sekertariat LPM EDUKASI di PKM Kampus II UIN Walisongo Semarang.

Batik Tiga Negeri

Oleh: M. Sholahuddin, Kru LPM Edukasi 2019

Singgah ke daerah Lasem, Rembang. Tidak lengkap rasanya jika kita melewatkan kesempatan untuk menengok tradisi membatik yang masih dirawat hingga saat ini. Anda akan takjub kepada para perempuan berumur asli Lasem yang terlihat lihai meliukkan tangannya untuk membuat batik tulis khas Lasem.

Anda dapat singgah ke Rumah Batik Nyah Kiok untuk sekedar melihat lebih dekat proses pembuatan Batik Tiga Negeri. Atau langsung ke Rumah Merah Heritage Lasem yang berhadapan dengan rumah batik untuk melihat bermacam jenis kain batik dan bisa juga membelinya di showroom yang tersedia di dalam heritage tersebut. Selain showroom batik tiga negeri, tempat ini juga memiliki tempat penginapan untuk pengunjung, dengan arsitektur khas Tionghoa yang masih dipertahankan keasliannya dari tahun 1860.

Anda tak akan mengira rumah joglo dengan sisi depannya yang terbuka dan ruang utama yang luas merupakan Rumah Batik Nyah Kiok. Karena memang rumah batik ini seperti arsitektur rumah penduduk di daerah tersebut. Rumah batik ini memiliki 7 obeng (pembatik) yang sudah renta. Mereka adalah Mbah Suti, Mbah Lasinah, Mbah Kutanti, Mbah Suharmi, Mbah Sabariyah, Mbah Marni, dan Mbah Sumirah. Di sana memiliki produk batik yang fenomenal yaitu ‘Batik Tiga Negeri,’ batik ini memiliki keunikan serta kombinasi warna yang harmonis. Keunikan tersebut tergambar pada motif batiknya. Sedari dulu, batik yang diproduksi oleh Rumah Batik Nyah Kiok tetap konsisten, yaitu Batik Tiga Negeri dengan motif yang bernama ‘Gunung Ringgit Pring’ atau dalam bahasa Indonesia disebut ‘Gunung Ringgit Bambu’. Motif ini sudah mendominasi produksi batik di sana sejak awal berdirinya.

“Yo mbiyen kabeh obeng ning kene gawe batik gunung ringgit pring,(Ya dulu semua pembatik di sini membuat batik gunung ringgit pring).” ujar Mbah Las.

Terkait kombinasi warna, Batik Tiga Negeri memiliki tiga kombinasi warna yaitu

UDIN | EDUKASI

DOK. INTERNET

DOK. INTERNET

merah, biru, dan cokelat. Walaupun seiring perkembangan selera pasar, warna tersebut semakin berkembang menjadi lebih dari 3 warna. Seringkali tiga warna tersebut dikaitkan dengan sejarah pembuatannya, warna merah berasal dari proses pencelupan tinta di daerah Lasem.

Sedangkan biru di daerah pekalongan. Dan yang terakhir coklat di daerah solo. Selain dari sisi historis, warna-warna tersebut juga melambangkan heterogennya budaya di daerah Lasem yang berdampingan harmonis, yakni antara budaya Tionghoa, Belanda, dan Jawa pada saat awal berdirinya rumah batik tersebut.

Proses Pembuatan Batik Tiga Negeri

Dari namanya saja kita telah memahami, bahwa 3 warna pada batik khas Lasem ini sebagai gambaran dari 3 negeri yang berbeda. Merah yang melambangkan budaya Tionghoa, biru yang melambangkan budaya Belanda, dan cokelat yang melambangkan budaya Jawa. Ketiganya terlihat harmoni dengan sentuhan khas dari para pengrajin batik ini.

Tidak hanya berhenti pada kombinasi warnanya. Batik ini juga memiliki bermacam motif yang berbeda, yaitu motif Latoan, Laseman, Sekar Jagat, Gunung Ringgit, dan masih banyak lagi.

Untuk menghasilkan selembar batik tiga negeri, para pengrajin memerlukan proses yang panjang. Tiap pengrajin memiliki spesialisasi tersendiri, dan merupakan rangkaian proses untuk merampungkan batik tiga warna yang siap untuk dipasarkan. Pertama, ‘Memolai’ yaitu proses awal untuk pengrajin memberi pola pada kain dasar batik. Kedua, ‘Nglengkreng’ yaitu proses pengisian pola yang sudah dibuat sebelumnya. Dilanjutkan ke proses ketiga, ‘Nerusi’ yaitu membatik kembali pola yang sudah diisi. Proses keempat adalah ‘Nembok’ yaitu pemenuhan ruang kosong pada motif batik. Kelima, barulah proses ‘Warna’ yaitu pemberian warna pada batik. Dan proses yang terakhir adalah ‘Lorot’ yaitu pembersihan sisa-sisa material membatik dengan menggunakan air panas. Semakin banyak warna pada batik, maka prosesproses tersebut akan diulangi sesuai jumlah warna yang akan dibuat.

Seluruh proses tersebut selesai sekitar jangka waktu tiga bulan, untuk menunggu 50 helai kain batik dirampungkan motifnya, baru dilaksanakan proses pewarnaan secara bersamaan. Hal ini yang menyebabkan harga dan kualitas batik tiga negeri digandrungi oleh para pengunjung maupun kolektor batik di dalam maupun luar negeri.

“Paling cepet sak wulanan, oleh 50 lembar kanggo diwarna (Paling cepat satu bulanan, dapat 50 lembar untuk diwarnai),” ujar Mbah Suti.

Akulturasi Budaya di Lasem

Nilai budaya di daerah Lasem sangat lekat terlihat, khususnya di Desa Karangturi, area dimana Rumah Merah Heritage Lasem dan Rumah Batik Nyah Kiok berdiri. Yaitu akulturasi antara budaya Jawa dan Tionghoa.

“Ning kene ono masyarakat asli ambi Tionghoa. Antara dua-duane podo, ora beda-beda (Di sini ada masyarakat asli dan Tionghoa. Antara keduanya sama, enggak beda-beda),” ujar Mbah Suti.

Hubungan antara keduanya terjalin sangat akrab dan tak memandang perbedaan. Bermacam kegiatan kolaborasi yang diadakan di daerah tersebut terlaksana secara harmonis.

“Biasane buka bersama nggih teng rumah merah, halal bihalah nggih cina nggih jawa ting mriku barengan (Biasanya buka bersama ya di rumah merah, halal bihalal ya cina ya jawa di sana bersama-sama),” lanjutnya.

Yang lebih mencolok dari akulturasi budaya ini adalah perpaduan tulisan yang tergambar dari salah satu pos Rukun Tetangga(RT) yang ada di Desa Karangturi. Yang menunjukkan perpaduan bermacam tulisan berbahasa Tionghoa, Arab, dan Indonesia.[E]

DOK. INTERNET

Sajak ini melupakan aku pada pisau dan tali

Sajak ini melupakan kepada bunuh diri.

Melalui potongan puisi itu, yang tak sengaja saya lihat di beranda Instagram, saya terkesan. Sebab saya mudah memahaminya. Potongan puisi itulah yang kemudian meruntuhkan anggapan saya terkait puisi. Dulu, saya menganggap puisi adalah sesuatu yang asing, puisi adalah sesuatu yang sulit untuk dipahami, puisi adalah ciptaan dewa. Saya selalu ingin menghindar. Saya sama sekali tidak ingin memasukinya.

Namun, sepotong puisi tersebut mendusinkan saya. Saya tiba-tiba ingin masuk ke rimba raya puisi. Seolah-olah ada seseorang yang memanggil. Ada seseorang yang membukakan pintu dan menyilakan saya menetap. Kesadaran saya terketuk. Barangkali, momen inilah awal dari sebuah perkenalan saya yang intim dengan puisi. Dan tentu saja saya tidak seperti Goenawan Mohammad yang mengenal puisi dengan suasana sendu dan sok puitis: “Perkenalan pertama kali saya dengan puisi berlangsung di sebuah sungai dan sejumlah senja,” tulis Goenawan Mohammad dalam esainya, Fragmen: Peristiwa.

Saya bertemu potongan puisi tersebut tidak di suatu senja, di suatu sungai, maupun di tempat-waktu yang sendu-sendu. Saya bertemu puisi itu di sebuah ponsel dan di waktu siang yang amat terik di Semarang. Saya sedang berbaring di kamar indekos, dan sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Tapi membaca puisi tersebut, saya geragapan. Lalu saya duduk, dan mengangankannya lebih dalam: saya terbius.

Di bawah potongan puisi tersebut ada judul dan nama penyairnya. Ditulis dengan sangat kecil dan tidak mencolok, di situ tertulis: Sajak, Subagio Sastrowardoyo.

Dari sinilah, saya mulai mencarinya di internet, dan membaca utuh sajaknya:

SAJAK

Apakah arti sajak ini

Kalau anak semalam batuk-batuk

bau viks dan kayuputih melekat di kelambu.

Kalau istri terus mengeluh tentang kurang tidur, tentang gajiku yang tekor buat bayar dokter, bujang dan makan sehari. Kalau terbayang pentalon sudah sebulan sobek tak terjahit. Apakah arti sajak ini Kalau saban malam aku lama terbangun: hidup ini makin mengikat dan mengurung Apakah arti sajak ini Piaraan anggerek tricolor di rumah atau pelarian kecut ke hari akhir?

Ah, sajak ini, Mengingatkan aku kepada langit dan mega

Sajak ini mengingatkan kepada kisah dan keabadian.

Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali.

Sajak ini melupakan kepada bunuh diri.

Membaca sajak ini, saya seakan ikut serta mengalaminya. Meski saya mengumpamakan dengan kesedihan yang lain: kesedihan yang sedang saya alami kala itu. Melalui sajak itu, saya merasa terselamatkan dari keputusasaan.

Sebab penasaran, saya kemudian memutuskan mencari buku yang memuat sajak tersebut. Bertemulah saya dengan Simfoni II. Sebuah buku yang berisi dua kumpulan puisi: Simfoni dan Simfoni II.

Dari pengantar singkat Subagio Sastrowardoyo yang menyertai buku tersebut, saya tahu, sebelumnya dua kumpulan puisi ini terpisah. Yang terbit lebih dahulu adalah Simfoni (terbit tahun 1957). Dengan disatukan, ia berharap Simfoni, seperti yang ditulis Subagio, menjadi pengantar Simfoni II.

Membaca sajak-sajak di Simfoni, nuansa religius yang penuh gugatan sangat kental sekali. Dari 18 sajak, hanya lima sajak yang tidak memiliki nuansa religius. Perihal sajaksajak religius ini barangkali Subagio mendapat kritik dari H.B. Jassin seperti yang disebutkan oleh Bakdi Soemanto dalam epilognya di kumpulan puisi Dan Kematian Makin Akrab. Yang kemudian ditanggapi oleh Subagio: “Aku bukan penganut buta suatu ajaran atau dogma agama.”

Bagi saya, jawaban itu adalah sebuah jawaban gugatan selayaknya sajak-sajak religius Subagio yang penuh gugatan. Seperti salah satu sajaknya yang berjudul Afrika Selatan:

DOK. INTERNET Mereka boleh membunuh

Mereka boleh membunuh

Mereka boleh membunuh

Sebab mereka kulit putih dan kristos pengasih putih wajah

Lahirnya Seorang Penyair

Subagio lahir pada tanggal 1 Februari 1924, dua tahun lebih muda dari Chairil Anwar yang lahir pada 1922. Usia mereka terpaut dekat, tapi nasib memang kesunyian masing-masing; Chairil sejak muda sudah mantap dengan dunia kepenyairannya, tapi lain halnya Subagio. Ia masih mencari-cari seni yang tepat baginya dan kemungkinan ia mulai menyair jauh hari setelah wafatnya Chairil.

Saya bayangkan ketika Chairil Anwar berasyik masyuk dengan puisi dan jatuh bangun meramu untuk menulis puisi yang menjadi, Subagio muda sedang asyik

bermain gitar dan mempelajari lagu-lagu. Tapi ternyata itu tidak memuaskannya. Karena menurutnya, bunyi begitu lemah. Dalam esainya berjudul Mengapa Saya Harus Menulis Sajak?, ia menulis:

“Bunyi begitu lemah menghadapi landa waktu. Bunyi begitu mudah menguap tanpa meninggalkan kumandang di udara dan yang tinggal hanya lambang-lambang mati di atas kertas musik.”

Sementara itu ketika Chairil sedang mempersembahkan puisi untuk pelukis Affandi dan Basuki Resobowo, saya bayangkan Subagio sedang menekuni dunia lukis. Ia sedang membuat sketsa-sketsa. Ia sedang memikirkan komposisi. Ia sedang memandangi lukisan karya orang terkenal secara seksama. Tapi, pada akhirnya ia merasa ada yang kurang di dunia lukis. Karena menurutnya, dunia lukis adalah dunia yang bisu.

“Saya rasakan seni ini sebagai seni bisu. Ini adalah seni manusia tanpa lidah dan saya tidak puas dengan seni lukis. Menurut perasaan saya, sarana lukisan tidak cukup lembut untuk mengucapkan gerak perasaaan dan pikiran,” tulisnya dalam esai yang sama.

Melewati beragam dunia kesenimanan tersebut, ia kemudian berlabuh kepada kesusastraan. Dalam dunia kesusastraan ini, ia tak hanya bergulat dengan dunia puisi. Ia juga mempelajari prosa, yang kemudian menerbitkan kumpulan cerita pendek berjudul Kedjantanan di Sumbing, dan bahkan cerpennya yang menjadi judul tersebut mendapatkan penghargaan pertama dari majalah Kisah pada 1955. Namun, seperti musik dan lukis, dunia cerpen tidak cocok baginya. Ia merasa lebih cocok dengan puisi, karena baginya: “… sajak lebih sanggup memenuhi kebutuhan saya menyatakan pengalaman estetik secara langsung ke dalam tulisan tanpa berpaling pada rencana-rencana yang disengaja mengenai pembentukan watak tokoh-tokoh, kejadian-kejadian, dan plot-plot,” tulisnya.

Dan memang setelah menerbitkan kumpulan cerpen tersebut, sampai akhir hayatnya, ia sama sekali tidak menerbitkan cerpen atau novel. Ia malah kian subur menerbitkan buku kumpulan puisi. Pasca Simfoni, ia menerbitkan Daerah Perbatasan (1970), Keroncong Motinggo (1975), Buku Harian (1979)—yang kemudian disatukan dengan Hari dan Hara dan kemudian diterbitkan pada 1982—Simfoni II (1980), dan terakhir Dan Kematian Makin Akrab (1995).

Goenawan Mohammad menganggap sajaksajak Subagio adalah sajak-sajak dengan nada rendah. Sajaknya seolah dicatat dari gumam. “Ia ditulis oleh orang yang tak memberi aksentuasi pada gerak, pada suara keras, atau kesibukan di luar dirinya,” tulis

DOK. INTERNET

Goenawan Mohammad dalam esainya, Subagio Sastrowardoyo dan Diam.

Goenawan Mohammad juga menganggap seakan-akan semua mula dan akhir bagi Subagio Sastrowardoyo adalah diam. “Atau kita berserah saja kepada keheningan yang kita tak tahu kapan bermula dan berakhir. Tetapi sejak saat itu sajak sudah tak perlu lagi,” tulis Subagio dalam pengantarnya di buku Dan Kematian Makin Akrab.

Namun entah, apakah benar Subagio Sastrowardoyo berdiri di pangkuan diam. Saya lebih memahaminya sebagai penyair yang menganggap ketinggian estetis sebuah puisi adalah sesuatu yang ringkas, padat, dan bergaung hingga nanti. Simaklah potongan sajak ini: “Sajak yang indah tak mengandung kejadian, hanya suara yang pernah diteriakan manusia purba di taman firdaus atau yang digumamkan bayi waktu terbangun malam hari: ‘Om!’.”

Selain dikenal sebagai penyair, Subagio Sastrowardoyo juga seorang kritikus handal. Hal ini dibuktikan dengan buku-buku kritik sastra yang telah diterbitkannya. Di antaranya: Bakat Alam dan Intelektualisme (1972), Sosok Pribadi dalam Sajak (1980), Sastra Hindia Belanda dan Kita (1983)— yang memperoleh penghargaan hadiah sastra dari DKJ tahun 1983— Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan (1989), dan Sekilas Soal Sastra dan Budaya (1992).

Matinya Seorang Penyair

Tema maut adalah medan perenungan paling menonjol dalam sajak-sajak Subagio. Yang paling terkenal adalah rekuiem Dan Kematian Makin Akrab yang memperoleh kusala dari majalah Horison untuk periode 1966/1967.

Dalam soalan kematian ini, menurut Goenawan Mohammad, ada kesamaan antara Subagio Sastrowardoyo dan Chairil Anwar. Keduanya sama-sama fatalis. Tapi menurut saya, meski fatalis, Chairil punya vitalitas yang besar untuk hidup lebih lama, ia ingin menerjang kematian, ia ingin hidup seribu tahun lagi—meski pada akhirnya Chairil kalah juga: “hidup hanya menunda kekalahan/…/ Sebelum pada akhirnya kita menyerah,” tulis Chairil. Sementara Subagio, fatalismenya— kebalikan dari vitalisme Chairil—menerima kematian sebagai keniscayaan yang tidak bisa dilawan sama sekali.

Ketika Chairil ingin kekal, ingin hidup seribu tahun lagi, Subagio menyadari diri ini tak bisa kekal, dan tidak ada yang kita punya. Sementara itu, yang kita bisa hanyalah membekaskan telapak kaki,/dalam, sangat dalam/ke pasir. Kesadaran ini membuat Subagio hanya ingin membekaskan telapak kaki di dunia ini. Membekaskan ini barangkali bagi Subagio adalah dengan menulis sajak, karena sajak tak pernah mati. “…

Kalau aku mampus, tangisku yang menyeruak dari hati akan terdengar abadi dalam sajakku yang tak pernah mati (Sajak Tak Pernah Mati)

Kesadaran akan situasi: dan nyawa ini sendiri/terancam setiap saat, seperti mengilhami Subagio Sastrowardoyo untuk membuat sajak-sajak mautnya sebagai penerimaan yang tenang bahkan karib. Karena baginya kematian hanya selaput gagasan yang gampang diseberangi.

Ia meninggal pada 18 Juli 1995. Kemungkinan tanpa gegap gempita dan gejolak jiwa. Karena seperti yang telah ditulisnya dalam puisi Variasi Pada Tema Maut bagian terakhir yang tertulis ‘wasiat’, ia menulis:

Dalam menyesuaikan diri dengan pergantian musim tidak perlu gegap gempita. Gejala pancaroba tidak selalu diiringi gejolak jiwa. Semua perubahan harus berlaku dengan diam seperti embun yang hilang dari daun tanpa ada yang tahu.

Barangkali, seperti itu pula Subagio menghadapi maut. Seperti embun yang hilang dari daun tanpa ada yang tahu. Meski dengan sangat rendah hati, ia cuma ingin dikenang sebagai orang yang pernah menyair dulu: Hanya sekali waktu ada anak yang berkata:/’orang ini pernah menyair dulu’.[E]

IKATAN KECIL

Gunnhild Øyehaug

Kåre datang ke dunia ini dengan seutas tali pusar yang tak seorang pun bisa potong. Tali pusar itu tertambat pada sebongkah plasenta yang menolak keluar. Berdiam di tempat; tak mau bergerak. Mereka tidak mampu memotong tali pusar, maupun mengambil plasentanya. “Hanya kebingungan kecil,” ucap si dokter. Kecil. Mulanya, ayahnya menganggap ini sebuah kekalahan diri, mengingat ketidakmampuannya memotong tali pusar: pikirnya ia terendah dari yang terendah, seorang ayah paling malang, saat tak mampu melakukan hal sesederhana itu. Sesungguhnya, tali pusar itu tebal sekaligus licin, tapi bukan tebal abnormal. Hanya kuat yang abnormal. Dan leganya ayah Kåre mengetahui bahwa tidak seorang pun mampu memotongnya, tidak para perawat, tidak para dokter, tidak peduli sekeras apapun dicoba. “Kita mesti temukan cara untuk hidup bersamanya, Marianne,” ayah Kåre berkata. “Kau terhubung selamanya, tak diragukan lagi.”

-----

Marianne tidak begitu keberatan. Intinya, jadi lebih mudah untuknya mengawasi si bocah, dan ia hanya perlu menarik tali pusar kalau-kalau kehilangan rupa si bocah, yang kabur atau sembunyi. Kehidupan pribadi dengan ayah si bocah tentu bermasalah, namun mereka membuatnya baik-baik saja: hanya soal melakukannya sesenyap mungkin, dengan sesedikit mungkin gerakan. Ayah Kåre, di sisi lain, merasa tertekan dan makin tertekan mengatasi situasi ini, ia butuh perubahan! Sesekali ia akan teriak saat merasa sangat sumpek, kerap setelah beberapa kali jalan-jalan: berbelanja, atau jalan di taman, saat orang-orang mulai mengamati tali telanjang putih keabuan di antara ibu dan anaknya. Dan pada ayah Kåre, begitu yang diyakininya, saat menunduk, berjalan setengah langkah di belakang mereka. Ia tidak tahan lagi. Ia pergi.

-----

Marianne tidak begitu keberatan. Intinya, lebih mudah untuk hidup dengan cara yang harus ditempuh, saat ia mampu fokus mengimbangi anak lelakinya. Banyak sekali yang harus dilakukan. Ia harus berlari ke mana saja, memanjat pohon, melompati jerami, bersepeda, main sepakbola, main ke rumah teman anaknya. Dan setiap saat ia berusaha jadi tak terlihat, tak mau menghambat perkembangan anaknya, menyadari ia mesti mempersilakannya berbuat, mencoba banyak hal, ia tak mau seperti bola dan rantai, sehingga saat mereka di luar dan sedang berbuat nakal dan menjurus pada kejahilan, ia menutup mata. Berdiri di luar kamar mandi saat mereka (anak & kawan-kawannya) melumuri tempat itu dengan pasta gigi. Sembunyi di balik pohon saat mereka mengisap sebatang rokok diam-diam di dalam parit. Dan menutupi kedua matanya saat ia harus masuk ke ruang ganti bersama Kåre sebelum dan sesudah berenang. Dan selama debut seksual Kåre, seorang empat belas tahun yang mabuk di sebuah pesta, ia berbaring tersembunyi sebaik yang ia bisa di bawah kasur dan menyumpal telinga.

-----

Saat Kåre menikah, Marianne otomatis ikut pindah bersama pasangan muda itu. Mereka membuat kamar untuknya persis di samping kamar mereka, sebab pengantin itu tidak mungkin tidur dengan Marianne di kamar yang sama, jadi itulah yang dilakukan. Sebetulnya tak lebih dari dinding pemisah dengan bukaan kecil supaya tali pusarnya dapat diulur sebelum pergi tidur. Tapi si pengantin perempuan mengira melihat mata Marianne menatap mereka melalui bukaan itu. Marianne membantah, itu tidak benar, tapi si pengantin perempuan bersikeras, dan membuat gorden yang digantungnya di depan bukaan. Gordennya terhalang tali pusar dan si pengantin perempuan meronta dan jatuh ke lantai. “Ia di mana-mana!” isaknya. “Ia di manapun, Kåre, dan percuma saja, aku tak tahan! Aku tak tahan!” teriaknya, dan dalam keputusasaan ia gigit tali pusar itu dengan segala daya. “Aw!” Kåre dan Marianne berteriak, lalu memandang satu sama lain, terheran-heran, melalui bukaan; mereka tak tahu tali pusarnya sudah jadi sensitif. Si pengantin perempuan hanya terisak. “Aku pergi,” ucapnya. “Aku p-e-e-rgi.” Dan ia pergi.

-----

Kåre tidak begitu keberatan. Intinya, lebih mudah untuk hidup dengan cara yang harus ditempuh; sebab ibunya menua, ia harus mulai

mempertimbangkan kelambanannya. Ia tidak lagi bisa melakukan hal yang ia mau: jalan-jalan dengan temannya-- ibunya cepat lelah, tapi bukan itu, ibunya dengan senang hati bisa duduk di pub dan tidur, ucap ibunya, tapi ia tak mau, balasnya, ia tak lagi perlu ke sana. Sejatinya ia selalu merasa malu saat ibunya tertidur; dagunya jatuh ke dada dan air liur menetes dari ujung mulutnya. Demikian, ia cukup tanpa semua itu. “Selalu saja ibu yang melakukan keinginanku, bu,” ungkapnya. “Sekarang aku bisa melalukan yang ibu inginkan.” Jadi ia ikut ibunya bermain bingo. Ke toko. Dan saat ibunya tertidur di tempat umum, ia tidak lagi terlalu malu, bahkan merasakan sayang padanya, ketika ibunya duduk di sana dengan seutas liur menggantung di dagunya; itu ibunya. Dan ibunya telah pergi ke mana pun bersamanya. Ia mencintai ibunya. Perlahan terbiasa dengan hidup yang sunyi, beberapa jam teka-teki silang dan menyulam, dengan jam-jam tidur siang panjang dan makin panjang, juga berbagai seri televisi dan program radio. Dengan sandal yang diseretnya melintasi linolium. Pergi tidur jam sembilan. Damai sentosa. Menyenangkan.

-----

Namun suatu hari di tengah waktu sarapan, Marianne meninggal. Jantungnya berhenti, ungkap para dokter, dan Kåre amat sangat sedih. Mereka juga berkata sebab ibunya sudah tiada, mereka harus memotong tali pusarnya. Kalau tidak, Kåre harus pindah ke pemakaman. “Tapi sekarang talinya sensitif,” jelas Kåre. “Pasti sakit!” “Pernah dengar soal anestesi, belum?” tanya mereka, dan Kåre tersipu. Tentu ia tahu, gumamnya. Jadi mereka memberinya bius lokal. Mereka akan coba memisahkan Kåre dari mayat ibunya. Namun sia-sia. “Apa-apaan,” ucap para dokter. “Tak mungkin!” Plasentanya telah mengerut jadi sebuah gumpalan berukuran sebutir raisin yang tersemat pada tulang pelvis ibunya; menjadi bagian dari rangka tubuh. Ditambah juga bagian tali pusar yang menghijau tak dapat dipotong dengan gunting, pisau, atau laser. Seluruhnya sia-sia. Ikatannya tidak dapat diputus. “Kåre, kami harus memotong sebagian kerangka ibumu jika kau ingin bebas,” ucap mereka. Kåre menatap mereka, seolah takut akan disakiti. Matanya mendelik, telinganya mengatup seperti anjing; si spesialis berbisik ia akan hidup seperti seekor anjing, saat Kåre berseru: “Tidak, tak masalah, jangan!” “Kalau begitu, kami harus membuat simpul kecil di sana, mencegah kematiannya merambat padamu. Tak ada lagi yang bisa kami lakukan, kami sungguh-sungguh menyesal,” para dokter berucap. Kåre berkata jangan risau. Ia hanya meminta mereka supaya kepala pemakaman melubangi petinya, supaya tali pusarnya bisa lewat. Dan meminta izin dewan lokal untuk membangun rumah di pemakaman.

-----

Izin diberikan, tapi rumahnya tak boleh lebih tinggi dari kijing tertinggi, atau lebih lebar dari yang dimungkinkan tanpa mengganggu makam lain, tapi itu tak masalah untuk Kåre, tentunya, yang tak punya cukup ruang untuk bergerak, dengan tali pusar yang dipendekkan enam kaki. Tak masalah, ia telah terbiasa dengan hidup yang sunyi dan menghabiskan hari seperti biasanya saat ibunya masih hidup: main tekateki silang, menonton tivi, menyimak radio. Ia mengantuk-ngantuk sandalnya ke dinding setiap saat, menatap keluar jendela pada acara-acara pemakaman yang ada tiap minggu. Melihat kalaukalau ia bisa mengamati si perempuan. Dia selalu jadi bagian dari perkabungan, tapi kelihatan tak mengenal orang-orang yang menangis dan saling menguatkan satu sama lain. Dia selalu berdiri di luar, berbusana hitam-hitam, wajah kecil cerahnya menunduk ke tanah.

-----

Ia sudah memperhatikannya sejak pertama kali melihat acara pemakaman dari rumah barunya; si perempuan mengambil tempat di belakang dan melangkah ringan-- yang bahkan lebih lama lagi berkat hujan--dengan gaun panjangnya. Suatu hari ketika hujan deras dan angin ganas, dia tersandung tepat di luar rumah. Situasi yang

MOTHER AND CHILD-PABLO PICASO

This article is from: