
4 minute read
Resensi
meneliSiK penTingnya hiu Bagi Kehidupan dalam film doKumenTer neTflix SeaSpiracy
Seaspiracy merupakan film dokumenter Netflix berdurasi 1 jam 29 menit. Pertama kali dirilis pada 24 Maret 2021. Disutradai oleh Ali Tabrizi, pemuda Inggris berusia 27 tahun yang menyukai laut sejak kecil. Produser Seaspiracy, Kip Andersen sebelumnya menggarap film dokumenter Cowspiracy, yang menceritakan bahwa peternakan merupakan penyebab kerusakan lingkungan. Sebab, kotoran hewan ternak mengandung gas metana yang bersifat lebih merusak dibanding karbondioksida kendaraan bermesin. Kali ini, Kip Andersen sebagai produser, dan Ali Tabrizi sebagai sutradara, berkolaborasi mengangkat tema lautan yang dapat mengubah pola pikir umat manusia terhadap salah satu bagian penting di planetnya. Film dokumenter ini memperlihatkan ancaman hancurnya ekosistem laut dikarenakan penangkapan masif terhadap lumba-lumba, hiu dan paus. Penangkapan tersebut dilandasi oleh kebutuhan komersil. Meskipun begitu, hendaknya kita sadari bahwa penangkapan hewan-hewan laut yang masif juga akan berdampak secara tidak langsung kepada umat manusia. Tidak hanya itu, Seaspiracy juga menyingkap kejanggalan industri makanan laut yang sebelumnya tidak kita ketahui. Investigasi dimulai dari kepulauan Taiji, Jepang Selatan. Disana merupakan tempat pembantaian lumba-lumba yang dilakukan oleh nelayan serta masyarakat, dengan dukungan dari pemerintah. Ali dan partnernya, Lucy, mendapati kesulitan dalam melakukan investigasi, hal ini dikarenakan 13
Advertisement
pelarangan aktivitas perekaman terhadap apa yang terjadi di sana. Di tempat tersebut, lumba-lumba dibantai dengan tuduhan memakan terlalu banyak ikan. Padahal, itu semua mereka lakukan hanya untuk mengkambinghitamkan lumba-lumba terhadap untuk melakukan penangkapan secara berlebihan. Selain lumba-lumba, terdapat pula penangkapan tuna sirip biru yang berlebihan. Tuna jenis ini merupakan salah satu ikan termahal di dunia. Ikan ini ditangkap secara berlebihan guna memenuhi permintaan manusia akan olahan seafood di restoran mewah. Komoditas ini memiliki harga jual mencapai 3 juta dollar per ekor dan digemari untuk dijual ke pasar Tiongkok dan Asia Timur sebagai obat. Selain lumba-lumba dan tuna, tak lupa dengan hiu yang merupakan salah satu tokoh sentral dalam film ini.
Hiu dan keistimewaannya
Penangkapan guna memenuhi kebutuhan manusia, memang tidak salah dilakukan. Hal ini diperkuat dengan banyaknya anggapan mengenai kepunahan hiu, tidak berpengaruh apapun terhadap kehidupan manusia. Kita tetap bisa hidup dengan normal seperti biasa karena hiu tinggal di samudera, bukan sebelah rumah kita. Sekiranya, anggapan itulah yang sering kita dengar. Namun Gery Stokes, Co-Founder Of Oceans Asia membantah hal tersebut. Dia menjelaskan bahwasanya hiu adalah predator puncak, sehingga memuncaki rantai makanan. Dalam rantai makanan laut, hiu merupakan organisme level pertama yang memakan level kedua, yakni ikan besar tapi tidak lebih besar dari hiu. Namun, saat level pertama dihilangkan, level kedua pun kelebihan populasi. Selanjutnya, organisme level kedua kelebihan populasi. Mereka pun menghabisi makanan mereka, yakni level tiga. Saat level kedua kehabisan makanan, mereka lenyap karena kepunahan. Itu berlanjut ke rantai makanan dibawah sampai organisme terkecil. Efek domino yang dijelaskan Stokes menyebabkan terumbu karang rusak. Jika hiu terus diburu manusia, populasi organisme level kedua akan melonjak. Hal itu akan menyebabkan membludaknya populasi organisme level kedua yang menyebabkan organisme level ketiga pemakan alga punah. Alga pun kelebihan populasi. Hal ini menga-

kibatkan rusaknya terumbu karang sebab nutrisinya diambil oleh alga. Selain rusaknya terumbu karang, penangkapan hiu secara masif juga menyebabkan pemanasan global. Ikan herbivora, seperti dugong, kelebihan populasi. Rumput laut pun semakin berkurang karena dihabisi oleh ikan-ikan herbivora. Padahal, rumput laut berperan penting untuk menjaga iklim dan suhu dunia Hiu merupakan kelangsungan hidup lautan. Meskipun banyak kasus hiu membunuh manusia, namun di sisi lain berdasarkan data yang dipaparkan pada film tersebut, manusia membunuh 11.000 sampai 30.000 hiu per jam. Sedangkan, hiu membunuh 10 manusia pertahun.
Perburuan Hiu di Indonesia
Indonesia masuk kawasan Coral Triangle, yaitu kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Dengan julukan ini, Food and Agriculture Organization (FAO) menempatkan negara kita sebagai salah satu dari lima negara penghasil sirip hiu terbesar di dunia. Dilansir dari mongabay.co.id, pasar perdagangan hiu di Indonesia tidak pernah sepi dari permintaan.
Di kutip dari ekuator.com, perburuan hiu di Indonesia bagian timur, disebabkan oleh kemiskinan
dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat pesisir. Secara umum, kemiskinan yang dialami masyarakat pesisir disebabkan oleh permasalahan struktural. Hal inilah yang membuat masyarakat nelayan tidak punya pilihan, dan terpaksa melanjutkan kebiasaan menangkap hiu. Disamping itu, lemahnya perlindungan terhadap satwa laut dan persoalan kultur nelayan Indonesia yang selalu ingin hasil instan, menjadi alasan mengapa perburuan hiu di Indonesia masih ada. Perburuan hiu adalah masalah yang kompleks. Hiu merupakan spesies prioritas konservasi, tetapi di sisi lain, Indonesia adalah penangkap hiu terbesar di dunia. Hal ini membuat angka ketergantungan nelayan Indonesia terhadap hiu, cukup tinggi. keinginan sutradara yang menginginkan penonton untuk menjadi vegan, dengan menampilkan opini para peneliti pro-vegan diakhir video. Akan lebih baik jika film dokumenter ini juga menyorot pada kebijakan pemerintah untuk lingkungan hidup, serta para pelaku yang bertanggungjawab akan kerusakan ekosistem laut. Film ini sangat pantas ditonton karena memberikan pengetahuan kepada masyarakat akan kondisi lautan yang kian rusak, dengan menyajikan elemen grafis dan pengambilan gambar yang sangat baik.
Penulis: Sekar Tri Widati Editor: Hastomo Dwi
Refleksi
Tim Seaspiracy mengatakan bahwa film ini akan mengubah cara berpikir dan bertindak dalam konservasi laut untuk selamanya. Pesan yang disampaikan oleh film tersebut agar kita memberikan perhatian dan menekankan kesadaran akan pentingnya menjaga ekosistem laut.
Sayangnya, film ini cenderung mendorong kita agar menyetujui