
26 minute read
KENANGAN UNTUK DRA HJ. TUTI ROFIATI
KENANGAN UNTUK DRA. HJ. TUTI ROFIATI
TUTI ROFIATI : OJO GELO DADI WONG APIK (JANGAN MENYESAL TELAH BERBUAT KEBAIKAN)
Advertisement
Oleh : Bajoe Setijono *)



Almarhumah Dra. Hj. Tuti Rofi ati selalu berbagi untuk sesama
Tahun 1987, sekitar bulan Juni aku mengenal ibu Tuti Rofi ati yang saat itu beliau menjabat sebagai Kepala Seksi Rehabilitasi Penyandang Cacat Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi Jawa Timur, dan aku sebagai staf yang baru menjadi PNS di Panti Rehabilitasi Penyandang Cacat Tubuh di Bangil Pasuruan. Jadi bila dihitung sampai dengan bulan Januari 2021 sekitar hampir 34 tahun yang lalu.
Awal menjadi pegawai negeri sipil aku sudah mendapat tugas mendampingi para disabilitas fi sik (sekarang penyandang cacat tubuh) adalah suatu hal yang sangat luar biasa mengagetkan. Bagaimana tidak kaget, pekerjaan yang harus aku laksanakan di luar ekspektasiku.
Tapi berkat ketelatenan ibu Tuti Rofi ati yang hampir setiap minggu sekali memantau langsung ke panti dan memberi semangat akhirnya aku lambat laun bisa menyesuaikan diri dengan bidang pekerjaanku. Banyak kesempatan untuk mengembangkan potensi diri yang diberikan bu Tuti kepadaku. Mulai mengikuti training mengolah dan memproduksi rotan di pabrik rotan di Gresik, mengikuti training menjahit, mengikuti training Teknik pembuatan protheses dan orthoses di Jepang, mengikuti pameran produk anak disabilitas serta memberi kebebasan inovasi dalam proses rehabilitasi sosial disabilitas fisik di panti. Termasuk mengikuti Pendidikan keterampilan pekerjaan sosial di Bandung.
Semua proses pengembangan potensi diri tersebut tidak terlepas dari campur tangan bu Tuti. Mungkin agar tetap kerasan tetap bekerja di panti, aku diberi fasilitas rumah dinas yang baru dibangun. Fasilitas tersebut sangat luar biasa bagiku yang masih bujangan pada saat itu. Dalam memberi arahan atau dimintai tolong, bu Tuti sepertinya memiliki ilmu tersendiri, sehingga siapapun yang diarahkan atau dimintai tolong tidak merasa kalau dirinya diarahkan atau dimintai tolong.
Penyelesaian permasalahan kantorpun, beliau selalu mengedepankan pendekatan seorang ibu, yang selalu menjaga perasaan orang lain. Sehingga setiap permasalahan dapat diatasi dengan tegas tanpa ada yang merasa dikerasi. Pernah suatu ketika pada tahun 1990, aku merasa putus asa karena ada konfl ik dengan pimpinan, bu Tuti selalu mengingatkan, bahwa kita bekerja itu bukan untuk atasan, tetapi bekerja untuk mendapat ridhlo Alloh SWT. Bekerja tanpa pamrih sampai beliau berujar “OJO GELO DADI WONG APIK”.
Jargon tersebut sangat memompa semangatku dalam bekerja dan melakukan kegiatan sampai saat ini. Aku memang sering merepotkan bu Tuti, tetapi beliau merasa tidak pernah direpoti. Sering pada saat liburan Idul Fitri, aku pinjam mobil ke bu Tuti untuk aku pakai mudik ke Malang, karena, aku tahu bu Tuti itu mudiknya ke Jakarta dan mobilnya tidak dipakai. Sudah begitu sering aku yang mendapat oleh-oleh dari bu Tuti.
Ada kenangan lain yang saat ini masih ada wujudnya. Suatu saat aku ditawari untuk merawat sepeda motor lawas jenis skuter merk Lambretta S125. Awalnya aku masih ragu untuk mengiyakan, tetapi tanpa menunggu jawabanku, tidak begitu lama kemudian sepeda motor tersebut sudah dikirim dari Yogyakarta ke Surabaya. Mau tidak mau aku harus merawatnya, dan Alhamdulillah sampai saat ini sepeda motor tersebut masih terawat dengan baik. Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada perbedaan pendapat dengan bu Tuti. Pada waktu masa awal pandemi covid dan Yayasan tidak ada kas masuk, sehingga keuangan menipis. Kebijakan yang diambil adalah mengurangi beban gaji pegawai dan itu sudah disepakati bersama pengurus, pengawas dan pembina. Permasalahan muncul berapa besar gaji yang akan diberikan ke pegawai. Dengan pertimbangan untuk keuangan Yayasan agar bisa bertahan lama, minimal sampai akhir tahun 2020, maka Ketua I, Bendahara dan Sekretaris mengusulkan gaji yang akan diterikan sebesar 50% dari gaji yang diterima saat itu, tetapi Ketua Umum yaitu bu Tuti tidak berkenan, beliau mengusulkan minimal 75% dari gaji yang diterima saat itu, dengan alasan, kasihan kepada para pegawai kalau gajinya berkurang banyak. Keluarganya (pegawai) tentu akan mengalami banyak kesulitan kalau gajinya kurang.
Dari hal itu menujukkan bahwa ibu Tuti masih tetap dan sangat memperhatikan kesejahteraan pegawai, walaupun menurut beliau ada beberapa pegawai yang masih bekerja tidak sesuai harapan.
Hari Selasa, 5 Januari 2021, merupakan hari terakhir aku bertemu bu Tuti, saat menemani beliau memberi saran kepada penyewa Gedung. Saat itu kondisi beliau agak flu dan batuk. Rabu tanggal 6 Januari 2021, beliau pesan ke aku kalau tidak bisa masuk kantor karena batuk.
Masih dalam kondisi sakit batuk dan flu, pada hari Jumat, 8 Januari 2021, beliau masih sempat meminta aku untuk mewakili yayasan dalam doa Bersama, tetapi aku tidak bisa memenuhinya, karena aku sendiri sedang kurang sehat.


kondisi saat baru tiba

kondisi sekarang
Minggu, 10 Januari 2021 beliau memberi kabar kalau hasil tes antigennya positif demikian juga putri dan kedua cucunya. Selamat jalan bu Tuti……aku tidak gelo dadi wong apik, walau sulit dilakoni.
*) Sekretaris Umum Yayasan BK3S Jawa Timur, Ketua Pokja Disabilitas BKKKS Jawa Timur.
KENANGAN UNTUK DRA. HJ. TUTI ROFIATI
OJOK GELO DADI WONG APIK, MBAK EKA

Oleh : Dian Ika Riani *)



Almarhumah Dra. Hj. Tuti Rofi ati selalu berbagi untuk sesama
“Mbak eka gak ke kantor? Saya lagi di kantor ini. "pesan teks whatsapp itu sering ada di hp saya. Biasa saya jawab, “iya bu” atau biasa saya jawab, “hari ini ga ke kantor bu. Ini masih ada kegiatan dengan oom Gandi”.
Dan kalo saya jawab, “iya saya ke kantor”. Biasa dilanjut lagi, “Saya bawa cemilan ini……”lanjut bu Tuti. Tau banget anaknya satu ini doyan nyemil di kantor BK3S. Suara tertawanya, suara nya yang selalu mengatakan, “mbak Eka dan mas Gandi ini anak ku”. Rasanya belum bisa hilang dari ingatan saya. Sampai whatssapp terakhir ketika saya menanyakan kondisinya saat beliau di rumah sakit. Dan pesan whatssapp saya terakhir untuk nya di subuh itu dan tidak terbaca beliau, “Bu kangen” tepat di hari sebelum beliau akhirnya meninggalkan kita semua. Dan tepat di subuh saat saya bermimpi mencium pipi dan tangannya. Al Fatihah untuk ibu Tuti yang kami sayangi.

Sosok bu Tuti sangat lekat di ingatan saya. Saya sudah mengenalnya 15 tahun sejak saya masih kuliah dan aktif berorganisasi sehingga sampai suatu saat saya sering berkegiatan bareng dengan beliau di Dinas Sosial dan Forum Pekerja Sosial Masyarakat (FKPSM) bersama oom Gandi Wicaksono. Sifat keibuan dan sangat baik. Jiwa sosialnya yang dominan, selalu mendukung adik- adik kami yang tunanetra di komunitas Mata Hati. Dan selalu menanyakan dagangan saya, kalo gak habis pasti diborong bu Tuti. “mbak Eka siomay nya aku beli semua”. Selalu melegakan dan menyenangkan hati.
Nasib dan takdir selalu mempertemukan kita, sampai akhirnya bisa duduk bersama dalam sebuah ruangan bernama Yayasan BK3S Jawa Timur. Tempat curhat saya kalo sedang resah, dan jawabannya selalu, “Ojo gelo dadi wong apik mbak eka” yang artinya jangan nyesel jadi orang baik. Selalu kenangan yang baik tentang sosok keibuan bu Tuti yang ada di pikiran saya. Bahagialah bersama Allah SWT ya bu. Dalam pelukan Allah yang Maha pengasih dan penyayang.
Pesan ibu akan selalu saya ingat. Selalu berbuat baik dan menjadi orang baik apapun keadaan dan kondisinya. Almarhumah bu Tuti adalah relawan sosial yang dipilih dan disayang Allah SWT bersama almarhum pak Tjuk dan Almarhum oom Gandi telah menyelesaikan tugas sosial nya di dunia, sekarang saatnya disayang Allah SWT dan selalu bersama Allah SWT. Semangat kerelawanan sosial yang gak pernah habis hidup selalu di hati saya dari ketiga orang ini.
*) Bendahara Umum Yayasan BK3S Jawa Timur
KEHILANGAN PANUTAN MENYISAKAN BAYANGAN

Oleh : Arman Linda *)

Hari Senin pagi tanggal 18 Januari 2021 ketika saya lagi asik membaca koran yang rutin saya lakukan, seperti biasa berita-berita tentang perkembangan Covid-19 dengan vaksinnya, tiba-tiba suara HP berbunyi, saya lihat siapa yang menelpon, Oh teman saya pengurus BKKKS Jawa Timur yang biasanya awal pembicaraan pasti mengatakan angele lek ditelpon, mengabari bahwa Ibu Tuti meninggal dunia, beberapa saat saya terdiam, seakan-akan tidak percaya apa yang saya dengar, baru beberapa hari yang lalu kita berduka atas kepergian Pak Tjuk, sampaisampai suara di seberang telepon memanggil manggil nama saya, baru saya sadar “Innalillahi wa innailaihi rojiun”, telah berpulang guru saya, teman saya, sahabat saya yang selama ini saya anggap sebagai panutan.
Lantas, seberapa spesialnya sahabatku ini. Jawabanku tentunya sangat spesial, beliau merupakan sahabat yang biasanya aku jadikan tempat untuk meminta pendapat, nasehat dan berdiskusi. Bahkan sebelum meninggal, saya masih sempat berjumpa serta canda tawa dan berdiskusi dengan beliau, selain itu ada beberapa cerita yang masih membekas di ingatanku di samping masih banyak cerita-cerita baik selama 30 tahun lebih kami berkawan.
Pernah ada kasus pegawai yang diproses pemberhentikan dengan tidak hormat dari PNS karena persoalan rumah tangga, beliau istilahnya pasang badan untuk menghadap pada pimpinan untuk memberikan alasan dan argumentasi, sehingga kasusnya jadi selesai walaupun membutuhkan waktu yang sangat lama dan melelahkan.
Bu Tuti orang yang sangat peduli dan perhatian terhadap lingkungan di mana ia berada, terutama jika ada persoalan-persoalan yang dialami oleh teman-teman, baik masalah pribadi, keluarga maupun pekerjaan, dan bahkan tidak segan mengeluarkan dana pribadi agar persoalan yang dihadapi bisa selesai. Beliau sering berpesan, bekerjalah dengan ikhlas jangan membeda-bedakan orang yang dibantu, selesaikan pekerjaan sampai tuntas jangan menunda-nunda waktu.

Jangan takut sahabatku, bahwa kenangan kan melupakanmu, panjenengan telah menitipkan bibit-bibit kebaikan pada orang-orang yang tepat, semua masih sangat jelas, nama, bayanganmu, senyum terbaikmu, jasa-jasamu, masih sangat tersimpan dengan apiknya di benak kami yang kau tinggalkan.
Tidak ada yang pergi, Tidak ada yang ditinggalkan, Semua masih ada dan kan selalu ada dalam memori, dalam nurani dan semua begitu nyata dalam wujud tetesan air mata, Matur nuwun atas semuanya, semuanya akan selalu kami kenang.
Selama aku masih bisa berpikir, aku akan mengingat dan selama aku masih bisa mengingat, maka selama itu pula aku akan mengenang seorang Panutan dalam riwayatku.

Almarhumah Dra. Hj. Tuti Rofiati selalu berbagi untuk sesama
*)Ketua I BKKKS Jawa Timur
KENANGAN UNTUK DRA. HJ. TUTI ROFIATI
IBU TUTI ROFIATI TOKOH INSPIRATIF

Oleh : Dra. Restu Novi, M. Si. *)



Almarhumah Dra. Hj. Tuti Rofi ati selalu berbagi untuk sesama
“Dalam Cuplikan fi lm Habibie dan Ainun, ada adegan yang Habibie bilang Ainun seperti Gula Jawa, Itulah yang sepintas sosok wajah Ibu Tuti bagi kami, manis semanis gula jawa, beliau pada masanya dapat dikatakan salah satu primadona di lingkungan Kantor Wilayah Departemen Sosial RI saat itu. Ketika senyum ada lesung pipit, dan wajahnya keibuan, sosoknya anggun, tenang, tidak meledak ledak, dan ketika kami mengetahui bahwa beliau adalah lulusan Universitas Gajah Mada Jurusan Psikologi, kekaguman kami bertambah karena mana yang tidak kenal dengan UGM yang sangat dikenal lulusannya memiliki kompetensi yang dapat diperhitungkan. Sekitar 25 tahun kami mengikuti perjalanan karier beliau, saat itu tahun 1991 beliau adalah salah satu dari sedikit perempuan yang memiliki jabatan, artinya beliau memang orang pilihan. Selain wanita berkarier, beliau adalah seorang istri dan ibu dari 3 orang putri. Dan kalau sering orang bilang bahwa wanita ketika berkarier harus memilih antara prestasi atas dirinya dan keluarganya, ini tidak berlaku buat Ibu Tuti, beliau tetap berkarier, dan tetap menjadi seorang istri yang santun serta berhasil mengantar putri-putrinya ke jenjang pendidikan tertinggi mereka sampai pula pada tahapan menikahkan dan memiliki cucu-cucu yang luar biasa. Tidak hanya itu, walau beliau berlatar belakang psikolog tetapi dia lebih “sosial” daripada Sarjana Sosial sekalipun. Kenapa tidak, diantara kesibukannya dia memiliki komunitas sosial, dan tidak hanya itu, beliau adalah sosok yang selalu hadir dalam keadaan suka duka baik untuk pimpinan, temannya, bawahannya bahkan sampai pada klien (anak binaannya). Saya ingat betul seluruh lulusan RSBN BINA NETRA sampai seluruh angkatan selama beliau
menjabat kepala, ingat betul namanya, dan ternyata, tidak hanya kenal saja lebih dari itu, Ibu selalu hadir dan membantu apabila para penyandang disabilitas ini memerlukan nasehat, spirit sampai kepada bantuan materiil.
Beliau penggagas “paguyuban tat wam asi” yaitu paguyuban pensiunan Dinas Sosial RI untuk Jawa Timur. Paguyuban ini lebih banyak kepada ajang silaturahim dan sosial, seperti menengok sakit, tauziah dan sampai kepada membantu putra putri pensiunan apabila mengalami kesulitan dana. Saya rasa kalau ada yang bertanya siapa yang selalu hadir pada saat teman sosial berduka, bu Tuti lah orangnya.

Beliau bagi kami adalah sosok inspiratif, yang menunjukkan sosok wanita seutuhnya, sebagai istri, ibu bagi putra putrinya, ibu bagi anak buahnya, ibu bagi binaannya. Tidak berlebih kalau kami menjuluki beliau adalah “Cut Nyak Dien-versi sosial”, kalau Cut Nyak Dien berjuang melawan Belanda, Ibu kami Ibu Tuti Rofiati berjuang untuk melawan sifat individual, memperkaya diri sendiri, ketidakmandirian para penyandang disabilitas, dan sebagaimana Cut Nyak Dien yang selalu memiliki semangat yang berkobar walau usianya semakin senja dan kekuatan raganya melemah, Ibu Tuti pun demikian. Hal ini terbukti beliau tidak memilih diam di rumah bersama putri dan cucunya tetapi dia memilih tetep berkecimpung di dunia sosial sejak tahun 2009 sampai Allah menjemputnya tanggal 18 Januari tahun 2021. Beliau tergabung di Yayasan BK3S Jawa Timur dari Ketua II, Ketua I sampai dengan menjadi Ketua Umum untuk masa jabatan 2019 sd 2024. Dan beliau Juga pengurus YPAC. Walau untuk kegiatan ini beliau tidak memiliki fasilitas maksimal, beliau tangguh, semangat, dan komitmen tinggi terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Beliau sebagai pemimpin sosok konsisten, visioner memiliki integritas. Sebagai staf/karyawan, beliau pekerja keras, tangguh, santun dan memiliki loyalitas, sebagai makhluk sosial dermawan, sederhana, dan rendah hati.
Ibu Tuti Rofiati, dalam lelah di usia senjamu masih terbesit semangat, dalam senyuman di usia senjamu terbesit keramahan mendalam, dalam masa purna tugasmu tersimpan kenangan baik dari teman sejawat, anak binaanmu bahkan para penyandang masalah keseahteraan sosial utamanya para penyandang disabilitas, dalam sakit di penghujung usiamu, seluruhnya mendoakan kesembuhanmu, namun Allah yang berhak atas umatnya. Ibu harus pergi mendahului kami. Selamat Jalan ibu, Istirahatlah bersama semua amalan baikmu, Insya Allah syurga menantimu Aamiin Ya Robbal Alamin.
*)Sekretaris Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur.


Almarhumah Dra. Hj. Tuti Rofiati selalu berbagi untuk sesama
KENANGAN UNTUK DRA. HJ. TUTI ROFIATI
ORA BAKAL BISA DI BALENI MUNG DITELADANI

Oleh : Pri Handayani*)



Almarhumah Dra. Hj. Tuti Rofi ati selalu berbagi untuk sesama
Pertama kali saya ditugaskan menjadi wakil sekretaris Yayasan BK3S Jawa Timur, saya menolak, saya protes pada pak Tjuk dan bu Pinky. Kenapa saya? Saya tidak ingin posisi itu, saya menikmati “hidup” berkegiatan seperti selama ini. Sebagai relawan sosial yang langsung bertemu dengan sasaran, dan sebagai jurnalis yang bergerak, berlarian di jalan, bergerak tanpa batas mendapatkan berita, tibatiba harus duduk manis. Tetapi pak Tjuk dan bu Pinky tetap bersikeras, saya harus menempati posisi itu.
Ok, Karena pak Tjuk dan bu Pinky tidak tergoyahkan, saya “harus” menerima, tapi tidak serta merta saya bergabung dan duduk di meja yang baru untuk saya. Saya masih menikmati ruangan Pokja ukuran 2,5 x 2,5 m. Saya tidak mau berkumpul bersama di ruang Yayasan BK3S Jawa Timur. Saya ke ruangan Yayasan kalau ada rapat, diskusi dan menyelesaikan tugas, setelah itu saya kembali ke atas (lantai 2) di ruang pokja. Bu Tuti Rofi ati selalu bertanya, “kenapa di atas, tempat duduk bu Yeyen itu di sini bersama kita” selalu dan selalu mengajak saya untuk berkumpul ber “7” di ruangan Yayasan BK3S Jawa Timur, mungkin karena keinginan bu Tuti untuk bersama- sama sampai mengatakan “ada apanya di atas?” atau kita semua pindah ke atas saja?”.
Duh segitunya pikir saya, yang penting tugas saya selesai, cukup kan? Ternyata bu Tuti itu masih ngugemi falsafah lama, “mangan ora mangan angger kumpul” kalau ngumpul, cepat koordinasinya, cepat dibahas, cepat diselesaikan sewaktu waktu tidak menunda. Jargon bu Tuti setiap salah satu diantara kami ber “7” mengeluh “lelah”, bu Tuti selalu menyemangati dengan kalimat “Ojo Gelo Dadi Wong Apik”, mendengar itu, kami tertawa, mengulang ulang kalimat tersebut.
Ada lagi ketika ada benturan dengan kebijakan kalimat yang terucap adalah “ajoor Juuum” menirukan Artis Soimah.
Dua Jargon itu yang menyatukan kami, menguatkan kami terutama saya yang tidak pernah kerja serius kantoran dan akhirnya saya duduk di ruang ini tapi saya tidak akan berlama lama duduk akan keluar jalan jalan.
Bu Tuti sering mengajak 2 cucunya Galih (8 tahun) dan Gilang (6 tahun) ke Yayasan BK3S Jawa Timur dan mereka selalu bermain dengan saya, di meja saya terutama Gilang, saya jadi teman mereka main mobil mobilan, mewarnai dengan meminjam spidol mbak Eka (Bendahara Umum Yayasan BK3S Jawa Timur), sampai sampai kalau bu Tuti ada urusan di luar Yayasan BK3S Jawa Timur, Galih dan Gilang tidak mau ikut, “mau main sama nenek” mereka memang memanggil saya nenek.
Saat saya sakit, mendadak kena serangan stroke ringan, bu Tuti mencari informasi kondisi saya sampai ke tetangga saya karena memang pada saat itu saya sengaja hanya bilang bu Pinky dan mbak Eka, karena ingin konsentrasi pada penyembuhan dan pemulihan. Alhamdulillah tidak butuh waktu berlama lama dan bertahun tahun saya bisa jalan dan aktifitas lagi di Yayasan BK3S Jawa Timur. Atas doa dan suport semua teman dan sahabat bisa baik kembali lagi.
Pada saat itu bu Tuti sering WhatsApp menanyakan saya sakit apa, apa keluhan saya, apakah perlu ke Rumah Sakit? Akan ada utusan dari Yayasan BK3S Jawa Timur mengantar saya, tapi tidak saya respon, saya sengaja menutup komunikasi dengan semuanya kecuali bu Pinky dan mbak Eka. Bu Tuti tetap mengirim WhatsApp menyemangati saya, sampai rekaman video Gilang pun dikirim ke saya. Pada bulan September saya mulai datang kembali ke Yayasan BK3S Jawa Timur, bu Tuti senang sekali “Alhamdulillah, sudah sehat, ayo sering-sering datang, tidak usah setiap hari, 3 kali seminggu saja, biar hatinya terhibur”, ya ampun ibu ini, segitunya menyemangati saya.

Terakhir saya WhatsApp dengan bu Tuti tanggal 11 Januari 2021, saya menanyakan kabar dan dibalas oleh bu Tuti sejak selasa batuk-batuk dan tidak enak badan, saya nitip salam untuk Gilang dan dibalas Insya Allah di sampaikan. Tanggal 14 Januari 2021 ada panggilan tidak terjawab dari bu Tuti saat saya telpon balik tidak terhubung.
Tanggal 16 Januari 2021 setelah sholat Subuh di WhatsApp Group kami lagi menanyakan kondisi terkini bu Tuti, malah mbak Eka cerita kalau tadi malam mimpi di cium bu Tuti bertemu pada suatu acara di sebuah hotel. Mbak Eka juga sangsi dan lupa lupa ingat, tapi yang jelas di cium bu Tuti. Kami sepakat kirim doa untuk kesembuhan bu Tuti, tidak berapa lama ada telpon dari bu Pinky yang mengabarkan kapundhutnya bu Tuti dan saya langsung lemes dan syok. Belum kering air mata berpulangnya pak Tjuk, kami kehilangan panutan, pengayom lagi.
Duh Gusti, Kau pilih beliau Berdua, Kau timbali panutan-panutan kami. Di saat kami masih ingin berlama lama kau peluk, kau semangati menghadapi pandemi yang tak kunjung usai ini. Sugeng tindhak bu. Selamat jalan, ibu piyantun apik makanya dipilih Allah SWT. Diselamatkan dengan caraNya. Kami siap melanjutkan gagasan yang tertunda. Kami akan berusaha menjadi orang baik dan tidak menyesal menjadi orang baik seperti ibu We Love You Ibu.
*)Sekretaris Yayasan BK3S Jawa Timur, Ketua Pokja Perempuan dan Anak BKKKS Jawa Timur
KENANGAN UNTUK DRA. HJ. TUTI ROFIATI
GUDEG MANGGAR KINI TERASA HAMBAR

Oleh : Farida Martarina *)


Kenangan bersama almarhumah Dra. Hj. Tuti Rofi ati (foto tengah)
Tujuan utama ke sebuah desa tempat kelahiran almarhumah Ibu Tuti adalah sebuah anganangan kami bertujuh, menikmati gudeg manggar khas buatan abdi dalem keluarga almarhumah adalah khas menu di sana.
Era jaman sekarang jarang ada orang mengenal gudeg manggar tersebut, akupun belum pernah mengetahui, niat tersebut almarhumah sampaikan bilamana kami bertujuh merasa jenuh.
Beberapa kali niat tersebut tertunda menyusul pandemi covid 19 melanda. Kami semua prihatin, kehadiran kami tidak lagi bertujuh di ruangan itu. Semua bergantian sesuai jadwal masing masing.

Almarhumah Ibu Tuti yang masih “ajeg rawuh" demi mengemban tugas sebagai Ketua Umum Yayasan BK3S Jawa Timur. Pandemi sangat menyita perhatian terutama masalah kewaspadaan akan terpaparnya corona virus 19.
Keinginan kami bertujuh refreshing ke Jogya ke sebuah desa menikmati gudeg manggar berangsur sirna, saat itu di ruangan kami ibu Tuti berkata sambil sedikit gemetar dan tersendat menahan tangis. "Saya ini sedih dan merasa kehilangan orang orang yang dekat dengan saya satu persatu telah tidak ada", kemudian saya bilang "ya kita doakan bu semoga semua sudah tenang disisi Alloh SWT".
Memang kehendak Sang Pencipta tidak akan ada yang tahu apa yang sudah menjadi garis takdir umatNya. Hingga pagi itu saya menerima telpon dari grup, saling bersahutan, Bu Yeyen, Pak Bayu, meminta saya segera hubungi Mbak Eka, ada apa? saya belum ngeh mbak Rina, ibu Tuti sedo.
Innalillahi Wainnailaihi rojiun. Ibu kami doakan ibu tenang di sisi Alloh SWT. Ibu yang selalu WhatsApp saya bila ada tugas di Yayasan. Rindu sosok ibu hadir di antara kami berenam Selamat jalan ibu memenuhi panggilan Robbnya. Bacaan Alqur'an ibu mengiringi suara merdu nan sejuk menuju pintu surga untukmu ibu.
Gudeg Manggar, akankah kami berenam akan bisa merasakan? andaikan terwujud pun akan terasa hambar karena tiada ibu di tengah kami yang selalu membuat semangat kami berkobar.
*) Ketua I Yayasan BK3S Jawa Timur
IBU TUTI DI MATA ANAK-ANAKNYA
Oleh : Satiti Ingastrin *)



Kenangan bersama Almarhumah Dra. Hj. Tuti Rofi ati
2021 baru saja dimulai, tidak kami sangka kami sudah kehilangan ibu. Bagi kami, rasanya kadang masih sulit percaya bahwa ibu sudah tidak lagi bersama kami. Cepat sekali waktu yang berlalu dari ketika ibu mengabari kami lewat whatsapp sore itu tentang hasil rapid antigen-nya dan hari ketika ibu di panggil Allah kembali ke sisi-Nya.
3 bulan sebelumnya, saya, suami, dan anak saya masih sempat berkunjung dan menengok ibu. Kami sengaja berkendara jarak jauh dari Tangerang Selatan, tempat kami tinggal, ke Surabaya untuk bisa pulang dan bertemu keluarga sekaligus mengantarkan Emak yang sudah lebih dari setahun tidak bisa kembali ke kampungnya karena pandemi. Waktu itu, ibu masih sehat dan Banyu, anak saya, dimanjakan oleh ibu. Ibu belikan Banyu telur ayam kampung, ikan salmon, dan brokoli, makanan-makanan yang Banyu suka. Pada saat itu Banyu sedang tidak doyan makan karena giginya yang tumbuh, dan ibu saya berhasil membujuk dia makan dengan lahap selama di sana. Saya ingat sebelum kami berangkat kembali ke Tangerang Selatan, ibu melihat ada topeng monyet dan dengan semangat memanggil topeng monyet untuk bermain di depan Banyu. Banyu kecil belum tahu apa yang dia tonton, tapi tetap saja dia duduk dengan takjub menonton pertunjukan. Kami tidak menyangka bahwa topeng monyet itu adalah ‘hadiah’ terakhir ibu untuknya.
Bulan Januari lalu sebenarnya ibu akan berkunjung menemui kami di Tangerang Selatan. Adik saya, Desi, yang sudah mengatur keberangkatan ibu. Kami ingin menunjukkan ibu rumah kami yang belum pernah ibu datangi sejak pandemi. Kami juga berencana akan berlibur sebentar ke Cirebon jauh dari keramaian. Di awal Januari, ibu masih berniat untuk berangkat meskipun agak cemas karena pada saat itu statistik meningkatnya kasus corona sudah mulai diberitakan. Tidak kami sangka, beberapa minggu kemudian, ternyata ibu juga menjadi bagian dari statistik corona itu.
KENANGAN UNTUK DRA. HJ. TUTI ROFIATI
Kami tersentuh sekali ketika rekan-rekan kerja ibu bercerita dan mengenang ibu dengan moto hidup ibu, "Ojo gelo dadi wong apik". Kata-kata itu tidak hanya sekali dua kali ibu katakan juga pada kami. Itu adalah moto ibu setiap kali menolong orang lain, meskipun kadang begitu sepi penghargaan atas kebaikannya.
Pun Ketika Senin pagi itu tiba, tanggal 18 Januari 2021, dan kami sibuk mengabarkan kepada handai taulan soal kepergian ibu kembali ke pangkuan-Nya, kami bersyukur dan terkesan dengan balasan-balasan yang kami terima. Tidak hanya satu dua yang bilang, ‘Ibu orang baik, mbak’.
Alhamdulillah ibu dilihat orang lain sebagai orang baik. Namun bagi kami, kesan paling mendalam terhadap ibu adalah betapa ibu sangat mengayomi. Tidak hanya terhadap kami bertiga yang anak kandung ibu, ibu pun mengayomi ‘anak-anak’ ibu lainnya.
Beberapa orang ‘anak’ ibu adalah tetanggatetangga kami di Semolo. Sejak kecil banyak tetangga kami memanggil ibu dengan sebutan ‘Mama’. Dulu saya pikir mereka memanggil ibu dengan sebutan itu karena menirukan kami memanggil ibu demikian. Tapi lama-lama saya sadar, mereka memanggil ibu dengan sebutan itu karena rasa sayang dan hormat pada ibu. Sampai sekarang, mbak Tari, tetangga kami, yang sudah pindah dari kampung kami, masih beberapa kali menanyakan ibu, ‘Gimana kabar mama, dek?’. ‘Anak’ lainnya, Mas Mugi yang ibu selalu sebut sebagai "anak lanangku"juga pernah meminta Ibu dan Bapak untuk menghadiri wisudanya, menggantikan bapak dan ibunya yang sudah lama meninggal. Kemarin mas Mugi juga ikut mendampingi dan mensholati ibu di rumah sakit dan mengantarkan ibu ke peristirahatan yang terakhir, menggantikan kami, anak-anak kandung ibu yang tidak bisa pulang ke Surabaya untuk pemakaman ibu.
Salah satu ‘anak’ lainnya adalah Ana. Lewat Instagram, Ana di Melbourne yang sudah menganggap ibu seperti orangtuanya sendiri ikut sedih kehilangan ibu. Ana sempat bercerita betapa kaget dia mendengar berita soal ‘Ibuk’ dan sempat menangis sampai subuh. Padahal katanya, saat itu dia ingin menghubungi ibu karena baru saja pindah rumah dan mau bercerita pada ibu, seperti biasanya. ‘Anak-anak’ ibu lainnya juga termasuk mbakmbak yang merawat Galih dan Gilang, cucucucu ibu, mbak Muanah dan mbak Wenah. Ibu sangat peduli terhadap pendidikan mereka dan sempat menyekolahkan mereka. Mbak Muanah bahkan baru saja lulus kuliah beberapa bulan yang lalu. Ibu pun dulu menginginkan mbak Wenah bisa menyelesaikan sekolahnya, sayang sekali tidak diijinkan. Saya ingat ketika mbak Wenah dipanggil pulang keluarganya di Madura untuk dinikahkan, ibu masih menyempatkan berbicara dengan kakak mbak Wenah untuk membujuk agar mbak Wenah boleh diberi kesempatan menyelesaikan sekolahnya yang hanya tinggal beberapa bulan saja.
Dengan perhatian ibu, tidak heran mbak Muanah dan mbak Wenah masih terus berhubungan dengan ibu dan kami, meski sudah tidak lagi bekerja di rumah ibu. Mbak Ana bahkan pernah menyampaikan, ‘Nanti aku mau mengabdi sama Uti, Ci. Kalo Uti udah tua, aku mau ngerawat Uti’.
Sama seperti mbak Muanah yang berpikir bahwa masih ada kesempatan untuk ‘mengabdi’ pada ibu, kami semua, anak-anak ibu, berpikir kami masih punya lebih banyak waktu dengan ibu. Kami pikir kami masih bisa menengok ibu lagi. Masih bisa pulang Lebaran dan merayakan Hari Raya dengan ibu, berlibur bersama ibu. Namun bahkan pada hari-hari terakhir ibu, kami bahkan tidak bisa melihat wajah ibu, berada di dekat ibu, atau membimbing ibu melafalkan asma Allah.
Usia memang rahasia Allah dan setidaknya yang kami syukuri adalah ibu tidak sakit untuk waktu yang lama. Kami, anak-anaknya, bersyukur diberi jodoh dengan ibu dan dibesarkan oleh kehangatan ibu. Kami bersyukur diberi kesempatan untuk mengenal ibu dan tumbuh dalam sayap kasih sayang ibu.
Selamat jalan ibu. Hidup kami tidak akan pernah sama tanpa kehadiran ibu. Anak-anak ibu ini akan terus mendoakan ibu. InsyaAllah akan meneruskan warisan sikap dan perbuatan ibu agar kelak kami akan diberikan ‘tiket’ yang sama oleh Allah SWT agar dapat bertemu ibu di surga yang sama. Aamiin.

*) Putri almarhumah Ibu Tuti Rofiati
SAYA PIKIR MASIH ADA WAKTU
Oleh : Hendy Dwindardi Agung *)


Almarhumah Dra. Hj. Tuti Rofi ati selalu berbagi untuk sesama
Telah berpulang kepada Tuhan YME, Ibu Tuti Rofi ati, seorang ibu, mertua, nenek, tetangga dan pemimpin, yang sangat disayangi dan dihormati.
Saya tidak mengenal bu Tuti semasa muda, dan saya tidak mengenal Ibu dalam dunia kerjanya, saya hanya mengenal bu Tuti sebagai seorang mertua, dan nenek bagi anak saya. Sejak saya mengenal bu Tuti, saya langsung terbawa untuk menghormati beliau, secara sama, bahkan sedikit lebih dari saya menghormati orang tua saya sendiri. Sikap yang selalu hangat dan merangkul, prasangka beliau yang selalu baik dan positif terhadap saya membuat rasa sayang dan hormat mengalir secara otomatis terhadap beliau. Mungkin ini juga
KENANGAN UNTUK DRA. HJ. TUTI ROFIATI
yang dirasakan banyak orang yang mengenal beliau, saya kurang tahu. Yang saya tahu, secara tingkah laku, Ibu sudah menjadi Ibu saya sebenarbenarnya Ibu, dan saya adalah anak beliau.
Ibu adalah orang yang hangat, pembicaraan dengan Ibu sering diselingi candaan yang buat keluarga tertawa mulas. Namun tingkah laku Ibu dalam kondisi paling informal sekalipun selalu diselimuti akhlak dan kesopanan, yang itu tidak pernah absen. Ciri khas Ibu, bisa bercanda tanpa kehilangan wibawa. Dan setiap ada kesempatan selalu Ibu mengarahkan kami untuk berbuat yang baik pada saudara dan sesama.
Dalam kehidupan sehari-hari tingkah laku Ibu juga selalu diselimuti akhlak. Secara reflek membeli makanan yang saya suka ketika saya ada di rumah. Mengingatkan supaya saya makan yang banyak, karena Ibu tahu saya suka makan. Tidak pernah menyinggung hal-hal yang sensitif dan selalu bisa mengatakan hal yang menenangkan perasaaan juga menjadi ciri khas Ibu. Bisa pulang ke rumah Ibu dan tinggal disana beberapa hari selalu menjadi hal yang saya tunggu. Bila dipikir, lebih sering saya menginap di rumah Ibu daripada di rumah orang tua saya sendiri. Apabila saya seorang menantu saja bisa merasa seperti ini, saya tidak tahu bagaimana perasaan anak-anak Ibu terhadap beliau.
Ketika Ibu berpulang, saya merasakan apa yang dirasakan semua anak ketika kehilangan orang tua, saya berpikir “saya kira saya masih punya banyak waktu dengan Ibu”. Saya merasa masih ingin pulang dan ngobrol dengan beliau sekali lagi. Saya masih ingin cerita kepada Ibu tentang hal-hal lucu yang saya dan istri alami disini. Masih ingin saya bercerita tentang anak saya dan sekarang dia sudah bisa apa. Pasti Ibu akan senang dengar cerita kami. Tapi ternyata Tuhan sudah kangen dengan Ibu.

Setelah Ibu berangkat, bukan sekali dua kali saya masih mengambil foto anak saya dengan pikiran “nanti akan saya kirim ke Ibu”. Beberapa kali ada kejadian lucu saya masih berpikir, “nanti saya mau cerita ke Ibu.” Kemudian langsung teringat bahwa Ibu sudah tidak ada dan terasa pedih. Kalau saya seorang menantu merasa seperti itu, saya tidak tahu apa yang dirasakan anak-anak Ibu dan orang-orang dekat Ibu lainnya ketika kehilangan Ibu. Tapi Tuhan sudah kangen dengan Ibu.
Sekuat-kuatnya keinginan kami dari keluarga untuk berkumpul bersama beliau lagi nanti saat Lebaran dan libur besar, kami harus belajar untuk merelakan beliau. Yang jelas rasa kehilangan kami yang seperti ini menjadi bukti betapa besar kami menyayangi Ibu, dan betapa luar biasa Ibu di mata kami. Tidak ada keraguan di hati kami bahwa Ibu berada di tempat yang lebih baik, dan orang seperti Ibu pasti dirangkul oleh malaikat-malaikat Allah, seperti hobi Ibu merangkul orang-orang di sekitarnya semasa beliau masih bersama kami dulu.
Selamat jalan Ibu, doa kami selalu menyertai. Selamat berbahagia di sana, semoga kami dapat bertemu Ibu lagi nanti dengan izin Allah SWT, Aamiin.