41 minute read

Telaah Konsep Pendidikan Androgini dalam Buku Ajar Aqidah Akhlak Madrasah Tsanawiyah Kelas VII

TELAAH KONSEP PENDIDIKAN ANDROGINI DALAM BUKU AJAR AQIDAH AKHLAK MADRASAH TSANAWIYAH KELAS VII

Khamim Saifuddin Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama Temanggung Alamat : Jalan Suwandi-Suwardi Km. 01 Temanggung Email : khamimsay@yahoo.com

Advertisement

Elis Sarifatun Robiyanti Madrasah Tsanawiyah Ma’arif Gemawang Alamat : Jl. Raya Gemawang-Muncar KM 1 Gemawang Temanggung Email : elissarifa83@gmail.com

Abstract This paper seeks to find out about how the concept of androgyny education in textbooks on moral aqidah of class VII MTs. In this study the authors used a descriptive qualitative approach tailored to the focus of research. Looking at the macro research object, the author hopes to objectively criticize the contents of the book. The method of data collection is more dominant using library observation methods or library research. From the results of the study, the authors found several concepts of androgyny education, namely human values, the value of recognition of plurality, non-hegemonic values, welfare values and togetherness values that are not fairly equated. The tendency of male to female dominance is very close in every material that exists, especially sampling human behavior. Material content implies that education for men is more important than women. The impact that will arise is that indirectly the contents of the book will perpetuate the practice of patriarchal culture in the future. Keywords: Androgene Education, Aqidah Akhlak, MTs.

Abstrak Tulisan ini berupaya untuk mengetahui tentang bagaimana konsep pendidikan androgini dalam buku ajar aqidah akhlak MTs kelas VII. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif disesuaikan dengan fokus penelitian. Melihat objek penelitian yang cukup makro, penulis berharap dapat mengkritisi secara objektif isi buku tersebut. Cara pengambilan datanya lebih dominan menggunakan cara observasi kepustakaan atau library research. Dari hasil penelitian, penulis menemukan beberapa konsep pendidikan androgini yaitu nilai kemanusiaan, nilai pengakuan terhadap pluralitas, nilai non hegemoni, nilai kesejahteraan dan nilai kebersamaan tidak termaktub secara adil. Kecenderungan dominasi laki-laki dibanding perempuan sangat lekat dalam setiap materi yang ada khususnya pengambilan sampel perilaku manusia. Isi materi menyiratkan bahwa pendidikan bagi pria lebih penting dibandingkan perempuan. Imbas yang akan muncul adalah secara tidak langsung isi buku tersebut akan melanggengkan praktik budaya patriakhi dimasa yang akan datang. Kata kunci : Pendidikan Androgini, Aqidah Akhlak, MTs.

A. PENDAHULUAN

Perkembangan kehidupan sosial, agama dan budaya selalu berjalan bersama dalam sisi-sisi kehidupan manusia. Hal ini bisa kita lihat dalam perkembangan teknologi yang mampu menghasilkan sebuah keseimbangan kehidupan. Di sinilah peran pendidikan diharapkan mampu menghasilkan produk-produk yang bukan saja memiliki nilai ekonomis tetapi juga mampu menghasilkan produk budaya yang pada akhirnya diharapkan mampu mengatasi peradaban manusia. Manusia dalam kaca mata pendidikan diposisikan sebagai subjek pendidikan mempunyai fungsi sebagai aktor utama dalam percaturan global. Cita-cita untuk selalu mendambakan keberlanjutan hidup (survival) di dunia dengan baik sangat diharapkan. Maka harapan untuk selalu dapat bertahan hidup ini menjadi tujuan filosofis dari pendidikan itu sendiri (Ramayulis, 1994, hlm. 24). Agar manusia dapat bertahan hidup (survive), ada beberapa hal perlu dicermati untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar tersebut yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan ruhiyah (kepuasaan batin) maupun jasadiyah (kepuasaan lahir). Keduanya tidak akan terpenuhi manakala peran pendidikan, sebagai instrumen utama dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak berjalan secara maksimal. Melihat begitu besar dominasi pendidikan terhadap kebudayaan sehingga tidak mengherankan jika ada sebagian pendapat mengatakan bahwa pendidikan merupakan bagian pokok (otak) dari perkembangan budaya. Dalam dinamika kehidupan manusia erat hubungannya dengan pendidikan yang pada akhirnya memancarkan perilaku keagamaan dan kebudayaan.

Selanjutnya dapat ditarik benang merah bahwa asumsi tentang pendidikan merupakan pembentuk budaya dalam peradaban tidak dapat terbantahkan. Hal ini diperkuat dengan sebuah perspektif John Dewey, yang menyatakan bahwa pendidikan diposisikan sebagai alat tranformasi budaya (Ardi Widodo, 2003, hlm. 26). Selain itu pendidikan juga sebagai ilmu sosial humaniora yang mana memiliki ciri-ciri sebagaimana ilmu sosial serta banyak melibatkan aspek nilai normative dalam penyusunan konseptualnya.

Kehidupann beragama juga sangat ditentukan oleh seberapa banyak seseorang mendapatkan pendidikan. Dalam agama Islam misalnya manusia diberi tugas mulia bukan sekadar dikasih tugas, namun juga disertai petunjuk dalam mengaplikasikannya yang tercover dalam Alquran. Tuntunan umat Islam dalam bentuk mushaf itu tidak serta merta dapat dipahami tanpa adanya ilmu dan pendidikan, sehingga maksud dan tujuannya dapat direlisasikan dengan benar. Walaupun Alquran bersifat abadi namun penafsirannya tidak dapat dihindari sebagai sesuatu yang relatif (Ismail, 2003, hlm. 2) karena selalu berhubungan dengan ruang, waktu, tempat dan konteks serta tingkat ketinggian ilmu yang berbeda. Namun hal ini membuktikan bahwa Alquran juga sesuai zaman yang berkembang. Bukan membahas sisi keistimewaan Alquran namun sebagai pedoman kehidupan manusia dituntut untuk mengetahui isi darinya. Pendidikan merupakan faktor utama dalam diri manusia, sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, maka pendidikan harus mempunyai konsep yang benar-benar dapat membawa manusia pada tujuan utama kehidupan manusia baik sebagai pemimpin di muka bumi (kholifah fil ardl) maupun dalam melaksanakan janji primordial kepada Tuhan berupa ibadah. Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan orang untuk memberikan bimbingan kepada peserta didik untuk mencapai kedewasaan sehingga mampu bertanggung jawab atas perbuatatnya, mempunyai fungsi sebagai pengembang individu. Adapun pendidikan menurut Islam adalah suatu proses penyiapan anak-anak sebagai sumber daya manusia yang mana dikemudian hari dapat melakukan pekerjaannya dalam bidang keduniawian dan ukhrowi atau perpaduan antara dunia dan akhirat. Artinya bahwa pendidikan merupakan wahana bagi anak (manusia yang sedang berkembang) dalam mengembangkan diri sebagai personal yang unik. Karena peran inilah kurikulum pendidikan

harus menuangkan materi-materi yang membangun dan berpijak pada kepentingankepentingan anak.

Pendidikan yang di dalamnya terdapat berbagai macam ilmu pengetahuan mempunyai dampak bagi kehidupan, yaitu dampak positif dan negatif (Toha, 1996, hlm. 65). Dalam Islam dampak negatif pendidikan dapat dihilangkan dengan meletakkan akhlak pada posisi yang vital dan fundamental (Ardi Widodo, 2003, hlm. 166). Menurut pandangan Al Jundi bahwa yang menjadi ukuran kebaikan dan kebahagian hidup sebagai implemetasi akhlak adalah keimanan dan ketaqwaan . Hal ini dapat dipahami dari firman Allah dalam surat AnNahl 97 “Barang siapa beramal soleh baik laki-laki atau perempuan, sedangkan ia beriman, Kami akan hidupkan ia dengan kehidupan yang baik, dan Kami balas pahalanya setimpal dengan apa yang ia perbuat” (Depag RI, 1992, hlm. 417). Akhlak yang diterapkan pendidikan Islam berperan pada wilayah kemanusiaan yaitu pada hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Allah. Oleh karena itu akhlak mempunyai nilai absolut yang tidak dapat dipisahkan dengan kata lain bahwa antara hubungan manusia kepada manusia dan manusia kepada Tuhan tidak dapat dipecahkan dan keduanya saling berhubungan. Madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam meletakan pendidikan aqidah akhlak pada sisi yang penting dengan materi-materi di antaranya mengenalkan peserta didik pada sifat-sifat Tuhan, sifat-sifat rosul dan kemudian menampilkan tokoh-tokoh sahabat serta ulama’ sebagai suri tauladan sehingga keimanan dan ketaqwaan akan bertambah pada diri peserta didik.

Menggagas manusia dalam kaitannya dengan dunia pendidikan dan budaya tidak akan lepas dari adanya dua jenis kelamin manusia yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan namun keduanya mempunyai tugas kemanusiaan yang sama sebagaimana Allah telah berfirman dalam surat Al An’am ayat 165 yaitu : “Dan Allah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Depag RI, 1992, hlm. 165).” Perbedaan kelamin itu tidak akan menjadi sebuah persoalan dalam kehidupan jika dalam pelaksanaan tugas sehari-hari tidak dilihat dari ideologi gender (Baedowi, 2005, hlm. 31). Kenyataan di lapangan seringkali terjadi sesuatu yang merugikan salah satu jenis kelamin yang diakibatkan adanya distorsi ilmu baik sosial maupun agama. Kita bisa melihat kejadian pada tahun 1999 dan awal tahun 2004 di negara kita terjadi distorsi tentang pencalonan presiden. Asumsi bahwa jenis kelamin perempuan tidaklah tepat untuk memimpin Negara ini. Padahal seharusnya bukankah memimpin dilihat dari sudut pandang kemampuan dan skill-nya dalam memimpin? Peristiwa ini merupakan bukti nyata budaya patriarkhi masih kental di lingkungan kita. Dengan anggapan bahwa perempuan hanya bisa berperan di wilayah domestic memunculkan ketidakadilan dari beberapa sisi. Indikator ini menandakan perlunya revolusi kultural dalam dunia pendidikan karena bagaimanapun juga pendidikan adalah unsur terbesar dari sebuah pembentukan pola pikir peserta didik. Harapannya ketika menjadi manusia dewasa dapat menjalankan tugas kemanusiaannya sehingga laju perkembangan budaya dan kehidupan beragama akan terpancar dari realisasi nilai-nilai pendidikan. Melihat persoalan sosial manusia, penegakan konsep humanisme sebagai tujuan pendidikan belum berada pada posisinya dan masih dipertanyakan (Freire, 2002, hlm. vii). Alat didik yang berupa material maupun immaterial sebagai faktor pendidikan perlu dikaji ulang. Endingnya bisa memuat materi-materi pendidikan yang sensitif gender. Materi ajar aqidah akhlak untuk Madrasah Tsanawiyah misalnya merupakan salah satu contoh materi yang dalam salah satu pokok bahasannya masih terdapat bias gender. Dominan laki-laki baik dari jumlah, gambar dan peran dalam materi aqidah akhlak masih sangat terlihat.

Selain itu, muncul diskriminasi terhadap perempuan juga karena adanya poligami. Ada poligami yang bertujuan untuk memperbanyak keturunan sekaligus penyebaran ideologi kelompok tertentu. Maka wajar saja jika antara kaum hawa dan adam, semua sepakat dan sepaket menyetujui perilaku poligami bahkan mempersilakan (Ibda, 2019, hlm. vi). Hal ini harus dijawab dalam pendidikan khususnya di jenjang SMP/MTs. Materi aqidah akhlak yang tertuang dalam sebuah buku memang hanya karya manusia yang mana pembuatannya tidak bisa lepas dari lingkungan dan dasar pijakan berpikir yang berbeda. Dominasi jenis kelamin laki-laki adalah indikasi bahwa masih sangat kental akan melanggengkannya budaya patriarkhi.

Melihat realitas yang menimpa pendidikan tidak menjadi sesuatu yang salah ketika penyusun mencoba merefleksikannya melalui kacamata gender. Sebuah refleksi tentunya dapat memunculkan sebuah solusi dari permasalahan yang ditemukan. Untuk menjawab persoalan yang ada dalam materi aqidah akhlak sebagai objek refleksi maka penyusun mencoba memformulasikan materi yang sensitif gender yang sesuai dengan konsep pendidikan androgini. Konsep pendidikan androgini meletakkan bersamaan sifat maskulinisme dan feminisme pada peserta didik (Astuti, 2005). Dengan landasan prinsip pembebasan, dan kesetaraan dalam materi ataupun proses pendidikan, diharapkan peserta didik akan menjadi manusia yang ideal dan porposional dalam segala bidang.

B. HASIL DAN BAHASAN SEKILAS TENTANG GENDER Manusia dalam dinamika kehidupan sosial, budaya, agama dan sisi lain kehidupan dunia tidak akan pernah selesai dibahas. Kehidupan manusia selalu berubah, hal inilah menjadi konsekuensi munculnya peradaban baru. Seiring berjalannya waktu manusiapun mengalami perubahan pola pikir. Tentunya dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan maupun lingkungan. Tak heran lagi ketika wacana gender akhir-akhir ini muncul kepermukaan sebagai sarana pembongkaran atas konstruksi bangunan sosial budaya masyarakat yang masih memperlihatkan ketidakadilan seksis. Semua lini kehidupan masyarakat terindikasi bias gender. Membuminya budaya patriarki dalam masyarakat memunculkan kesan adanya pengkotak-kotakan peran makhluk, laki-laki adalah makhluk superior (high class) dan perempuan adalah makhluk no dua (second class). Pemisahan kelas ini tentunya menjadi sebuah pertanyaan besar, bagaimana pemisahan kelas ini bisa terbentuk sedangkan anggapan semacam ini masih menjadi sebuah tradisi yang abadi.

Pengembangan wacana gender ternyata tidak serta merta dapat direspon dengan baik oleh kalangan laki-laki bahkan juga oleh perempuan sendiri. Berbagai alasan lahir secara massif untuk mencounter atau melawan atas semaraknya analisis-analisis tentang isu seksis, dan rasis. Dari sekian banyak individu di antaranya menggagas kesetaraan gender berarti mempersoalkan system dan struktur yang sudah mapan. Dengan kata lain bahwa dengan menganalisis gender maka akan menggoncangkan system status quo ketidakadilan tertua dalam sejarah peradaban masyarakat (Fakih, 2001, hlm. 5). Selain itu menjadi persoalan, ketika pembahasan gender dengan tidak disertai dengan pengertian yang memadai apa itu gender dan bagaimana sebenarnya tujuan dari pemunculan isu gender. Membincang analisis gender kaum awam akan mensinonimkan dengan persoalan perempuan. Namun sebenarnya ada korelasi laki-laki dan perempuan yang tidak akan bisa dilepaskan. Disadari ataupun tidak kedua jenis kelamin ini merupakan relasi kuat yang memiliki persamaan, kesetaraan dan hak dalam percaturan global. Disebutkan dalam Kamus Ilmiah Populer bahwa gender secara bahasa berarti jenis kelamin. Kaburnya pengertian tentang gender ini yang menyebabkan terjadinya kesalahpahaman dalam konsep. Untuk memahami konsep gender secara maksimal perlu pemahaman terpisah antara sex (jenis kelamin) dan gender. Memang kedua hal ini sering

ditafsirkan sama karena keduanya memang sama-sama melekat pada dua jenis manusia tersebut. Perlu diketahui bahwa sex atau jenis kelamin adalah sesuatu yang melekat pada lakilaki atau perempuan yang bersifat biologis dan tercover pada fisik yang berbeda (Baedowi, 2005, hlm. 30). Misalnya dinamakan perempuan itu jika seseorang mempunyai vagina, kelenjar susu (payudara), rahim, dan mengalami siklus menstruasi. Sedangkan laki-laki mempunyai penis, sperma, dan jakun. Sex atau jenis kelamin merupakan sesuatu yang tidak bisa dipertukarkan karena bersifat kodrat atau pemberian Tuhan. Keadaan biologis ini yang menjadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yaitu bahwa laki-laki dan perempuan berbeda dalam fisik tertentu sedang prinsip dasarnya laki-laki dan perempuan adalah sama. Adapun pengertian gender secara istilah adalah sifat yang melekat pada kaum lakilaki atau perempuan yang dikonstrusikan secara social maupaun cultural yang dapat dipertukarkan karena bukan bersifat kodrat sehingga akan selalu berubah dari waktu ke waktu sesuai zaman yang berkembang dan sesuai dengan tempat di mana peradaban itu berkembang (Baidan, 1999, hlm. 8). Misalnya bahwa seorang perempuan yang baik itu harus selalu berada di rumah melayani suami, membantu ibu dan bahkan di Jawa kental sekali dengan mitos bahwa tugas seorang perempuan itu hanyalah “tiga M” yaitu masak, manak, dan macak sehingga jika seorang perempuan beraktivitas di wilayah publik maka dianggap bukan perempuan baik-baik. Anggapan itu terjadi karena konstruk social masyarakat mengatakan bahwa perempuan itu bersifat feminine sehingga ketika berada diluar ia dikhawatirkan tidak bisa menjaga diri. Lain halnya dengan laki-laki yang disifati sebagai makhluk yang maskulin maka laki-laki akan diberi kebebasan di dunia luar dan memperoleh peran pada wilayah publik. Selain itu munculnya anggapan gender yang melekat pada manusia juga dipengaruhi oleh agama, politik maupun tingkat pemahaman ilmu masing-masing orang. Hal ini dibuktikan oleh pejuang Jawa dengan mengharamkan perempuan memakai celana panjang pada jaman penjajahan Belanda dengan tujuan untuk menanamkan rasa benci terhadap Belanda, sehingga semangat untuk melawan penjajah lahir dengan politik ini. Adanya perbedaan gender yang melekat pada manusia tidak akan menjadi sebuah persoalan jika tidak melahirkan ketidakadilan kelas, namun realitas yang ada, dengan keberadaan gender memunculkan sebuah ketidakadilan jenis kelamin tertentu. Menurut Mansour Fakih bahwa adanya perbedaan gender melahirkan ketidakadilan pada jenis kelamin tertentu (Fakih, 2001, hlm. 15), di antaranya ; 1. Marginalisasi perempuan (peminggiran)

Marginalisasi merupakan salah satu manifestasi dari adanya bias gender di mana adanya perbedaan gender mengakibatkan terpinggirkan / pemiskinan salah satu jenis kelamin dalam hal ini adalah perempuan. Mekanisme marginalisasi akibat dari perbedaan terbentuk dari berbagai proses maupun sesuatu yang melatar belakanginya, misalnya kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi, dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Contoh konkrit dengan adanya program pemerintah tentang revolusi hijau secara ekonomi telah memiskinkan perempuan karena ani-ani sebagai alat pertanian perempuan ditiadakan untuk program revolusi hijau tersebut. 2. Subordinasi perempuan

Kesadaran terhadap praktik tidak sensitive gender dapat menimbulkan subordinasi perempuan. Adanya anggapan di masyarakat bahwa perempuan hanya mengedepankan emosionalnya dalam berbagai kegiatan mengakibatkan penempatan perempuan pada posisi yang tidak penting, misalkan pemilihan organisasi kelas, jabatan ketua kelas adalah laki-laki dan perempuan berada pada posisi sekretaris. 3. Stereotip (pelabelan negatif)

Sterotipe merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu, yang kemudian menimbulkan kerugian dan ketidakadilan. Salah satu penyebab adanya stereotipe adalah adanya pendangkalan makna gender. Banyak sekali ketidakadilan yang menimpa perempuan yang bersumber dari penandaan (stereotype) yang dilekatkan pada mereka. Misalnya penandaan yang berawal dari asumsi bahwa peremuan bersolek dalam rangka memanncing perhatian lawan jenisnya maka setiap ada kasus pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan setereotipe ini sehingga akan membatasi aktivitas perempuan diluar rumah. 4. Kekerasan (violence) Adanya anggapan bahwa perempuan identik dengan sifat lemah lembut (feminine) maka dengan anggapan ini akan rentan sebagai objek kekerasan (violence). Kekerasan adalah serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. sebagai contoh dalam tindak kekerasan seksual seperti pemerkosaan, perempuan yang berstatus sebagai korban masih selalu disalahkan. 5. Beban kerja (double burden) Beban kerja domestik yang diemban seorang perempuan sering kali tidak dihargai. Sehingga ketika sebuah keluarga mengalami ekonomi lemah maka seorang perempuan yang juga sebagai istri dan ibu juga akan bekerja mencari nafkah tetapi dalam masyarakat pada umumnya dibahasakan dengan membantu suami padahal ia memang benar-benar bekerja, sehingga tanpa disadari perempuan harus memikul beban kerja ganda (double burden) (Fakih, 2001, hlm. 21). Menggagas wacana gender tidaklah begitu mudah, ada anggapan membongkar masalah gender berarti melawan sebuah kultur. Anggapan masyarakat bahwa masalah gender sudah mapan dan sudah dianggap kodrat, sehingga membicarakan gender telah dianggap melawan kehendak Tuhan. Penafsiran agama yang tidak sensitif gender merupakan bagian yang menkonstruk adanya ketidakadilan gender, untuk itu diperlukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat yang masih bias gender. Karena bagaimanapun juga setiap agama datang membawa misi utama yaitu menegakkan keadilan. Seperti halnya agama Islam, yang banyak dianggap agama yang menyebabkan adanya ketidakadilan gender dengan tafsiran ayat-ayatnya yang masih bias. Namun ketika dicermati betul sebenarnya Islamlah yang pertama kali memunculkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini bisa kita lihat kembali ketika Islam datang di bumi Suci ketika jaman Jahiliyah yang waktu itu masyarakatnya menganggap bahwa anak perempuan tidak ada harganya sama sekali (Syalabi, 1990, hlm. 72). Dikuburkanya bayi-bayi perempuan yang masih hidup merupakan kebanggaan tersendiri karena dengan menguburnya kehormatan sebuah keluarga akan pulih kembali.

Ajaran Islam datang di tengah kondisi masyarakat jahiliyah yang saat itu menganggap wanita adalah hina. Diangkatnya perempuan dari title sebagai harta waris menjadi orang yang sama-sama memperoleh waris merupakan salah satu bentuk perjuangan Islam dalam kesetaraan. Secara otentik Allah telah berfirman dalam surat An Nisa’ ayat 7; “Artinya ; bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kaerabatnya baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (Depag RI, 1992, hlm. 116). Pengertian seperti ini yang perlu diketahui bersama sebagai landasan awal untuk mempelajari gender. Dengan argumentasi ini dapat membuka tabir yang selama ini Islam dianggap agama yang turut melanggengkan ketidakadilan gender dan Islam juga bukanlah agama penindas kaum perempuan seperti anggapan yang selama ini kita dengar (Muthali’in, 2001, hlm. 44).

PENDIDIKAN ANDROGINI

Secara bahasa pendidikan androgini berasal dari dua kata pendidikan dan androgene. Pendidikan adalah kegiatan membimbing anak manusia menuju kedewasaan dan kemandirian sedangkan androgen bermakna hormon pejantan (Partanto & Al Barry, 1994, hlm. 30). Kata genial yang berarti peramah, periang, ramah tamah yang kemudian dua kata tersebut digabung menjadi satu sehingga membentuk kata baru yaitu kata androgene yang berarti maskulin dan feminine (Sadily, 1989, hlm. 265). Arti peristilahan pendidikan androgene adalah proses bimbingan anak yang bertujuan untuk menanamkan sifat maskulin dan feminine dalam diri peserta didik secara seimbang (Astuti, 2005). Mencermati dari pengertian pendidikan androgene diatas maka penulis dapat mengambil pokok permasalahan dalam konsep pendidikan tersebut yang bertujuan pada upaya pengembangan sifat anak menggunakan dua sifat yang ada yaitu sifat maskulin dan feminin. Para aktifis feminisme merefleksikan bahwa selama ini konsep pendidikan androgene masih belum berkembang secara maksimal dan dalam pendidikan kontemporer masih terjadi banyak sekali kepentingan yang lebih mengedepankan pada salah satu genetikal. Anggapan bahawa laki-laki itu maskulin dan perempuan itu feminine diperkuat dengan materi-materi yang bias gender dalam dunia pendidikan. Dengan melihat paparan tentang pendidikan di atas bahwa peserta didik mempunyai sifat fitrah pada dasarnya maka pendidikan juga menentukan sikap dan pola pikir peserta didik. Selanjutnya dalam bab ini penulis sampaikan apa yang menjadi konsep dasar dari pendidikan androgini itu sendiri: 1. Pembebasan

Kebebasan merupakan karakteristik alamiah yang dimiliki oleh manusia, karakteristik ini menjadikan manusia setingkat menjadi maju dibanding makhluk lainnya. Mengambil dari konsep feminisme yang telah penulis paparkan pada item diatas, konsep pendidikan Androgene menginginkan sebuah keseimbungan antara relasi materi kaum perempuan dan laki-laki. Artinya bahwa peserta didik dipersilahkan mengambil karakteristik yang diinginkannya tanpa adanya sebuah pemaksaan bahwa laki-laki harus selalu maskulin dan perempuan bersifat feminin. Tentunya lembaga pendidikan memberikan materi yang memiliki keseimbangan dan terhindar dari bias gender. Selama ini kita bisa melihat bahwa masih terjadi banyak ketimpangan materi yang disampaikan dalam berbagai materi ajar baik itu berupa materi dalam bentuk gambar maupun dalam bentuk tulisan. Menurut konsep pendidikan androgini penindasan, ketertinggalan dan kebodohan kaum perempuan adalah kesalahan dari sistem pendidikan yang masih bersifat seksis. Untuk itu pendidikan androgene konsen pada persoalan bagaimana isu-isu kesetaraan benar-benar dapat terwujud dalam lingkup pendidikan. Berdasarkan teori pembebasan pembentukan karakter masing-masing manusia dimulai dari kebebasan berpikir kritis terhadap realitas wacana yang berkembang. Tak bisa kita nafikan bahwa dorongan dari luar sangat berpengaruh dalam perkembangan psikologi manusia sehingga proses pencitraan diri seseorang yang merupakan ending dari persoalan krusial dalam konteks kekinian menjadi terhambat akibat kesalahan kurikulum pendidikan (Freire, 2002, hlm. 7). Ada sebuah pandangan tentang pendidikan yang mengatakan bahwa perempuan tak usah sekolah tinggi-tinggi toh pada akahirnya akan bekerja di wilayah domestik. Kesadaran ini ternyata membelenggu pemikiran perempuan-perempuan, namun demikian saat ini sudah ada sedikit pencerahan (enlighment) terhadap isu ini, hal ini dibuktikan banyak perempuan yang mendominasi sekolah-sekolah yang ada (Pidarta, 1994, hlm. 17). Kemudian yang menjadi masalah lanjutan adalah penerapan kurikulum yang masih sarat dengan kepentingan patriarkhi, beberapa buku rujukan masih mengedepankan pelabelan pada sosok laki-laki

sehingga secara tidak langsung ilmu pengetahuan telah terhegomoni oleh kepentingan lakilaki.

Sesuai dengan tujuan pendidikan yang merupakan salah satu upaya tranformasi kebudayaan, perempuan-perempuan Indonesia tidak akan dapat maju bila setiap detik masih terjadi praktek-praktek pengkebirian kebebasan manusia melalui penerapan budaya patriarkhi dalam setiap materi ajar dalam kurikulum pendidikan nasional. Perempuan akan selalu melestarikan budaya pasifnya ketika tidak ada perubahan materi yang signifikan. Inilah yang dimaksud dengan teori pembebasan ala konsep pendidikan androgini di mana seorang perempuan membutuhkan sebuah perlakuan yang sama dalam konteks pendidikan.

2. Emansipasi

Penyetaraan hak antara kaum laki-laki dan perempuan menjadi mutlak di perjuangkan karena pada prinsipnya sesungguhnya kedua insan itu adalah sebuah kesatuan yang mempunyai relasi cukup erat. Proses penciptaan awal Hawa tak terlepas dari sebuah refleksi Adam terhadap kebutuhan akan perempuan. Maka dengan melihat tujuan awal dari penciptaan tersebut sungguh menjadi keuntungan buat umat manusia untuk memperlakukan perempuan sesuai dengan posisi strategisnya bukan sebaliknya menggunakan pandangan tentang proses pembuangan umat manusia ke bumi karena bujukan Hawa untuk memakan buah haram (khuldi).

Kenyataan yang kedua ini sering menjadi polemik penafsiran atas teks-teks Alquranyang seakan-akan memarginalkan perempuan karena kesalahan yang dilakukan oleh Hawa. Mainstrem berpikir ini sesungguhnya perlu dirubah secara perlahan jika menginginkan isu-isu penindasan akan segera berakhir.

Begitu juga dalam konteks pendidikan androgene kesetaraan dalam pemberian materi ajar juga perlu dipikirkan. Imbas terbesar dari sistem pendidikan yang tidak sensitive gender adalah perubahan pola pikir perempuan terhadap realitas kehidupan akan terganggu (Dewey, 2001, hlm. 27).

PENGERTIAN AQIDAH AKHLAK

Aqidah akhlak terdiri dari dua kata yang berbeda, secara bahasa aqidah berarti; tekad yang kuat, kumpulan, niat, mengukuhkan perjanjian, segala sesuatu yang menjadi prinsip hidup manusia baik yang haq maupun yang batil. Sedangkan akhlak berarti perilaku atau tingkah laku (Muhammad al Buraikan, 1997, hlm. 7). Adapun secara istilah ilmu aqidah akhlak adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, dan mengimani Allah Swt dan merealisasikannya dalam perilaku akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, penggunaan pengalaman dan pembiasaan. Kiranya dari pengertian di atas kita bisa mengambil satu hal yang menarik dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama. Dalam konteks bernegara siswa dituntut untuk bisa berperan sebagai warga negara yang baik dan selalu menanamkan sebuah gagasan yang cerdas demi kemajuan negaranya. Disamping itu para peserta didik dituntut untuk bisa berbaur dengan masyarakat yang semua beragam baik dari suku, ras dan multi agama. Artinya perbedaan yang ada bukanlah sebuah sarana perpecahan namun sebaliknya dapat hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya (ukuwah wathoniyah dan ukuwah islamiyah)

TUJUAN PEMBELAJARAN DAN RUANG LINGKUP MATERI AQIDAH AKHLAK Mata pelajaran aqidah akhlak bertujuan untuk meningkatkan dan menumbuhkan keimanan peserta didik yang diwujudkan dalam akhlak yang terpuji, melalui proses pembelajaran sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dan meningkatkan

kualitas keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Cakupan kurikulum pendidikan aqidah akhlak di madrasah tsanawiyah meliputi; aspek aqidah terdiri atas keimanan kepada sifat wajib, mustahil dan jaiz Allah, keimanan kepada kitab Allah, rasul Allah sifat-sifat dan mu’jizatnya dan hari akhir. Aspek akhlak terpuji yang terdiri atas khauf, taubat, tawadlu’, ikhlas, bertauhid, inovatif, kreatif, percaya diri, tekat yang kuat, ta’aruf, ta’awun, tafahum, tasamuh, jujur, adil, amanah, menepati janji, dan bermusyawarah. Aspek akhlak tercela meliputi kufur, syirik, munafik, namimah dan ghibah.

Untuk menjawab berbagai persoalan globalisasi maka pendidikan harus secara massif melakukan berbagai terobosan agar tercipta anak didik yang sesuai dengan cita-cita bangsa. Kurikulum yang merupakan bagian penting dalam lembaga pendidikan sudah memulai perkembangannya melalui berbagai ranah di antaranya ketrampilan, pengetahuan dan sikap, yang dalam kurikulum 2004 ini dinamakan kurikulum berbasis kompetensi . Kompetensi merupakan perpaduan antara pengetahuan, ketrampilan , sikap dan nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berperilaku (Mulyasa, 2004, hlm. 39). Berdasarkan hal di atas maka materi aqidah akhlak disusun dengan landasan Alqurandan sunnah nabi saw.; peserta didik beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt berakhlak mulia yang tercermin dalam prilaku sehari-hari dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia dan alam semesta. Selain itu juga diharapkan agar mampu menjaga kemurnian aqidah Islam memiliki keimanan yang kokoh yang dilandasi dengan dalil-dalil naqli, dalil aqli maupun wijdani serta menjadi pelaku ajaran Islam yang loyal, komitmen dan penuh dedikatif baik untuk keluarga masyarakat bangsa dan agama. Kecakapan yang harus dikuasai peserta didik selama menempuh pendidikan di Madrasah Tsanawiyah dalam hal ini mata pelajaran aqidah akhlak adalah; Meyakini sifatsifat wajib dan mustahil Allah yang nafsiyah dan salbiyah, berakhlak terpuji kepada Allah dan menghindari akhlak tercela kepada Allah dalam kehidupan sehari-hari. Meyakini kitabkitab Allah yang diturunkan kepada para nabi dan rasul serta mempedomani dan mengamalkan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Meyakini dan mengamalkan sifat-sifat wajib dan mustahil Allah yang ma’ani /ma’nawiyah serta sifat jaiz bagi Allah. Berakhlaq terpuji kepada diri sendiri, menghindari akhlak tercela kepada diri sendidri, serta meneladani perilaku kehidupan Rasul/sahabat/ulama dalam kehidupan sehari-hari. Meyakini nabi dan Rasul Allah beserta sifat-sifat dan mu’jizatnya dan meneladani perilaku akhlak nabi Muhamad dalam kehidupan sehari-hari. Meyakini adanya hari akhir dan alam ghaib dalam kehidupan sehari-hari, berakhlak terpuji dan menghindari tercela terhadap lingkungan sosial/sesama manusia dalam masyarakat.

Berakhlak terpuji terhadap lingkungan flora dan fauna serta menghindari akhlak tercela terhadap flora dan fauna serta meneladani akhlak para rosul/sahabat atau ulul amri dalam kehidupan sehari-hari. Pokok-pokok materi pelajaran aqidah akhlak yang sangat fundamental bagi peserta didik ini kemudian dijabarkan dalam buku-buku panduan mengajar. Sesuai dengan tujuan materi aqidah akhlak yaitu untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan peserta didik sehingga akhlak terpuji dapat terwujud dalam kehidupan sehari-hari sangat sesuai dengan esensi tujuan manusia (laki-laki dan perempuan) diciptakan. Hubungan yang harmonis manusia dengan manusia (insaniyah) dan manusia dengan Tuhan (Ilahiyah) adalah kata lain dari tujuan diberikanya materi akhlak pada peserta didik. Dari penjabaran materi diatas tidak bisa ditinggalkan bahwa yang menjadi subjek utama dalam pelaksanaan aqidah akhlak adalah peserta didik Madrasah Tsanawiyah juga merupakan manusia yang mempunyai sejarah penciptaan dan tujuan penciptaan manusia dimuka bumi yang sama antara laki-laki dan perempuan (Toha, 1996, hlm. 62).

Dalam Alquran surat Al Alaq ayat 1-8 dan surat al Mu’minun ayat 12-14 Allah telah berfirman bahwa semua manusia (insan) itu dijadikan dari mani yang kemudian menjadi Alaq (segumpal) daging dan dari daging ini kemudian Allah meniupkan ruh masuk ke dalam jasadnya masing-masing. Dari proses penciptaan manusia ini, jelas sekali bahwa posisi manusia dihadapan Allah adalah setara.

Oleh karena kedudukan manusia yang sama dihadapan Tuhan maka peran akhlak dalam Islam merupakan sesuatu yang sangat vital, karena hanya dengan akhlaklah yang dapat membedakan manusia dihadapan Tuhan. Begitu pentingnya akhlak dalam kehidupan maka para pemikir Islam selalu membincangkannya. Menurut Anwar Al Jundi bahwa ciri-ciri akhlak Islam manusia dapat dirumuskan dalam empat pokok yang mendasar, yaitu : pertama, akhlak Islam berdasarkan pada takwa artinya menjauhi larangan dan menjalankan perintah. Kedua, akhlak Islam adalah akhlak kemasyarakatan dan perseorangan. Ketiga, akhlak Islam sebagai pelengkap segala persoalan baik politik, social, ekonomi, dan pendidikan (Ardi Widodo, 2003, hlm. 168).

Materi Aqidah Akhlak Dalam Buku Ajar MTs

Kehidupan dan peradaban senantiasa mengalami perubahan , untuk merespon hal itu dunia pendidikan khususnya lembaga pendidikan harus selalu melakukan penyempurnaan kurikulum, agar kualitas pendidikan mampu menciptakan kehidupan yang cerdas, damai, terbuka, demokratis, dan mampu bersaing. Madrasah sebagai bagian dari lembaga pendidikan selalu merespon secara proaktif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta tuntutan desentralisasi pewilayahan pendidikan (baca : otonomi sekolah). Inovasi yang dilakukan madrasah ini tak lain agar madrasah memiliki output lulusan yang benar-benar unggul dalam segala lini yang menjadi cita-cita besar sebuah lembaga pendidikan secara umum. Salah satu bentuk inovasi yang dilakukan madrasah di antaranya adalah dengan mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa kurikulum berbasis kompetensi yang berkembang di madrasah didasari landasan sebagai upaya peningkatan kadar pertumbuhan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt serta wahana pengembangan kepribadian yang paripurna (kaffah). Standar ganda ini yang dipergunakan sebagai acuan awal dalam mengembangkan kurikulum aqidah akhlak di madrasah sesuai dengan kebutuhan daerah ataupun madrasah masing-masing. Dengan asumsi yang berkembang dimasyarakat bahwa pendidikan agama (aqidah akhlak) yang menjadikan landasan pengembangan nilai spiritual, maka peranan dan efektivitas pendidikan agama di madrasah harus lebih ditingkatkan lebih baik. Aqidah akhlak di Madrasah Tsanawiyah bukan satu-satunya faktor pembentuk watak dan kepribadian peserta didik. Tetapi secara substansial pelajaran Aqidah Akhlak memiliki kontribusi yang cukup besar dalam memberikan motivasi keberagamaan kepada peserta didik. Di samping itu materi akidah akhlak dijadikan sebagai barometer terkuat dalam mempraktikan nilai-nilai keyakinan keagamaan (tauhid) dan akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari. Dalam juklak Kurikulum Madrasah Tsanawiyah (Standar kompetensi) yang dikeluarkan atas kerjasama Departemen Agama Republik Indonesia dan Departemen Pendidikan Nasional 2004 telah dipaparkan dengan jelas tentang pengertian umum, tujuan materi dan ruang lingkup materi akidah akhlak serta sudah dilakukan proses standarisasi kompetensi bahan kajian, sesuai kondisi keberagamaan peserta didik seluruh Indonesia maka dalam bab ini penulis akan mencoba memaparkan lebih jauh pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam isi silabus tersebut. Sesuai dengan objek yang penulis analisis adalah Aqidah Akhlak, dalam sub bab III ini akan kami sampaikan isi dalam buku pelajaran Aqidah akhlak kelas VII kurikulum 2004

yang dikeluarkan Depag wilayah Jawa Tengah, dalam buku tersebut memuat materi ajar sebagai berikut;

Bab 1 berisi tentang aqidah Islam dengan sub pokok bahasan; Pengertian dasar dan tujuan aqidah Islam, Ruang lingkup aqidah Islam, Contoh perilaku yang sesuai dengan aqidah Islam. Bab II iman kepada Allah ; Sifat-sifat Allah, Sifat-sifat wajib bagi Allah, Sifat-sifat Mustahil bagi Allah. Bab III Iman Kepada Malaikat Penertian iman kepada malaikat,Nama, tugas dan sifat malaikat, Makhluk ghaib selain malaikat, Sikap dan prilaku orang yang beriman kepada malaikat. Bab IV Keteladan Sahabat Rasul, Keberanian dan keteguhan sahabat rosul, Meneladani sikap dan perilaku sahabat rosul dalam kehidupan sehari-hari. Bab V Iman Kepada Kitab Pengertian iman kepada kitab Allah, Tujuan diturunkannya kitab Allah, Sikap dan perilaku orang yang beriman kepada kitab Allah. Bab VI Beriman Kepada AlquranPengertian dan nama-nama al qur’an, Fungsi al qur’an, Pokok-pokok isi kandungan al Qur’an, Keistimewaan al Qur’an, Sikap dan perilaku orang yang beriman kepada al quran. Bab VII keteladanan sahabat Umar Bin Khatab Keteladannan Umar bin Khotob dalam hidup dan beraqidah, Meneladani perilaku Umar Bin Khattab dalam kehidupan sehari-hari (Tim Penyusun, 2004, hlm. 5–6). Materi-materi Aqidah Akhlak diatas merupakan objek yang akan penulis coba analisis secara seksama dengan menggunakan kacamata pendidikan androgene. Bagaimana materimateri tersebut dalam konsep pendidikan androgene dan bagiamana seharusnya konsep yang tepat jika ternyata materi tersebut bertantangan dengan konsep pendidikan androgene.

ANALISIS MATERI AQIDAH AKHLAK PERSPEKTIF PENDIDIKAN ANDROGINI Melihat sekilas pemaparan ini memang kelihatan tidak ada kaitannya sama sekali dengan luaran peserta didik. Namun ketika kita cermati dengan seksama terrdapat hubungan yang cukup signifikan. Ketika dilihat dari focus pembicaraan manusia sebagai subjek percaturan dunia maupun sebagai subjek materi aqidah akhlak. Yang menurut pandangan feminisme manusia dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah entity yang mempunyai tugas yang sama dimuka bumi. Kemudian untuk menjawab dan menunjang keberhasilan manusia dalam menjalankan tugasnya para tokoh pendidikan membuat materi aqidah akhlak sebagai sarana dalam menjalankan tugasnya. dengan perangkat bab 2 penulis mencoba menganalisis materi yang termuat dalam aqidah akhlak sebagai berikut. Dalam buku Aqidah Akhlak 1 yang sudah menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah kelas VII produk dari kantor Departemen Agama Profinsi Jawa Tengah tahun 2004 merupakan penjabaran materi dari silabus materi pelajaran dari Depag RI. Sebagai panduan untuk pengajaran buku tersebut dapat dipilah menjadi beberapa bagian materi pengajaran yaitu contoh perilaku yang sesuai dengan aqidah Islam (13), ciri-ciri dan contoh perilaku orangorang yang beriman kepada sifat wajib Allah Nafsiyah dan Salbiyah (25), cara beriman kepada malaikat (39) & (41), sikap dan perilaku orang yang beriman kepada malaikat (48- 49), keberanian dan keteguhan sahabat Rosul (53), dan meneladani sikap dan perilaku sahabat Rosul dalam kehidupan sehari-hari. Menurut analisis penulis kandungan materi diatas terdapat kejanggalan-kejanggalan yang cukup berarti, tentu saja penulis melihat dari kacamata pendidikan androgini. Masingmasing kejanggalan tersebut berdasarkan pada kalkulasi berdasarkan jumlah seks / jenis kelamin dalam materi yang digunakan baik untuk contoh materi maupun sebagai contoh tokoh utama dalam keteladanan lebih banyak berjenis kelamin laki-laki. Kalimat dibawah ini adalah contoh adanya subordinasi kelamin perempuan : “…Ada seorang siswa MTs, Arif namanya. Suatu ketika ia bersama-sama temannya sedang mengerjakan soal-soal ujian mata pelajaran IPA. Kelihatannya soal-soalnya sangat sulit terbukti ketika ia sedang sedang mengerjakan soal-soal ujian terlihat ia

sambil mengernyitkan dahinya, sesekali ia memegangi dahinya dengan tangan kirinya. Saat itu guru yang mengawasi ujian sedang mengantuk. Walaupun ia punya kesempatan untuk menyontek namun tak sedikit pun mempunyai keinginan untuk berbuat curang. Karena dalam hatinya yakin bahwa walaupun pak guru, teman-teman yang lainnya tidak melihat perbuatannya tetapi ia yakin bahwa Allah akan selalu melihat dan mengawasinya. Ternyata ia lebih takut pada Allah (Tim Penyusun, 2004, hlm. 13).” Kutipan diatas merupakan contoh perilaku yang sesuai dengan aqidah Islam, namun demikian pengambilan contoh tokoh mengisyaratkan bahwa ada kampanye tentang sosok laki-laki yang terkesan lebih bertakwa kepada Allah dan selalu berbuat jujur dan sebaliknya perempuan akan distigma negatif dalam kasus tersebut. “Farid dan Badu bekerja pada pak Arman seorang saudagar yang kaya raya. Farid bekerja dengan tekun dan penuh tanggung jawab. Sekian bulan Farid bekerja tanpa berpikir berapa besar upah yang akan diterima, baginya balasan atau upah bekerja adalah sesuai dengan apa yang dilakukan. Sedangkan Badu sangat berbeda, ia tak pernah menghiraukan majikannya dan bekerja seenaknya sendiri yang selalu diharapkan upah yang besar yang diterimanya. Pada akhir kisah ini sang majikan memberikan upah sesuai adalah mewakili bagian dari sub bab sikap dan perilaku orang yang beriman kepada malaikat) (Penyusun, 2004, hlm. 48).

“ …….Bu Minah pulang dari pasar. Wajahnya begitu ceria. ia banyak membawa barang yang telah dibelinya dari pasar…………”

“…….Yunus kecewa sekali dengan hasil ulangan IPA-nya yang rendah……(Penyusun, 2004, hlm. 41)”

Contoh Farid melakukan pekerjaan dengan senang hati tanpa paksaan sehingga mendapatkan upah berupa uang dan rumah yang sangat bagus, sedangkan Badu dikeluarkan bahkan tidak diberi upah sedikitpun. Gambaran keikhlasan tercermin dalam cerita tersebut namun demikian sekali lagi akan muncul stigma negatif. Dalam kutipan yang kedua nampak sekali pandangan bahwa perempuan terkesan boros dan materialistis dengan penggambaran sosok suka berbelanja dan ceria setelah pulang. Selanjutnya dari contoh beberapa kutipan diatas penulis mencoba menganalisis dengan kacamata gender. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan bersama di antaranya adalah ; dari jumlah kutipan diatas terdapat jumlah penggunaan kata peran yang tidak seimbang bila dilihat dari jenis kelaminnya. Dari 12 manusia yang dijadikan contoh 10 berjenis kelamin laki-laki dan dua di antaranya perempuan (Arif, Farid, Badu, Ahkmad, Hasan, Ali, pak Nur, Pak Akhmad, Pak Abdullah). Identitas jenis kelamin tokoh-tokoh tersebut memang tidak dijelaskan laki-laki atau perempuan namun secara umum bahwa nama-nama tersebut identik dengan laki-laki. Ketidakseimbangan jumlah ini dapat menimbulkan ketidakadilan gender di antaranya dengan dominannya laki-laki menyebabkan ada stigma marginalisasi terhadap penokohan perempuan. Marginalisasi terhadap perempuan dapat mengakibatkan pemiskinan karakter jenis kelamin perempuan. Pemiskinan akan menimbulkan kesan bahwa perempuan memiliki peran yang tidak penting dalam kehidupan yang berakhlakul karimah. Dalam contoh kasus seperti ini Mansour Fakih mengistilahkan dengan bahasa adanya sub ordinat perempuan. Kemudian bila penulis lihat dari sisi peran yang disematkan pada tokoh-tokoh diatas, menunjukkan bahwa dari 10 laki-laki yang menjadi tokoh dalam kutipan diatas, 8 di antaranya berperan sebagai orang baik-baik yang telah melaksanakan ajaran-ajaran Islam

dengan baik. Sedangkan dari dua orang perempuan, satu berperan menjadi orang yang ingkar terhadap ajaran Islam.

Kalkulasi secara global peran “baik” yang diperankan laki-laki ini seakan-akan membenarkan budaya yang ada selama ini yaitu pelabelan negatif (stereotipe) pada perempuan di mana perempuan selalu diidentikan mempunyai banyak dosa. Dengan pelabelan negatif (stereotype) ini, kemudian muncul keengganan untuk mencoba mempublikasikan perempuan pada wilayah-wilayah yang umum. Selain paparan tadi, kutipan-kutipan tersebut secara gamblang menjelaskan bahwa tugas-tugas belanja dibebankan pada bu Minah yang berjenis kelamin perempuan. Kalimat tersebut akan terinternalisasi dalam diri anak yang pada akhirnya akan tertanam dalam diri anak bahwa anak perempuan selalu bertugas diwilayah domestik. Sedangkan pekerjaan publik adalah hak mutlak laki-laki untuk mengerjakannya. Hal ini tercermin dari contoh kalimat :

“…..Pak Nur seorang guru agama, juga menjabat sebagai wali kelas 2…..”

“Hasan seorang pedagang di pasar setiap tiba waktu shalat ia menutup barang dagangan untuk melaksakan shalat. Kedisiplinan dan ketaatannya dalam menjalankan perintah Allah adalah meneladani kedisiplinan dan ketaatannya para malaikat.”

“ Pemilihan kepala desa itu baru selesai. Pak Ahmad terpilih sebagai kepala desa yang baru, setelah dalam pemilihan dapat mengungguli pasangan utamanya yaitu Pak Abdullah.”

Pewilayahan sektor pekerjaan (baca : domestik dan publik) tidak akan menjadi persoalan yang berarti ketika dua jenis pekerjaan itu mendapat pengakuan yang sama bahwa keduannya adalah jenis pekerjaan. Namun akan muncul permasalahan jika keduanya dibedakan menurut jumlah penghasilan yang diterimanya. Ada anggapan berperan di wilayah domestik yang notabene tidak menghasilkan upah adalah bukan melakukan pekerjaan. Alhasil perempuan sering dilabelkan sebagai pelengkap kehidupan dan dalam setiap pengambilan keputusan dalam rumah tangga sering di dominasi oleh laki-laki. Semua ini lantaran budaya yang berkembang bahwa perempuan mempunyai sifat dasar feminine sehingga peran-peran kelembutan dan ketelatenan serta tidak butuh rasio melekat pada diri perempuan.

Pelabelan pada diri bu Minah, Pak Nur, Pak Ahmad, Pak Abdullah dan Hasan secara tidak langsung adalah bentuk pelanggengan status quo (budaya patriarki) dalam masyarakat. Tak heran jika kemudian bagi para feminis liberal maupun radikal bahkan sosialis menjadikan persoalan ini sebagai dasar adanya ketidakadilan jenis kelamin yang selanjutnya harus diperjuangkan kebebasannya.

Dalam wujud gambar berperan di bawah ini terjadi juga dominasi laki-laki Dominasi peran laki-laki dalam materi aqidah akhlak bukan hanya terletak pada jumlah kalimat yang menggunakan nama laki-laki, namun dalam gambar juga terdapat dominasi peran yang digambarkan dengan laki-laki. Seperti : Banyaknya orang yang sedang melaksanakan sholat di masjid untuk membukikan bahwa mereka ingin merasakan ketenangan dan kedamaian dalam hidupnya, Orang yang sedang berpikir dalam berpikir, Pak guru sedang mengawasi ujian, Orang yang sedang berdo’a kepada Allah, Anak-anak sedang belajar membaca Al Qur’an. Perbuatan ini akan dicatat oleh malaikat Rakib, mereka berdo’a bersama dan munajat kepada Allah, Dengan membaca tasbih dan tahmid ia berusaha untuk selalu dekat dengan Allah, Orang yang patuh menjalankan sholat, Arif dan Hamid sedang membincangkan al

qur’an, Beribadah, belajar, dan bekerja mencari ridlo Allah, Kitab suci Al Qur’an, Kalamullah, Kegiatan diskusi dalam rapat.

Pada gambar orang yang sedang berpikir tersebut menengarai bahwa laki-laki adalah makhluk yang rasional. Sebagai makhluk yang rasional maka berbagai peluang prestasi lebih banyak diidentikan laki-laki. Seperti halnya peluang jabatan menjadi pemimpin, karena melihat kepemimpinan membutuhkan rasio maka yang berpeluang menjadi pemimpin adalah laki-laki. Padahal dalam Islam, telah penulis paparkan pada bab dua, perempuan dan lak-laki mempunyai peluang yang sama untuk meraih prestasi. Dari gambar yang lain peran kegiatan peribadatan, juga dapat dikategorikan bias gender, karena peran laki-laki mendominasi peribadatan tersebut. Setelah penulis mencoba menganalisis dan memaparkan dengan uraian tadi, penulis membuat satu kesimpulan bahwa dalam materi akidah akhlak yang diterapkan dalam kurikulum madrasah tsanawiyah masih terdapat bias gender dan sangat bertentangan dengan konsep pendidikan androgene karena praktek-praktek tranformasi keilmuan masih mempunyai unsur-unsur marginalisasi dan pelabelan negatif terhadap peran perempuan dengan dibuktikan adanya kalkulasi contoh materi yang tidak berimbang. Lebih jauh penulis ungkapkan bahwa dari kaidah-kaidah pembelajaran agama telah jelas diterangkan bahwa Islam tidak mengenal istilah pembedaan berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) yang membedakan hanyalah tingkat keimanan seseorang semata, sehingga ilmu sejarah penciptaan manusia perlu ditafsirkan ulang kebenarannya.

Pengaruh Materi Aqidah Akhlak yang Bias Gender Terhadap Peserta Didik Dari paparan di atas, ternyata dalam materi ajar aqidah akhlak masih terdapat ketimpangan-ketimpangan yang ditimbulkan dari adanya perbedaan gender. Terdapat hal yang akan berpengaruh terhadap kondisi psikologis siswa. Berikut penulis paparkan hal-hal tersebut : pertama, Aspek Kognitif. Untuk dapat memahami substansi sebuah ilmu pengetahuan, aspek kognitif (aspek kecerdasan) merupakan landasan awal guna mencapai tujuan ilmu. Dapat berpikir secara luas, memahami informasi yang disampaikan baik secara lisan maupun terrtulis dan juga membuat inovasi-inovasi baru menjadi bagian dari kerja-kerja domestik otak. Guna menunjang peningkatan skill berpikir peserta didik tersebut maka dilengkapi dengan komponen proses pendidikan seperti kurikulum, media Sp, buku pelajaran serta guru. Komponen-komponen tersebut merupakan factor yang cukup dominan dalam pencapaian tujuan pendidikan.

Telah disampaikan bahwa buku materi sebagai salah satu yang menunjang keberhasilan pendidikan maka ketika dalam buku materi tersebut ada pokok bahasan yang bias gender secara tidak langsung akan berimbas pada pelanggenagan budaya-budaya patriakhi yang terbukti selama ini membelenggu perempuan-perempuan Indonesia. Logika yang dipakai pada anak usia anak sekolah SMP (belasan tahun ), kondisi pola pikir masih banyak dipengaruhi pola-pola imitasi. Sebagai makhluk yang baru mencari sebuah kebenaran maka apapun yang ia lihat dan dengarkan akan dimasukkan dalam memori otaknya. Tak terkecuali dengan kasus bias gender dalam buku pelajaran. Jadi dalam aspek kognitif keadaan materi yang salah akan sangat berpengaruh.

Terkondisikannya pola pikir anak dengan ungkapan “ternyata peran laki-laki adalah yang terhebat dan peran perempuan hanya pada wilayah domestik semata“, “laki-laki bertindak sebagai pemimpin keluarga dan perempuan berperan sebagai penjaga rumah” dan “laki-laki mempunyai sifat maskulin (punya kekuatan) dan perempuan mempunyai sifat feminine (mempunyai sifat lembut)” menjadi mainsteam tersendiri. Kedua, Aspek Afektif. Yang dimaksud dengan Afektif di sini adalah bagaimana seorang siswa atau siswi dapat menolak atau menerima sesuatu yang diberikan oleh orang lain, misalnya kasus yang terjadi ketika seorang anak laki-laki enggan diberikan sebuah

boneka yang lucu dan sebaliknya seorang anak perempuan malu jika menggunakan mobilmobilan sebagai mainannya. Di samping itu anggapan bahwa seorang anak laki-laki adalah lebih kuat dibanding perempuan dan anak perempuan mempunyai sifat pemalu sehingga anak laki-laki sering ditunjuk untuk memimpin kelas. Kasus seperti ini adalah salah satu imbas dari penerapan kurikulum pendidikan yang masih dirasa bias gender. Kejadian-kejadian ini akan berkembang menjadi sebuah upaya pemarginalan peran perempuan bila tidak segera dibenahi. Inilah dampak terburuk dari kurikulum yang bias gender yang mana siswa akan mengalami sikap-sikap phobi dalam kancah pesaingan percaturan dunia yang semakin menglobal. Ketiga, aspek psikomotorik. Kecenderungan anak laki-laki yang termotivasi dengan propaganda sebagai makhluk yang kuat (maskulin) telah mengajarkan pada siswa sebuah keinginan yang kuat untuk bisa bergerak secara leluasa dan bebas adalah salah satu contoh imbas penggunaan materi yang bias gender sedangkan dengan stigma makhluk yang lembut (feminine) melahirkan anak perempuan yang lebih cenderung diam dan lamban dalam bergerak serta gampang berputus asa. Perbedaan-perbedaan ini yang menjadi bahan refleksi bersama bahwa penggunaan materi yang masih bias gender akan mengakibatkan sikap dan perilaku seperti yang penulis utarakan diatas.

Konsep Materi Aqidah Akhlak yang Sensitif Gender; Sebuah Tawaran Setelah penulis menganalisis bagaimana materi aqidah akhlak dalam perspektif pendidikan androgene, sesuai dengan tema besar skripsi ini penulis mencoba merefleksikan ulang tentang tawaran konsep pendidikan aqidah akhlak yang terbukti beberapa bagian masih bias gender menjadi pendidikan aqidah akhlak yang sensitif gender. Melihat tujuan yang diharapkan materi aqidah akhlak yaitu untuk meningkatkan mutu keimanan dan ketakwaan sehingga menjadi manusia yang ideal dalam kaitanya dengan hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan, maka perlu digarisbawahi bahwa objek yang menjadi kajian materi aqidah akhlak adalah laki-laki dan perempuan. Berangkat dari asumsi tentang peserta didik yang dikemukakan pada teori konvergensi bahwa yang perlu digarisbahwai adalah bagaimana proses pendidikan berjalan dengan semestinya. Sebagaimana telah dipaparkan pada poin B yang menyatakan bahwa dalam materi aqidah akhlak masih bias gender dan ketika diberikan pada peserta didik akan sangat mempengaruhi baik pola pikir, sikap maupun tingkah laku. Sebagai pemecahan sedikit penlis paparkan konsep pendidikan androgini dalam materi aqidah akhlak sebagai berikut ; Materi ajar aqidah akhlak seharusnya dibuat dengan prinsip kesetaraan antara perempuan dan laki-laki baik dalam jumlah tokoh, peran maupun gambar. Yang dimaksud dengan konsep kesetaraan dalam hal ini penulis lebih cenderung menggunakan kata kesetaraan yang proporsional artinya kesetaraan yang berdasarkan pada tempatnya (sesuai tempatnya). Penulis melihat beberapa teori-teori feminisme yang berkembang saat ini tidak menggunakan asas proporsional, satu contoh adalah teori feminisme radikal yang menyatakan bahwa untuk menghilangkan penindasan terhadap perempuan maka perempuan diharapkan untuk tidak lagi berhubungan dengan lawan jenis.

Ada kesepahaman yang penulis temukan dalam teori feminisme teologi yang menyatakan bahwa konsep kesetaraan berdasarkan pada tujuan akhir dari pendidikan yaitu adanya keberhasilan hidup dunia dan akhirat. Pada hal-hal yang bersifat teologi (baca : keberagamaan), laki-laki dan perempuan memiliki hak untuk “berusaha” mengumpulkan sebuah amal baik yang akan dijadikan wahana infestasi kehidupan selanjutnya yang sama. (Mernisi & Hasan, 1996, hlm. 48) Misalnya, sama untuk melakukan sembahyang, sama untuk berbuat baik kepada orang lain, sama untuk ikut membangun roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kerangka itu pendidikan sebagai sarana pencarian format untuk selalu berusaha yang terbaik tidak boleh mempunyai unsur dominasi secara seksis.

Ditarik ke dalam pokok pembahasan materi aqidah akhlak, untuk menghindari pengkotakan jenis kelamin seperti yang tertuag dalam buku panduan aqidah akhlak, sebaiknya penggunan nama orang akan lebih tepat bila hanya dengan memakai simbol, misalkan dengan pemakaian tanda huruf atau angka. Contoh “ Si A adalah anak yang selalu taat menjalankan ibadah, wajar saja ia sukses dalam usahanya. “, stigma yang muncul kemudian dengan subjek anak si A tidak secara langsung terlihat berjenis kelamin laki-laki atau permpuan, sehingga anak berjenis kelamin apapun dengan sifat imitasinya bisa mencerna dan meneladani tokoh tersebut. Menurut penulis penanaman sifat maskulin dan feminine harus diberikan pada peserta didik dengan jenis kelamin apapun. Sehingga sebagai bentuk dukungan keinginan tersebut perlu diukur dengan menggunakan konsep keseimbangan peran manusia pada materi-materi pelajaran. Namun dalam materi aqidah akhlak di atas masih terdapat pelabelan masingmasing jenis kelamin. Untuk itu perlu diseimbangkan peran-peran yang ada dalam materi aqidah akhlak. Contoh pemasangan gambar yang menggambarkan proses peribadatan harus diseimbangkan, sehingga dapat memunculkan kesan perempuanpun diwajibkan beribadah, sehingga tujuan dari materi aqidah akhlak akan tercapai. Kemudian dalam jumlah peran, pendidikan androgini mempunyai prinsip pembebasan artinya bahwa pendidikan hanya menawarkan gagasan tentang ilmu pengetahuan dan kemudian dipersilahkan seluasnya kepada anak didik untuk memprosesnya (Freire, 2002, hlm. 18). Tidak ada pemaksaan dalam penyampaian materi kaitannya dengan peran atau sifat khususnya yang berkaitan dengan gender. Seperti bahwa laki-laki harus bersifat maskulin yang ditunjang dengan peran-peran yang kuat, dan perempuan harus bersifat feminine yang ditunjang dengan materi yang menggambarkan dalam contoh peran-peran yang lembut. Kesan yang dapat dilihat di dalam panduan materi aqidah akhlak menimbulkan gambaran tentang upaya penggiringan siswa untuk selalu dapat berbuat baik ala buku panduan tersebut padahal masih mempunyai beberapa kelemahan pada penggunaan samplesample gambar. Contohnya peran-peran baik atau publik figure masih banyak didominasi oleh kaum laki-laki sedangkan peran-peran jelak atau marginal banyak dilimpahkan kepada perempuan.

Dengan ditemukannya beberapa kesalahan prosedural ini maka tak berlebihan jika kemudian Paulo Freire mempunyai pandangan bahwa sekolah hanya merupakan ajang tranformasi politik tertentu (human polical atau seks political). Lebih lanjut Freire menyatakan bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan sumber daya menusia yang handal perlu adanya reaktualisasi system pendidikan kearah yang membebaskan, membebaskan dari keterkungkungan nalar berpikir guru dan membebaskan nalar berpikir siswa serta juga membebaskan dari unsur-unsur seksis (Freire, 2001, hlm. 251). Ada hal yang lebih penting dari sekadar pemberian materi yang tidak bias gender peran guru juga perlu mendapatkan sebuah pelatihan tentang apa sesungguhnya gender, selama ini gender masih diartikan sebagai bentuk penolakan kepada kodrat tuhan, ada juga yang mengatakan bahwa membahas gender melawan adat adalah tindakan yang tercela dll. Pemahaman-pemahaman seperti ini masih sangat jarang dilakukan oleh seorang guru maka tak kaget bila kualitas percepatan pendidikan masih menunjukkan angka yang relatif lamban. Beberapa hal ini yang mesti dibenahi secara bersamaan untuk dapat menghasilkan kualitas pendidikan yang baik, unggul dan dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya sehingga masa kejayaan islam yang didambakan oleh setiap insan manusia (beragama islam) akan segera tercapai.

SIMPULAN

Dari hasil pemaparan dan analisis dalam riset ini, penulis dapat menghasilkan beberapa simpulan. Pertama, bahan ajar dalam mata pelajaran aqidah akhlak yang berlaku di

madrasah tsanawiyah, menurut penulis masih banyak temuan isi materi yang menurut konsep pendidikan kekinian (sensitif gender) mengalami bias gender. Hal ini terwakili pada temuan tentang sample-sample (baik itu materi tertulis maupun dalam bentuk gambar) yang masih cenderung merugikan salah satu jenis kelamin yaitu jenis kelamin perempuan. Dampak dari penggunaan sampel tersebut akan sangat membahayakan sisi psikologi pada anak didik. Ketidakadilan gender akan terpupuk secara subur dikalangan masyarakat luas. Kedua, membudayanya ideologi yang tidak sensitive gender membuat para pemerhati gender menyusun berbagai terobosan inovasi kritis sebagai sarana protes terhadap bangunan budayabudaya yang menunjukkan status quo ini. Upaya yang dilakukan guna menghindarkan dari praktek-praktek ketidakadilan adalah melalui perubahan dunia pendidikan. Adalah gambaran tentang konsep pendidikan androgini yaitu pendidikan yang memuat unsur kesetaraan, menjadi hal yang mutlak diperlukan dalam rangka mengkikis habis budaya-budaya patriakhi. Hal ini berangkat dari asumsi peserta didik adalah salah satu generasi mendatang yang akan memimpin dan membangun roda kehidupan baik itu di sektor politik, agama ataupun sektor kemasyarakatan yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Ardi Widodo, S. (2003). Kajian Filosofis Pendidikan Barat dan Islam. Jakarta: Nimas Multima. Baedowi, A. (2005). Tafsir Feminis. Bandung: Nuansa. Baidan, N. (1999). Tafsir Bi Al Ra’yi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Depag RI. (1992). Alqurandan Terjemahannya. Bandung: Gema Risalah. Dewey, J. (2001). Pendidikan dan Pengalaman. Yogyakarta: Pilar. Dwi Astuti, I. (2005, Maret). Pendidikan perspektif gender. Dipresentasikan pada Lokakarya modul pendidikan gender, Karanganyar. Fakih, M. (2001). Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Freire, P. (2001). Menjadi Guru Yang Merdeka. Yogyakarta: LKis. Freire, P. (2002). Poltik Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ibda, Hamidulloh. (2019). Stop Nikah, Ayo Pacaran! Semarang: Formaci. Ismail, N. (2003). Perempuan Dalam Pasungan. Yogyakarta: LKis. Mernisi, F., & Hasan, R. (1996). Setara Dihadapan Allah. Yogyakarta: LSPPA. Muhammad al Buraikan, I. (1997). Pengantar Studi Aqidah Ahlu As-Sunnah wa Al-Jama’ah. Solo: Pustaka Amanah. Mulyasa. (2004). Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik Implementasi dan Inovasi. Bandung: Remaha Rosdakarya. Muthali’in, A. (2001). Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Perss. Partanto, P. A., & Al Barry, M. D. (1994). Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola. Penyusun, T. (2004). Aqidah Akhlak 1 Kurikulum 2004 Berbesis Kompetensi. Semarang: Depag Wilayah Jateng. Pidarta, M. (1994). Perencanaan pendidikan partisipatori dengan pendekatan system. Jakarta: Rineke Cipta. Ramayulis. (1994). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Rineke Cipta. Sadily, H. (1989). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Syalabi, A. (1990). Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Alhusna. Toha, C. (1996). Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

This article is from: