Edisi202

Page 1

Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)

Esei:

Indonesia: KrisisKritikus Sastra oleh Alunk S Tohank

Cerita-Pendek:

Cerita Tentang Suatu Hari yang Biasa Saja

oleh Dadang Ari Murtono Sajak:

- R. Abdul Azis - Mohamad Baihaqi Alkawy

Syair:

Syair Perahu oleh Hamzah Fansuri

Tokoh:

Penyair Emily Dickinson

Lentera:

Sekilas Sejarah Puisi Jepang

Syair:

Syair Melayu Pilihan Tunjuk Ajar dan Nasehat untuk Anak

Rehal:

“Olenka� (Takdir dan Ke-takberdayaan Manusia Melawannya)

Teater:

Jalan Panjang Seni Teater Kita

202 - JULI 2015

www.majalahsagang.com halaman KULITi


halaman KULI KULITii LIITi L Ti


Daftar Isi

Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 202

JULI 2015

tahun XVII

Merindukan Pangkek dan Itak Sampan . 2 Esei Indonesia: KrisisKritikus Sastra oleh Alunk S Tohank ............................... 4 Cerita-Pendek Cerita Tentang Suatu Hari yang Biasa Saja oleh Dadang Ari Murtono ............... 7 Sajak - R. Abdul Azis ....................................... 12 - Mohamad Baihaqi Alkawy .................. 18 Syair Syair Perahu oleh Hamzah Fansuri......26 Tokoh Penyair Emily Dickinson ...................... 31

Series of A No.3 "Marriage" karya Zeng Fanzhi. oil on canvas. 2001 Sumber Int

Lentera Sekilas Sejarah Puisi Jepang ................39 Syair Syair Melayu Pilihan Tunjuk Ajar dan Nasehat untuk Anak ...................... 45 Rehal “Olenka� (Takdir dan Ke-tak-berda yaan Manusia Melawannya) ................. 53 Teater Jalan Panjang Seni Teater Kita ............ 56

Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Dra. Erda Yulfi Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Ilustrator Tetap: Purwanto Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan arus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


Tajuk

Merindukan Pangkek dan Itak Sampan

ANG ANGKEK, atau disebut pangkat, adalah umbut rotan yang dibuat adal makanan, terutama dalam bulan makana puasa. Pangkek, biasanya dibakar, direbus, atau dibuat gulai santan putih udang kecil, namun yang sedap biasanya digulai santan putih dengan ikan sungai yang kecil, seperti sejenis ikan lelan. Di daerah Rokan, pangkek bakar, rebus pangkek, atau pangkek gulai santan putih ini terutama dibuat hanya dalam bulan puasa. ITAK, dalam bahasa Melayu Rokan mungkin sama dengan kata ‘kuih’ (kue), penganan, juadah, yaitu sejenis kuih basah yang agak lembab dan lembut, misalnya itak kelamai, itak talam, itak sampan, dan itak lainnya; itak, kata yang membedakannya dengan kuih kering, seperti kuih bangkit, kuih bingka, kuih loyang, dan kuihkuih lainnya. Jenis itak yang hanya dapat dijumpai dan dimakan dalam puasa, seperti itak sampan, buah inai, buah Melako, dan penganan lainnya. Bulan puasa, kata sebagian orang tidak efektif untuk bekerja. Pernyataan ini, jika pun ada benarnya, tetapi banyak juga tak benarnya. Ketika alm Haji Hasan Junus masih hidup, kami biasa biasa bekerja dalam bulan puasa sampai petang. Dan anehnya

halaman 2

pembicaraan kami setiap masuk bulan puasa adalah membicarakan penganan (itak, juadah, kuih) yang dibuat orang untuk berbuka puasa, serta gulai dan sambal makan setelah berbuka puasa. Dan anehnya juga tradisi membicarakan penganan serta gulai dan sambal berbuka puasa ini tetap saja berlanjut setelah alm HJ meninggal. Suatu hari, Lela tergopoh-gopoh dan terenjut-enjut datang dari belakang gedung Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) menuju tempat duduk kami, yaitu saya dan kawan saya di kantor majalah budaya Sagang, Dantje s Moeis. “Ini Dantje, awak tu kan behajat nak mencubo pangkek,” Lela datang membawak tiga batang pangkek (pangkat) di tangannya. Saya pikir dalam hati, cukuplah tiga batang pangkek untuk dibakar atau untuk dibuat gulai kuah putih. Namun, rupanya Lela hanya memberikan satu batang pangkek kepada kawan saya Dantje ini, itu pun Nampak saya sudah agak tua. “Mana cukup ni”, kata saya dalam hati. “Kisah ini pasti bersambung besok pagi,” kata saya lagi dalam hati. Memang betul, seperti yang sudah saya duga, kisah sebatang pangkek ini berlanjut besok paginya ketika saya dan kawan saya Dantje ke kantor majalah budaya Sagang,


yakni satu bilik yang diberikan tumpangan oleh Akademi Kesenian Melayu Riau atau oleh Dewan Kesenian Riau, tak usahlah dibahas, “pokoknya ada kantor”, kata alm Hasan Junus dulu ketika masih hidup. Besok hari, setelah kejadian sebatang pangkek itu, kisahnya memang besambung. Ketika saya dan Dantje sedang duduk duduk di bangku panjang beranda gedung Akademi Kesenian Melayu Riau, datang Lela sambil menawarkan “Okok, okok, okok”. “Tak de okok okok okok bulan puasa ni de,” celetuk kawan saya Dantje. “Kisah besambung nak dilanjutkan agaknya nih”, pikir saya dalam hati. “Kau apokan pangkek tu Tje,” kata Lela tiba-tiba. “Tak sodop de, anak aku tak mau, pahit kata die,” balas Dantje dengan intonasi yang kacau, pertanda kisah pangkek akan bersambung lagi. “Awak tak pandai cara memasaknyo tak?” balas Lela kembali. “Tak de tak pandai, tak pandai de, pokonye pangkek tu tak sedap,” balas Dantje lagi. Perang berlanjut. Kalau nak buat pangkek bakar atau gulai pangkek santan putih, tak cukup sebatang pangkek do,” kata saya, entah menghasut atau membuat pernyataan yang benar. Karena setahu saya, ketika omak saya masih hidup, membuat gulai pangkek santan putih biasanya paling kurang lima batang pangkek. Kalau bakar pangkek, biasanya omak saya membuat oncah (rencah) potongan lada kutu (cabe rawit), bawang putih, bawang merah dan disiram dengan kecap masin, Mhmm. Lela naik ke atas, ke ruangan kantor Dewan Kesenian Riau, tempatnya bekerja, sembari membawa kotak rokok yang selalu digendongnya kemana-mana, termasuk

bulan puasa Juni-Juli 2015 ini. Sunyi. Seperti sajak Idrus Tintin, Pada mulanya ialah bunyi/ dan akhirnya tak lain sunyi. Tiba-tiba datang mobil mengarah ke gedung Akademi Kesenian Melayu Riau, seperti mendudu saja ke arah saya dan kawan saya Dantje S Moeis yang sedang marah dengan Lela. ”Ini agaknya orang yang hendak mengasih kita duit tu, Pak Dantje,” kata saya membuka sepi. ”Iyalah agaknye, Man,” kata Dantje yang nampak marahnya sudah agak reda. ”Malam tadi die mimpi Datuk die datang dalam mimpi die tu membawa foto kite beduo, yang mengatokan bahwasanya kite bedue ni orang miskin, dan harus kau santuni dengan duit, begitu kato Datu die dalam mimpi die tu. Alamat orang bedue ni di Bandar Serai, biasenye orang bedue ni duduk-duduk di bangku panjang berando gedung Akademi Kesenian Melayu Riau, taulah awak tu. Pokoknye aku tak mau tahu, engkau santuni orang miskin bedue tu, begitu kato Datuk die dalam mimpi die tu, Man,” cerita Dantje. ”Iyo, yo, inilah agaknya rezeki kita bulan puasa ni, Pak Dante,” jawab saya. ”Dapat lima juta jadilah,” kata saya lagi. ”Sabarlah, Man. Orang sabar dikasihi Tuhan.” ”Iyalah, Pak Dantje, kalau dapat duit lima juta tu, saya akan buat gulai pangkek untuk Pak Dantje, dan itak sampan, saya antar ke rumah Pak Dantje, mak tahu Pak Dantje sodopnyo gulai pangkek santan putih dan itak sampan orang Tambusai.” Hmhmm.., . Merindukan gulai pangkek santan putih ikan sungai, dan itak sampan, teringat omak. *** Redaksi

halaman 3


Esei

Indonesia: KrisisKritikus Sastra oleh Alunk S Tohank*

erkem erkembangan sastra belakangan sangat pesat sekali, hingga jumlahnya tak terhitung. Penulispenulis bermunculan dari berbagai l sastra b daerah bahkan bias dikatakan setiap daerah mempunyai puluhan penulis sastra atau pun ratusan. Itu semua bisa kita lihat pada hari sabtu dan minggu, di mana media massa yang ada rubrik sastranya seakan setiap minggu memuat tulisan penyair-penyair dari berbagai daerah.

halaman 4

Penyair-penyair tersebut tidak hanya didominasi oleh penyair tua namun anakanak muda (penulis emula) juga ikut meramaikan persaingan di hari itu. Seakan sastra telah menjadi idola tersendiri di negeri ini, dan itu menjadi kabar baik bagi kesusastraan Indonesia yang mengalami perkembangan dari tahun ketahun. Namun perkembangan itu idak diikuti oleh kritikus sastra, ehingga sastra pada hari ini seakan sepi dant idak ada pergolakan, atau bisa


dikatakan berjalan di tempat. Kenapa demikian? Marilah kita kembali membuka memori masa silam di mana Chairil Anwar muncul sebagai pembawa obor sastra Indonesia pada kisaran tahun 60 an yang kemudian melahirkan nama angkatan 45. Bukankah nama Chairil Anwar sebelumnya tidak pernah kita dengar dan bahkan tidak akan pernah kita kenal seandainya H.B. Jassin tidak membuat pengakuan terhadap sajaksajaknya. Pengakuan H.B. Jassin inilah yang membuat nama Chairil Anwar melangit dan membuat puisi-puisinya di terbitkan di negeri ini. Dari itu maka perlu adanya seorang kritikus yang bis amembahas dan mengkritisi karya sastra yang berlimpah ruah tersebut, agar sastra tidak hanya menjadi perbincangan para sastrawan saja dan hanya selesai di ruang itu pula. Ini yang membuat sastra pada kali ini tidak menarik dan tidak seheroik angkatan 45, sebab melimpahruahnya para sastrawan tidak dibarengi oleh para kritikus sastra. Padahal kita tahu di negeri ini banyak kampus-kampus yang meluluskan mahasiswanya sebagai sarjana satra dan Bahasa Indonesia. Saya kira mereka semua sangat paham tentang teori-teori sastra dan bagaimana cara mengkritisi sebuah karya sastra. Namun kita jarang bahkan tidak menemukan lulusan-lulusan sastra Indonesia yang benar-benar kompeten meneliti sastra Indonesia. Kebanyakan dari mereka setelah menamatkan kuliahnya, berebut menjadi PNS atau guru bahasa Indonesia. Bukankah itu adalah sebuah kenaifan bagi perkembangan sastra itus endiri. Lalu apa gunanya perguruan-perguruan

tinggi mengadakan jurusan sastra kalau Cuma hanya ingin mencetak guru bahasa Indonesia? Inilah juga yang di gelisahkan oleh Saut Situmorang dalam esainya yang berjudul “Dicari: Kritik(us) Sastra Indonesia ”.Di dalam esai tersebut Saut mengatakan, “fakta bahwa dunia sastra Indonesia, mulai sejak zaman Balai Pustaka sampai munculnya antologi CD puisi cyberpunk/ Internet cyberpuitika yang kontroversial di tahun 2002, hanya mengenal satu krisis saja dan itu masih berlangsung sampai hari ini, yaitu krisis kritikus satra”. Interpretasi Saut Situmorang di atas bukan berangkat dari kegalauannya belaka namun hal itu berlandasan pada fakta yang telah terjadi pada kesusastraan negeri ini. Di mana para sarjana-sarjana sastra yang di harapkan bisa menjadi kritikus sastra Indonesia tidak menampakkan keseriusannya untuk meneliti dan mengkritisi karyas astra yang melimpah ruah. Bukankah mereka sudah setiap saat berhadapan dengan berbagai teori-teori sastra tapi kenapa hal ini bisa terjadi, apa yang salah dengan teori-teori tersebut? Saut Situmorang, dengan lantang mengatakan kalau hal tersebut dikarenakan para sarjana-sarjana sastra tidak mempunyai kecerdasan Bahasa. Sehingga para mahasiswa ketika masih berada di bangku kuliah hanya membaca karya-karya terjemahan. Dan kita tahu bagaimana terjemahan sebuah karya sastra tidak cukup untuk kita jadikan acuan sebagai studi yang bersifat“kritikus sastra”. Dari itulah kesusastraan di negeri inis eperti yang di katakan Saut Situmorang “berjalan ditempat”. Karena kritikus sastra adalah sebuah penunjang bagaimana kesusastraan itu mengalami kemajuan dan perkembangan. Sebab sastra bukan

halaman 5


hanya untuk penulis sastra dan penikmat saja, tapi lebih dari itu. Ini mungkin yang menyebabkan karya sastra tidak laku di pasaran dan kurang mendapat tempat di hati masyarakat. Ketidakseimbangan ini menjadi sebuah penyakit yang sangat kronis bagi kesusastraan kita, dimana para sastrawan terus melahirkan generasi dan generasis ehingga banyak setiap tahunnya kita di hadapkan pada nama-nama baru dalam dunia kesusastraan negeri ini. Dan karya-karya berserakan di mana-mana tapi tak satu pun dari karya tersebut yang menjadif enomenal dan menggugah. Saya kira hal tersebut terjadi karena Indonesia mengalami krisis kritikus sastra, sehingga para sastrawan baik pemula atau yang sudah udzur dengan enak dan bebasnya

menghasilkan karya sastra baik berupa cerita-pendek, puisi dan naskah teater. Itu karena karya mereka tidak ada yang membendung atau mengkritisinya sehingga mereka tidak mempunyai masalah apaapa dengan karya yang dihasilkan tersebut. Seandainya kritikus sastra seimbang dengan para sastrawan, saya kira para sastrawan tidak akan segampang itu menerbitkan karyanya. Ini yang akan membuat kesusastraan kita berkembang, tidak hanya karena banyaknya karya sastra yang muncul setiap minggunya atau antologi setiap bulannya. Namun juga kualitas yang akan kita temukan, karena mereka (sastrawan) akan benar-benar serius dalam melahirkan karya sastra. Tidak seperti sekarang yang melimpah ruah tapi tidak mempunyai kualitas yang mumpuni.

*Alunk S Tohank, esaisaktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY).

halaman 6


Cerita-Pendek

Cerita Tentang Suatu Hari yang Biasa Saja oleh Dadang Ari Murtono

a saya, adalah rutinitas belaka. Pagi, beberapa saat ari ssetelah orang-orang pulang dari langgar menunaikan sub subuh berjamaah, saya berusaha memejamkan mata. Saya insomnia akut. Tak pernah bisa tidur ketika hari masih gelap. Siang, ketika dari langgar terdengar adzan yang serak dan berat, adzan yang dikumandangkan takmir tua meski si takmir tahu, tidak bakal ada orang yang akan datang. Tentu saja, pada akhirnya, hanya ia sendiri yang sembahyang di sana. Saya bangun. Merebus air. Membikin kopi. Menyalakan komputer. Kemudian menulis. Hingga magrib tiba. Saya membaca. Membaca apa pun yang ada di kamar. Tak peduli tumpukan buku-buku itu sudah saya baca sebelumnya. Saya paling suka membaca buku puisi meski saya seorang penulis prosa. Kata seorang penyair, membaca puisi itu menghentikan waktu. Ah, barangkali kesukaan saya itu berhubungan dengan pengalaman saya sendiri. Sejak dulu, ingin benar saya menjadi penyair. Tapi saya selau merasa gagal setiap menulis puisi. Itulah sebabnya saya beralih menulis prosa. Cerpen atau novel. Larut malam, ketika kebanyakan orang tidur, saya melanjutkan menulis. Sampai pagi. Begitu terus. Rutinitas yang biasa saja.

halaman 7


Hari itu, hari yang saya tulis dalam cerita ini, juga hari yang biasa sesungguhnya. Bangun tidur, saya menghidupkan komputer. Ingin menulis. Biasanya, selalu ada hal aneh yang terbersit ketika saya menyalakan komputer. Hal aneh yang saya tak tahu dari mana berasal. Tapi terus menggoda saya. Seakan berkata, “tulislah aku. Tulislah aku.� Hari itu, tiba-tiba, saya seperti melihat seorang penulis tua tengah tersenyum di layar komputer saya. Senyum yang persis benar ketika saya bertemu dengannya suatu hari di masa lampau. Senyum setelah si penulis tua itu berkata, “kau tidak bakal kehabisan bahan cerita. Semua yang ada di sekitarmu adalah bahan cerita itu. Kau tak perlu mengarang-ngarang konflik untuk membuat ceritamu bagus. Kau tak perlu peduli pada teori-teori penulisan cerita yang pernah kaubaca. Kau hanya perlu bercerita saja. Cerita apa pun. Mari, kita kembalikan cerita kepada cerita. Mari kita biarkan ia menjadi diri sendiri tanpa menanggung konflik. Tanpa menanggung amanat-amanat. Biarlah ceritamu mengalir saja. Biarkan cerita menjadi diri sendiri. Diri yang tak perlu dipoles-poles semata untuk kegenitan penulis.� Tiba-tiba saya teringat ucapan itu. Dan ingin menulis sesuatu yang lain yang berbeda dari cerita-cerita yang biasa saya tulis. Saya menulis tentang hari itu. Saya ingin membikin kopi. Tapi gula habis. Saya pergi ke warung. Jaraknya 200 meter dari rumah. Saya jalan kaki. Di jalan, tetangga saya tengah duduk-duduk di depan rumahnya. Duduk-duduk dengan beberapa ibu rumahtangga. Sepertinya, mereka tengah bergosip. Saya tidak tahu apa yang mereka gosipkan. Dan saya juga tidak berminat menanyakan kepada mereka apa yang tengah mereka bicarakan. Tapi saya tergoda untuk menerka-nerka sendiri apa yang tengah mereka bicarakan. Dan terkaan saya langsung menuju pada Solikin. Solikin yang selama beberapa waktu menjadi buah bibir orang sekampung. Solikin yang pengangguran. Solikin yang tiap hari kerjanya mabuk di gerbang kampung. Solikin yang tiba-tiba, membawa lari anak gadis orang dari kampung seberang. Kabarnya, Solikin menggunakan ilmu pelet untuk membuat si gadis yang terkenal sebagai kembang kampung itu tergila-gila dan mau kabur dengannya. Orangtua si gadis marah. Dan mendatangi orangtua Solikin. Lalu memaki-maki di sana. Orangtua Solikin juga sedih dengan kejadian itu. Tapi apa boleh buat. Nasi sudah jadi bubur. Solikin dan gadis itu telah pergi. Dan tak ada yang tahu di mana mereka kini berada. Orang-orang hanya bisa membicarakannya. Terus membicarakannya semata sebagai pembunuh waktu. Ibu-ibu tetangga saya itu tersenyum ketika saya menyapa mereka.

halaman 8


Hanya senyum. Tapi itu sudah cukup. Lagipula, sapaan saya itu juga semata basa-basi. Di kampung seperti ini, di mana setiap orang saling mengenal, berpapasan jalan tanpa menyapa akan dianggap orang sombong. Lalu dijadikan bahan gunjing. Lalu dikucilkan. Saya meneruskan berjalan. Berpapasan dengan dua orang teman yang berboncengan motor. Teman yang dulu juga sekelas dengan saya ketika masih SD. Yang satu, yang menyetir motor, bekerja sebagai buruh pabrik sarung di kota selepas tamat STM. Yang satu lagi, yang dibonceng, lebih beruntung, bisa kuliah di kota, dan kini menjadi guru di SD kami dulu. Melihat kawan saya mengendarai motor, saya merasa iri. Perasaan iri yang terus saja menyerang setiap kali saya melihat orang mengendarai motor. Dan rasa iri itu bukan disebabkan saya tidak mempunyai motor. Jaman sekarang, bahkan bagi buruh tani sekalipun, tak sulit untuk punya motor. Lihatlah, di mana-mana, dealer-dealer motor berlomba menyediakan layanan kredit dengan uang muka yang rendah sekali. Bahkan, ada yang tanpa uang muka. Saya, tentu saja bisa mendapatkan kredit motor bila mau. Tapi tidak. Saya tidak mempunyai motor. Dan merasa tak bakal membeli motor. Sebabnya,

halaman 9


saya tidak bisa menyetir. Saya sudah berulang belajar. Tapi jatuh lagi. Jatuh lagi. Dan jatuh lagi. Hingga pada akhirnya, setelah tulang lengan saya patah karena kecelakaan ketika belajar menggunakaan motor saudara sepupu saya, saya memutuskan untuk tidak lagi belajar. Akan sia-sia semata. Hingga hari ini, ke mana-mana, saya selalu duduk di boncengan. Di warung, beberapa lelaki duduk menghadapi gelas-gelas kopi setengah kosong. Dari mulut mereka, asap rokok keluar tak hentihenti. Mereka orang-orang yang baru pulang dari sawah. Celananya kotor berlumpur. Tangannya kasar dan tebal karena tiap hari berurusan dengan cangkul dan sabit. Mereka ngobrol ke sana ke mari. Seperti ketika saya menyapa ibu-ibu yang tengah bergosip di teras rumah, saya juga hanya menyapa mereka. Sekadar basa-basi. Saya tidak ingin menanyakan apa yang tengah mereka bicarakan. Hanya membuang waktu saja, pikir saya. Paling yang mereka bicarakan adalah harga bawang yang murah. Kubis yang dikerat ulat daun. Atau harga pupuk yang terus naik. Mereka mengeluh. Semua harga naik. Tapi kenapa harga tanaman-tanaman mereka terus turun. Apakah itu taktik dagang para tengkulak? Mereka juga mengeluhkan SPP anak mereka yang kian bulan kian mahal. Mereka bicara sambil terus merokok. Rokok yang harga sebungkusnya sama dengan harga beras satu setengah kilogram. Saya tersenyum. Mereka juga tersenyum. Pemilik warung mengangsurkan seplastik gula yang beratnya seperempat kilo. Saya merogoh kantong. Mengeluarkan selembar limapuluhribuan. “Wah, kelihatannya tidak bekerja, tapi kok uangnya besar sekali ya?� kata si pemilik warung sambil menghitung jumlah kembalian. Saya tersenyum. “Ngingu tuyul ya?� tambahnya lagi. Orang-orang yang mendengar tertawa. Saya tidak marah. Saya tahu itu cuma gurauan. Bukan pertama kali ini saja si pemilik warung mengucapkan hal seperti itu. Selalu, setiap saya membayar dengan pecahan limapuluh ribuan ketika membeli di sana, ia berkata seperti itu. Saya maklum bila banyak orang yang menganggap saya tidak bekerja. Bahwa saya adalah pengangguran yang betah berdiam di kamar. Dulu, saya bilang kalau saya tidak nganggur. Kalau saya bekerja. Menulis. Tapi di kampung ini, pengertian bekerja adalah menggarap sawah. Atau memburuh di pabrik. Atau sebagai pegawai negeri. Bukan menulis. Bukan berdiam di rumah. Saya pulang setelah uang kembalian saya terima. Saya tidak berpapasan dengan siapa pun dalam perjalanan pulang. Ibu-ibu tetangga saya juga sudah bubar. Barangkali mereka juga pulang ke

halaman 10


rumah masing-masing untuk menyiapkan makan siang bagi suami mereka yang pulang dari bekerja. Saya hendak merebus air. Membikin kopi. Tapi sial. PDAM mati. Tidak ada setetes pun air yang keluar dari kran. Saya memaki, “anjing!” Saya kembali ke depan komputer. Memutar musik. Saya urung menulis. Tidak ada kopi membuat saya kehilangan gairah untuk menulis. Saya melamun sambil mendengarkan musikalisasi puisi. “Bagaimana si penyair ini bisa menulis puisi yang demikian indah?” gumam saya. Salah satu puisi yang dimusikalisasi ini pernah saya kirim kepada kekasih saya. Bertahun-tahun yang lalu. Kekasih saya suka sekali. Dan berkata, “besok-besok, saya ingin kiriman puisi yang kautulis sendiri. Bukan puisi orang lain.” Saya menyanggupi. Tapi sampai sekarang, sampai hubungan kami berakhir, saya tidak pernah mengiriminya puisi yang saya tulis sendiri. Saya penyair gagal. Hujan tiba-tiba turun. Atap bocor. Tetesan air itu jatuh tepat di monitor komputer saya. “Sial,” maki saya. Buru-buru komputer saya matikan. Lalu saya pindah ke tempat yang tidak bocor. Atap ini tidak biasanya bocor. Tapi hujan kali ini memang deras. Dan barangkali itu yang membuat atap ini bocor. Setelah komputer saya amankan ke tempat yang tidak bocor, saya ingin menghidupkannya lagi. Tapi listrik mati. “Gila,” maki saya. Saya tiduran di kasur. Tapi kemudian benar-benar tertidur. Sudah gelap ketika saya bangun. Listrik sudah menyala. Kran sudah bisa mengalirkan air. Saya menghidupkan komputer. Saya bikin kopi. Saya duduk menghadap komputer. Ingin menulis lagi. Lalu saya menulis. Menulis apa yang saya alami seharian ini. Hari yang tak istimewa. Hari yang sama saja dengan hari-hari yang lain. Subuh nanti, cerita ini pastinya sudah selesai. Dan saya akan tidur lagi. Mengulang rutinitas yang sama.

Dadang Ari Murtono Lahir dan tinggal di Mojokerto. Sebagian tulisannya pernah terbit di beberapa surat kabar, majalah dan jurnal seperti Jawa Pos, Republika, Surabaya Post, Kendari Post, Bangka Post, dll. Sebagian yang lain menjadi bagian dari antologi bersama seperti Medan Puisi, Pasar yang Terjadi pada Malam Hari (antologi penyair mutakhir Jawa Timur 2), Manifesto Illusionisme, dll.

halaman 11


Sajak

R. Abdul Azis Bulan Tanpa Bingkai Pertemuan Bulan Pertemuan Remaja Kembang Ingatan Filantropi An

R. ABDUL AZIS Lahir di Bandung, 21 Pebruari 1993. Tinggal di Bandung. Bergiat di komunitas NBC Bandung, emPERAN dan ASAS UPI Beberapa puisi pernah di Pikiran Rakyat, Haluan Kepri, Sastra Digital, Radar Seni dll. Beberapa puisi tergabung dalam Antologi Sihir Pesisir (2012), mengikuti pertemuan penyair lintas daerah dan antologinya masuk ke dalam antologi bersama “Indonesia dalam titik 13� (2013)

halaman 12


Bulan Tanpa Bingkai : Riri Febrian

Katakan padaku kau ingin seperti bulan memeluk bumi di kejauhan dengan jarak yang masih bisa kupandang Kadang purnama, bulat pucat, mengagumkan kadang gerhana, menutupi kepasrahan cahaya Lalu dua puluh enam puisi melahirkanmu dalam perasaan tak karuan, bimbang menimang bintang. Akulah pelukis yang beristrikan malam membiarkanmu sendirian tanpa bingkai sebebas langit, tak berbatas cita manusia biasa Dengan tinta pengakuan dan kuas kerinduan terlukis dirimu hampir sempurna Agar sesuatu yang terlanjur kuketahui akan tetap menjadi rahasia kita dan semuanya senantiasa luar biasa

halaman 13


Pertemuan Bulan : Fajar M. F dan Willy F. A

Bulan, kau adalah alasan mengapa kita harus dipertemukan dalam ritual peperangan bolpoin Sebab silau matahari dengan kopi bukan ramuan perenungan yang baik, untuk perangsang syahwat syair ada apa dalam kota dan cinta kita yang terlanjur porak-poranda? Seorang penyair berselisih dengan kekasih lantas mencipta bunga dari formasi kata Bukan itu bulan, syair bukan sisir untuk penyolek saja syair juga cermin pemikiran diri siapa yang belum benar-benar kotor yang rambut tenaganya belum rontok untuk memanjangkan kenangan dan melawan kutu penindasan

halaman 14


Pertemuan Remaja : Riri F. dan S. Ariyanti

Runtuhan siang, kelopak matahari tersungkur di wajahmu. Langsat mulia. Bersama sepotong roti, kita tak banyak mengunyah kata demi kata Malah kita mulai bangun kalimat curiga dari secangkir perasaan, dipesan seperti kopi. Berbatang rokok terisap, terisak pertemuan remaja saat seseorang kuhidupkan lagi di bawah bayang-bayang Kita menangkap gelisah di meja yang kehabisan usia dan sofa sudah tak ramah pada punggungku Rencana selanjutnya, menuduh bulan yang kekanakan sambil bergandeng tangan Kita lantas pergi untuk saling merindukan yang kau sebut itu pulang.

halaman 15


Kembang Ingatan

Kembang ingatan, mekar di kapita semerah bibirmu yang membekas berjulai-julai. Daunnya menyongsong napas kesegaran, merambat dalam dada yang dingin. Kembang ingatan, jatuh pada bayang-bayang meninggalkanmu begitu terlepas.

halaman 16


Filantropi Anulir

Tidak apa-apa, bila kau akan bersuami malam dengan kunangkunang kematian sebagai saksi pernikahan abad ini. Aku siap mencintaimu pagi hari, saat kokok menjawab mimpi buruk seseorang dengan mulut kesumatnya. Demi setan, siang pun siap berkobar cemburu melihat bibirmu yang mengulum seyumnya. Tidak apa-apa, bila kau siap mendaratkan pesawat surat di alamat yang pernah kau kenal sebagai pembual. Aku mampu merencanakan pembunuhan, saat tak ada satupun hadiah yang cocok. Agar tuhan mempertemukan kita di negeri bahaya, dengan senjata di hati masing-masing.

halaman 17


Sajak

Mohamad Baihaqi Alkawy Gelas Kopi Piring Kotor Sendok Patah Kuali Gosong Ikan di Kaleng Sarden Kecap Hitam Tragedi Dapur

Mohamad Baihaqi Alkawy Lahir di Toro Penujak, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 9 Mei 1991. Aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ro’yuna IAIN Mataram. Selain puisi juga banyak menulis artikel di Bali Post, Suara NTB, Radar Lombok, dll. Juga Tersimpan dalam Antologi Bersama, dari Takhalli sampai Temaram (2012).

halaman 18


Gelas Kopi

begitulah bentukku melingkar berlubang dalamsedalam galian yang kau taklukkan di udara tapi pada dindingku begitu bening menyambut kedatangan para peziarah air yang menyisakan dedak-dedak hitam sehitam bising yang mengotori hening bersihkan aku biar kembali berdering sesering mungkin mengeluarkan segurat cahaya di kening agar kau bisa bercermin sesuci pagi dan menemukan bayangan seseorang lelaki mengering dari air yang selalu mengalir di dinding ke dinding jika waktunya tiba, kau akan menemukan dinding memipih sebab kopi pagi selalu menghangatkanku setelah itu, kadang kau cuci sedini waktu agar secepat mungkin digunakan secara rutin: menyambut tibanya para peziarah air mengalir. dan waktu melingkar serupa bentukku

halaman 19


Piring Kotor

aku selapang tangan menengadahkan doa atas perjalanan sia-sia membagi percuma apakah sejarah doa itu selalu kelam melegam merambat ke setiap jalan setelah garpu dan jari-jari menggerayangiku tanpa bertanya kenapa harus aku? bahkan setiap tamu selalu terbentuk palsu: ada yang melentur, teriris, atau bahkan tertumbuk. tapi untunglah seseorang selalu membersihkanku dari perasangka-perasangka murka semisal doa yang mengalir ke sepanjang selokan bersama sisa percakapan dengan tamu-tamu yang tak sempat dikenal. memang, kedatangan adalah kebahagian tersingkat. namun ia melekat walau tak tampak pada tubuhku, selalu aku serap diam-diam jika ada yang tertinggal setelah pemandian akulah amsal tangan yang tak habis-habisnya memanjat doa.

halaman 20


Sendok Patah

hei, tuntun aku kemana pun arah matamu sebab wajahku terlalu pipih untuk menatap langkah atau mengambil hikmah dan mengantarnya ke setiap nafsu. kadang aku harus memecahkan segumpal daging dan rahasia sebutir nasi yang kecewa menjadikannya rangkaian kata indah tak kenal lelah ah, kadang memang aku terlalu mulia membayangkan diri selalu terbang ke arah goa di mana liurmu menghabiskan segala yang dibawa kemudian aku, hanya kecewa dan menjadikannya kata-kata yang semakin merana kembali terbayang jika seandainya aku patah apakah kau menjadikanku hikmah? tapi tak apalah, jika segalanya kau anggap percuma sebab yang tersisa hanya desah-desah menunggu tibanya merekah, pun jika itu pantas. mahirkan aku menuju goa!

halaman 21


Kuali Gosong

seluruh tubuhku adalah panas tersulut api bersumbu-sumbu di perjalanan menuju ke rumah yang paling tentram tuanku selalu curiga jika seluruh tubuh terisi maka dengan segera ia memegang tangan dan menghangatkanku kembali: seluruh tubuhku menjalar api semerah amarah yang terpendam dalam diam tapi barangkali waktu menghitamkanku dan sesegara melapuk. padahal tubuhku adalah baja yang tak pernah murka pada kejatuhan apalagi bosan dalam amarah yang selalu tersimpan. ada suatu saat aku harus mendingin menunggu tubuhku terisi oleh kitab-kitab sayur, ilmu air, dan hikmah padi. adakah yang mengerti di tengah perjalanan menuju api kepalaku selalu merunduk kaku sebab aku malu menampakkan diri. barangkali hikmah padi telah mengajarkanku bagaimana memendam nafsu jika aku terlalu panas atau kesabaran menunggu yang tak pernah tuntas. seluruh tubuhku adalah panas sebagai perantaraan menuju hidup yang keras.

halaman 22


Ikan di Kaleng Sarden

ia ditemukan di setiap tikungan menuju bendungan mencari tempat di mana nelayan akan melabuhkan pendaratan tak derguga. sebab seluruh hasilnya pingsan kaleng sarden selalu terbuka menerima ikan yang tergelepar memandang garam menghitam di tubuh ikan saos dan segala sebangsanya meneggelamkan lumpur merah, berarti darah. tapi darah ikan telah hilang mengalir di ombak lautan ikan sungguh tak mendengar bunyi rahasia ombak jika terhempas ke daratan menjadi ribuan busa, begitu muram meski ia pendam. tapi itulah darah kaleng sarden masih menunggu para ikan-ikan masuk ke lubang lumpur darahnya. menjadi tempat rahasia jika ingin bertapa merenungi setiap pencarian ikan yang selalu penasaran rupa dan luas lautan, padahal bukankah ikan hidup di sepanjang lautan? tapi nasib terlanjur jadi galib di mana ikan akan menemukan diri melengkung terkubur di kaleng sarden yang bernasib mujur sebelum ikan dan lumpur terkuras dan menemukan ikan sarden tergelepar di setiap ruas tikungan menuju bendungan.

halaman 23


Kecap Hitam

lelaki hitam, lelaki kelam, tapi akulah si manis, selalu menawarkan diri pada setiap tubuh terzalimi tubuh yang layu, melentur seperti bubur maka akulah si manis, meski aromaku amis tapi jangan menduga jika aku paling sadis sebab aku tercipta dari butiran-butiran kenangan yang telah terbuka pada cangkangnya begitulah bentukku seperti tangis: mencair dengan warnaku yang paling jujur jika demikian, buat apa aku mengubah diri jadi bening sebening air mata sebut si manis jika aku mampu menjadikan setiap panas jadi ramah setiap asin jadi kering lihatlah segala cairanku selalu diserap dan disimpan dalam-dalam. agar aku tak kelihatan rasakanlah jika lidah masih peka membedakan keciprat cairan. barangkali agar aku selalu dikenang.

halaman 24


Tragedi Dapur

di dapur, masih sepi sebab tak ada mulut berbisik apalagi berteriak di tengah pembantian di setiap pagi, siang, bahkan menjelang malam menghening di sekejur ruas tubuh. meski beberapa benda telah merapuh menempuh perjalanan muda sampai melumut dan tersangkut siapa yang mampu mendengar panggilan kesedihan dari para penakluk tajam pisau, merah api, keras penggiliq kadang tak segan menyentuh deras rintih malam. di mana ia terlalu bosan oleh aktivitas memuakkan ah, sebenarnya ia sudah tak tahan, mengerang, dan mendesah sampai jarak terjauh terbawa arah angin di dinding-dinding ia begitu berapi-api di sekeliling aroma kesedihan terhirup jendela di waktu siang untuk segera melemparnya ke luar halaman. di tempat ini, tak ada yang mendengar derita. hanya bunyi pembantaian kala waktunya akan tiba.

halaman 25


Syair

Syair Perahu oleh Hamzah Fansuri Hamzah Fansuri, seorang ulama sufi Aceh abad 16. Syair Perahu merupakan syair Melayu klasik yang awal ,bertuliskan huruf ArabMelayu. Dalam buku Puisi Lama Sutan Takdir Alisyahbana memuat tentang Syair Perahu Hamzah Fansuri ini. Sebagai kenangan kepada Hamzah Fansuri, dan sebagai syair pelajaran dan pendidikan, kami muat kembali syair ini, semoga berguna untuk siapa saja. Red Inilah gerangan suatu madah mengarangkan syair terlalu indah, membetuli jalan tempat berpindah, di sanalah i’tikat diperbetuli sudah Wahai muda kenali dirimu, ialah perahu tamsil tubuhmu, tiadalah berapa lama hidupmu, ke akhirat jua kekal diammu. Hai muda arif-budiman, hasilkan kemudi dengan pedoman, alat perahumu jua kerjakan, itulah jalan membetuli insan. Perteguh jua alat perahumu, hasilkan bekal air dan kayu, dayung pengayuh taruh di situ, supaya laju perahumu itu Sudahlah hasil kayu dan ayar, angkatlah pula sauh dan layar, pada beras bekal jantanlah taksir, niscaya sempurna jalan yang kabir.

halaman 26


Perteguh jua alat perahumu, muaranya sempit tempatmu lalu, banyaklah di sana ikan dan hiu, menanti perahumu lalu dari situ. Muaranya dalam, ikanpun banyak, di sanalah perahu karam dan rusak, karangnya tajam seperti tombak ke atas pasir kamu tersesak. Ketahui olehmu hai anak dagang riaknya rencam ombaknya karang ikanpun banyak datang menyarang hendak membawa ke tengah sawang. Muaranya itu terlalu sempit, di manakan lalu sampan dan rakit jikalau ada pedoman dikapit, sempurnalah jalan terlalu ba’id. Baiklah perahu engkau perteguh, hasilkan pendapat dengan tali sauh, anginnya keras ombaknya cabuh, pulaunya jauh tempat berlabuh. Lengkapkan pendarat dan tali sauh, derasmu banyak bertemu musuh, selebu rencam ombaknya cabuh, La ilaha illallahu akan tali yang teguh. Barang siapa bergantung di situ, teduhlah selebu yang rencam itu pedoman betuli perahumu laju, selamat engkau ke pulau itu. La ilaha illallahu jua yang engkau ikut, di laut keras dan topan ribut, hiu dan paus di belakang menurut, pertetaplah kemudi jangan terkejut. Laut Silan terlalu dalam, di sanalah perahu rusak dan karam, sungguhpun banyak di sana menyelam, larang mendapat permata nilam.

halaman 27


Laut Silan wahid al kahhar, riaknya rencam ombaknya besar, anginnya songsongan membelok sengkar perbaik kemudi jangan berkisar. Itulah laut yang maha indah, ke sanalah kita semuanya berpindah, hasilkan bekal kayu dan juadah selamatlah engkau sempurna musyahadah. Silan itu ombaknya kisah, banyaklah akan ke sana berpindah, topan dan ribut terlalu ‘azamah, perbetuli pedoman jangan berubah. Laut Kulzum terlalu dalam, ombaknya muhit pada sekalian alam banyaklah di sana rusak dan karam, perbaiki na’am, siang dan malam. Ingati sungguh siang dan malam, lautnya deras bertambah dalam, anginpun keras, ombaknya rencam, ingati perahu jangan tenggelam. Jikalau engkau ingati sungguh, angin yang keras menjadi teduh tambahan selalu tetap yang cabuh selamat engkau ke pulau itu berlabuh. Sampailah ahad dengan masanya, datanglah angin dengan paksanya, belajar perahu sidang budimannya, berlayar itu dengan kelengkapannya. Wujud Allah nama perahunya, ilmu Allah akan [dayungnya] iman Allah nama kemudinya, “yakin akan Allah” nama pawangnya. “Taharat dan istinja’” nama lantainya, “kufur dan masiat” air ruangnya, tawakkul akan Allah jurubatunya tauhid itu akan sauhnya.

halaman 28


Salat akan nabi tali bubutannya, istigfar Allah akan layarnya, “Allahu Akbar” nama anginnya, subhan Allah akan lajunya. “Wallahu a’lam” nama rantaunya, “iradat Allah” nama bandarnya, “kudrat Allah” nama labuhannya, “surga jannat an naim nama negerinya. Karangan ini suatu madah, mengarangkan syair tempat berpindah, di dalam dunia janganlah tam’ah, di dalam kubur berkhalwat sudah. Kenali dirimu di dalam kubur, badan seorang hanya tersungkur dengan siapa lawan bertutur? di balik papan badan terhancur. Di dalam dunia banyaklah mamang, ke akhirat jua tempatmu pulang, janganlah disusahi emas dan uang, itulah membawa badan terbuang. Tuntuti ilmu jangan kepalang, di dalam kubur terbaring seorang, Munkar wa Nakir ke sana datang, menanyakan jikalau ada engkau sembahyang. Tongkatnya lekat tiada terhisab, badanmu remuk siksa dan azab, akalmu itu hilang dan lenyap, (baris ini tidak terbaca) Munkar wa Nakir bukan kepalang, suaranya merdu bertambah garang, tongkatnya besar terlalu panjang, cabuknya banyak tiada terbilang. Kenali dirimu, hai anak dagang! di balik papan tidur telentang, kelam dan dingin bukan kepalang, dengan siapa lawan berbincang?

halaman 29


La ilaha illallahu itulah firman, Tuhan itulah pergantungan alam sekalian, iman tersurat pada hati insap, siang dan malam jangan dilalaikan. La ilaha illallahu itu terlalu nyata, tauhid ma’rifat semata-mata, memandang yang gaib semuanya rata, lenyapkan ke sana sekalian kita. La ilaha illallahu itu janganlah kaupermudah-mudah, sekalian makhluk ke sana berpindah, da’im dan ka’im jangan berubah, khalak di sana dengan La ilaha illallahu. La ilaha illallahu itu jangan kaulalaikan, siang dan malam jangan kau sunyikan, selama hidup juga engkau pakaikan, Allah dan rasul juga yang menyampaikan. La ilaha illallahu itu kata yang teguh, memadamkan cahaya sekalian rusuh, jin dan syaitan sekalian musuh, hendak membawa dia bersungguh-sungguh. La ilaha illallahu itu kesudahan kata, tauhid ma’rifat semata-mata. hapuskan hendak sekalian perkara, hamba dan Tuhan tiada berbeda. La ilaha illallahu itu tempat mengintai, medan yang kadim tempat berdamai, wujud Allah terlalu bitai, siang dan malam jangan bercerai. La ilaha illallahu itu tempat musyahadah, menyatakan tauhid jangan berubah, sempurnalah jalan iman yang mudah, pertemuan Tuhan terlalu susah.

halaman 30


Tokoh

Penyair Emily Dickinson

Emily Dickinson, sering disalahejakan sebagai Emily Dickenson adalah penyair Amerika Serikat. Ia terkenal atas puisi-puisinya pada masa lalu. Hampir 1800 puisi yang telah ditulisnya dan terkenal hingga hari ini. Ia berasal dari negara bagian Massachusetts. Lahir: 10 Desember 1830, Amherst, Massachusetts, Amerika. Meninggal: 15 Mei 1886, Amherst, Massachusetts, Amerika Orang tua: Edward Dickinson, Emily Norcross Dickinson. Saudara kandung: Lavinia Norcross Dickinson, William Austin Dickinson.

Emily Dickinson adalah salah seorang penyair paling terkenal Amerika, dikenal karena penggunaan bait bebas inovatif dan pemilihan subjek tak lazim seperti alam, spiritualitas, kematian, dan kesendirian. Masa kecilnya Emily Dickinson menghabiskan hidupnya di rumah. Dickinson berasal dari keluarga kaya dan berpendidikan. Ayahnya adalah seorang senator negara bagian dan kemudian anggota parlemen Amerika Serikat. Memasuki sebuah sekolah swasta eksklusif, Amherst Academy, dan kuliah di Mount Holyoke

halaman 31


Female Seminary, sekarang disebut Mount Holyoke College. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Emily Dickinson menjadi tertutup dan jarang meninggalkan rumahnya di Amherst. Dia meninggal pada usia 55 tahun akibat penyakit ginjal yang disebut nefritis. Selama hidupnya, Emily Dickinson tidak benar-benar dikenal sebagai penyair. Hanya sepuluh puisinya terpublikasikan atau diterbitkan saat dia masih hidup. Namun setelah kematian Dickinson, keluarganya menemukan kumpulan koleksi hingga lebih dari 1.700 puisi. Seorang kritikus sastra, Thomas Wentworth Higginson dan Mabel Loomis Todd, seorang teman dari keluarga Dickinson, menemukan kecemerlangan bahasa yang digunakan Emily Dickinson. Mereka menyusun dan mengedit serangkaian koleksi anumerta Emily. Sayangnya, mereka mengedit terlalu banyak dengan menyesuaikan pilihan kata dalam puisi asli dengan tata bahasa waktu itu. Akibatnya, banyak tata bahasa dan tanda baca yang menjadi ciri khas Emily Dickinson yang membuatnya terkenal turut dihilangkan. Meskipun naskah editan ini mendapat pengakuan luas, karya asli tanpa editan tidak diterbitkan hingga tahun 1955. Saat ini, puisi Emily Dickinson banyak diajarkan di sekolah tinggi dan program universitas di AS. Tak satu pun dari puisinya yang memiliki judul, sehingga mereka diidentifikasi dengan nomor atau baris pertama. Salah satu puisi Dickinson paling terkenal adalah “I heard a Fly Buzz – when I died.� Dalam puisi itu, dia merasa melayang

halaman 32

antara kehidupan dan kematian dengan lalat adalah akhir, gambaran yang menghantui hidupnya. Puisi Emily Dickinson juga dikenal untuk nuansa musikalitasnya. Meskipun Dickinson tidak menulis dengan rima seperti halnya sebagian penyair pada waktu itu, masingmasing puisinya memiliki rasa terukur. Meskipun Emily Dickinson jarang meninggalkan rumahnya, dia menulis ribuan surat kepada teman-teman dan kenalan selama hidupnya. Korespondensinya yang paling sering adalah dengan Susan Gilbert, yang menikah dengan saudara laki-laki Emily, Austin. Banyak penulis biografi berspekulasi bahwa Emily jatuh cinta dengan Susan, namun tidak ada bukti mereka menjalin hubungan seksual. Karya Emily Dickinson memiliki pengaruh luar biasa pada puisi Amerika kontemporer. Dia dan teman sejamannya, Walt Whitman, terutama bertanggung jawab atas pergeseran dari rima formal menjadi rima bebas. Karya Dickinson juga inovatif pada penggunaan kapitalisasi dan garis, serta tema yang dipilihnya. Subyek emosional dan gelap dinilai membuka jalan bagi penyair perempuan modern seperti Sylvia Plath dan Anne Sexton. *** (Red. dari berbagai sumber)


Puisi Pilihan Karya EMILY

DICKINSON

Harapan adalah benda dengan bulunya

Harapan adalah berkait dengan bulu Dia bertengger dalam jiwa, Dan menyanyikan lagu tanpa kata-kata, Dan sama sekali tak pernah berhenti, Dan manis terdengar di angin kencang; Dan harus merasakan sakitnya badai Itu bisa memalukan si burung kecil Yang menciptakan begitu banyak kehangatan. Saya pernah mendengar di tanah chilliest Dan di laut aneh; Namun, tidak pernah, di hal yang menyimpang, Ini meminta remah saya.

halaman 33


Hidupku Ditutup Dua kali Sebelum Ditutup

Hidupku ditutup dua kali sebelum penutupan; Ini belum masih melihat Jika Keabadian mengungkap Sebuah peristiwa ketiga untuk saya, Begitu besar, begitu putus asa untuk bunting, Seperti yang dua kali menimpa. Perpisahan adalah semua kita tahu surga, Dan semua yang kita butuhkan neraka.

halaman 34


Sukses dihitung manis

Sukses dihitung manis Oleh mereka yang tak pernah berhasil. Untuk memahami sebuah sari bunga Membutuhkan sesuatu yang nyeri. Tak satu pun dari sejumlah besar ungu Siapa yang mengambil bendera hari Bisa mengatakan definisi, Jadi jelas, kemenangan Saat ia, dikalahkan, sekarat, Pada yang terlarang didengar Ketegangan jauh dari kemenangan Istirahat kesakitan dan jelas!

halaman 35


Kemenangan datang terlambat

Kemenangan datang terlambat, Dan diadakan rendah untuk bibir beku Terlalu penuh dengan es Untuk mengambilnya. Bagaimana manis itu akan terasa, Hanya setetes! Apakah Tuhan sangat ekonomis? Meja-mejanya menyebar terlalu tinggi bagi kita Kecuali kita makan pada ujung-ujung kaki. Remah kecil cocok seperti mulut, Ceri setelan robin; Elang sarapan emas Mencekik mereka. Tuhan tetap menyumpah kepada burung pipit, Siapa yang cinta kecil Tahu bagaimana kelaparan!

halaman 36


Terlalu Banyak

Seharusnya aku terlalu senang, saat melihat, Terlalu kurang diangkat untuk ketingkat Dari putaran kikir kehidupan; Saya malu pada perjalanan keliling masa kecil Ini lingkar baru, menyalahkan Waktu masa lalu yang bersahaja. Seharusnya aku terlalu disimpan, saya melihat, Terlalu diselamatkan; takut terlalu redup untuk saya Bahwa aku bisa mengeja doa Aku tahu begitu sempurna kemarin, Itu pedas satu, “sabakhtani,� Dibacakan fasih sini. Saya melihat, bumi akan menjadi terlalu banyak, Dan surga tidak cukup bagi saya; Aku harus memiliki sukacita Tanpa rasa takut untuk membenarkan, Telapak tanpa Kalvari; Jadi, Juruselamat, menyalibkan. Rangsangan kekalahan kemenangan, mereka mengatakan; Terumbu di Getsemani tua Menimbulkan perasaan cinta pantai luar. ‘T adalah pengemis perjamuan paling menentukan; ‘T Rumah anggur yang merangsang, Pingsan iman untuk mengerti.

halaman 37


Melarikan diri

Saya tidak pernah mendengar kata “melarikan diri� Tanpa dari desir darah berpacu, Sebuah harapan tiba-tiba, Sikap terbang. Saya pernah mendengar dari penjara yang luas Oleh tentara mendobrak, Tapi aku menariknya kekanak-kanakan di bar saya, Hanya gagal lagi!

Benderang menjadi bergambar

Benderang menjadi bergambar Bila dilihat melalui rasa sakit, Lebih adil, karena tidak mungkin Itu keuntungan apapun. Gunung pada jarak tertentu Terletak dalam ratna cempaka; Mendekat, sedikit demis edikit ratna cempaka berganti, Dan itu langit! ***

(Diterjemahkan dari teks berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Fred Ngatiman benTukijan)

halaman 38


Lentera

Sekilas Sejarah Puisi Jepang

angsa Jepang baru mengenal sistem tulisan dan kegiatan tulis menulis menu pada abad ke-8 Masehi. Dan tulisan-tulisan yang pertama kali adalah berbentuk puisi. Puisi Jepang dahulu dibawakan secara lisan yang kemudian pada akhirnya ditulis dan menjadi cikal bakal buku-buku pertama di Jepang. Semua pria dan wanita Jepang zaman dahulu menggunakan puisi sebagai alat untuk berkomunikasi. Mungkin itulah sebabnya mengapa orang Jepang sering memasukkan puisi dalam surat-surat mereka. Puisi Jepang memiliki banyak ragam seperti: Haiku, Tanka dan Renga. Secara khusus, puisi tradisional Jepang ini berisi

tentang kehidupan sehari-hari, cinta dan juga tentang alam. Antara puisi Jepang yang satu dengan puisi Jepang yang lain memiliki ciri khusus dengan struktur dan susunan atau tata letak yang beragam pula. Ragam Puisi Jepang 1. Haiku Haiku adalah salah satu bentuk puisi tradsional Jepang yang paling penting. Haiku adalah sajak terikat yang memiliki 17 silaba/ sukukata terbagi dalam tiga baris dengan tiap baris terdiri dari 5, 7, dan 5 sukukata. Sejak awalnya, sering muncul kebingungan antara istilah Haiku, Hokku dan Haikai (Haikai no Renga). Hokku adalah sajak pembuka dari sebuah rangkaian sajak-sajak yang disebut halaman 39


Haikai no Renga. Hokku menentukan warna dan rasa dari keseluruhan rantai Haikai itu, sehingga menjadi penting, dan tak jarang seorang penyair hanya membuat hokku tanpa harus menulis rantai sajak lanjutannya. Istilah Haiku baru muncul 1890an, diperkenalkan oleh Masaoka Shiki. Haiku boleh dibilang pembebasan Hokku dari rantai Haika. Haiku bisa berdiri sendiri, sudah utuh pada dirinya tanpa tergantung pada rantai sajak yang lebih panjang. Tokoh lain dalam reformasi Haiku ini adalah Kawahigashi Hekigoto yang mengajukan dua proposisi: 1. Haiku akan lebih jujur terhadap realitas jika tidak ada “center of interest” (pusat kepentingan, fokus perhatian) di dalamnya 2. Pentingnya impresi penyair pada hal-hal yang diambil dari kehidupan sehari-hari dan warna-warna lokal (ini tidak jauh berbeda dari kaidah hokku, TSP) Singkatnya, sejarah haiku muncul baru pada penggal terakhir abad ke-19. Sajak-sajak yang terkenal dari para empu jaman Edo (1600-1868) seperti Basho, Yosa Buson, dan Kobayashi Issa seharusnya dilihat sebagai hokku dan harus diletakkan dalam konteks sejarah haikai meski pada umumnya sajaksajak mereka itu sekarang sering dibaca sebagai haiku yang berdiri sendiri. Ada juga yang menyebut Hokku sebagai “Haiku klasik”, dan Haiku sebagai “Haiku modern”. Di luar Jepang, terutama di Barat (mungkin awalnya dari penerjemahan haiku Jepang) haiku mengalami degradasi(?) dengan absennya beberapa prinsip dasar hokku (haiku klasik). Pola sajak 17-silaba itu menjadi tidak ketat diikuti. Akhirnya haiku di barat hanya tampil sebatas bentuk pendeknya saja.

halaman 40

Haiku tidak memiliki rima/persajakan (rhyme). Haiku “melukis” imaji ke benak pembaca. Tantangan dalam menulis haiku adalah bagaimana mengirim telepati pesan/ kesan/imaji ke dalam benak pembaca HANYA dalam 17 silaba, dalam tiga baris saja! Dalam bahasa Jepang, kaidah-kaidah penulisan haiku sudah pakem dan harus diikuti. Dalam bahasa lain, kadang sulit untuk mengikuti pola ini, dan biasanya menjadi lebih longgar. Haiku bisa mendeskripsikan apa saja, tetapi biasanya berisi hal-hal yang tidak terlalu rumit untuk dipahami oleh pembaca awam. Bebarapa haiku yang kuat justru menggambarkan kehidupan keseharian yang dituliskan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kepada pembaca suatu pengalaman dan sudut pandang baru/lain dari situasi yang biasa tersebut. Haiku juga mengharuskan adanya “kigo” atau “kata (penunjuk) musim”, misalnya kata “salju” (musim dingin), “kuntum bunga” (musim semi), sebagai penanda waktu/musim saat haiku tersebut ditulis. Tentu saja kata-kata penanda musim ini tidak harus selalu jelasterang. Bagaimanapun juga, saat ini haiku di tiap-tiap tradisi bahasa mengikuti aturanaturannya sendiri sesuai sifat alami bahasa di mana haiku tersebut dituliskan. Silakan menulis haiku dengan pertimbangan Anda sendiri, apakah akan mematuhi aturanaturan baku dari haiku Jepang yang asli, ataukah lebih mementingkan esensi atau ruh dari haiku dengan membengkokkan beberapa syariatnya. Di sinilah tantangan kesulitan, sekaligus kenikmatan menulis haiku. Bentuk asli Haiku sebenarnya berasal dari Renga. Haiku adalah puisi Jepang yang


pendek dikarenakan pemotongan atau dalam artian karena adanya pemenggalan pada kalimat yang sebenarnya memanjang.

Sebuah karya Kenji Miyazawa yang terkenal:

Basho adalah seorang penyair Jepang yang terkenal dan yang juga telah berjasa dalam mengenalkan Haiku. Walaupun Haiku bertahan hingga saat sekarang ini, namun orang-orang Jepang lebih menikmati membuat puisi dengan bentuk modern atau masa kini dibandingkan membuat Haiku

Kaze ni mo makezu

Ame ni mo makezu Yuki ni mo natsu no atsusa ni mo makenu Joubu na karada wo mochi Yoku wa naku Kesshite ikarazu Itsu mo shizuka ni waratte iru

Sejalan dengan waktu, struktur Haiku mengalami perubahan yang sangat drastis. Pada abad ke-15 M bentuk asli Haiku berubah menjadi sekitar seratus versi yang masing-masing dari versi tersebut masih memiliki jumlah suku kata yang spesifik dengan Renga. Saat ini Haiku terdiri dari 17 suku kata walaupun dengan struktur yang selalu berubah-ubah di setiap masa.

Ichi nichi ni genmai yon gou to

Haiku dapat berisi tentang apa saja. Tetapi banyak orang menulis Haiku untuk menceritakan tentang alam dan kehidupan sehari-hari. Tiga baris Haiku menciptakan rasa yang menggambarkan emosi dari penyairnya.

Higashi ni byouki no kodomo areba

Contoh Haiku:

Miso to sukoshi no yasai wo tabe Arayuru koto wo Jibun wo kanjou ni irezu ni Yoku mi-kiki shi wakari Soshite wasurezu Nohara no matsu no hayashi no kage no Chiisa na kayabuki no koya ni ite Itte kanbyou shite yari Nishi ni tsukareta haha areba Itte sono ine no taba wo oi Minami ni shinisou na hito areba Itte kowagaranakute mo ii to ii

Kono michi ya

Kita ni kenka ya soshou ga areba

Yukuhito nashini

Tsumaranai kara yamero to ii

Oki no kure

Hidori no toki wa namida wo nagashi

Di jalan ini

Samusa no natsu wa oro-oro aruki

Tak tampak seorangpun,

Minna ni deku-no-bou to yobare

senja musim gugur

Homerare mo sezu

Sebuah karya Basho yang terkenal:

Ku ni mo sarezu -Sou iu mono ni watashi wa naritai

Furuike ya Kawazu tobikomu

tidak kalah oleh hujan

Mizu no oto

tidak kalah dari angin

Katak melompat masuk

tidak kalah oleh salju maupun panasnya musim panas

Air berbunyi

dengan tubuh yang kuat

Di kolam tua

halaman 41


tanpa nafsu

2. Tanka

tanpa amarah

Ragam lain dari puisi Jepang adalah Tanka yang usianya lebih tua dari Haiku tetapi tidak seterkenal Haiku. Tanka telah dikenal sebagai salah satu jenis puisi di Jepang sekitar 1300 tahun. Tanka biasanya dibuat setelah selesainya sebuah peristiwa, kejadian atau suatu perayaan yang spesial.

selalu tersenyum dengan tenang setiap hari empat mangkuk beras merah miso dan sedikit sayuran untuk makan untuk segalanya tanpa perlu tagihan melihat dan mendengarkan dengan baik sampai paham lalu tidak melupakan di bawah bayangan hutan pohon pinus berada di sebuah gubuk kecil beratap jerami jika ada anak yang sakit di Timur ku akan pergi merawatnya jika ada seorang ibu yang kelelahan di Barat ku akan pergi (sekarung beras)

memikul

bebannya

jika ada seseorang yang hampir mati di Selatan ku akan pergi dan mengatakan tidak perlu takut jika ada pertengkaran atau pelanggaran hukum di Utara menyuruh mereka menghentikannya karena itu hal yang tak berarti membiarkan airmata jatuh ketika ada kekeringan berjalan mengembara ketika dinginnya musim panas disebut bodoh oleh semua orang tanpa dipuji tanpa menyalahkan aku ingin menjadi orang yang seperti itu

halaman 42

Tanka cenderung lebih panjang dari Haiku, dan itu memberikan ruang kapada para penyair untuk lebih dapat mengekspresikan perasaannya dengan lebih dalam. Secara khusus, Tanka ditulis atas perasaan seseorang. Dalam menulis puisi jenis ini, pertama yang harus ditulis adalah tentang sesuatu yang disenangi dan memiliki hasrat atas sesuatu tersebut. Sebagai contoh yaitu tentang alam, tentang suatu tempat, keluarga, cinta atau kehidupan sehari-hari yang menyenangkan dan merupakan sesuatu yang dianggap benar. Menulis Tanka dengan baik akan menciptakan kecemerlangan penggambaran atau mendapat kesan yang mendalam yang sangat berkaitan dengan perasaan. Jenis puisi seperti ini memberikan penyair kesempatan untuk mengekspresikan perasaannya dengan cara yang unik. Syair di bawah ini merupakan Tanka yang terdapat di dalam kitab antologi puisi waka berjudul Man’yōshū 万葉集 (koleksi sepuluh ribu daun) karya Ōtomo no Yakamochi: kedashiku mo hito no nakagoto kikase ka mo kokodaku matedo kimi ga kimasanu


mungkin mulut yang membisu mungkinkah terdengar sebab aku telah menunggu lama kau tak kunjung datang 3. Renga Ragam puisi Jepang lainnya lagi adalah Renga. Berdasarkan sejarahnya, puisi Jepang berkembang terus. Seiring waktu, tekniknya selalu mengalami perkembangan. Dari seorang penyair, kemudian menjadi dua orang penyair dapat bekerja sama dalam menciptakan sebuah puisi di waktu yang bersamaan, konsep ini dikenal dengan Renga. Latar belakang ide pembuatan Renga ini yakni salah seorang penyair menuliskan bagian yang menjadi idenya dan penyair lainnya menuliskan kelanjutan puisi dari ide penyair yang pertama dengan idenya sendiri. Dua orang penyair menyatukan ide-ide mereka membentuk sebuah puisi, kegiatan ini di waktu dahulu menjadi sebuah hiburan yang populer. Banyak orang berpikir bahwa membuat Renga sama halnya bermain dalam sebuah kompetisi. Dalam mengikuti permainan seperti ini – seperti halnya sebuah kebiasaan, dibutuhkan pemikiran yang cepat dan dengan rasa humor yang baik untuk dapat bermain Renga. Renga lebih dulu jauh dikenal dari ragam puisi Jepang lainnya dan mencakup sekitar 100 versi. 4. Senryu Senryu (川柳, senryuu) memiliki struktur fisik yang sama dengan haiku yaitu terdiri dari tiga baris dengan jumlah mora tiap barisnya masing-masing 5-7-5 (go-shichigo). Namun, isi suatu senryu lebih ringan

dan bahkan bisa saja lawakan. Dalam senryu juga tidak ada aturan kompleks pada haiku misalnya mengenai kigo (季語, kata musim). Dengan kata lain, kalau haiku merupakan bentuk puisi elit yang serius, senryu bisa digunakan untuk mengekspresikan diri secara santai atau sekedar bersenang-senang. Nama senryu sendiri diambil dari pujangga yang mencetuskan jenis puisi ini yaitu Karai Senryuu (柄井川柳). Kanji pada senryu berarti dedalu sungai. Perhatikan contoh senryu berikut ini: dorobou o toraete mireba waga ko nari Pencuri Saat kutangkap Anakku sendiri Contoh senryu di atas terbagi menjadi tiga baris. Jumlah mora tiap barisnya 5 (ど ろぼうを), 7 (とらえてみれば), dan 5 (わ がこなり). Jadi aturannya hanya itu saja, tiga baris dengan jumlah mora 5-7-5. Isinya bebas. Dari segi bahasa, senryu di atas menarik karena ditulis di zaman dahulu (1700an). Perhatikan bahwa waga (milik saya) merupakan bentuk yang terdengar lebih formal atau kuno dibandingkan dengan watashi no. waga sendiri sebetulnya bisa dipecah menjadi wa (saya) dan ga (partikel kepemilikan kuno). Contoh ga yang berfungsi seperti no modern ini misalnya pada tenshi ga gotoku (bagai malaikat) yang sama saja dengan tenshi no gotoku atau yang lebih terdengar modern tenshi no you ni. Perhatikan juga bahwa nari adalah bentuk

halaman 43


kuno dari deklaratif da. Contoh senryu lain:

kono oka ni na tsumasu ko

gakkou wa

ie kikana

minna iru kara

na norasane

sugoi n da

soramitsu

...

yamato no kuni wa

hon yonde

oshinabete

ooki na yume ga

ware koso ore

umareta yo

shikinabete

...

warekoso mase

nendomatsu

ware ni koso wa

dare ga kimeta no

norame

sangatsu ni

ie o mo na o mo

... sekolah

Keranjangmu,

semua teman ada di sana

keranjang mungil

jadinya asyik

Tajakmu terlalu kecil

...

Nona, yang menjumput bunga

membaca buku

di gigir bukit

mimpi besar

Kepadamu aku bertanya: Siapa namamu?

terlahir

Seluruh negeri Yamato

...

Luas nian kuasaku

akhir tahun fiskal

jauh sungguh pengaruhku

siapa yang menetapkannya?

Maka, katakan padaku

pada bulan Maret

Di mana rumahmu, siapa namamu?

... *** Puisi berikut merupakan puisi yang dianggap dibuat oleh Emperor Yūryaku | 雄 略天皇 | Yūryaku-tennō (abad ke-5) Romaji: ko mo yo miko mochi fukushi mo yo mibukushi mochi

halaman 44

(Wied Marist dari berbagai sumber)


Syair

Syair Melayu Pilihan Tunjuk Ajar dan Nasehat untuk Anak

Takwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa

Wahai Ananda Mustika Ayah Dalam Beriman Janganlah Goyah Betulkan akal Luruskan Langkah Mohon Petunjuk Kepada Allah Wahai Ananda Buah Hati Bunda Berpegang teguh Kepada Agama Beramalah Engkau Sehabis daya Supaya Selamat dari neraka.

halaman 45


Keadilan

Wahai Ananda Mustika Bunda, Adil dan benar hendaklah bela Jagalah sehabis daya Supaya hidupmu beroleh Pahala. Wahai Ananda Bunga Idaman Kenang Olehmu ayah Berpesan Berlaku adil Janganlah segan Bersikap benar Jangan lah Enggan

Bertengang Rasa

Wahai Ananda dengarlah Petuah Dalam bergaul janganlah meyalah Dalam bercakap elok Lah lidah Dalam berjalan Luruslah Langkah. Wahai ananda dengar amanat Tengang menengang jadikan sifat Tolong menolong jadikan ibadat Supaya Selamat Duni Akhirat.

halaman 46


Bertanggung Jawab

Wahai Ananda permata Hikmat Tanggung jawabmu hendaklah ingat Berani menanggung Sebab akibat Berani berbuat tahan Akibat. Wahai Ananda kuatkan Iman Tunaikan Tugas jalankan Kewajiban Tanggung Jawabmu jangan abaikan Supaya hidupmu diridhoi Tuhan

Musyawarah dan Mufakat

Wahai ananda dengar amanat Jangan sekali meninggalkan Mufakat Elok berunding sebelum berbuat Supaya kerjamu Jadai Selamat Wahai ananda dengarlah syair Duduk musyawarah Pantang Menyindir Mufakatkan akal gunakan fikir Supaya kerja tidak Mubazir

halaman 47


Menanam dan Membalas Budi

Wahai Ananda perbanyaklah Budi Tetapi jangan minta dipuji Ikhlas dan rela dalam memberi Supaya Amalmu Allah Ridhoi Wahai Ananda Banyakkan ingat Bertanam budi mengikut adat Semoga Allah memberi rahmat

Berkasih Sayang dengan Sesama

Wahai Ananda Intan dikarang Hiduplah engkau berkasih sayang Janganlah suka memusuhi orang Sifat yang buruk hendaklah Buang. Wahai ananda dengar madah Berkasih sayang besarlah faedah Dalam bergaul engkau merendah Supaya aibmu tidak terdedah

halaman 48


Keberanian

Wahai ananda buah hati ayah Sifat berani menegakan marwah Membela keadilan usah berlengah Menegakan yang hak usah berkilah Wahai ananda luruskan niat Perangi oleh kerja maksiat Lawan olehmu dengki khianat Mati pun engkau berolah rahmat

Kejujuran

Wahai ananda buah hati bunda Hiduplah jujur jangan durhaka Jauhkan bohong haramkan dusta Supaya hidup tiada ternista Wahai ananda intan pilihan Berterus terang janganlah segan Apa yang benar engkau katakan Apa yang salah engkau tunjukan

halaman 49


Memanfaatkan Waktu

Wahai ananda permata hati Hitunglah waktu dengan teliti Masa berjalan cepat sekali Bila tak ingin hidup merugi, Wahai ananda ingatlah pesan Masa mudamu jangan abaikan Manfaatkan waktu dengan amalan Supaya selamat di hari kemudian

Sifat Amanah dan Memegang Janji

Wahai ananda intan dikarang Pegang kokoklah amanah orang Kepercayaan jangan dibuang Supaya Hidupmu dijalan terang.. Wahai ananda peliharalah janji Keprcyaan orang jangan khianati Taat setia sampailah mati Supaya namanu tidak terkeji.

halaman 50


Sifat Tahu Diri

Wahai Ananda pegang Amanah Tahu diri sifat bertuah Tahu berjalan mengatur langkah Tahu berkata mengatur lidah. Wahai ananda dengarlah peri Bertuah hidup tahukan diri Tahu dimana tempat berdiri Tahu dimana tempat berhenti

Sikap Rendah Hati

Wahai ananda kebanggaan bunda Janganlah engkau mabuk dunia Jangan silau memandang harta Supaya hidupmu tidak menderita Wahai ananda dengarlah petuah Jauhi sifat sombong dan pongah Bergaulah dengan hati merendah Supaya hidupmu berolah berkah.

halaman 51


Pemaaf dan Pemurah

Wahai ananda intan dikarang Ikhlaskan hati memaafkan orang Dendam kesumat hendaklah buang Hati pemurah hidupmu lapang Wahai ananda dengar petuah Hiduplah dengan hati pemurah Sesama umat beramah tamah Maaf memaafakan karena Allah

(Red. Sumber � Buku Tunjuk Ajar Melayu� Karya: H. Tenas Efendi,)

halaman 52


Rehal

“Olenka� (Takdir dan Ke-tak-berdayaan Manusia Melawannya)

a anakala kita membaca Olenka, novel karya O Budi Darma yang telah B memperoleh empat penghargaan itu (sebagai naskah roman terbaik DKJ 1980, pemenang Hadiah Sastra 1983, peraih SEA Write Award dari Kerajaan Thailand 1984, dan pemenang Hadiah Sirikit), kita pasti akan berjumpa dengan berbagai unsur yang menarik. Dikatakan menarik karena unsurunsur itu mencerminkan suatu perilaku yang jika kita mengikuti pendapat Bakhtin (1973:88, 100, 133) disebut perilaku karnival (carnival attitude). Unsur-unsur itu antara lain: (1) petualangan yang fantastik; Judul Buku Pengarang Penerbit

: OLENKA (Novel) : Budi Darma : Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1983 Jumlah halaman : 183 halaman Komentar : Novel ini memenangi Hadiah Pertama Sayembara Mengarang Novel Dewan Kesenian Jakarta 1980, pemenang Hadiah Sastra 1983, peraih SEA Write Award dari Kerajaan Thailand 1984, dan pemenang Hadiah Sirikit. Novel ini banyak dibahas dan dibicarakan ahli sastra, baik di dalam maupun di luar negeri.

(2) manusia abnormal, aneh, dan eksentrik; (3) berbagai adegan skandal; (4) utopia sosial dalam bentuk mimpi; (5) dialog filosofis tentang pertanyaanpertanyaan akhir; (6) komikal, misalnya adanya peristiwa pelecehan terhadap pendeta; (7) campuran berbagai genre seperti puisi, cerpen, novel, syair lagu, surat, dll.; dan (8) adanya sifat jurnalistis dan publisistis, misalnya disebutkannya nama-nama tokoh populer yang sekarang telah

halaman 53


surut dan disertakannya gambar, berita, atau iklan yang diambil dari koran dan majalah. Menurut Bakhtin (1973:100, 133), karnival merupakan perilaku yang akar-akarnya tertanam dalam tatanan dan cara berpikir primordial dan berkembang dalam kondisi masyarakat kelas. Dalam kondisi masyarakat semacam itu perilaku karnival mencoba memperlakukan dunia sebagai milik semua orang sehingga mereka (siapa pun yang menghuni dunia itu) dapat menjalin kontak (dialog) secara bebas, akrab, tanpa dihalangi oleh tatanan, dogma, atau hierarki sosial. Perilaku tersebut semula berkembang dalam kisah-kisah rakyat karnivalistik (carnivalistic folklores), kemudian berpengaruh pada karya-karya sastra klasik genre serio-komik (serio-comic genre), di antaranya Socratic Dialog dan Menippean Satire (abad ke-3 SM), dan jauh sesudah itu (abad ke-18) berkembang pula dalam tradisi novel-novel Eropa. Menurut Bakhtin (1973:88-100), perkembangan itu mencapai puncak pada novel-novel karya Dostoevsky yang olehnya disebut sebagai novel polifonik (polyphonic novel). Fanton Drummond bertemu seorang wanita yang belakangan diketahui bernama Olenka di lift apartemen Tulip Tree. Pertemuan itu membuatnya tak dapat melenyapkan bayangan Olenka dari pikirannya. Fanton selalu membayangkan bisa memiliki Olenka. Suatu ketika, Fanton berkenalan dengan seorang lelaki yang dilihatnya selalu bersama anak lelaki di sekitar Tulip Tree. Lelaki itu bernama Wayne Danton, seorang pengarang cerpen berjudul Olenka. Steve, anak lelaki yang bersamanya rupanya buah pernikahan

halaman 54

Wayne dengan Olenka. Kenyataan itu tak membuat keinginan Fanton jadi surut. Ia bahkan ingin merampok Olenka dalam cerpen Wayne dan Olenka istri pengarang itu. Selepas badai yang menerjang kota Bloomington, Fanton bertemu Olenka yang sedang melukis di hutan kota. Sejak itu, mereka sering bertemu. Namun, meski keduanya saling tertarik, mereka samasama tak ingin menikahi satu sama lain. Bahkan, baik Olenka maupun Fanton sering mengatakan, “Pada saatnya kita harus berpisah.� Memang akhirnya Olenka menghilang meninggalkan Fanton tanpa pesan. Fanton merasa kehilangan, tapi tidak dengan Wayne suami Olenka. Suami Olenka itu sepertinya memang tidak mencintai istrinya. Bayangan Olenka berkelebat dalam pikiran Fanton. Ia mengembara ke Kentucky untuk mencari Olenka. Saat melawat ke Chicago, ia bertemu dengan Mary Carson. Fanton bisa melupakan Olenka setiap kali bersama wanita yang dipanggilnya M.C. itu. Tanpa pikir panjang, Fanton meminang M.C., tapi ditolak. Selain karena M.C. belum mau kawin, ia juga melihat Fanton sebagai pribadi yang peragu. Ibu M.C. mengalami kecelakaan di kamar mandi. Meski sahabatnya sudah berusaha menetramkan, M.C. tetap pulang meninggalkan Chicago dengan menumpang pesawat terbang. Sekali lagi Fanton ditinggalkan wanita yang dicintainya. Untuk melampiaskan kekecewaannya itu, Fanton menulis surat masturbasi. Surat itu ditulis untuk M.C. hanya untuk disimpannya beberapa hari lalu dibacanya sendiri dan dibalasnya seolah-oleh M.C. yang membaca dan membalas surat itu.


Setelah lama tak mendengar kabar Olenka, Fanton menerima surat panjang dari Olenka yang seolah-oleh memuat seluruh hidupnya. Kehidupan Olenka mirip dengan kisah hidup Ursula dan Winifred dalam novel The Rainbow karya D.H. Lawrence. Olenka juga menceritakan alasan pernikahannya dengan Wayne, yakni agar dia dapat hidup normal dan keluar dari kehidupannya sebagai lesbian. Meski ia tak mencintai Wayne ia tetap merasa harus membantu Wayne dan Steve, anaknya. Membaca kisah hidup Olenka, Fanton malah makin mencinta wanita itu. Bayangan Olenka berkelebat lagi dalam kepala Fanton. Ia berharap Olenka mengirimkan surat kembali, tapi sia-sia. Olenka tak pernah megirimkan surat kepada Fanton lagi. Fanton malah mendapat surat kilat dari M.C., wanita yang pernah menolak pinangannya. Dari surat itu, Fanton mendapat kesan kalau M.C. mengalami kecacatan. Ia segera terbang menemui M.C. di Aliquippa, Pittsburgh. Rupanya M.C. mengalami kecelakaan pesawat hingga mengakibatkan ia harus menghabiskan hidup di kursi roda. Mungkin tergerak karena kasihan atau cinta, Fanton meminang M.C. untuk kedua kali. Namun, M.C. malah menanyakan wanita lain yang ada di hati Fanton. Saat itulah, Fanton tiba-tiba kehilangan keinginannya untuk meminang M.C. dan pergi meninggalkannya. Ketika hendak kembali ke Bloomington, di bandara Pittsburgh Fanton membaca di surat kabar berita tentang pemalsuan lukisan yang dilakukan oleh Olenka Danton. Ia ditemukan pingsan di kamar hotelnya. Banyak yang menduga kalau dia pingsan karena menelan obat tidur dalam jumlah yang banyak. Polisi membawa Olenka ke rumah sakit.

Fanton pergi ke rumah sakit tempat Olenka dirawat. Namun, ketika sampai di sana, ternyata Olenka telah meninggalkan rumah sakit. Fanton tidak merasa menyesal dan kecewa. Ia hanya merasakan kekosongan dalam dirinya. Dalam kekosongan itu ia menyadari bahwa Tuhan memiliki kekuasaan penuh atas segalanya. Maka dalam usaha untuk menjadi pemeluk teguh, Fanton meggumam, “Tuhanku, dalam termangu, aku ingin menyebut nama-Mu.� Hidup terkadang menjadi sebuah hal yang menakutkan bagi sebagaian orang, sehingga banyak orang yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang mengenaskan, ataupun menyakitkan. Novel Olenka ini ditulis Budi Darma pada akhir tahun 1979. Ia menulis Olenka melalui sebuah kebetulan. Novel Olenka yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1983, setebal 183 halaman yang banyak mendapat pujian itu diselesaikan Budi Darma dalam waktu kurang dari tiga minggu. Dalam novel olenka ini berbagai masalah kehidupan banyak terjadi. Novel ini dapat memberikan berbagai manfaat dan berbagai pandangan tentang masalah-masalah yang terkait tentang kehidupan. Seperti karya-karya sastra Budi Darma yang lain yang bertemakan kepahitan dan kesuraman hidup, dalam novel olenka ini dapat mudah dipahami dan tidak serumit novel Rafilus (1988) yang meloncatloncat dari sebuah kenyataan dan realitas. Jika dibandingkan maka novel olenka memberikan kemudahan untuk mengenal budi darma secara dekat, sehingga dapat sekilas mengetahui dan mengantarkan bagaimana cara bercerita Budi Darma. *** (Red.INT berbagai sumber)

halaman 55


Teater

Jalan Panjang Seni Teater Kita

at teater atau drama berasal dari ata bahasa Yunani �theatrom� yang bah berarti seeing place (Inggris). be Tontonan drama memang menonjolkan percakapan (dialog) dan gerak-gerik para pemain (aktif) di panggung. Percakapan dan gerak-gerik itu memperagakan cerita yang tertulis dalam naskah. Dengan demikian, penonton dapat langsung mengikuti dan menikmati cerita tanpa harus membayangkan. Teater sebagai tontotan sudah ada sejak zaman dahulu. Bukti tertulis pengungkapan bahwa teater sudah ada sejak abad kelima SM. Hal ini didasarkan temuan

halaman 56

naskah teater kuno di Yunani. Penulisnya Aeschylus yang hidup antara tahun 525-456 SM. Isi lakonnya berupa persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa. Lahirnya adalah bermula dari upacara keagamaan yang dilakukan para pemuka agama, lambat laun upacara keagamaan ini berkembang, bukan hanya berupa nyanyian, puji-pujian, melainkan juga doa dan cerita yang diucapkan dengan lantang, selanjutnya upacara keagamaan lebih menonjolkan penceritaan. Sebenarnya istilah teater merujuk pada gedung pertunjukan, sedangkan istilah


drama merujuk pada pertunjukannya, namun kini kecenderungan orang untuk menyebut pertunjukan drama dengan istilah teater. Mengapresiasikan Karya Seni Teater. Kegiatan berteater dalam kehidupan masyarakat dan budaya Indonesia bukan merupakan sesuatu yang asing bahkan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan, kegiatan teater dapat kita lihat dalam peristiwa-peristiwa Ritual keagamaan, tingkat-tingkat hidup, siklus hidup (kelahiran, pertumbuhan dan kematian) juga hiburan. Setiap daerah mempunyai keunikan dan kekhasan dalam tata cara penyampaiannya. Untuk dapat mengapresiasi dengan baik mengenai seni teater terutama teater yang ada di Indonesia sebelumnya kita harus memahami apa seni teater itu ? bagaimana ciri khas teater yang berkembang di wilayah negara kita. Pengertian Teater, teater adalah segala tontonon yang dipertunjukan didepan orang banyak, misalnya wayang golek, lenong, akrobat, debus, sulap, reog, band dan sebagainya. dalam arti sempit adalah kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan diatas pentas, disaksikan oleh orang banyak, dengan media : percakapan,gerak dan laku dengan atau tanpa dekor, didasarkan pada naskah tertulis denga diiringi musik, nyanyian dan tarian. Teater adalah salah satu bentuk kegiatan manusia yang secara sadar menggunakan tubuhnya sebagai unsur utama untuk menyatakan dirinya yang diwujudkan dalam suatu karya (seni pertunjukan) yang ditunjang dengan unsur gerak, suara, bunyi dan rupa yang dijalin dalam cerita pergulatan tentang kehidupan manusia.

Bentuk Teater Indonesia berdasarkan pendukungnya : a.

Teater rakyat yaitu teater yang didukung oleh masyarakat kalangan pedesaan , bentuk teater ini punya karakter bebas tidak terikat oleh kaidah-kaidah pertunjukan yang kaku, sifat nya spontan,improvisasi. Contoh : lenong, ludruk, ketoprak dll.

b. Teater Bansawan yaitu Teater yang lahir dan berkembang dilingkungan kerajaan dan kaum bangsawan. Pertunjukan dilaksanakan hanya untuk lingkungan terbatas dengan tingkat artistik sangat tinggi, cerita berkisar pada kehidupan kaum bangsawan yang dekat dengan kekuasaan . c. Teater Urban atau kota-kota. Teater ini Masih membawa idiom bentuk rakyat dan keraton . teater jenis ini lahir dari kebutuhan yang timbul dengan tumbuhnya kelompok-kelompok baru dalam masyarakat dan sebagai produk dari kebutuhan baru , sebagai fenomena modern dalam seni pertunjukan di Indonesia. d. Teater kontemporer,yaitu teater yang menampilkan peranan manusia bukan sebagai tipe melainkan sebagai individu . dalam dirinya terkandung potensi yang besar untuk tumbuh dengan kreatifitas yang tanpa batas. Pendukung teater ini masih sedikit yaitu orangorang yang menggeluti teater secara serius mengabdikan hidupnya pada teater dengan melakukan pencarian, eksperimen berbagai bentuk teater untuk mewujudkan teater Indonesia masa kini. Sebagian besar daerah di Indonesia mempunyai kegiatan berteater yang tumbuh dan berkembang secara turun

halaman 57


menurun. Kegiatan ini masih bertahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang erat hubungannya dengan budaya agraris (bertani) yang tidak lepas dari unsur-unsur ritual kesuburan, siklus kehidupan maupun hiburan. Misalnya : untuk memulai menanam padi harus diadakan upacara khusus untuk meminta bantuan leluhur agar padi yang ditanam subur, berkah dan terjaga dari berbagai gangguan. Juga ketika panen, sebagai ucapan terima kasih maka dilaksanakan upacara panen. Juga peringatan tingkat-tingkat hidup seseorang (kelahiran, khitanan, naik pangkat/ status dan kematian dll) selalu ditandai dengan peristiwa-peristiwa teater dengan penampilan berupa tarian,nyanyian maupun cerita, dengan acara, tata cara yang unik dan menarik. Teater rakyat adalah teater yang hidup dan berkembang dikalangan masyarat untuk memenuhi kebutuhan ritual dan hiburan rakyat. Berikut ini adalah sejarah perkembangan teater di Indonesia 1. Teater Tradisional Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater�, sebenarnya baru merupakan unsur-

halaman 58

unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsurunsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya. 2. Teater Transisi (Modern) Teater transisi adalah penamaan atas kelompok teater pada periode saat teater tradisional mulai mengalami perubahan karena pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong kelompok teater tradisional dengan model garapan memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat, dinamakan teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak pada cerita yang sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud cerita ringkas atau outline story (garis besar cerita per adegan). Cara penyajian cerita dengan menggunakan panggung dan dekorasi. Mulai memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan. Pada periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater non-tradisi. Selain pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh orangorang Belanda di Indonesia sekitar tahun 1805 yang kemudian berkembang hingga di Betawi (Batavia) dan mengawali berdirinya gedung Schouwburg pada tahun 1821 (Sekarang Gedung Kesenian Jakarta). Perkenalan masyarakat Indonesia pada teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboel di Surabaya pada tahun 1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa), yang pada saat itu masih belum menggunakan naskah drama/lakon. Dilihat dari segi sastra, mulai mengenal


sastra lakon dengan diperkenalkannya lakon yang pertama yang ditulis oleh orang Belanda F.Wiggers yang berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, pada tahun 1901. Kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia Timoer (1913), dan lain-lainnya, yang menggunakan bahasa Melayu Rendah. Setelah Komedie Stamboel didirikan muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay Opera Dardanella) yang didirikan Willy Klimano alias A. Pedro pada tanggal 21 Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, dan lain sebagainya. Pada masa teater transisi belum muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara. Karenanya rombongan teater pada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan. 3. Teater Indonesia tahun 1920-an Teater pada masa kesusasteraaan angkatan Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual dimasa itu karena penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum

pergerakan sekitar tahun 1930-an. Bentuk sastra drama yang pertamakali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog antar tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari (artinya kebebasan yang sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926). Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama Bujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane menulis Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning Majapahit (1933) Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Armiijn Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil. Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia, menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. 4. Teater Indonesia tahun 1940-an Semua unsur kesenian dan kebudayaan pada kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis di arahkan untuk menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam situasi

halaman 59


yang sulit dan gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa perlu didirikan Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi – kreasi baru dalam wujud kesenian nasional Indonesia. Maka pada tanggal 6 oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), dan sebagai anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjabana, dan Kama Jaya. Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru. Langkah-langkah yang telah diambil oleh Badan Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan kesenian Indonesia, ternyata mengalami hambatan yang datangnya dari barisan propaganda Jepang, yaitu Sendenbu yang membentuk badan perfilman dengan nama Djawa Eiga Kosy’, yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya. Intensitas kerja Djawa Eiga Kosya yang ingin menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia nampak ketika mereka membuka sekolah tonil dan drama Putra Asia, Ratu Asia, Pendekar Asia, yang kesemuanya merupakan corong propaganda Jepang. Dalam masa pendudukan Jepang kelompok rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni hiburan yang berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis halaman 60

Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Merah Delima. Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, dan Bolero, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik . Pertumbuhan sandiwara profesional tidak luput dari perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai berdirinya POSD (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yang beranggotakan semua rombongan sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia dan Jepang, Kotot Sukardi menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon Nora karya Henrik Ibsen diterjemahkan dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak


Merpati oleh Armijn Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh karena ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap berikut dialognya. Para pemain tidak boleh menambah atau melebih-lebihkan dari apa yang sudah ditulis dalam naskah. Sensor Sendenbu malah menjadi titik awal dikenalkannya naskah dalam setiap pementasan sandiwara. Menjelang akhir pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara yang melahirkan karya ssatra yang berarti, yaitu Penggemar Maya (1944) pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda, nasionalis dan para profesional (dokter, apoteker, dan lain-lain). Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme dan agama. Pada saat inilah pengembangan ke arah pencapaian teater nasional dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan cita-cita menuju humanisme dan religiositas dan memandang teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan. Bahwa teori teater perlu dipelajari secara serius. Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta. 5. Teater Indonesia Tahun 1950-an Setelah tokoh kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam tokoh kemerdekaan, juga sebaliknya, mereka merenungkan peristiwa tokoh kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan pengecut,

keiklasan sendiri dan pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa tokoh secara khas dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik (Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir (Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik Hitam (Nasyah Jamin, 1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin, 1959). Sementara ada lakon yang bercerita tentang kekecewaan paska tokohg, seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi, kemiskinan, Islam dan Komunisme, melalaikan penderitaan korban tokohg, dan lain-lain. Tema itu terungkap dalam lakon-lakon seperti Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953) karya Utuy Tatang Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh Akhdiat Kartamiharja (1956) berdasarkan The Man In Grey Suit karya Averchenko dan Hanya Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karya John Galsworthy. Utuy Tatang Sontani dipandang sebagai tonggak penting menandai awal dari maraknya drama realis di Indonesia dengan lakon-lakonnya yang sering menyiratkan dengan kuat alienasi sebagai ciri kehidupan moderen. Lakon Awal dan Mira (1952) tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan sampai ke Malaysia. Realisme konvensional dan naturalisme tampaknya menjadi pilihan generasi yang terbiasa dengan teater barat dan dipengaruhi oleh idiom Hendrik Ibsen dan Anton Chekhov. Kedua seniman teater Barat dengan idiom realisme konvensional ini menjadi tonggak didirikannya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada tahun 1955 oleh Usmar Ismail dan Asrul Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan realisme dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti karyakarya Moliere, Gogol, dan Chekov. Sedangkan metode pementasan dan pemeranan halaman 61


yang dikembangkan oleh ATNI adalah Stanislavskian. Menurut Brandon (1997), ATNI inilah akademi teater modern yang pertama di Asia Tenggara. Alumni Akademi Teater Nasional yang menjadi aktor dan sutradara antara lain, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim Achmad. Di Yogyakarta tahun 1955 Harymawan dan Sri Murtono mendirikan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia(ASDRAFI). HimpunanSeni Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta. 6. Teater Indonesia Tahun 1970-an Jim Adi Limas mendirikan Studiklub Teater Bandung dan mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan unsur-unsur teater etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan teater Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim mulai dikenal oleh para aktor terbaik dan para sutradara realisme konvensional. Karya penyutradaraanya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani) dan Paman Vanya (Anton Chekhov). Bermain dengan akting realistis dalam lakon The Glass Menagerie (Tennesse William, 1962), The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada tahun 1960, Jim Lim menyutradari Bung Besar, (Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser, teater rakyat Sunda. Tahun 1962 Jim Lim menggabungkan unsur wayang kulit dan musik dalam karya penyutradaraannya yang berjudul Pangeran Geusan Ulun (Saini KM., 1961). Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah judulnya menjadi Jaka Tumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan gaya realistis tetapi isinya absurditas pada lakon Caligula (Albert Camus, 1945), Badakbadak (Ionesco, 1960), dan Biduanita Botak

halaman 62

(Ionesco, 1950). Pada tahun 1967 Jim Lim belajar teater dan menetap di Paris. Suyatna Anirun, salah satu aktor dan juga teman Jim Lim, melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim yaitu mencampurkan unsur-unsur teater Barat dengan teater etnis. Peristiwa penting dalam usaha membebaskan teater dari batasan realisme konvensional terjadi pada tahun 1967, Ketika Rendra kembali ke Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yang kemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak berdasarkan naskah jadi (wellmade play) seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula dari improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian mulut tertentu atas suatu tema yang diistilahkan dengan teater mini kata (menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya, Bib Bop dan Rambate Rate Rata (1967,1968). Didirikannya pusat kesenian Taman Ismail Marzuki oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta tahun1970, menjadi pemicu meningkatnya aktivitas, dan kreativitas berteater tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain. Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67 (enam puluh tujuh) judul lakon yang ditulis oleh 17 (tujuh belas) pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur, juga lokakarya dan diskusi teater secara umum atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky tetapi nama-nama seperti Brecht, Artaud dan Grotowsky juga diperbincangkan. Di Surabaya muncul bentuk pertunjukan teater yang mengacu teater epik (Brecht) dengan idiom teater rakyat (kentrung dan ludruk) melalui Basuki Rahmat, Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir (Bengkel Muda Surabaya, Teater Lektur,


Teater Melarat Malang). Di Yogyakarta Azwar AN mendirikan teater Alam. Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa mendirikan Teater Muslim. Di Padang ada Wisran Hadi dengan teater Padang. Di Makasar, Rahman Arge dan Aspar Patturusi mendirikan Teater Makasar. Lalu Teater Nasional Medan didirikan oleh Djohan A Nasution dan Burhan Piliang. Tokoh-tokoh teater yang muncul tahun 1970-an lainnya adalah, Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih). Arifin C. Noor (Teater Kecil) dengan gaya pementasan yang kaya irama dari blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum dan verbalisme naskah. Putu Wijaya (teater Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras. Menampilkan manusia sebagai gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror. N. Riantiarno (Teater Koma) dengan ciri pertunjukan yang mengutamakan tata artistik glamor. 7. Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an Tahun 1980-1990-an situasi politik Indonesiakianseragam melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan politik kampus sebagai akibat peristiwa Malari 1974. Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan. Dalam latar situasi seperti itu lahir beberapa kelompok teater yang sebagian merupakan produk festival teater. Di Jakarta dikenal dengan Festival Teater Jakarta (sebelumnya disebut Festival Teater Remaja). Beberapa jenis festival di Yogyakarta, di antaranya

Festival Seni Pertunjukan Rakyat yang diselenggarakan Departemen Penerangan Republik Indonesia (1983). Di Surabaya ada Festival Drama Lima Kota yang digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati dan Mukid F. Pada saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater Gandrik. Teater Gandrik menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde Tabung. Di Solo (Surakarta) muncul Teater Gapit yang menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita yang meniru lingkungan kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada juga Teater Gidaggidig. Di Bandung muncul Teater Bel, Teater Republik, dan Teater Payung Hitam. Di Tegal lahir teater RSPD. Festival Drama Lima Kota Surabaya memunculkan Teater Pavita, Teater Ragil, Teater Api, Teater Rajawali, Teater Institut, Teater Tobong, Teater Nol, Sanggar Suroboyo. Di Semarang muncul Teater Lingkar. Di Medan muncul Teater Que dan di Palembang muncul Teater Potlot. Dari Festival Teater Jakarta muncul kelompok teater seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam menghadapi naskah yaitu posisinya sejajar dengan cara-cara pencapaian idiom akting melalui eksplorasi latihan. Ada pula Teater Luka, Teater Kubur, Teater Bandar Jakarta, Teater Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio Oncor, dan Teater Kami yang lahir di luar produk festival (Afrizal Malna,1999). Aktivitas teater terjadi juga di kampus-kampus perguruan halaman 63


tinggi. Salah satu teater kampus yang menonjol adalah teater Gadjah Mada dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Jurusan teater dibuka di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1985. ISI menjadi satusatunya perguruan tinggi seni yang memiliki program Strata 1 untuk bidang seni teater pada saat itu. Aktivitas teater kampus mampu menghidupkan dan membuka kemungkinan baru gagasangagasan artistik.

Selamat Idul Fitri 1436 H

Taqabbalallahu minna wa Minkum wa ja'alana minal' aidin wal faizin

8. Teater Kontemporer Indonesia Teater Kontemporer Indonesia mengalami perkembangan yang sangat membanggakan. Sejak munculnya eksponen 70 dalam seni teater, kemungkinan ekspresi artistik dikembangkan dengan gaya khas masingmasing seniman. Gerakan ini terus berkembang sejak tahun 80- an sampai saat ini. Konsep dan gaya baru saling bermunculan. Meksipun seni teater konvensional tidak pernah mati tetapi teater eksperimental terus juga tumbuh. Semangat kolaboratif yang terkandung dalam seni teater dimanfaatkan secara optimal dengan menggandeng beragam unsur pertunjukan yang lain. Dengan demikian, wilayah jelajah ekspresi menjadi semakin luas dan kemungkinan bentuk garap semakin banyak.*** (Roedman Julis. dari berbagai sumber)

halaman 64

Pimpinan dan Karyawan

Mengucapkan Selamat Idul Fitri 2015 - 1436 H Mohon Maaf Lahir dan Batin


halaman lxv


halaman lxvi


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.