Edisi206

Page 1

Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)

Esei: Anugerah Sagang 2015 Berganjak dari FilosoďŹ Jadi Penyangga oleh Eriyanto Hady/Jefry Al-malay dan Be(r)Lagu oleh Zuarman Ahmad | Cerita-Pendek: Matahalasan oleh Nevatuhella, Percakapan di Tengah Malam oleh Alex R. Nainggolan dan Pemakan Orang di Kereta oleh Mark Twain | Sajak: Yusran AriďŹ n, Saifa Abidillah, Federico Garcia Lorca, dan Guillaume Appolinaire | Tembok Sastera Madah Poedjangga

206

l

NOVEMBER 2015

www.majalahsagang.com halaman KULITi


halaman KULI KULITii LITi LI Tii Ti


Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Graha Pena Riau, Lantai 8 Jalan HR Soebrantas KM 10,5 Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810 Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 206 l NOVEMBER 2015 l tahun XVIII

Daftar Isi n Indah ......................................................1 n Esei - Anugerah Sagang 2015 Berganjak dari Filosofi Jadi Penyangga ................................... 3 - Be(r)Lagu oleh Zuarman Ahmad ...... 11 n Cerita-Pendek - Matahalasan oleh Nevatuhella ..........14 - Percakapan di Tengah Malam oleh Alex R. Nainggolan ....................19 n Cerita-Pendek Terjemahan Pemakan Orang di Kereta oleh Mark Twain ................................. 25 n Sajak - Yusran Arifin..................................... 34 - Saifa Abidillah ...................................41 n Sajak Terjemahan - Federico Garcia Lorca ...................... 58 - Guillaume Appolinaire ......................61

Foto bersama: Pembina Yayasan Sagang (Bapak Rida K Liamsi) dengan para Penerima Anugerah Sagang Kencana 2015. Ft. Defizal.

n Berita Budata Tembok Sastera Madah Poedjangga ............................. 63

Perintis: Rida K Liamsi l General Manager: Armawi KH l Wakil General Manager: Kazzaini Ks l Pimpinan Perusahaan: Mega Setara l Pimpinan Redaksi: Kazzaini Ks l Redaktur: Armawi KH, Kazzaini Ks, Eriyanto Hady, Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Sutrianto l Pra cetak: Rudi Yulisssman l Ilustrator Tetap: Purwanto l Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan arus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@ yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


Tajuk

Indah enurut Braginsky (1994), aspek on ontologism merupakan aspek terpenting dalam Kebudayaan Melayu. Keindahan lahiriah (duniawi) dan keindahan batiniah (Ilahiah) senantiasa bekait-kelindan (menyatu), sebagai hal yang tidak boleh terpisahkan dan dipisahkan. Braginsky mengingatkan kembali nilai-ilai keindahan yang terkandung dalam hikayat yang ditulis dalam bentuk "syair”. Bahwa, api bercerita, air berkisah, cahaya bulan yang berduka atau tersenyum pada taman sunyi-sepi, dan banyak keindahan lainnya yang dijumpai oleh Braginsky dalam sastra Melayu klasik. Keindahan lahiriah terkandung dalam ”wujud”, menurut Al-Hujwiry berarti ”menemukan”, yaitu pencapaian apa yang diinginkan. Kaum suluk (sufi) menamakan keindahan lahiriah sebagai keindahan syari’at (hukum), sedangkan keindahan batiniah (Ilahiah) sebagai keindahan haqiqat (kebenaran); karena itu kedua hal ini disebut oleh Al-Hujwiry sebagai ”Hukum adalah kebenaran dan Kebenaran adalah hukum” – dalam pengertian yang lain: syariat adalah tindakan manusia, sedangkan haqiqat adalah penjagaan dan perlindungan Tuhan. Satu kisah: Junayd (guru sufi) dan Muhammad bin Masruq dan Abul ’Abbas bin Atha sedang bersama mendengarkan penyanyi (qawwal) menyanyikan pait puisi, Junayd tetap tenang sedangkan dua orang kawannya itu tenggelam dalam ekstase (tawajud). Ketika kedua orang kawan Junayd bertanya kenapa ia tidak turut serta dalam sama’ (ekstase), Junayd membacakan Kalam Allah: "Engkau mengira mereka (gununggunung) tidak bergerak, padahal mereka berjalan seperti awan." (QS 28:88)

halaman 2

Tentang keindahan batiniah (Ilahiah) ini, akhir-akhir ini (seminggu atau sebulan sebelum "tajuk” ditulis) Taufik Efendi Aria (TEA), seorang penyair, teaterawan dan penulis naskah drama, hampir setiap hari datang ke ruang redaksi majalah Budaya Sagang, berbual-bual (diskusi) tetang puisi dan terutama tentang keindahan. TEA sampai pada makna, bahwa puisi yang indah (bagus) itu adalah keindahan yang tak dapat diungkapkan, terasa dalam jiwa tetapi tidak dapat diucapkan dengan kata-kata, meskipun semua aspek estetika yang bernama puisi ada di dalamnya. Hal inilah yang terjadi pada Junayd, ketika ia mendengarkan nyanyian puisi oleh seorang qawwal, ia tidak nampak tenggelam dalam wujud ekstase (tawajud) sebagaimana halnya kedua orang kawannya, tetapi keindahan nyanyian puisi itu ia rasakan dalam jiwanya dan tak perlu diungkapkan (wujud), tetapi sebagai keindahan "kebenaran" (haqiqat) yang hanya tertuju pada keindahan Ilahiah semata. Karena itulah, Johan Wolfgang Goethe mengatakan bahwa yang disebut indah itu bukan terang benderang (siang) dan bukan pula gelap gulita (malam), tapi antara keduanya, yakni: samar-samar, senja, oleh Hasan Junus menyebutnya sebagai “pertembungan antara siang dan malam”. “Was ist Schoenheit? Sie ist nicht Licht und nicht Nacht. Daemmerung. Die Schoenheit erscheint uns wie im traum. Er ist ein schwimmendes, glanzendes Schattenbild, dessen Umriss keine Defiseine hascht.” Jadi, seni (yang bernama “keindahan”) itu seperti “gambar bayang terapung dan bersinar yang sosoknya tak terdefenisikan. ***


Esei

Anugerah Sagang 2015

Berganjak dari FilosoďŹ Jadi Penyangga

ak 20 tahun dapat jadi penanda aktu sebuah perjalanan panjang. Apatah se lagi ianya dalam ikhwal memberi anugerah di bidang seni budaya. Di republik bernama Indonesia ini, dapat dicakap hanya berbilang jari pemberian anugerah terhadap seni yang dilakukan secara berkesinambungan. Dari yang tak banyak itu, Yayasan Sagang telah mematrikan diri menjadi salah satu institusi penyelenggara pemberi anugerah seni cukup tunak di negeri ini. Bermula dari 1995 hinggakan masuk pada tarikh Oktober

2015, penghargaan yang dijuluk sebagai Anugerah Sagang ini sudah menapak di penabalan yang ke 20. Pada 28 Okto-ber 2015, Pusat Perkantoran Riau Pos Group Graha Pena Riau, Jalan Soebrantas, Pekanbaru, menjadi saksi sebagai tempat ditajanya kenduri perhelatan pemberian Anugerah Sagang ke-20 itu. Maka, gegap gempitalah malam itu oleh tetamu yang datang, sebagai pertanda ikut mera’ikan helat budaya yang sudah berbilang nama tersebut. Dulunya, di awal-awal Anugerah Sagang

halaman 3


ini dilaungkan, Yayasan Sagang hanya menanugerahkan dua kategori penerima, yaitu Seniman dan Budayawan Pilihan Sagang dan Anugerah Khusus Pilihan Sagang. Lambat laun, anugerah pun jadi bertambah-tambah. Dari dua menjadi tiga, lalu tumbuh menjadi empat, dan terakhir menjadi tujuhlah kesemuanya. Adapun ketujuh kategori itu; Seniman dan Budayawan Pilihan Sagang, Buku Pilihan Sagang, Anugerah Serantau Pilihan Sagang, Institusi Seni Budaya Pilihan Sagang, Karya Non-Buku (Alternatif) Pilihan Sagang, Karya Penelitian Budaya Pilihan Sagang, dan Karya Jurnalistik Budaya Pilihan Sagang. Selain tujuh kategori ini, pada bilangan tertentu atau setiap lima tahun sekali, Yayasan Sagang juga memberikan Anugerah Kencana Pilihan Sagang. Anugerah ini dimulakan lima tahun lalu, atau pada tarikh 2010, bertepatan dengan penyelenggaraan Anugerah Sagang ke-15 kalinya. Pada helat ke20 pada 2015 ini, Anugerah Sagang Kencana Kembali diberikan kepada para seniman dan budayawan yang dinilai, dipandang, dan dipilih patut untuk menerimanya. Berganjak dari penyebutan namanya, sagang sesungguhnya bukanlah sesuatu yang sasa. Secara maknawi, sagang dapat diartikan sebagai penyangga. Kendati ia tidak sasa, namun secara maknawi ia memiliki kekuatan yang lentur. Sesuatu benda yang tersagang, nampaknya akan mudah luncas, tetapi sesungguhnya ia terpaut kuat dan sukar lepas. Bertolak dari filosofi kata sagang itulah, Yayasan Sagang memainkan perannya di bidang kebudayaan Melayu. Semula, ianya hanya bermain di laman kecik wilayah Riau yang kemudian lambat-laut menerabas ceruk-ceruk Melayu tak hanya di Indonesia,

halaman 4

tapi menyeruak hingga ke kawasan negeri berhampiran, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan rumpun Melayu lainnya. Memikul beban sebagai penyangga, Sagang tak hanya menampakkan diri dalam wujud memberikan penghargaan dalam bentuk Anugerah Sagang. Dalam mengasah minda dan kreativitas kepenulisan di bidang seni dan budaya, Riau Pos selaku pemilik rahim yang melahirkan Yayasan Sagang, semasa awal-awal berdirinya menyediakan halaman khusus bagi para penulis. Selari dengan nama itu, halaman khusus tersebut kemudian disebut dengan Sagang. Memandang halaman yang disediakan cuma satu halaman, dirasa gelanggang ini cukup sempit jadi laman bermain para sastrawan, penyair, cerpenis, dan eseis. Maka kemudian, halaman ini pun ditambah hinggakan halaman Sagang menjadi sesi tersendiri di Harian Riau Pos terbitan Ahad. Menengok gairah kepenulisan yang bagaikan tak terbendung dengan melihat banyak-banyaknya karya yang masuk, halaman Sagang yang sudah ‘’diperluas’’ tadi ternyata dirasa belum selesa untuk bermain. Maka kemudian dari hanya sebuah rubrik seni budaya di Harian Riau Pos, Sagang kemudian menjelma menjadi sebuah majalah dengan nama Majalah Kebudayaan Sagang. Dalam kurun terakhir, Yayasan Sagang lebih masuk ke perut kesenian dengan mengelola perguruan tinggi seni Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR). Kampus ini semula didirikan dan dikelola oleh Yayasan Pusaka Riau, yang kemudian atas kesepakatan bersama dikelola oleh Yayasan Sagang.


Tetap Tegak

dengan Tari Makan Sirih@Persembahan.

Dari perjalanan panjang 20 tahun penyelenggaraan Anugerah Sagang, apa yang menjadi harapan besarnya adalah ianya tetap tegak tercacak sebagai pancang, tempat perahu-perahu berkebudayaan bertambat, tempat camar-camar kesenian hinggap dan bermain. Harapan inilah yang diutarakan oleh Ketua Pembina Yayasan Sagang H. Rida K Liamsi, saat berucap dalam helat Anugerah Sagang 2015, di Lantai II, Graha Pena Riau (Pusat Perkantoran Riau Pos Group), Rabu, 28 Oktober 2015.

Di malam kenduri penyerahan Anugerah Sagang itu, Ketua Yayasan sagang, Kazzaini Ks saat berucap menyampaikan, bagi Yayasan Sagang, kegiatan yang memasuki tahun ke20 ini, merupakan suatu kebanggaan yang luar biasa. Apa yang dibuat ini, menjadi salah satu bagian bentuk sokongan Yayasan Sagang terhadap Visi Riau 2020.

‘’Pancang nibung di sudut berdengung. Entah berapa camar yang pernah hinggap dan meninggalkan jejak di puncak gunung,” laung Rida malam itu. Helat malam itu, memang jadi bagian dari penanda perjalanan panjang Anugerah Sagang. Suatu tradisi penyerahan anugerah kepada insan-insan seni budaya tajaan Yayasan Sagang, sebuah yayasan milik Riau Pos. Layaknya helat yang sudah-sudah, kehendak hati para tamu undangan untuk menjadi saksi sejarah dari penyerahan Anugerah Sagang 2015 selalulah besar. Hujan yang mengguyur Pekanbaru malam itu tidaklah menjadi penghalang sama sekali.

“Meskipun saat ini, kita melihat visi dan misi itu masih belum jelas juga arahnya. Tetapi paling tidak, melalui kegiatan ini, dapatlah kiranya memicu kebersamaan kita untuk menentukan bagaimana arah yang diinginkan,” ucap Kazzaini. Dalam pada itu, Kazzaini yang juga dikenal sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Riau ini menambahkan, berbagai kegiatan terus dilakukan para seniman di negeri ini. Riuh rendah kreativitas terus berlangsung dari tangan-tangan para kreator tanpa terganggu dengan hal-hal lain yang pandang Kazzaini sebagai perhatian pemerintah yang belum maksimal saat ini. Dicontohkannya, DKR yang saat ini boleh dikatakan lumpuh karena tidak adanya support dari pemerintah. “Semoga beberapa hal itu kemudian menjadi renungan bersama ke depannya,” ujarnya

Selain hendak menyaksikan penabalan penyerahan Anugerah Sagang, tetamu nampaknya memanfaat majlis ini sebagai perjumpaan hangat dari sebuah silaturahmi. Hal itu dapat dilihat dan dirasakan menjelang acara berlangsung, salam hangat, tawa canda, bincang-bincang kecil pun menjadi pemandangan sambil menikmati juadah.

Sedangkan bagi Rida K Liamsi selaku Ketua Pembina Yayasan Sagang, penganugerahan yang telah dilaksanakan 20 tahun berturut-turut itu merupakan upaya untuk mengukuhkan keberadaan Riau Pos dalam memancangkan komitmennya menjadikan kebudayaan sebagai fokus kepedulian.

Sekitar pukul 20.00 WIB, para tetamu yang hadir mulai menuju ke lantai 11. Sebagai awal, untuk menghormati kehadiran para tetamu jemputan acara pun dimulakan

Dengan tegas, Rida yang malam itu, mengenakan baju Melayu teluk belanga berwarna biru mengatakan Riau Pos melalui kegiatan anugerah ini, telah mendedahkan halaman 5


komitmen dengan cara menjadikan Yayasan Sagang sebagai pancang kebudayaan Melayu. Menjadikan anugerah ini sebagai tonggak Visi dan Misi Riau 2020 di mana salah satunya, berhasrat Riau dijadikan sebagai pusat kebudayaan di Asia Tenggara. “Sudah 20 tahun hal itu dipancangkan. Diibaratkan terus tegak di laut kehidupan kebudayaan yang tak pernah reda dengan hambatan dan cabaran. Tak pernah reda di tengah cabaran menjadikan kebudayaan Melayu sebagai salah satu puncak tertinggi kebudayaan Nasional Indoneisa. Artinya dari seperempat abad, usia Riau Pos, yang menjadi komitmen utama adalah ikut serta memberi roh dan semangat menjadikan kebudayaan Melayu sebagai warisan dunia, subhanallah� ucap Rida. Agar tetap tumbuh dan berkembang dalam komitmen yang telah digaungkan, dikisahkan Rida, sejumlah upaya telah dilakukan dalam rentang waktu yang tidak sebentar itu. Kesemua ini, tujuannya tak lain untuk menandai keberadaanya.

dengan mendatangkan 70 penyair di Asia. Sebagai lembaga inisitor dan inspirator Hari Puisi Indoneisa yang telah dideklarasikan November 2012.

Katanya lagi, Yayasan Sagang, selain menyelenggarakan Anugerah Sagang, juga sudah seiring dengan itu, telah menerbitkan 100 lebih buku sastra, sudah menerbitkan Majalah Budaya Sagang. Menurutnya, sebuah majalah paling lama bertahan selain majalah sastra Hosrison. Bahkan Yayasan Sagang saat ini telah membina sebuah lembaga pendidikan kebudayan dengan ikut serta mengelola Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR).

Saat ini, berbagai program juga terus digesa, Yayasan Sagang telah pula menginspirasi lahirnya Yayasan kebudayan baru, Riau Pos Grup seperti mendirikan Yayasan Jembia Emas di Batam, di mana tahun depan juga akan melaksanakan penyerahan penghargaan Jembia Emas kepada insaninsan yang tunak dan mendedikasikan diri kepada seni budaya.

Selain itu, iven-iven sastra bertaraf Nasional bahkan International juga sudah diselenggarakan seperti lomba baca puisi, bekerja sama dengan Yayasan Panggung Melayu menggelar Hari Puisi Indonesia (HPI). Festival Penyair Korea- Asean

Dipaparkan Rida, tradisi ini dilanjutkan dari tahun ke tahun sejak 1996, selain memberi memberikan penghargaan tahunan, di 2015 ini, untuk kedua kalinya Yayasan Sagang memberikan anugerah Sagang Kenana. Anugerah khusus yang diberikan setiap

halaman 6


kepada para penerima. Menampakkan kekhidmatan helat, tetiap pelaksanaan Anugerah Sagang selalu ditandai dengan arak-arakan atau prosesi. Arak-arakan ini bermula dari persembahan gerak tari prosesi yang dalam helat kali ini diisi oleh mahasiswa AKMR. Lentur gerak berbancuh dengan ritme musik yang serasi. Di pengujung dari tari ini, ketika bebunyi dari alat musik diam dan para penari berhenti menari, suasana menjadi khidmat oleh suara nafiri. (Di zaman rajaraja Melayu, nafiri merupakan musik yang dibunyikan saat penabalan).

Malam Anugerah Sagang 28 Oktober 2015 di Lantai 10, Gedung Graha Pena Riau.

lima tahun sekali kepada sosok seniman budayawan yang sepanjang hidupnya tiada pernah berhenti mengabdikan diri kepada seni dan budaya terutama budaya Melayu. “Anugerah Sagang memancang pancang nibung kebudayaan Melayu di tengahtengah arus kebesaran budaya dunia. Anugerah Sagang sebagai bahagian upaya mewujudkan visi dan misi Riau 2020 bidang kebudayaan. Tempat camar-camar kesenian hinggap dan bermain. Pancang nibung di sudut berdengung, entah berapa camar yang pernah hinggap dan meninggalkan jejak di puncak gunung,” ucap Rida dengan nada penuh semangat.

Arak-arakan Anugerah Cerita besar dari keseluruhan helat malam itu adalah penyerahan Anugerah Sagang

Selang sejenak kemudian, fokus tetamu yang semula tertuju di panggung, berpindah ke rombongan arak-arakan dari bagian belakang para tetamu. Alunan bunyi dari alat musik nafiri tadi, pertanda bahwa iringiringan yang membawa tropi Anugerah Sagang sedang menuju ke panggung. Bagaikan arak-arakan pembesarpembesar kerajaan, tropi dan Piagam Anugerah Sagang diarak di bawah ‘’payung kebesaran’’ bewarna kuning. Langkah pelan tropi dan piagam yang ditating mahasiswamahasiswa AKMR ini melewati alur kosong antara tempat duduk tetamu jemputan. Sementara itu, di bagian depan para ‘’pembesar’’ sudah bersiap menyambut kedatangan arak-arakan ini. Begitu tiba di barisan tempat duduk paling hadapan, arakarakan ini langsug ‘’disirami’’ dengan tabur beras kunyit. Lalu, satu per satu rombongan arak-arakan itu menuju panggung. Selesai prosesi, puncak penyerahan anugerah menjadi waktu yang paling ditunggu-tunggu, terutama para penerima anugerah. Kemudian, pembawa acara memandu membacakan nominator dan menyampaikan ke khalayak sesiapa

halaman 7


Husnu Abadi 'Penerima Anugerah Sagang 2015 kategori Seniman Budayawan Pilihan Sagang"

penerima untuk tiap-tiap kategori. Untuk kategori Anugerah Serantau Pilihan Sagang 2015 dipilih buku Sejarah Melayu karya Dr Ahmad Dahlan. Usai nama penerima dibacakan, Ahmad Dahlan yang merupakan Wali Kota Batam yang menulis buku tersebut naik ke panggung untuk menerima anugerah. Usai penyerahan anugerah, Ahmad Dahlam diberi laluan untuk menyampaikan sepenggal ucapan. Dalam penuturannya, buku Sejarah Melayu ini ia tulis dengan alasan bermula dari kecemasan. Takut, kalau-kalau anakanak Melayu hari ini dan masa mendatang tidak tahu dengan sejarah bangsanya sendiri. “Dari kecemasan itulah, saya menulis

halaman 8

buku ini. Sungguh akan sangat menyedihkan ketika menyaksikan anak-anak Melayu tidak tahu dengan sejarah leluhur mereka. Semoga kehadiran buku ini bisa menambah dan menjadi bacaan tentang warisan leluhur dan sekaligus dapat mengubah anakanak Melayu supaya lebih sukses di masa mendatang,� ucapnya. Seturut kemudian, penerima anugerah kategori Intitusi/lembaga Pilihan Sagang 2015 yang diberikan kepada Sanggar Bathin Galang, Desa Bokor, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Seorang anak muda yang juga Ketua Sanggar Bathin Galang Sopandi, S. Sos, naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan atas kerja keras dan ikhlasnya


memimpin, membina anggotanya yang bergabung di sanggar yang berada di ceruk kampung itu. Kemudian, kategori Karya Non-Buku Pilihan Sagang 2015, ditetapkan sebuah helat pameran kartun yang bertajuk Pekanbaruko oleh Sindikat Kartunis Riau (Sikari). Naik ke atas panggung, pimpinannya Furqon Elwe bersama sejumlah anggota lainnya. Mewakili rekan-rekannya, Furqon menyebutkan berkarya bagi mereka adalah penyeimbang hidup. ‘’Yayasan Sagang juga demikian, penghargaan yang diberikan sebagai bukti bahwa Yayasan Sagang sebagai penyeimbang kebutuhan seniman dan kebudayaan, tunak dan konsisten, terima kasih Yayasan Sagang,” ucapnya. Dan, buku kumpulan puisi bertajuk Bahtera Ahmad Ijazi Hasbullah ditetapkan sebagai Buku Pilihan Sagang 2015. Penulis muda Riau itu kemudian naik ke panggung untuk menerima anugerah. Seniman Budayawan Pilihan Sagang 2015 pilihannya jatuh pada Husnu Abadi. Bila penerima lainnya diberi kesempatan berucap sepatah-dua kata usai menerima anugerah, maka Husnu Abadi diberi waktu lebih lapang untuk menyampaikan orasi budaya menyangkut buah pikiranya di bidang kebudayaan. Dalam orasi pendeknya itu, Husnu menyatakan, baginya seniman dan budayawan adalah seorang yang terus menjalani kehidupan dengan penuh optimisme. Perjalanan kehidupan manusia harus terus direkam guna mengabarkan kembali dalam bentuk karya kepada manusia. “Seniman dan budayawan harus mengekspresikan semuanya. Menawarkan

harapan-harapan yang menggembirkan. memberikan sesuatu yang bermakna bagi negerinya. Dan seniman harus tampil ke depan dengan kabar gembiranya itu, harus disuarakan harapan demi harapan bahkan juga perlu melaungkan perlawanan, bila diperlukan,” ucapnya. Usai lima anugerah diserahkan, kemudian dilanjutkan dengan penyerahan anugerah kepada lima penerima Anugerah Sagang Kencana yang diberikan tiap lima tahun sekali. Kelima penerima ini adalah (Alm) Ibrahim Sattah, seorang penyair asal Riau yang telah membawa nama Riau sampai ke pentas nasional bahkan international. Penerima kedua, (Alm) Umar Umaiyyah Ali, penari yang juga dengan karyanya turut mengharumkan nama Riau ke tingkat nasional bahkan atas dedikasinya itu, dipatrikan namanya di salah satu bangunan di Taman Budaya Provinsi Riau. Penerima Anugerah Sagang ketiga adalah Prof. Tabrani Rab, tokoh budayawan yang tak henti-henti menulis, terus menyampaikan pemikirannya lewat sejumlah tulisannya yang dinilai sangat memberikan sumbangsih bagi perekembangan negeri ini. bahkan melalui rubrik tetapnya di Riau Pos Edisi Ahad, bernama Tempias, telah menghasilkan 5 jilid buku. Penerima keempat adalah Seniman Pemangku Negeri (SPN) Hery Syahrial atau dalam berkarya lebih dikenal dengan nama Eri Bob. Eri Bob bersama grup musiknya Geliga dan Bujanggi dinilai sebagai pemusik yang menjadikan musik Melayu mampu bersanding dengan musik dunia dengan konsep Jazz Melayu-nya. DR Chaidir MM, selaku budayawan penerima Anugerah Sagang Kencana berikutnya. Tokoh masyarakat satu ini juga

halaman 9


Tarian yang dibawa oleh mahasiswi AKMR yang di kelola Yayasan Sagang pada malam Anugerah Sagang 2015.

tidak pernah berhenti menulis, mewariskan pemikirannya terkait dengan fenomena berbagai lini kehidupan manusia. Menyoroti berbagai hal melalui kolom Sigai di Riau Pos. Dikatakan Chaidir, Riau adalah sebuah nama yang terbilang, ibarat gadis atau dara cantik yang membuat bujang mabuk kepayang. Kepak burung waktu akan membuat gadis ini tampak semakin tua, tentu dia tidak cantik lagi, tetapi dia tetap tertarik karena ada warisan berakar budaya Melayu. “Budaya Melayu itulah yang akan selalu meletakkan Riau sebagai sebuah nama terbilang dan terpandang. Dan budaya

halaman 10

Melayu itulah yang setiap tahun disentuhkan Rida K Liamsi beserta Yayasan Sagang sehingga Riau menjadi tetap bermakna. Kita semua bangga dengan anugerah Sagang yang diberikan setiap tahunnya. Ianya kemudian memberikan motifasi kepada kami semua untuk terus berkarya, berkiprah di bidang kebudayaan,â€? ucap Chaidir mewakili para penerima Anugerah Sagang Kencana lainnya. *** () Foto: DeďŹ zal

P


Esei

Be(r)Lagu oleh Zuarman Ahmad

Pada lagu musik terikat pada bahasa karena isi dan bentuk dan teristimewa oleh hubungan bunyi dari kata-kata. Apa yang menarik komponis pada sebuah sajak sama dengan apa yang dijumpai seorang penyanyi dan seorang pembaca yang musikal dalam sajak itu: yakni musikalitas dari sajak. (Prof. Hendrik Andriessen)

alam Kamus Dewan Edisi baru (1991), lagu berarti: 1. irama (1991)

Marguerite Duras atau lama lengkapnya Marguerite Donnadieu Duras (perempuan

suara (dlm bacaan, nyanyian, percakapan dll); 2. gubahan muzik biasanya dengan seni kata, nyanyi, nyanyian; langgam atau corak irama (muzik dll); 3. cara, gaya, macam, kaedah. Karena itu/ini oleh orang Melayu kata “belagu� termasuk dalam pengertian 3 yakni banyak gaya, atau banyak macam.

keturunan Perancis yang lahir di Gia-Dinh, Indocina, 1914) mengarang satu novel (nouveau roman) dari beberapa novel-nya yang lain berjudul Moderato Cantabile. Dalam kehidupan musik, moderato berarti musik yang dimainkan atau dinyanyikan dengan tempo sedang lambat, sedangkan kata cantabile bermakna dengan berlagu atau

halaman 11


berseru; dalam Oxford Concise Dictionary of Music ditulis: Singble, stingingly, with the melody smoothly perf. and well brought out.

pendek, dan novel yang bermutu. Karena

“Coba baca yang tertulis di partiturmu,” perintah perempuan itu.

buku gratis cerita-pendek, puisi, dan novel yang kadang-kadang masih dalam bentuk dibungkus dengan plastik, dan mungkin sampai saat tulisan ini ditulis masih belum

atas

“Moderato cantabile.” Jawab anak itu. Perempuan itu menandai jawaban itu dengan satu pinsil di atas tuts piano. Si anak tetap tidak bergerak, kepalanya menghadap ke arah partitur. “Apa arti moderato cantabile?” “Tidak tahu.” Seorang perempuan lain yang duduk tiga meter dari situ, menarik napas panjang. “Kau yakin, tidak tahu arti moderato cantabile?” perempuan pertama bertanya kembali. Anak itu tidak menjawab. Perempuan itu mendesahkan perasaan yang tertekan tidak berdaya sambil sekali lagi mengetukkan pensil ke atas tuts piano. Anak itu tak bergerak seujung rambut pun. Perempuan itu membalikkan tubuh. Seperti itu/ini halaman pertama yang ditulis oleh Marguerite Duras dalam Moderato Cantabile satu dari nouveau roman-nya yang terbit 1958, dan terjual sebanyak 500,000 eksemplar. Novel dengan judul istilah musik ini saya ketahui dari alm H. Hasan Junus ketika suatu hari di kantor lama majalah budaya Sagang beliau bertanya kepada saya makna dari moderato cantabile yang menurutnya pastilah saya mengetahuinya karena semenjak kecil dalam tubuh saya musik sudah membalutinya. Hasan juga menulis dalam satu Rampai-nya di Riaupos yang berjudul Moderato Cantabile, sehingga lengkaplah kebahagiaan saya yang juga menyukai sastra, terutama puisi, cerita-

halaman 12

ada satu dari banyak kekurangan saya yang buruk, yakni ketika menerima banyak

saya buka plastiknya atau dalam bahasa “halus” belum sempat dibaca. “Lagu” dan “berlagu” berkait-kelindan dengan sajak, walaupun menurut Andriessen, “Terikatnya bahasa adalah soal nisbi, sebab apa yang disebut penyusunan musik mengenai unsur yang paling wujud dari sajak.” Dalam hal ini Andriessen hanya menyinggung sajak-sajak yang bermutu, dimana perasaan yang paling asli tetap hidup sampai kepada serabut sekecil-kecilnya kata-kata. Walaupun banyak susunan kata yang bersajak dan berirama yang baik tapi yang tak mengandung musikalitas menurut Andriessen tidak termasuk apa yang ia maksud. Hal ini sejalan dengan pemikiran Penyair Albert Verwey yang menulis bahwa, “Yang kita ucapkan tidak lain daripada irama-irama yang memaksa keluar dari diri kita, tapi kita tahu, bahwa sebelum mereka hadir dalam diri kita, mereka dalam bawah sadar bersatu dengan yang telah mati, yang kita sebut birama-birama. Biramabirama sebetulnya adalah hal-hal mati yang mengerikan. Tidak ada yang melihat mereka, kita hanya melihat semata-mata iramairama.” Karena itu Verwey menyimpulkan bahwa, “Baik penyair maupun musikus hanya mengenal irama dan untuk mereka birama tidak ada.” Sajak yang baik menurut Andriessen merupakan nyanyian, karena kata-kata berhubungan dan memberikan bentuk.


Kata-kata merupakan dorongan bunyi melodi, sehingga lagu yang baik merupakan suatu kesatuan vocal dan instrumental,

seseorang dipenuhi oleh musikalitas, maka dalam dirinya hidup intuisi bahwa musik tidak memerlukan puisi, sebab ia sendiri

yakni sajak meliputi suara nyanyian. Pikiran Andriessen ini sejalan dengan Wilhelm Muller. Seorang penyair lagu-lagu Die Schoe

adalah puisi.” ***

Mullerin (Mulerin yang molek) merasa kekurangan bagi dirinya karena ia tidak mempunyai bakat menciptakan musik, karena itu menurut Muller sajak-sajak akan lebih berbicara jika ia melarutkan melodi pada sajak-sajaknya. Oleh itu/ini, karena

P

merasa belum dapat membubuhkan dan meliputi melodi pada sajak, barangkali hanya satu puisi yang dapat saya tulis ketika peristiwa sunami Aceh, yakni “Di Kaki Baiturrahman”, atau saya memang hangkong membuat sajak (puisi)? Supaya tidak salah tafsir, memasukkan (melarutkan) melodi pada sajak atau puisi menurut pendapat Wilhelm Muller itu/ini bukanlah alihmusik sajak atau puisi yang disebut di Indonesia dengan musikalisai puisi atau sebagaimana yang dibahas oleh Hendrik Andriessen di atas. Jika pun peristiwa sajak atau puisi yang dialihmusikkkan sebagaimana yang disebut dengan musikalisasi puisi atau musikalisasi sajak, inilah yang disebut dengan “lagu”. Pada hal (pasal) ini saya sangat merasa heran juga ada satu dua orang kawan yang berani menjadi juri, misalnya ia yang tidak mengerti musik menjadi juri (sebut saja) lomba bersyair (membaca dengan berlagu syair); apakah ia mengerti irama, musik? Sama hangkong-nya dengan dinas-dinas di Riau ini yang meminta kawan saya itu menjadi juri, karena itu janganlah “belagu”. Usul saya, penuhi dirimu dulu dengan pernyataan yang ditulis oleh Prof. Hendrik Andriessen: “Kalau

halaman 13


Cerita-Pendek

Matahalasan oleh Nevatuhella

halaman 14


ingkun ingkungan Matahalasan, bepenghuni sekitar dua ratusan keluarga. Rumah warga berdiri rapat, tak menyisakan halaman, atau sekedar pelataran tempat tandangan pun tak ada. Jala Jalan-jalan sempit dari satu lorong ke lorong lain. Tidak seperti dulu rumah-rumah yang ada di sekitar daerah ini rata-rata mempunyai pelataran di belakang dan di depan. Pelataran di bagian belakang rumah biasanya, yang bertemu langsung dengan sungai, yakni sungai Matahalasan. Ada pelataran yang luas diperuntukkan meletakkan tempat tong-tong air dan jemuran kawat serta jamban untuk mandi yang dilengkapi dengan WC. Ada juga pot-pot tanaman yang menjadi wadah menanam berbagai tanaman, seperti kunyit, halia, serai, daun tapak dara, sampai nilam, dan bunga sedap malam yang suka menebar wangi di malam hari kala musim berbunga. Karena luasnya pelataran belakang ini, pemilik rumah dapat duduk duduk bersantai di sini. Sedangkan pelataran di depan, tempat untuk duduk-duduk juga di sore hari bersama tetangga atau kerabat dekat dan tamu, digunakan juga untuk tempat menyirat jala, atau memperbaikinya, mengopek nipah, menjemur ikan asin, atau keperluan lainnya. Di pelataran depan juga selalu ada tong air yang berisi penuh setiap saat. Air yang disediakan di pelataran depan selalu disediakan untuk berwudhu. Sedang tak ada pekerjaan tempat ini dijadikan tempat bemain masak-masakan oleh anak-anak. Matahalasan berasal dari nama Pisau Sakti milik seorang Raja perempuan yang berkuasa disekitar daerah Asahan, dimana Matahalasan berada, sebelum abad ke XV, bernama Raja Simargolang. Kampung Matahalasan di apit oleh dua kampung yang lebih terkenal di kota ini. Yang pertama, sebelah timur, kampung SS. Dengki, yang namanya berasal dari nama sebuah kapal perang Jepang yang tenggelam disekitar sungai di daerah tersebut, “Sholar Ship Denky�. Sedangkan kampung Bangsal, sama dengan tempat-tempat tinggal, atau rumah-rumah pegawai rendah perusahaan kereta api di Sumatera Utara. Kalaupun Matahalasan terkenal, karena di sini berdiam seorang dukun China yang bernama Wak Bandung, beristrikan seorang wanita asal Bandung yang telah beragama Buddha juga sama seperti Wak Bandung. Masyarakat Matahalasan dulu hidup rukun, centeng dari suku China diangkat oleh Sultan Hoesinsyah dalam rangka keamanan dan kesiapan menantang Raja Siak yang waktu itu mencoba mengadakan deteksi atau penyerangan. Itu dulu, sekarang Matahalasan kumuh dan tak terkendali. Bangunan rumah papan tua yang sudah berusia hampir setengah abad sudah mengeluarkan aroma busuk dengan ulat-ulat kecilnya.

halaman 15


Berpuluh tahun meninggalkan kampung Matahalasan, Noni merasa total kehilangan hampir semua kenangan masa kecilnya di Matahalasan. Spur kereta api yang berderet lima dengan kerikilkerikil batok kelapa sawit menjadi tanahnya sudah tak berbekas lagi. Pohon kamboja yang menaungi beberapa kuburan keramat sudah digantikan oleh rumah kumuh tak sehat. Begitu juga dengan gudang kayu dan gudang atap, sedikit pun tak nampak lagi tapaknya. “Oh, mana pantai kecil Matahalasan dulu? Yang pasirnya putih, air pasangnya hijau biru, jernih oleh pantulan pasir dan lumut kasar, serta plankton hijau?!” “Itu yang kau tanyakan sudah tak ada anakku.” Tiba-tiba datang suara ajaib menjawab dari alam bawah sadar Noni sendiri ketika Noni menyeruakkan pertanyaan ke alam sekitar. Bau aroma kol dan sawi busuk menyengat hidung, pengganti aroma minyak goreng yang dulu selalu memenuhi atmosfir Matahalasan, sebab dulu ada satu pabrik kecil pengolah minyak makan disini dan besertaan dengan bau peceran kandang bebek yang ada. “Kau hanya bisa menikmati itu semua dalam hayalanmu anakku, dalam imajinasimu, tentang kembang kamboja yang dulu selalu hanyut di bawa pasang surut sebelum layu. Kau selalu mengejarnya bukan? Bunga kamboja merah jambu berdasar putih itu, yang menyebabkan kakakmu marah padmu, takut kau terseret air hanyut kelautan luas, hanya karena sekuntum bunga kamboja itu.” Noni mencari cari suara. “Dan banyak disini anak-anak yang mau hanyut atau tenggelam kuselamatkan!” Tambah suara. Yang seperti suara seorang kakek untuk telinga Noni. “Tapi Kek, kok kakek dulu tak melarang sungai Matahalasan di bonsai begini. Kalau waktu itu kakek marah dengan memperlihatkan kesaktian kakek pasti para pemborong yang katanya tidak punya proyek lagi untuk dibangun. Maka diperkosalah sungai Matahalasan, mereka berani membeton sungai yang lebarnya lebih dua puluh meter menjadi dua meter!” “Haa..ha..ha....”. Kakek penjaga sungai Matahalsan dan kuburan keramat terbahak bahak. “Kami pun, maksud kakek, kaum kakek dan anak cucu kakek kini, merasa tersinggung juga. Biasanya kami makan kembang-kembang kamboja sudah cukup mengenyangi perut kami, tapi kini tidak lagi. Sesajen China penganut Buddha pun sudah sering lebih dulu diambil orang-orang tertentu, yang katanya bisa mejadi dukun lewat makan bunga-bungaan, terutama bunga sajenan.” Noni penasaran dengan semuanya. Seandainya ia tukang sihir, atau berteman dengan jin yang menjadi kontraktor pembangunan

halaman 16


Istana Ratu Balqis, ingin rasanya ia mengembalikan lagi keindahan kampung Matahalasan. Noni menangis. Seorang gadis kecil menangis pula ikutan disampingnya tiba-tiba “ Heh, jangan ikutan menangis kamu! Ayo sana mandi, kau busuk sekali, ingusmu meleleh tak karuan!” Bentak Noni. Anak yang di usir bukannya pergi. Sebaliknya menarik rok Noni, untuk melap ingusnya. “He,..eeeeh! “ Bentak Noni, “No, sana buang ingus. Ke sungai besar!” “Gi banjir kak Noni. Sungai besar lagi banjir. Nyak ku marah kalau mengetahui aku, anak kecil pergi ke sungai besar! Cerita Nyak dulu di sini air bersih. Tempat tinggal kami begitu mewah. Dinding marmer, lantai marmer dan sepasang menara kembar setinggi menara kembar di Kuala Lumpur menghiasi halaman rumah kami! Berlampu purnama, bersenter kunang kunang…” “E..., eh, apa kamu tak takut kunang-kunang itu asalnya dari kuku orang mati?!” Noni menyampari cerita anak gadis kecil yang tubuhnya hanya bayang-bayang seperti Casper. Noni dapat melihatnya, tapi tak bisa menjamahnya. “Kuno kak Noni ini. Hari gini masih percaya cerita yang gituan... Eh, maaf ingusku meleleh lagi.” Anak kecil menarik kini lengan baju Noni. “ I....ih,..” Jengkel Noni. ”Ngapain kakak kemari lagi. Mau ziarah ke kuburan keramat?” Gadis kecil tak memperdulikan kekesalan Noni. “Kuburan keramat Nyakmu?! Kuburan keramat itu kan tempat tinggal kalian dulu? Ayo lepaskan rokku, nanti kau kusepak sampai ke langit. Biar tak pulang lagi kau ke bumi!” “Hi, hi, hi,hi... emang enak jadi manusia. Enak kayak kita dong. Tuh, kelihatan gak, teman-temanku pada ingin ke sini. Pergilah kakak. Nanti rok kakak kena ingus mereka semua!” Gadis kecil menunjuk kearah kumpulan anak-anak yang berjalan menuju mereka. Langkah anak-anak jin yang ramai ini tak beraturan. Kaki-kaki mereka berkelebet bagai jalinan benang-benang kusut. Noni beranjak meninggalkan gadis kecil yang dianggapnya malang. Tak punya lagi bunga-bunga untuk dimakan. Dua menara kembar, yang merupakan nisan kuburan sudah tak ada. Mengapa tak hijrah mereka dari Matahalasan ya. Noni pun membayangkan tubuhnya terbang seperti, arwah gentayangan yang tak menakutkan siapapun, kecuali Ronald Weasley.” Kakak, kakak,” Suara gadis kecil tiba-tiba memanggil Noni. “Jangan tinggalkan aku, ni kakek datang mau mengatakan seuatu!“ Jerit anak kecil.

halaman 17


Noni memutar arah kembali mendatangi anak kecil, dan kakek sudah berdiri di samping gadis kecil ingusan tadi. “Kek,....” Sapa Noni sambil mengulurkan tangannya bersalaman. “Ada apa kek? Kok tiba-tiba muncul?!” Tantang Noni, yang kini sudah merasa semakhluk dengan dua makhluk halus ini. “Anu,...gimana kalau besok kita bertiga ke Jakarta lihat banjir. Mau gak? Udah lama kan Noni tak ke Jakarta ?” Ajak kakek yang bertubuh bungkuk seperti Kreacher. Noni mengiyakan spontan. Tak percuma, fikirnya menjadi bayangan. Bisa terbang dengan leluasa di angkasa, dan sampai di Jakarta! Anak kecil kegirangan tiba di Jakarta. “Rasain banjir kan! Emang enak kebanjiran?!” Ejeknya pada orang-orang yang sedang sedih kebanjiran. “Lho, apa-apaan kamu? Kok ngomong gituan?” Bentak Noni. “Emang gak boleh?!” “Ya, tidaklah...” Anak kecil itu langsung menggigit tangan Noni. Noni menjerit sekuatnya. Seisi rumah terjaga. “Ada apa Noni?!” Tanya adiknya yang tidur disebelahnya. Suara orang orang diluar rumah ramai membicarakan banjir yang baru disadari keluarga Noni. “Dam air pembangkit listrik dibuka di hulu sungai yang melintasi kota tempat tinggal Noni!” Alasan mengapa banjir. ***

Nevatuhella Lahir di Medan, 31 Desember 1961. Menamatkan pendidikan di Fakultas Teknik USU, jurusan Teknik Kimia tahun 1988. Menulis sejak dibangku SMA untuk Harian Waspada dan Analisa Medan. Tahun 1986, selama bermukim di Bali menulis beberapa cerpen untuk harian Nusa Tenggara (Nusra) Bali. Saat ini dipercaya sebagai Ketua Himpunan Sastrawan “Kembang Karang“ Tanjungbalai.

P

halaman 18


Cerita-Pendek

Percakapan di Tengah Malam oleh Alex R. Nainggolan

ejak gemparnya perang para operator telepon seluler. Aku memilih untuk mengganti SIM Card, terlebih lagi janji yang memi ditawarkan ditawa oleh operator tersebut bebasnya percakapan tengah malam mulai dari pukul 23.00 sampai 5 pagi tanpa mengeluarkan biaya. Untunglah, aku bisa mendapatkan teman bicara setidaknya. Sebab, aku memang sedang dilanda kesepian yang panjang, perlu untuk bercakap dengan seseorang. Barangkali ada yang kukenal, tapi ada pula yang tidak. Tetapi, bagaimana membayangkan untuk cepat beradaptasi dengan seseorang yang tak pernah dikenal sebelumnya? Sementara cuma terdengar denyar suaranya—yang sesekali menganggu, sesekali mengasikkan, bagai melontarkan ke sebuah dunia rekaan sendiri. Dunia yang dibalut dengan warna-warni. Sesekali aku menukar-nukar nomor telepon seorang kenalan, dengan mengganti beberapa angka di belakangnya. Berharap bersua dengan karakter orang yang lain, yang barangkali bisa menjanjikan suatu percakapan renyah bagiku. Terkadang, memang agak sebal juga jika mendapati kalimat: nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi. Akibat banyak yang menelepon bebas pulsa, wilayah percakapan jadi sempit, server percakapan sibuk dengan lalu-lintas komunikasi. Terkadang

halaman 19


membuatku terjepit, memaksa untuk menekan tombol yes yang berwarna hijau berulang kali. Akhirnya nada sambung itu terdengar juga di telinga. Kali ini nomor yang kuputar adalah nomor seorang kenalan, tetapi seperti biasa ujung nomornya aku rubah dengan angka: 13, angka yang kata sebagian orang merupakan angka sial. “Halo…” (lama terdiam, suara perempuan, aku agak ragu untuk memulai percakpan. Bagaimana membayangkan percakapan dengan seseorang yang tidak kita kenal? Atau, barangkali aku tengah menganggu jam tidurnya saat itu.) “Ya…siapa nih?” (Suara perempuan itu terdengar penasaran, aku tebak ia tengah jengkel.) “Siapa sih? Halo??”

halaman 20


Aku membiarkan pulsa terus berjalan. Toh, tidak bayar saat menelepon. Akhirnya memang ia yang memutuskan percakapan. Setelah kucoba menakutinya dengan ringkih jeritan, suara-suara hantu sebagaimana yang kerapkali kudengar di beberapa film misteri. Aku mencoba untuk meneleponnya lagi. “Halo…ayo, dong jangan begini, kamu buat aku takut nih?” Entah kenapa terbersit sebuah nama. “Rina, ya?” “Bukan. Ini siapa?” (umpanku mulai tergigit) “Seorang fans berat.” (ia tertawa. Ah, imajinasiku terbang seperti burung mencoba menyandingkan suaranya dengan bentuk wajah yang dimiliki olehnya. Tapi gagal, semuanya kabur. Melayang sendirinya sebagaimana gelap malam yang menjereat dengan warna hitamnya.) “Beneran, fans? Di mana? Pernah kita bertemu di sebuah tempat? Di mana?” (ia mengulang-ulang dengan pertanyaan dengan denyut penasaran yang lebih jauh) “Apalah artinya sebuah tempat. Bagaimana seandainya kita kesampingkan itu.” “Tapi, kau punya nama ‘kan?” “Apalah artinya nama?” “Bagiku berarti, entah bagi Skhakespeare?” “Sering baca Shakespeare?” “Kadang-kadang” “Apa lagi yang kau baca?” “Bermacam-macam. Dari Zhivago, Tolstoy, Borges, sampai Pramudya. Dari resep masakan sampai seks. Dari koran sampai setensil.” “Kau mulai nakal.” “Sembarang tuduh! Apa tidak boleh tahu dengan bacaan serupa itu?” Ada sengat birahi yang menjalar ke selangkanganku. “Ya, kita bicara seks saja. Boleh?” “Kenapa tidak? Namamu dulu.” Aku menyebutkan sebuah nama. Ia merespon balik. Kemudian ia ceritakan dirinya, saat ini tengah kuliah semester lima di fakultas sastra. Memunyai adik dua orang, laki-laki dan perempuan. “Rambutmu semana?”

halaman 21


”Yang mana?” “Terserah.” “Kalau yang atas sebahu, tapi yang bawah setiap tiga bulan sekali kucukur.” Aku tertawa. “Kau sedang berbaring di atas ranjang?” “Ya, cuma pakai kaus dalam, tanpa bra.” “Tapi pakai celana dalam ‘kan? Wah, lagi basah nggak?” “Ya masih pakai, maunya dibuka sih. Sedikit basah. Coba aku raba, sepertinya makin deras.” “Kenapa? Lagi horny ya?” “He, eh. Abis dengar suara kamu, yang begitu banyak desah, mengganggu tubuhku penuh gelisah. Ada yang berdenyut, di ujung kelaminku.” “O, ya…enak dong.” “Coba kamu di sini. Ah…” Ia betul-betul membuatku gemas. “Payudaramu semana?” “Pentingkah? Tapi aku sedang menyentuh putingnya, mulai mengeras, terasa hangat di dada.” “Kau mulai masturbasi.” “Itu urusanku.” “Nggak perawan lagi, dong?” “Itu juga urusanku.” “Di Indonesia, perempuan yang sudah tidak perawan sebelum menikah dianggap rendah.” “Biarin!” Aku terkesiap. Kemudian, ia mengeluh tentang banyaknya bacaan sastra sekarang yang dibalut tubuh manusia. Katanya, kalau yang konsumsi orang sudah dewasa baginya tak masalah, tapi bagaimana bila yang membeli dan membaca anak-anak di bawah umur. Ia juga mengeluh, bisa-bisa apabila dibaca anak yang di bawah umur akan menyebabkan puber mereka lebih cepat. Dewasa sebelum waktunya. Katanya juga, buku-buku tersebut diperdagangkan bebas, dapat dengan mudah diperoleh. Apa para pengarang itu tidak sadar turut menggerogoti moral bangsa?

halaman 22


“Tapi, kau juga hobbi mempercakapkan seks,” kataku. “Konteksnya ‘kan berbeda. Aku sudah dewasa. Sudah bisa membedakan, mana hubungan yang baik. Sudah mampu memilah apa yang terbaik bagi diriku.” “Apa ukuran seseorang dewasa?” kejarku, “Kata iklan, menjadi tua itu pasti, tetapi dewasa adalah sebuah pilihan.” “Iklan apa?” “Rokok.” “Wah, iklan semacam itu kau percaya. Namanya juga rokok sudah pasti merusak badan, sok memberikan nasihat lagi.” “Apakah salah mengambil hal-hal yang dianggap benar, meskipun dari orang yang salah?” Ia terdiam, kemudian mencoba untuk mengalihkan percakapan yang lain. Tentang rencananya dulu masuk akademi tentara tapi gagal. “Sebetulnya semua tes sudah aku jalani, tapi mungkin karena ketidaksetujuan Bapak.” “Memang kau suka menjadi tentara? Perempuan memegang senjata, begitu?” “Apa bedanya?” Di hari-hari berikutnya aku menjadi lebih sering menghampiri nomornya di malam hari. Walaupun mulai agak berkurang, terutama jika ia kuliah pagi. Aku diminta untuk tidak menghubunginya. Tapi terkadang, segalanya semu bagiku. Sebab aku cuma butuh teman bicara, sekadar mengisi kesepian yang melulu hadir di pikiran, sekadar ingin melewati malam dengan bercerita pada seseorang, walaupun aku tak pernah mengenalnya. Meskipun ia kerapkali menggambarkan bagaimana rupa dirinya. Aku tak pernah benarbenar melihat wajahnya. Walaupun ia juga sering mengajak untuk bertemu, memberitahukan alamat untuk singgah. Tetap saja, aku memilih untuk mengenal dirinya lewat percakapan saja. *** Di kali lain, aku mencoba nomor telepon yang sama, namun kembali mengganti nomor akhirnya dengan angka: 26. angka 26 terlintas di benak, dengan menjumlahkan 13 + 13, mudah-mudahan aku mendapat percakapan yang lebih baik lagi. Mendadak aku sedikit bosan mendengar suara Rina. Nada sambung sudah terdengar, suaar telepon masuk dan diangkat. “Di sini Jibril, apa yang bisa saya bantu? O, soal bom yang meledak itu? Itu biasa, asal jangan asal tuduh saja. malah nanti yang merakitnya

halaman 23


tidak benar-benar tertangkap.� Aku memilih mengakhiri percakapan. Aku pikir, orang ini gila. Dikiranya aku seorang polisi kali. Dan, anehnya ia mengaku bernama Jibril. Ah, dunia memang merupakan tempat yang ajaib. Begitu banyak hal-hal yang tak kuketahui dengan baik, begitu banyak yang luput bagiku. Barangkali, aku mesti menghentikan kebiasaanku untuk penasaran kepada orang lain. Untuk selalu tergoda mengunjungi orang-orang yang tak pernah dikenal sebelumnya, atau menggantiganti nomor untuk menghilangkan perasaan sepi yang menelusup masuk ke dalam diri. Telepon selulerku berbunyi. Di layar tertera: private number. Aku mengangkatnya. Suara berat yang tertahan penuh kedalaman. Seperti suara yang pernah kudengar sebelumnya. “Ya, ini Jibril yang barusan Mas telepon. Tolong jangan berkhotbah lagi, ya, Mas! Terlebih lagi lewat telepon seluler, mana maunya gratisan lagi.� Aku tergeragap. Entah kenapa aku merasa kecut. ***

P

halaman 24


Cerita-Pendek Terjemahan

Pemakan Orang di Kereta oleh Mark Twain (Terjemahan dari cerita pendek Mark Twain “Cannibalism In the Cars� yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh: KoesnoManyuk bin Koeswoto)

halaman 25


aruaru-baru ini aku mengunjungi St. Louis dan dalam perjalananku ke sana, setelah transit kereta di Terre Haute, perj Indiana, seorang pria setengah baya yang berumur sekitar Indi empat puluh atau lima puluh-an, duduk di dekatku. Kami berbual hampir se-jam berkenaan dengan berbagai hal menarik dan kusadari bahwa pria ini sangat cerdas dan humoris. Ketika aku mengatakan bahwa aku berasal dari Washington, dia segera bertanya mengenai berbagai tokoh politik dan perkembangan terbaru di Kongres. Dari caranya bertanya, pria ini pasti sangat mengenal kehidupan politik di ibu kota, bahkan sampai gaya hidup, adat istiadat, dan sistem birokrasi Senat dan Wakil Rakyat di gedung legislatif nasional. Tak berapa lama kemudian, ada dua pria yang berhenti di dekat kami dan seseorang di antara mereka berkata pada temannya; “Harris, kalau kau mau melakukannya untukku, aku tidak akan pernah melupakan jasamu.” Mendengar kata-kata ini, matanya langsung mengilat. Pasti kata-kata tersebut membuatnya teringat dengan kenangan yang menyenangkan, pikirku. Kemudian dengan cepat wajahnya berubah serius dan hampir terlihat sedih. Dia menatapku dan berkata, “Izinkan saya menceritakan sebuah bahagian rahasia dalam kehidupan saya pada Anda. Sebuah kisah yang tidak pernah saya ceritakan sebelumnya pada siapapun sejak terjadinya peristiwa itu. Mohon dengarkan dengan seksama.” Aku berjanji akan mendengarkannya dengan penuh perhatian tanpa memotongnya sedikitpun. Dia kemudian menceritakan kisahnya. Terkadang dia menjelaskan dengan gerak badannya, terkadang dengan nada yang melankolis, namun selalu dengan sikap sungguh-sungguh. Berikut adalah kisahnya; “Pada tanggal 19 Desember 1853, aku berpergian dari St. Louis ke Chicago dengan kereta malam. Saat itu ada dua puluh empat penumpang yang naik kereta. Di antara mereka tidak ada wanita atau anak-anak. Kami semua bergembira dan segera menjalin pertemanan dengan satu sama lain. Kusangka perjalanan itu akan menjadi perjalanan yang menyenangkan. Tidak ada seorangpun pada saat itu yang menyangka bahwa sesuatu yang sangat mengerikan akan menimpa kami. “Jam sebelas malam, salju mulai turun dengan lebat. Setelah melewati sebuah desa kecil di Welden, kami memasuki daerah yang tidak dihuni siapapun. Angin bertiup kencang meniupkan salju bagai badai di lautan. Tinggi salju meningkat drastis dan dari laju

halaman 26


kereta yang semakin lambat, kami tahu bahwa mesin kereta mulai dibebani oleh salju yang menebal. Terkadang kereta terhenti sebentar di tengah tumpukan salju yang semakin menggunung di sepanjang rel. Gurau tawa kini sudah tidak terdengar lagi. Kegembiraan berganti menjadi kepanikan. Semua penumpang mulai ketakutan karena membayangkan bahwa mereka akan terjebak dalam badai salju di pesawangan yang berjarak lima puluh mil dari pemukiman. “Jam dua dini hari aku terbangun karena terusik dengan kegaduhan di sekelilingku. Aku segera tersadar bahwa kini kami benar-benar telah terjebak badai salju! ‘Semua orang harus bekerjasama menyingkirkan salju!’ Semua penumpang dengan cepat bergerak mematuhi perintah. Di malam yang kelam dan dipenuhi bongkahan salju tersebut semua orang melonjak keluar kereta dengan pikiran bahwa setiap detik akan menentukan hidup-mati mereka. Sekop, tangan, papan, pokoknya apa saja yang dapat menyingkirkan salju digunakan. Jika diingat kembali, kondisi pada saat itu sungguh sangat aneh; bayangkan saja jika Anda melihat ada segelintir orang yang penuh kepanikan berusaha menyingkirkan salju yang menggunung dengan hanya ditemani lampu kereta yang menyala. “Se-jam saja sudah cukup untuk membuktikan betapa sia-sianya usaha kami. Sementara kami menggali di satu titik, badai sudah kembali menumpukkan salju di titik lain. Dan lebih buruknya lagi, beban berat pada mesin telah membuat kendali kereta menjadi rusak. Jadi, kalaupun kami berhasil menyingkirkan salju, kereta tetap tidak dapat dikemudikan. Kami kembali masuk ke gerbong dengan rasa letih dan sedih. Kami berkumpul di sekitar tungku pembakaran dan mulai berdiskusi. Sang kondektur mengungkapkan kekhawatirannya dan mengatakan bahwa tidak ada sama sekali persediaan makanan. Namun berita baiknya adalah kami tidak akan kedinginan karena ada banyak kayu bakar di tempat penyimpanan barang. Diskusi berakhir dengan kesimpulan dari sang kondektur bahwa berjalan kaki dengan jarak lima puluh mil di tengah badai seperti ini sama saja dengan mencari mati. Kami tidak dapat meminta seseorang untuk mencari bantuan, dan kalaupun bisa, tim penolong tidak akan dapat menembus badai salju seperti ini. Terpaksa kami hanya bisa pasrah dan menunggu dengan sabar sampai badai mereda. Kurasa bahkan seseorang dengan jiwa yang teguh sekalipun pasti akan goyah karena membayangkan apa yang dapat menimpa dirinya saat itu. “Satu jam kemudian semua percakapan telah berubah menjadi bisikan-bisikan pelan mengenai gerbong kereta yang berguncangguncang karena diterpa badai. Lampu mulai meredup, dan kebanyakan

halaman 27


dari para penumpang memposisikan diri mereka di sudut-sudut bayangan, berpikir dan berusaha melupakan situasi pada saat itu dan berusaha agar tertidur. “Malam terasa sangat panjang, seolah tidak ada akhir. Subuh pun menjelang. Saat cahaya mulai terang, para penumpang mulai bergerak dan terlihat hidup kembali. Kami lalu memandang keluar jendela. Situasi terlihat tidak menjadi lebih baik. Tidak ada satupun makhluk hidup yang terlihat, tidak ada sama sekali kecuali hamparan salju yang menggunung di sana-sini. “Sepanjang hari itu kami habiskan dengan membersihkan salju di sekitar kereta tanpa banyak bicara. Malam yang kelam kembali menjelang, semua orang tampak sangat kelaparan. “Hari-hari kami habiskan dengan cara yang sama. Semua orang bungkam, sedih, kelaparan, menunggu pertolongan yang tidak akan pernah datang. Malam selalu datang mencekam. Tidak ada yang dapat tidur dengan tenang, mereka selalu terbangun dengan rasa lapar yang melilit perut. “Hari keempat datang dan berlalu. Dan hari kelima pun tiba. Lima hari terjebak dalam situasi yang mengerikan! Rasa kelaparan yang semakin membuas mulai tampak di tatapan mata setiap orang. Ada sebuah pikiran yang menghantui setiap hati semua orang. Sebuah pikiran mengerikan yang lambat laun semakin jelas namun tidak berani untuk diungkapkan. “Hari keenam berlalu. Hari ketujuh dan semuanya semakin dekat dengan bayangan kematian. Seseorang harus mengatakannya sekarang! Pikiran buruk yang bersemayam di hati setiap orang sudah berada di ujung lidah masing-masing. Kemanusia-an tidak berlaku pada kondisi seperti ini. Richard H. Gaston, pria asal Minnesota, berbadan tinggi namun sekarang kurus kering, berdiri di antara kami. Semua yang hadir tahu apa yang akan dikatakannya. Dalam hati kami semua sangat riang gembira, namun kami tetap tenang dan hanya ada keseriusan di tatapan mata setiap orang. ’Tuan-tuan, ini sudah tidak dapat ditunda lagi! Waktu kita semakin sempit! Kita harus menentukan siapa diantara kita yang harus mati untuk menjadi makanan bagi yang lain!’ “John J. Williams, pria asal Illinois, berdiri dan berkata, ‘Tuan-tuan, saya mencalonkan James Sawyer dari Tennessee.’ “R. Adams dari Indiana berkata, ‘Saya mencalonkan Mr. Daniel Slote dari New York.’ “Charles J. Langdon; ‘Saya mencalonkan Samuel A. Bowen dari St.

halaman 28


Louis.’ “Mr. Slote; ‘Tuan-tuan, saya ingin mengundurkan diri dan bertukar dengan John A. Van Nostrad dari New Jersey.’ “Mr. Gaston; ‘Jika tidak ada yang keberatan, maka permintaan Mr. Slote akan diterima.’ “Mr. Van Nostrad mengajukan keberatan, maka permintaan pemunduran diri Mr. Slote pun ditolak. Pemunduran diri Mr. Sawyer dan Bower juga diajukan dan ditolak dengan cara yang sama. “A. L. Bascom dari Ohio; ‘Para calon telah dipilih, sekarang kita dapat melakukan pemilihan suara.’ “Mr. Sawyer; ‘Tuan-tuan, saya sangat keberatan dengan semua prosedur yang tidak teratur ini. Saya mohon agar semua ini segera dihentikan karena terlebih dahulu kita harus membentuk panitia pemilihan yang terdiri dari ketua dan beberapa asistennya. Setelah itu barulah kita dapat melangsungkan pemilihan yang adil.’ “Mr. Bell dari Iowa; ‘Saya keberatan. Ini bukan saat yang tepat untuk melakukan formalitas. Karena sudah tujuh hari kita sengsara tanpa makanan. Setiap detik yang kita habiskan dengan mendiskusikan hal yang remeh hanya akan membuat kita semakin tertekan. Saya cukup puas dengan para calon yang diajukan, dan saya yakin semua yang hadir di sini termasuk saya yakin bahwa kita harus segera memilih satu orang atau lebih. Oleh karena itu saya menawarkan mosi “Mr. Gaston; ‘Ditolak. Pemilihan yang tidak teratur malah akan berakibat pada pembuangan waktu.’ “Mosi untuk pembentukan kepanitiaan pun diterima, dan semua keberatan ditolak mentah-mentah. Akhirnya Mr. Gaston terpilih sebagai ketua, Mr. Blake sebagai sekretaris, Mr. Holcomb, Dyer, dan Baldwin ditunjuk sebagai panitia teknis pemilihan, dan Mr. R. M. Howland sebagai pembantu pelaksana untuk membantu panitia membuat keputusan. “Rapat ditunda selama satu jam untuk memberi waktu panitia berdiskusi sesama mereka. Saat palu diketok, rapat kembali berjalan. Panitia menyampaikan laporan hasil diskusi dan mengajukan George Ferguson dari Kentucky, Lucien Herrman dari Louisiana, dan W. Messick dari Colorado sebagai calon. Laporan diterima. “Mr. Rogers dari Missouri; ‘Ketua, saya ingin mengamandemen laporan yang diajukan dengan mengganti nama Mr. Herrman dengan Mr. Lucius Harris dari St. Louis. Bukannya saya bermaksud untuk merendahkan Mr. Herrman. Malah sebaliknya, saya sangat menghormatinya. Namun sekarang dia telah banyak kehilangan

halaman 29


daging selama seminggu ini. Kita tidak boleh pura-pura tidak tahu tentang kesalahan panitia ini, entah memang karena kelalaian atau benar-benar sengaja, karena telah menawarkan seseorang yang tidak lagi bernutrisi kepada kita.” “Ketua; ‘Mr. Roger, silahkan kembali ke tempat duduk Anda. Walau bagaimanapun, saya tidak dapat membiarkan integritas panitia pemilihan diragukan oleh para peserta. Sekarang, apa pendapat saudara-saudara terhadap mosi dari Mr. Roger?’ “Mr. Halliday dari Virginia; ‘Saya juga ingin mengamandemen laporan panitia dengan mengganti Mr. Messick dengan Mr. Harvey Davis yang berasal dari Oregon. Mungkin tuan-tuan merendahkan Mr. Davis karena dia berasal dari kalangan bawah, namun dia memiliki tubuh yang berisi. Lagipula, apakah ini saat yang tepat bagi kita mendiskusikan hal yang seremeh ini? Tidak, tuan-tuan, yang kita butuhkan adalah isi, bukan kejeniusan atau pendidikan. Saya bersikeras untuk mempertahankan mosi saya.’ “Mr. Morgan berdiri dengan antusias; ‘Ketua, saya amat sangat keberatan dengan amandemen yang diajukan. Mr. Davis sudah tua, dan terlebih lagi hanya berisi tulang tak ada dagingnya. Saya jadi heran, jangan-jangan Mr. Halliday ingin mempermainkan kita karena dia ingin membuat sup. Sekarang saya tanya Mr. Halliday apakah dia berani menatap mata kita satu per satu dan tetap ingin menjalankan tipuannya ini? Saya tanya apakah dia akan tetap mempermainkan kita walau dia tahu kesengsaraan yang kita hadapi sekarang? Saya jamin dia tidak akan berani!’ Semua yang hadir riuh bertepuk tangan. “Akhirnya mosi Mr. Morgan diputuskan berdasarkan pemungutan suara, dan setelah perdebatan yang sengit, mosi tersebut ditolak. Namun amandemen pertama diterima dan Mr. Harris menggantikan Mr. Herrman. Kemudian pemilihan suara untuk memilih seseorang dimulai. Lima kali pemungutan suara namun tidak menghasilkan keputusan. Pada kali keenam, Mr. Harris terpilih. Semua orang yang hadir memilihnya kecuali dirinya sendiri. Dia mengajukan keberatan karena menurutnya keputusan hanya valid jika semua orang setuju, namun ini ditolak karena hanya dirinya sendiri saja yang tidak akan setuju. “Mr. Radway menyarankan agar forum menentukan calon selanjutnya untuk sarapan nanti. Saran ini disetujui. “Pemungutan suara kali pertama berakhir seri. Setengah anggota yang hadir memilih satu calon karena usianya yang masih muda, sedangkan setengahnya lagi memilih calon yang lain karena ukuran tubuhnya yang lebih besar. Ketua panitia akhirnya menjatuhkan halaman 30


pilihannya pada Mr. Messick. Keputusan ini spontan membuat teman-teman Mr. Ferguson, sebagai pihak yang kalah, menjadi tidak senang. Mereka mengajukan mosi pengulangan pemungutan suara, namun di tengah prosesnya, seseorang menawarkan mosi agar forum ditunda sementara, maka rapat itu pun diistirahatkan. “Persiapan makan malam mengalihkan perhatian para anggota faksi Ferguson, dan ketika mereka kembali fokus dan ingin berdiskusi, pengumuman bahwa Mr. Harris telah dihidangkan melenyapkan minat mereka untuk melanjutkan diskusi. “Kami membuat meja dari punggung kursi di gerbong kereta lalu duduk dengan hati penuh rasa syukur atas makan malam yang sangat lezat dipandang. Sikap semua orang berubah drastis hanya dalam hitungan jam! Sebelumnya hanya ada kepasrahan, kesedihan, kelaparan, kegelisahan yang meradang, keputusasaan. Namun itu semua berubah menjadi rasa syukur, tentram, dan kebagiaan yang sangat dalam. Itulah saat paling bahagia yang pernah kurasakan. Di luar, angin masih berhembus kencang dan menghempaskan salju ke kereta yang menjadi penjara kami, namun itu tidak lagi membuat kami ketakutan. Aku menyukai Harris. Mungkin dia memang lebih baik dijadikan santapan, tapi aku tetap menganggap bahwa dialah satu-satunya orang yang punya banyak kesamaan denganku. Dia telah memberikanku kepuasan yang luar biasa besar. Messick memang sedikit penuh rasa, namun Harris lebih lezat dan bernutrisi. Walau bagaimanapun Messick punya kelebihannya sendiri, namun tetap saja dia tidak cocok sebagai sarapan karena rasadagingnya sangat alot.” “Jadi maksud Anda“ “Tolong jangan memotong ceritaku. Setelah sarapan, kami memilih seseorang yang bernama Walker, pria asal Detroit, untuk makan malam. Dia sangat lezat. Aku menuliskan surat dan mengatakan ini kepada istrinya. Dia pantas dipuji. Aku akan selalu ingat Walker. Orang dengan rasa lezat sepertinya sangat langka. Kemudian, keesokan paginya kami memilih Morgan dari Alabama sebagai sarapan. Dia adalah pria yang sangat cerdas, tampan, berpendidikan, sopan, dapat berbicara dengan beberapa bahasa dengan lancar, pokoknya sangat sempurna dan menggiurkan. Untuk makan malam, kami memilih Harvey Davis. Penampilannya ternyata menipu. Aslinya dia sudah tua, kerempeng, dan alot. Semua orang merasa tertipu. Akhirnya aku berkata, ‘Tuantuan, silahkan Anda menyantap Mr. Davis, saya tidak akan bergabung dan memilih untuk menunggu pemilihan selanjutnya.’ Mr. Grimes juga berkata, ‘Aku juga akan menunggu. Ketika kalian telah memilih orang yang lebih baik, aku akan kembali bergabung.’ Jelas bahwa

halaman 31


banyak yang kecewa dengan Mr. Davis, dan karena sikap semua orang telah berubah sejak menyantap Mr. Harris, maka untuk menjaga rasa suka cita, kami kembali melakukan pemungutan suara dan akhirnya Mr. Baker dari Georgia terpilih. Rasanya sungguh luar biasa! Setelah itu kami menyantap Doolitle, Hawkins, McElroy (ada beberapa orang yang protes, karena McElroy sangat pendek dan kurus), Penrod, dua pria yang sama-sama bernama Smith, Bailey (Bailey ternyata punya kaki palsu, dan sekali lagi kami merasa tertipu), pemuda Indian, dan Buckminster (gelandangan kurus yang sama sekali tidak cocok untuk dijadikan sarapan). Kami bersyukur karena telah memilihnya sebelum bantuan datang.” “Jadi bantuan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga?” “Ya, bantuan datang pagi harinya tepat setelah selesai pemilihan. Saat itu John Murphy terpilih, dan kujamin pasti tidak ada yang lebih baik darinya. Namun John Murphy pulang bersama kami dengan kereta bantuan yang datang, kemudian dia menikahi jandanya Mr. Harris.” “Jandanya siapa?” “Jandanya pilihan pertama kami, Mr. Harris. Dia menikahinya dan sekarang hidup dengan bahagia. Ah, rasanya seperti kisah romantis dalam cerita novel. Saya harus turun di sini. Saya ucapkan selamat jalan. Jika Anda ingin berbincang lagi, saya dengan senang hati akan menemani Anda. Saya menyukai Anda, sama seperti ketika saya menyukai Harris. Selamat jalan, semoga perjalanan Anda menyenangkan.” Dia pun berlalu. Tidak pernah aku merasa seterkejut ini. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku lega dia telah pergi. Sikapnya santun dan suaranya lembut, namun tatapan lapar matanya membuatku gemetaran. Ketika aku mendengar dia berkata bahwa dia menyukaiku sama seperti mendiang Harris, jantungku terasa hampir copot! Aku amat sangat gelisah dibuatnya. Aku tidak meragukan katakatanya. Aku tidak dapat meragukan kebenaran kalimat-kalimat yang diucapkannya dengan sangat serius dan penuh arti. Namun detildetil dalam kisahnya sangat menggangguku, dan membuat kepalaku pusing setengah mati. Kulihat sang kondektur sedang memandangku. “Siapa pria tadi?” tanyaku. “Dia dulunya anggota kongres, dan salah satu tokoh yang hebat. Tapi suatu hari dia terjebak di dalam kereta oleh badai salju yang lebat, dan sepertinya saat itu dia hampir mati kelaparan. Saat ditemukan, tubuhnya sudah hampir membeku. Dia terus-terusan

halaman 32


mengatakan bahwa dia sangat kelaparan dan meminta seseorang membawakannya makanan. Setelahnya dia menjadi gila selama dua atau tiga bulan. Dia sekarang sudah kembali sehat, hanya saja dia menjadi monomaniak (keadaan jiwa seseorang, di mana pikiran orang tersebut menjadi terobsesi terhadap sesuatu atau peristiwa) dan ketika dia mulai menceritakan kisah lamanya itu, dia tidak akan berhenti sampai dia selesai memakan seluruh orang di gerbong kereta tersebut. Seharusnya sekarang dia selesai memakan mereka semua, tapi dia harus turun di sini. Nama-nama yang diciptakannya selalu sederhana namun meyakinkan. Ketika dia telah memakan mereka semua kecuali dirinya sendiri, dia akan berkata, ‘Kemudian detikdetik menjelang pemilihan untuk sarapan tiba. Dan karena tidak ada lawan, maka akupun terpilih, namun juga karena tidak ada yang menolak, maka akupun mengundurkan diri. Makanya aku dapat berada di sini sekarang.’� Aku merasa amat sangat lega mendengar bahwa itu semua hanya lelucon dari orang gila, bukan kisah nyata tentang pemakan daging manusia. ***

P

halaman 33


Sajak

Yusran AriďŹ n Jejakmu Kemarau Sajak Penambang Sungai Di Sebuah Pantai

Yusran AriďŹ n Sastrawan yang lahir di Tasikmalaya. Mulai belajar menulis sejak duduk di bangku SMA. Ak"f di Sanggar Sastra Tasik [SST] , sebuah komunitas sastra yang telah mengasah kepenyairannya. Karya-karyanya dimuat di Majalah Budaya Sagang, Lampung Post, H.U. Pikiran Rakyat, dan sebagainya. Di samping menulis,ia bekerja sebagai pengrajin bordir.

halaman 34


Jejakmu

Jalan panjang ke rumahmu tak seterang pikiranmu Mungkin seremang malam saat purnama tak jadi datang Kau pun kian jauh dari langkahku, tapi rinduku kian Menderu. Di ruang terjauh tubuhmu menyusut seperti siput Lalu meremang di sebrang ingatan. Kabut turun menelan Punggung jalan lalu menghilang di hadang perbukitan Aku merayap lalu menata jalan dari pecahan purnama Di jalan yang lain daun-daun merintih. Pohon-pohon Menggigil kedinginan. Aku terhuyung serta limbung Seperti ikan dalam pusaran saat mencium bau tubuhmu Di pekarangan. Kekasih, singgahlah sejenak di ranjang Sepiku, akan kuremas dadamu dengan doa-doaku 2015

halaman 35


Kemarau

Kau curi kenanganku. Sebagian dari kepalaku retak Serpihannya melayang dan mengambang di langit Yang gersang. Rambutku yang berwarna perak itu Seperti terbakar. Musim kering menggiringku Ke gurun terjauh. Lalu jalan setapak yang kujejak Tampak sebagian retak-retak . Jiwaku menggelepar Seperti lembar tahun- tahun kusut dan keriput Malam terasa kian mengerut. Langit berkobar Daun-daun menggelepar seperti terbakar di hatiku Hausku merindukan dingin sungai yang mengalun Dari alis matamu yang rimbun. Kau adalah Mata air dari sepenggal musim yang kau kirim 2015

halaman 36


Sajak

Tak ada jalan terang untuk kembali pulang bagi hati yang tak lapang Ketulusan adalah semacam bulan atau mungkin serupa peta bagi Perjalananmu yang curam itu. Kau terus saja berjalan sambil memikul Kutukan. Tapi tak mudah memang. Tak ada pundak yang instan bagi setiap Beban. Telah kupinang seratus gerhana dari biji matamu yang memendam Ribuan dendam. Langit hitam adalah jubahku. Aku mencintai kegelapan 2015

halaman 37


Penambang

Kau yang mengundangku datang, gugusan tebing dan bukit-bukit Lamping. Tapi hatiku cankul juga linggis yang kasmaran bertahun Tahun kerinduan. Aku yang telanjang dan dadamu mengambang Tak kubiarkan kau menunnggu dalam kegelisahan yang panjang Kubongkar kesepianmu dengan kata-kata yang telah diruncingkan Selalu gelagapan, sebab tak kutemukan permata atau pun intan Dadamu dipenuhi lumpur serta batu-batu kapur. Selalu kepalaku Membenturi dinding batu. Tapi aku martil, kubelah kesepianku Kini aku batu tambang yang terampas dari gugusnya yang keras Musim semi aku menggosokkan diri hingga menjelma bait puisi 2015

halaman 38


Sungai

Deras air berlarian di hatiku Daun-daun kenangan bertanggalan Dari reranting waktu Dari reranting masa lalu Lalu hanyut bersama perih Mengalunlah ke selatan Pelan-pelan segalanya menghilang Di telan palung dan tikungan 2015

halaman 39


Di Sebuah Pantai

Mengarungi laut, bagai menempuh hidup Melayarkan hasrat ibarat kapal-kapal Menjejak ombak-ombak Melulu terjebak dalam pusaran kehendak Yang menggelegak. Melulu kita terlupa Ke mana arah pulang ke kampung semula Mengarungi laut, bagai menempuh hidup Kita terus bergerak, bukan soal hendak Tapi kemestian yang telah disumpahkan Sebelum layar dibentangkan. Kau tak bisa mundur Sedang berdiam diri bukanlah kerna tak ingin Tapi soalnya tak pernah diperkenankan 2015

P

halaman 40


Sajak

Saifa Abidillah Paduraksa Saronen Jong Sendang Saliran Bangsal Kantil In het duistergehuld Kita Terpisah Dari Satu Sungai yang Sama Hidupkan, Hidupkan Lagi Wage Karena Kesal padaTuhan Bulan Karam di Hutan

Saifa Abidillah Mahasiswa Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, dan ak"f mengelola LSKY (Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta).

halaman 41


Paduraksa

jangan sentuh aku dengan cara seperti ini tuan kalammu yang ini, menarik-narik perahuku dari jangkarnya, dari tambatnya yang laknat ingin aku mabuk berlayar di atas ombak, di atas kubur debur yang bergetar pada lambungku sendiri semesta, dan warna langit yang kau ketatkan padaku seperti sedang memanggilku lebih dekat padamu aku sudah tidak lagi berďŹ kir, bagaimana mest imenatapmu hari ini hidup telah kulupakan Kutub, 2015

halaman 42


Saronen Jong

Und setztihrnicht das lebenein Niewirdeuch das daslebengewonnen sein Friedrich Schiller Tuhan mati untuk kita,darah dan dagingnya adalah hidup kita lalu kenapa kita masih seperti bangunan-bangunan yang ditinggalkan pemiliknya tak ada nasib yang mematahkan leher bulan atau menyerah pada kutukan jalan seperti letup Schiller: hidup yang tak pernah dipertanyakan, tak layak dipertahankan. meski Tuhan tidak benar-benar ada. Toh kau, ada bukan untuk dikenang atau diperhitungkan

halaman 43


buanglah batu-batu karang yang menggunung di leher dan matamu jika itu tak menguntungkan, jika itu tak layak menghuni karat rambutmu yang menawan penyair tak akan kehilangan kata-kantanya meski puisi tidak pantas ditulis lagi manusia masih bertanya-tanya tentang hidup tentang Tuhan, kapan Ia mati dan tak menepati janji sebab itulah, kita hidup tidak untuk puisi, tidak untuk kata-kata, tapi sebagai manusia yang tak mengagungkan tanda dan makna terbebaslah, terbebaslah dari kutuk seribu batu Djogja, 2015

halaman 44


Sendang Saliran

seandainya tidak karena Sunan Kalijogo air pada kolam itu tak akan memancar hingga kini rakyat-rakyat mandi seperti putri-putri ratu yang dulu pernah mandi malam satu suro, malam yang kuning dengan keluhan bulan di langit terlupakan angin dan keheningan seperti suara keramian beringsut dari seribu mimpi yang buta

halaman 45


tujuan kami sama membakar dupa, menabur bunga merapal doa suci, mandi agar tubuh tetap muda mimpi-mimpi disematkan ke udara meniup api-dupa agar tak mati, tak musnah ini bunga puisi-puisi juga terjaga, memanggul mata agar menyala sebab tak akan ada kata, jika ia pergi, jika ia tak di situ Kutub, 2015

halaman 46


Bangsal Kantil

biduk yang kami tumpangi apakah tak bakal karam ketika matahari tak sanggup mendaki bikkhu dan suďŹ telah kami datangi tapi siapa di antara kami yang telah terobati kami tahu, mimpi adalah kutukan suci para penempuh diri tapi di bangsal kantil semua menjadi mustahil

halaman 47


orang-orang mengitari makam berharap menyelam berharap menyulam tapi apa yang mereka tumpangi apakah hidup, apakah biduk telah membangkitkan matahari dari tidurnya waktu di tangan kami selalu tak cukup meraup uap hidup merangkainya seperti karangan bunga tapi di antara kami tak ada yang ingin mati sebelum dikuburkan

halaman 48


kami hanya datang dan hendak memohon seperti orang-orang itu memohon tak ada sesuatu yang lebih dan benar-benar kukuh mengajak kami ziarah meninggalkan diri dan mata yang terus gelisah Kutub, 2015

halaman 49


In het duistergehuld

Hanya pada hutan kita bakal mengerti atman bagaimana Brahman tak terkatakan dalam lisan dan tindakan bahwa di hutan telah kita menemukan pohon sandaran yang nyaman untuk bertahan tak menghindar dari hujan, dari terpaan angin reruntuhan angan yang konon kukuh bagai beton berjalanlah tanpa angan-angan atau cukuplah berkelindan dari kutukan kekutukan

halaman 50


bahwa atman, juga Brahman telah kita temukan tak terkatakan, tak juga terbantahkan sungguh, tak ada jalan lebih menawan kecuali hanya hutan, sungai yang mengalun di dekapan, tahun yang rimbun bagai uban utuhlah, utuhlah wahai ruh dan badan di langit dan di bawah pohon harapan bahwa kita tak membutuhkan angan untuk bersentuhan, untuk memusnahkan Kutub, 2015

halaman 51


Kita Terpisah Dari Satu Sungai yang Sama

seperti kincir dengan air, menyatulah kita tanpa tubuh, tanpa arwah yang bodoh tanah, air dan sungai tidak untuk kita takuti Ranti Kutub, 2015

halaman 52


Hidupkan, Hidupkan Lagi Wage

/1/ hidupkan, hidupkan lagi wage suara itu meledak di atas sungai orang-orang hanya tertegun bagaimana kutukan, juga teriakan bangkit seperti kunang-kunang remah doa arwah dikunyah, bunga-bunga dihanyutkan berharap ruh leluhur, tak marah desa tak runtuh, dan orang-orang tak mati dengan sia-sia

halaman 53


/2/ hidupkan, hidupkan lagi wage selama cinta menyala dari dua belah bibir sungai yang meratap dan hendak berpelukan sederas air yang manjang ke selatan kebencian orang kampung sepertinya tak akan pernah dipadamkan duh, dewi bulan yang anggun, pangeran tampan yang santun bagaimana agar nasib kami tak disalibkan darah kami tak aliri kutukan

halaman 54


juga agar anak-anak kami yang dungu soal cinta mengerti batas sungai batas larangan turun-termurun agar ini amarah tak membuncah memuntahkan sumpah biar tak ruwah ini arwah maka tak satu pun, membantah patuhlah, patuhlah soal asmara Kutub, 2015

halaman 55


Karena Kesal padaTuhan

kuda-kuda soemekar itu mencongkel kedua matanya dan tak ingin melihat dunia lagi dalam kegelapan, ia hanya mendengar langkah dan kepak sayapnya sendiri yang merah Kutub, 2015

halaman 56


Bulan Karam di Hutan

pelan-pelan bulan turun dari gurun mendekati hutan mencari kolam di hutan bulan karam di peluk ikan capai kenikmatan menekan-nekan bagai ikatan ikan menelan bulan bulan belingsatan Kutub, 2015

P

halaman 57


Sajak Terjemahan

Federico Garcia Lorca

Kidung Mimpi di Langit Terbuka

Bunga jasmin dan banteng di jagal. Jalan tak berujung. Kartu. Ruangan. Harpa. Dan menjelang pagi. Gadis kecil membayangkan seekor banteng dari bunga jasmin Dan banteng itu adalah senja berdarah yang menjerit Kalau langit adalah anak kecil yang begitu mungil bunga-bunga jasmin menjadi seorang perempuan yang berduka, Dan banteng itu sirkus biru tanpa pertarungan dengan jantung di kaki sebatang tiang Tetapi langit adalah seekor gajah, bunga jasmin adalah air kekurangan darah sedangkan gadis adalah serangkum nokturno di atas jalan besar yang buram. Antara bunga jasmin dan banteng cantolan-cantolan gading atau orang-orang terlena. Dalam bunga jasmin seekor gajah dan gemawan, dalam banteng kerangka badan gadis kecil

halaman 58


Federico Garcia Lorca

Kidung Perempuan Lelap

Bugil kau berbaring, mengingatkan pada bumi Bumi yang datar dan kuda-kuda perawan, Bumi licin tanpa kerut, murni ujud, tertutup ke hari-depan: berjarak perak. Aku melihatmu bugil, kupahami lalu kecemasan hujan mencari benih-benih ranum belia, meriang laut di wajah terbentang tak jumpai kilau permainan. Melalui ranjang-ranjang darah menggelora dan datang merengkuh tongkat besinya mengkilat, tapi di mana berlindung, tak tahu untuk jiwaku cacat atau jingga. Perutmu adalah pertarungan mengakar, bibir-bibirmu adalah fajar yang datar. Di bawah mawar-mawar hangat ranjangmu Nazak merintih menunggu giliran

halaman 59


Federico Garcia Lorca

Kidung Tangan yang Sia-sia

Aku hanya menginginkan sebuah tangan Hanya tangan yang lukaa, kalau bisa. Saya hanya menginginkan sebuah tangan, walaupun seribu malam aku tak beranjang. Ranjang itu adalah ranjang putih kapur ia semestinya seekor merpati yang tertambat di jantungku, ia semestinya penjaga malam kematianku yang mutlak melarang bulan menyusup. aku bagai minyak hari-hari dan sprei putih ajalku. Aku hanya menginginkan tangan ini Penopang sayap-sayap kematianku. Selebihnya biarkan. Tanpa nama sudah kemerahakan wajah, bintang abadi. Selebihnya adalah soal lain: angin nestapa, Sementara dalam gerombolan dedaunan berlari

halaman 60


Guillaume Appolinaire

Gong

Jipsiku gagah buah hatiku sayang Dengar‌. gong yang berdentang Kita berdua sedang saling menyayang Keyakinan adalah urusan orang-perorang Tapi, malangnya persembunyian kita tak selÊsa Gong-gong yang meronda Dari ketinggiannya memandang kita Dan menuturkan kepada semua Besok Cyprien dan Henri Marie Ursula dan Catherine Tukang roti dan suaminya Kemudian Gertrude saudara kandungku Bersedekah senyum kala kulalu Menempatkan muka aku tak tahu Dan kau pun jauh yang membuatku tersedu Seakan mati lebih baik bagiku

Sumber: Jean-Marc Debenetti, La Poesie Moderniste, Paris 1992. Terjemahan oleh Maximus TL Siamboel

P

halaman 61


Berita Budaya

Tembok Sastera

Madah Poedjangga

Seper" dinding kokoh dari batu cadas yang diolah rupa layak sebuah karya senirupa instalasi. Berwarna. Batu di atas batu. Batu marmer komposit merah, pu"h dan biru menempel di atas liuk lekuk batu cadas. Di atasnya, terpatri penggalan beribu kata. Sungguh, batu sunyi tapi tak pernah ma".

idak terlalu besar. Panjangnya hanya 17 meter dan tinggi sekitar 4 meter. Terletak di salah satu sudut antara bangunan Riau Televisi (Rtv) dan Graha Pena Riau di Jalan Soebrantas, Pekanbaru. Seperti tersembunyi. Tidak terlihat dari jalan besar. Tapi, ini bukan tembok biasa. Apalagi di atasnya tertulis Madah Poedjangga. Di sanalah 28 prasasti menempel tidak beraturan. Ribuan kata (madah) cukilan

halaman 62

di atas batu prasasti tersebut. Itulah penggalan kata puisi karya para pujangga (penyair) Riau dari masa ke masa. Bukan hanya penyair yang masih muda, tapi juga mereka yang telah tiada. Tanaman-tanaman kecil yang tumbuh di antara batu-batu dan kilau cahaya lampu di atasnya, membuat tembok ini semakin hidup. Hamparan kecil rumput hijau dan derai air yang mengalir di salah satunya, juga membuat sudut berupa taman ini terus bernyanyi.


Penggalan puisi karya Soetardji Calzoum Bachri di atas batu berwarna putih kekuningan mengisi ruang kosong di bagian kanan atas tembok ini. Sepenggal kata, membuat siapa saja yang mendekat untuk membacanya. Begitu juga dengan batu-batu yang lain. Di sanalah penggalan puisi penyair lainnya terpatri. Selain Soetardji, ada Herlela Ningsih, Ramon Damora, Hafney Maulana, Fakhrunnas MA Jabbar, Sobirin Zaini, Ibrahim Sattah (alm), Jefry Almalay, Marhalim Zaini, Kunni Masrohanti, Hasmiruddin Lahatin Aisyah, Asrizal Nur, A Aris Abeba, Husnu Abadi, Hang Kafrawi, Kazzaini Ks, Temul Amsal, Tien Marni, Taufik Efendi Aria, Eddy Ahmad RM, Armawi KH, Syafruddin Saleh Sai Gergaji, Edi Ruslan Pe Amanriza (alm), Yoserizal Zein, Idrus Tintin (alm), Taufik Ikram Jamil dan Murparsaulian. Orang-orang mengungkap bahagia dan lukanya dengan cara yang berbeda. Begitu juga dengan para pujangga. Kata adalah modal bagi mereka. Modal untuk beraksi dan modal untuk mengkritisi. Tak heran jika mantan Presiden Amerika Serikat (AS), John F Kennedy pernah berkata, ‘’Jika politik bengkok, puisi akan meluruskan.’’ Ada mimpi di dalam tembok puisi itu. Juga ada apresiasi yang tak tersembunyi. 28 penyair yang terpatri namanya di batubatu itu sudah pasti orang pilihan dari mereka yang belum terpilih. Satu keinginan; mereka dikenang dengan karya-karyanya dan terus berkarya hingga akhir hayatnya. ‘’Masih ada pujangga lain selain 28 pujangga yang kami prasastikan nama dan karyanya dalam taman Madah Poedjangga ini. Ini baru awal. Saya berjanji, selagi saya ada, saya akan menambah nama dalam prasasti itu setiap tahunnya,’’ ungkap penggagas Taman Madah Poedjangga, Rida K Liamsi.

Jumlah pujangga sebanyak 28 orang itu juga disesuaikan dengan momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober. Disandingkan pula dengan bulan bahasa yang jatuh pada bulan ini. Di dalam sumpah pemuda itu juga termaktub, bahasa satu, bahasa Indonesia. Pada bulan ini jugalah Riau menyumbangkan bahasanya sebagai bahasa Indonesia. Lahirnya taman Madah Poedjangga bukan bermula dari sebuah keinginan yang tibatiba. Gagasan itu sudah mengendap di benak Chairman Riau Pos Group ini sejak lima tahun silam. Tepatnya saat Rida melakukan perjalanan di salah satu kota di Eropa. Gairah bersastra penuh warna di Kompleks kebudayaan bernama Men Hai Temple, menyentak-nyentak di ingatannya. Lalu, dibawa pulang dan lahirnya Madah Poedjangga yang sudah lama diimpikan. Seperti di sudut-sudut Men Hai Temple yang dipenuhi dengan aktivitas seni, sastra dan budaya, Madah Poedjangga juga akan begitu. Tempat ini akan menjadi kafe. Kafe itu bernama Kafe Puisi Madah Poedjangga. Setiap Sabtu malam, kegiatan sastra akan meramaikan taman ini. Di sinilah sastra dan budaya Riau didiskusikan. Di sini jugalah puisi dibacakan dan musik dimainkan. Bahkan di kawasan taman inilah bermacammacam buku puisi bisa didapatkan, tepatnya di toko buku puisi. ‘’Siapa saja boleh memanfaatkan taman Madah Poedjangga ini. Makanya kawasan ini dikelola Yayasan Sagang dan juga Rtv. Kegiatan yang dilaksanakan akan disiarkan di Rtv melalui program Malam Madah Poedjangga. Sebuah program apresiasi untuk sastra dan budaya Riau. Bentuknya seperti kafe. Ada diskusi, ada makanan, ada hiburan dan ada toko buku puisi. Buku-buku sastera,

halaman 63


Peresmian Taman Madah Poejangga 17 Oktober 2015 di Graha Pena Riau. foto DEFIZAL

puisi bisa dibeli di sini. Sifatnya santai karena ini taman. Seperti di Men Hai Temple Korea itu. Taman dan tembok puisinya tak pernah sunyi, tak pernah mati. Madah Poedjangga juga harus begitu,’’ jelas Rida yang juga pendiri dan pembina Yayasan Sagang ini. Keterbatasan yang membuat Taman Madah Poedjangga tersebut baru bisa terwujud saat ini. Salah satunya keterbatasan tempat. Rida mengaku sengaja menyediakan lapangaan terbuka di antara Graha Pena Riau dan Rtv untuk membangun taman ini. Alasannya, taman ini juga bisa disebut plaza. Rida sendiri tidak tahu pasti perkembangan taman ini nantinya. Hal yang pasti baginya, taman dengan tembok puisi ini dibangun sebagai apresiasi bagi para pujangga Riau yang harus terus berkembang dan lebih baik. Malam itu. Sabtu 17 Oktober 2015, Taman Madah Poedjangga diresmikan. Seluruh penyair Riau diundang, terlebih mereka yang namanya terpatri di tembok puisi. Presiden penyair Indonesia Soaterdji Calzoum Bachri asal Riau juga datang dari Jakarta bersama

halaman 64

penyair-penyair/seniman asal Riau yang sudah menetap di luar Riau. Lebih kurang 100 tamu undangan memenuhi kawasan taman ini. Selain peresmian, malam itu juga digelar diskusi sastra bersama Soetardji dan penyair Riau lainnya. Dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh para penyair, pergelaran tari, dan musikalisasi puisi oleh mahasiswa Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) serta masih banyak lainnya. *** (tim red. Sagang)

P


halaman lxv


halaman lxvi


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.