Edisi205

Page 1

Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)

Esei: Teks dan Seks oleh Zuarman Ahmad Cerita-pendek: Anak Besi oleh Mo Yan, Setenta Fadas oleh Fernanda Rochman Ardhana, Kalung Sial oleh Guy de Maupassant Sajak: Irna Novia Damayan!,

Paul Verlaine, Arthur Rimbaud, Guillaume Apollinaire

10 Tahun Hidup di Pengasingan Svetlana Nobel Sastra 2015:

Alexievich Peraih Nobel Sastra 2015 oleh Dantje S moeis

205

l

OKTOBER 2015 l Tahun XVIII halaman hala lama la man ma n KU KULITi KULI LITi Ti www.majalahsagang.comha


halaman KULI KULITii LITi LI Tii Ti


Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 205 l OKTOBER 2015 l tahun XVIII

Tarian "Tetes Hujan" diambil dari Puisi Kazzaini KS yang dibawakan oleh mahasiswa AKMR prodi Tari di Taman Madah Poedjangga Graha Pena Riau, 17 Oktober 2015.

Daftar Isi n Moderato Cantabile Versus Szomorú vasárnap ................................ 2 n Esei Teks dan Seks oleh Zuarman Ahmad ........................... 3 n Cerita-pendek Terjemahan Anak Besi oleh Mo Yan ......................... 6 n Cerita-pendek Setenta Fadas oleh Fernanda Rochman Ardhana ..... 20 n Cerita-pendek Terjemahan Kalung Sial oleh Guy de Maupassant......................31 n Sajak Irna Novia Damayanti .........................41 n Sajak terjemahan - Paul Verlaine .....................................51 - Arthur Rimbaud ............................... 52 - Guillaume Apollinaire ...................... 53 n Nobel Sastra 2015 10 Tahun Hidup di Pengasingan Svetlana Alexievich Peraih Nobel Sastra 2015 oleh Dantje S moeis ........ 55 n Anugerah Sagang 2015 Pengumuman Pemenang Anugerah Sagang 2015 ....................... 63

Perintis: Rida K Liamsi l Pemimpin Umum: Armawi KH l Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto l Pemimpin Perusahaan: Dra. Erda Yulfi l Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks l Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad l Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Eriyanto Hady, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH l Pra cetak: Rudi Yulisman l Ilustrator Tetap: Purwanto l Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan arus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


Tajuk

Moderato Cantabile Versus Szomorú vasárnap arguerite Duras atau lama lengkapnya Marguerite Donnadieu le Duras lahir di Gia-Dinh, Indocina, 1914. Perempuan keturunan Perancis ini mengarang novel (nouveau roman) yang berjudul Moderato Cantabile. Moderato dalam pengertian musik berarti dinyanyikan dengan tempo sedang lambat, dan cantabile bermakna dengan berlagu atau berseru; dalam buku Oxford Concise Dictionary of Music ditulis: Singble, stingingly, with the melody smoothly perf. and well brought out. Beberapa percakapan dalam novel Marguerite Duras itu, yakni seorang guru piano perempuan yang agak marah kepada murid les piano-nya yang sepertinya tidak mengerti tentang makna tempo moderato cantabile lagu dari partitur piano yang dimainkan muridnya. “Coba baca yang tertulis di partiturmu,” perintah perempuan itu.

atas

“Moderato cantabile.” Jawab anak itu. Perempuan itu menandai jawaban itu dengan satu pinsil di atas tuts piano. Si anak tetap tidak bergerak, kepalanya menghadap ke arah partitur. “Apa arti moderato cantabile?” “Tidak tahu.” Seorang perempuan lain yang duduk tiga meter dari situ, menarik napas panjang. “Kau yakin, tidak tahu arti moderato cantabile?” perempuan pertama bertanya kembali.

halaman 2

Anak itu tidak menjawab. Perempuan itu mendesahkan perasaan yang tertekan tidak berdaya sambil sekali lagi mengetukkan pensil ke atas tuts piano. Anak itu tak bergerak seujung rambut pun. Perempuan itu membalikkan tubuh. Moderato Cantabile yang dikenal dalam istilah musik menjadi inspirasi bagi Marguerite Duras untuk membangun cerita dalam novel-nya. Novel ini satu dari nouveau roman-nya yang terbit 1958, dan terjual sebanyak 500,000 eksemplar. Sebenarnya, sangat banyak ide cerita yang dapat dituangkan ke dalam novel mengenai musik. Ada satu lagu bahasa Hongaria dengan judul aslinya ‘’Szomorú vasárnap’’ yang kalau diterjemahkan menurut Hasan Junus dapat menjadi entah ‘’Hari Minggu Kelabu’’ atau‘’Hari Minggu yang Sendu’’. Pencipta lagu (menurut Hasan Junus “lagu puaka”) ini adalah Rezsö Seress. Lagu ini membuat virus bunuh diri (une vague de suicide) mulamula di Hongaria, ke Inggeris, lalu ke serata Eropa dan dunia. Bagaimana kalau judul lagu ini dibuat judul novel, dalam bahasa aslinya Hongaria, dalam bahasa Inggeris Gloomy Sunday, dalam bahasa Indonesia Hari Minggu (Ahad) Kelabu, atau dalam bahasa Perancis Sombre dimanche? ***


Esei

Teks dan Seks oleh Zuarman Ahmad

etika Hasan Junus dalam banyak Rampai-nya satu dari d mengatakan, mengat “Barangkali hanya orang tak memerlukan seks sajalah yang tak memerl menghiraukan teks”. Mungkin pernyataan ini ada benarnya. Tetapi kalau pernyataan ini diubah seperti ini: “Barangkali orang yang tak lagi memerlukan seks tak akan dapat membuat teks”, mungkinkah benar? Belum tentu juga. Karena pernyataan seperti yang terakhir ini memerlukan penelitian yang serius, mungkin dengan validitas data penelitian kuantitatif. Namun, kalau rasa-

rasanya pernyataan kalimat tanda kutip yang terakhir ini dalam hati terasa benar atau mengarah-arah benar, mungkin benarlah, ha ha ha. Membaca teks, hendaknya mencapai kesenangan atau kenikmatan puncak yang disebut dengan istilah ‘jouissance’ oleh Roland Barthes. Sebagaimana pernyataannya tentang dua macam kesenangan atau kenikmatan yaitu: kesenangan atau kenikmatan biasa disebut ‘plaisir’ dan yang kesenangan atau kenikmatan puncak yang dinamakan ‘jouissance’. Karena itu Hasan

halaman 3


Junus berpesan bahwa, untuk mencapai jouissance dalam membaca dan mendekati teks dapat dilakukan dari arah mana saja yang disukainya, sesuka hatinya, maupun membaca dari depan atau membaca dari belakang atau membaca dari tengah, sama saja. Karena itu, ada juga pendapat dan pernyataan bahwa teks buku yang bagus mau dibaca dari mana saja tak ada masalah, atau seseorang yang memulai membaca teks buku dari bagian halaman mana saja menandakan teks itu adalah teks yang bagus dan bermutu. Menurut Jorge Luis Borges, kalau dapat membuat cerita-pendek atau novel yang singkat dengan semua isi teks-nya adalah bermakna kenapa harus menulisnya dengan halaman setebal bantal tetapi banyak katakata dan kalimat-kalimat yang terbuang percuma, yang tak mempunyai arti dan makna apapun kecuali sampah. Karena itu buku-buku cerita-pendek dan esei Borges tidak ada yang panjang-panjang, tetapi singkat dan padat. Bacalah buku Borges “Sejarah Aib” (2006) atau dalam judul asli A Universal History of Infamy (1979), yang oleh Pengantar Redaksi dalam “Sejarah Aib”mengatakan: “Bermain-main dengan fragmen kehidupan tokoh-tokoh masyhur dalam sejarah yang diriwayatkan penulis lain … pencerita yang menciptakan adonan untuk antara fakta, fiksi, dan sikap (seolah-olah) ilmiah. Suatu gaya yang kelak menemukan puncak ekspresinya dalam cerpen-cerpen Borges yang mendunia.” Atau dapat dibaca dalam Kata Pengantar Edisi 1954 sebagai: “Gaya yang dengan sengaja menguras (atau berusaha mengurai) seluruh kemungkinannya, dan yang nyaris menjadi parody bagi dirinya sendiri, harus saya definisikan sebagai barok.” Lihat dan baca

halaman 4

teks cerita-pendek Mario Vargas Llosa “Ibu Tiri Tercinta” pada halaman pertama: “Saat menyabuni tubuhnya, ia membelai sepasang buah dadanya yang kencang, puting-puting susunya yang tegak dan pinggangnya yang masih langsing, tempat lekuk pinggulnya melebar, bagaikan dua sisi buah apel,lalu ia mengelus kedua pahanya, bokongnya, sepasang ketiaknya yang bulu-bulunya telah dicukur dan leher jenjangnya yang berhiaskan sebiji tailalat. “Andai aku tak pernah menjadi tua,” doanya, seperti yang selalu dilakukannya setiap pagi ketika mandi.” Dan lihat pula halaman teks terakhir dari cerita-pendek ini: “Ketika pada akhirnya ia berhasil terlelap, ia bermimpi tengah berada dalam salah satu etsa koleksi rahasia Don Rigorberto. Di sana ia dan suaminya itu tengah merenungi malam bersama-sama, mencari ilham bagi cinta mereka.” Pendapat Borges yang mengusahakan seluruh teks cerita yang ditulis dengan tanpa kata-kata dan kalimat-kalimat yang sia-sia atau menjadi sampah, sebagaimana yang pernah diceritakan oleh Hasan Junus suatu hari di kantor lama Majalah Budaya Sagang, bahwa Borges banyak mendapat pengaruh dari cerita-cerita dalam Al-qur’an, dan cerita-cerita dari dunia Islam. Perlakuan pada teks ini juga mungkin berlaku pada pendekatan seks bagi penganut yang tak terkungkung atau terbelenggu dengan aturan akhlah. Pendekatan seks (penganut tidak aturan fikih) ini seperti halnya teks buku yang bagus. Penganut ini dalam melakukan hubungan seks dapat memulai dan melakukannya dari arah mana saja, bebas, mau dari belakang, dari depan, dari atas, dari bawah, dari samping kanan, dari samping kiri, tegak, duduk, atau seperti yang ditulis dalam naskah Arab-


Melayu mengenai kamasutra orang Melayu yang satu diantaranya adalah seperti beruk begayut. Kesenangan seks yang dilakukan oleh penganut tidak aturan ďŹ kih ini seperti halnya membaca teks buku yang bagus, akan mencapai kesenangan yang klimaks, seperti halnya kesenangan atau kenikmatan yang disebut oleh Roland Barthes itu dengan pencapaian jouissance atau orgasmus intelektual. Karena itu taklah heran kalau Barthes mengatakan bahwa bahasa itu cabul-lucah, dan karena itulah aku kembali kepadanya (For me, language is obscene, and that is why I continually return to it).

Rachmaninof, Ravel, Schoenberg, Graswin, dan lain-lain, dan saya akan menyelesaikan karya musik dari eksplorasi bunyi jouissance seks ini ke dalam teks musik. ***

SPN (SENIMAN PEMANGKU NEGERI) ZUARMAN AHMAD, mengajar di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR)), penerima Anugerah Sagang Kategori Budayawan dan Seniman, Musisi, Arranger, Komposer, conductor Bandar Serai Orchestra (BSO), juga menulis esei seni dan penulis cerita-pendek.

Hal yang sama lagi dalam pendekatan kesenangan atau kenikmatan membaca teks dan seks adalah dilakukan bersunyi-sunyi atau di ruang pribadi, mungkin karena dua pekerjaan ini adalah pekerjaan yang serius yang memerlukan konsentrasi penuh. Membaca teks, sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh Al azhar dalam satu esainya adalah “menikmati kesendirian� yang; juga sama halnya dengan seks, menikmati kesendirian juga, walaupun berdua, tetapi masing-masing menikmati kesenangan yang pada galibnya juga bersendirian. Persamaan yang ketiga antara teks dan seks adalah imajinasi. Membaca teks menimbulkan imajinasi pembacanya yang liar, sedangkan seks menimbulkan imajinasi yang lebih liar lagi, sehingga ketika kenikmatan seks yang disebut Roland Barthes dengan kesenangan atau kenikmatan puncak (jouissance) akan menimbulkan unsur atau elemen terpenting dalam musik, yakni bunyi atau suara (voice, vocal), yang kalau hal ini dibuat komposisi musik oleh seorang music composer mungkin akan melahirkan karya musik yang luar biasa, mungkin melebihi Mozart, Beethoven, Wagner, Janacek,

halaman 5


Cerita-pendek Terjemahan

Anak Besi oleh Mo Yan

em emasa kampanye peleburan baja Lompatan Jauh ke Depan1, pemerintah mengerahkan 200.000 pekerja untuk membangun peme jalan kereta api dua belas mil; pekerjaan ini diselesaikan dalam waktu dua setengah bulan. Terminal bagian atas dihubungkan dengan jalur utama Jiaoji di Stasiun Gaomi; terminal sebelah bawah terletak di tengah-tengah hamparan luas daerah bersemak.

halaman 6


Baru berusia empat atau lima tahun ketika itu, kami dipondokkan di sebuah sekolah Taman Kanak-kanak yang teronggok di sebelah kantin umum. Terdiri dari deretan lima bangunan tanah-tumbuk dengan atap jerami, tempat itu dikelilingi oleh sejumlah pepohonan muda berketinggian enam hingga tujuh kaki, semuanya dipagari dengan kawat tebal. Anjing-anjing yang sangat kuat pun tak bisa melompatinya, sehingga anak-anak seperti kami dibiarkan sendirian. Ayah, ibu, dan kakak-kakak kami—sesungguhnya, siapa pun yang dapat memegang cangkul atau sekop—direkrut ke dalam barisanbarisan pekerja. Mereka makan dan tidur di lokasi konstruksi, jadi kami tidak bisa melihat mereka semua untuk waktu yang sangat lama. Tiga perempuan tua ceking bertanggungjawab atas “sekolah TK” kurungan kami. Karena ketiga-tiganya memiliki hidung seperti paruh elang dan mata cekung yang serupa, bagi kami mereka tampak seperti makhluk-makhluk kloning. Setiap hari mereka mempersiapkan tiga ketel besar bubur dengan sayuran hutan: satu pagi-pagi, lainnya pada waktu tengah hari, dan yang ketiga pada malam hari. Kami melahapnya dengan rakus sampai perut kami kencang seperti gendang-gendang kecil. Kemudian sehabis makan, kami memanjat naik ke pagar untuk mengamati pemandangan di luar. Ranting-ranting muda pohon willow dan poplar dari pagar itu sudah bertunas. Pohon-pohon yang tak memiliki dedaunan hijau membusuk perlahan; jika tak disingkirkan, mereka mulai ditumbuhi jamur kuping-kayu kuning atau jamur-jamur putih kecil. Berpesta dengan jamur-jamur kecil, kami mengamati para pekerja dari luar kota yang berjalan mondar-mandir di jalan terdekat. Mereka lesu dan kotor, rambut mereka acak-acakan. Sambil mencari-cari sanak-keluarga kami di antara para pekerja ini, air mata mengenang di mata kami, kami bertanya: “Paman yang baik, Anda melihat ayahku?” “Paman yang baik, Anda melihat ibuku?” “Anda melihat saudaraku?” “Anda melihat saudariku?” Beberapa di antara mereka mengacuhkan kami, seolah-olah mereka tuli. Yang lain menengahkan kepala mereka dan melempar pandangan sekilas sambil lalu, kemudian menggeleng. Namun sebagian berteriak kepada kami dengan kasar: “Kemari, kalian bajingan-bajingan cilik!” Ketiga perempuan tua cuma duduk-duduk di pintu masuk dan tidak menaruh perhatian pada kami. Pagar setinggi enam kaki terlalu

halaman 7


tinggi bagi kami untuk memanjat ke atas, dan celah di antara anakanak pohon itu terlalu sempit bagi kami untuk menyelinap lewat. Dari tempat kami yang menguntungkan di balik pagar, kami melihat seekor naga tanah liat menggeliat keluar dari padang di kejauhan dan menyaksikan gerombolan orang-orang sibuk naik-turun mengaduk naga lempung itu, seperti semut-semut mengerumuni puncak sebuah bukit. Para pekerja yang lewat di depan pagar kami mengatakan bahwa itu adalah bantalan untuk jalan kereta api. Sanakkeluarga kami menjadi bagian dari koloni semut manusia itu. Dari waktu ke waktu orang-orang dengan dadakan menancapkan ribuan bendera merah ke tubuh naga tersebut; di lain waktu mereka secara tiba-tiba menyisipkan ribuan bendera putih. Tapi lebih sering tak ada bendera. Beberapa saat kemudian, banyak sekali obyek berkilauan yang tampak pada bagian atas naga itu. Pekerja-pekerja yang lewat mengatakan kepada kami, itu adalah rel-rel baja. Suatu hari, seorang pemuda berambut keperakan lewat menuruni jalan. Ia demikian jangkungnya sehingga kami yakin ia bisa menyentuh pagar kami hanya dengan mengulurkan sebelah lengan panjangnya. Ketika kami bertanya tentang sanak-keluarga kami, ia mengejutkan kami dengan mendekat ke pagar, berjongkok, dan dengan gembira mengusap hidung kami, menggelitik perut kami, dan menjepit perkutut kecil kami. Ia orang pertama yang menanggapi teriakan kami. Dengan senyum lebar, ia bertanya: “Siapa nama ayahmu?” “Wang Fugui.” “Ah, Wang Fugui,” jawabnya, mengusap dagunya. “Aku kenal Wang Fugui.” “Apakah Anda tahu kapan ia akan datang menjemputku?” “Ia tidak bakal datang. Baru-baru ini, ia mati selagi menggotong rel baja.” “Waah…” Salah satu anak mulai menangis. “Anda melihat ibuku?” “Siapa nama ibumu?” “Wan Xiuling.” “Ah, Wan Xiuling,” jawabnya, menggosok dagunya. “Aku kenal Wan Xiuling.” “Apakah Anda tahu kapan ia akan datang menjemputku?” “Ia tidak bakal datang. Baru-baru ini, ia mati saat memikul balok rel kereta api.”

halaman 8


“Waah‌â€? Anak lainnya mulai menangis. Tak lama kemudian, kami semua menangis. Pemuda berambut keperakan itu berdiri dan pergi meninggalkan kami sembari bersiulsiul. Kami menangis dari tengah hari hingga matahari terbenam. Kami masih menangis ketika perempuan-perempuan tua itu memanggil kami untuk makan malam. ÂŤApa yang kalian tangisi?Âť bentak mereka. ÂŤKalau kalian tidak berhenti, kami akan melempar kalian ke dalam Lubang Galian untuk Orang Mati.Âť Kami tidak bisa menduga di mana Lubang Galian untuk Orang Mati berada, namun kami tahu itu adalah suatu tempat yang mengerikan. Kami berhenti menangis. Hari berikutnya, kami kembali ke pagar untuk mengamati pemandangan di sisi lain. Pada pertengahan pagi, beberapa pekerja muncul di hadapan kami memikul sebuah pintu yang di atasnya sesosok tubuh berlumuran darah dibaringkan. Kami tidak bisa mengatakan itu seorang laki-laki atau perempuan, tapi kami bisa melihat dan mendengar darah menetes dari tepian pintu dan memercik di jalan. Salah satu anak mulai menangis, dan segera saja kami semua menangis, seolah-olah orang yang berbaring di atas pintu itu adalah sanak-keluarga kami. Setelah menghabiskan bubur siang kami, kami kembali ke pagar, di mana kami melihat pemuda berambut keperakan itu berjalan ke arah kami dalam kawalan dua lelaki hitam tegap bersenapan. Tangannya terikat di balik punggungnya; hidung dan matanya lebam dan bengkak; bibirnya berdarah. Ketika ia lewat di depan kami, ia menoleh dan memberi kami sebuah kedipan, seolah-olah ia tak bisa lebih bahagia. Kami berteriak memanggilnya, tetapi salah satu penjaga menyodok tulang rusuknya dengan senapan dan berteriak: ÂŤJalan!Âť Di pagi lain, selagi kami sedang bersandar di pagar, kami melihat bahwa bantalan rel kereta api di kejauhan tiba-tiba dipenuhi bendera merah, dan kami mendengar tetabuhan gong dan pukulan-pukulan gendang. Semua orang di sana bersorak-sorai dengan gembira untuk sejumlah alasan. Pada saat makan siang perempuan-perempuan tua itu memberi kami masing-masing sebutir telor dan berkata: ÂŤAnakanak, jalan kereta api sudah selesai. Kereta pertama akan tiba hari ini. Itu berarti ayah dan ibu kalian bakal datang menjemput kalian. Kami sudah melaksanakan tanggungjawab kami mengasuh kalian. Telur-

halaman 9


telur ini untuk merayakan selesainya rel kereta api.Âť Kami sangat gembira. Sanak-keluarga kami ternyata tidak mati. Pemuda berambut keperakan itu telah berbohong pada kami. Tak heran mereka mengikatnya dan menyeretnya pergi. Telur merupakan semacam hidangan yang langka karenanya perempuan-perempuan tua itu harus menunjukkan pada kami bagaimana cara mengupasnya terlebih dahulu. Secara sembrono kami mengupas kulit telur-telur tersebut, hanya untuk menemukan anak ayam kecil yang lembut di dalamnya. Mereka berkeciap ketika kami mencabik mereka, dan mereka berdarah. Ketika kami berhenti makan, para perempuan tua itu mengacungkan rotan pada kami dan memaksa kami meneruskan makan. Kami melakukannya. Saat kami bersandar ke pagar hari berikutnya, kami melihat lebih banyak lagi bendera merah di jalan kereta api. Kemudian sore itu, orang-orang yang berada di kedua sisi rel mulai bersorak-sorak dan berteriak, tatkala obyek raksasa dengan asap tebal yang keluar dari moncongnya itu muncul. Ia sangat besar dan panjang dan hitam; ia meraung ketika mendekat dari barat daya. Ia lebih cepat dari seekor kuda. Ia merupakan benda tercepat yang pernah kami lihat. Kami merasakan getaran tanah di bawah kaki kami, dan kami ketakutan. Lalu kami melihat sejumlah perempuan bergaun serba putih muncul entah dari mana-mana, bertepuk tangan dengan keras dan mengumumkan: “Kereta itu datang! Kereta itu kemari!â€? Kereta api yang bergemuruh itu melintas ke arah timur laut, dan kami menontonnya hingga gerbong terakhirnya lenyap dari pandangan. Setelah kereta lewat, seperti yang dijanjikan, para orang tua mulai tampak menjemput anak-anak mereka. A Kauw yang dijemput duluan, dan seterusnya A Ten, A Chu, dan A Thew, hingga cuma tinggal aku sendirian.2 Ketiga perempuan tua itu membawaku keluar pagar dan berkata: “Pulanglah!â€? Aku sudah lama lupa di mana aku tinggal, dan dengan sedihnya memohon salah satu perempuan tua itu untuk membawaku pulang. Tetapi ia mendorongku ke sampingnya, berbalik, dan berjalan kembali ke rumah, menutup gerbang di belakangnya. Kemudian ia menjamin keamanan gerbang itu dengan gembok kuningan besar mengkilap. Aku berdiri di luar pagar itu sambil menangis, menjeritjerit, dan memohon, tetapi mereka mengacuhkanku. Lewat sebuah

halaman 10


celah pagar, aku mengamati ketiga perempuan tua yang mirip satu sama lain itu menyiapkan sebuah panci kecil di dalam pekarangan, menyalakan sejumput ranting kecil di bawahnya, dan menuangkan sejumlah minyak-lampu hijau. Tatkala reranting kecil meretih dan apinya berkobar, minyak itu mulai berbuih. Saat buih itu lenyap, asap putih keluar dari pinggiran panci. Perempuan-perempuan tua itu memecahkan beberapa butir telur, membuka dan melemparkan anak ayam kecil lembut ke dalam panci dengan sumpit. Anak-anak ayam itu mendesis dan mengerut dalam minyak panas, meruapkan aroma harum daging masak. Perempuan-perempuan tua itu kemudian mengangkat anak-anak ayam masak dari dalam minyak, meniupnya satu-dua kali, dan menenggaknya ke dalam mulut mereka. Pipi mereka mengembung—awalnya sebelah, lalu sebelah yang lain— dan bibir mereka mengunyah dengan ribut. Air mata meleleh dari mata mereka, yang terpejam sepenuhnya. Mereka takkan membuka gerbang, tak peduli bagaimana aku menangis atau menjerit. Dengan cepat air mataku mengering dan suaraku habis sia-sia. Aku memperhatikan genangan air berlumpur di bawah sebatang pohon hitam yang berminyak. Aku menghambur ke sana untuk memuaskan dahagaku. Hanya itulah yang bisa kuminum, aku melihat seekor katak kuning di samping genangan. Aku juga melihat seekor ular hitam dengan bintik-bintik putih yang merayap di atas perutnya. Katak dan ular terlibat dalam sebuah perkelahian. Aku ketakutan, tapi aku juga sangat dahaga. Maka, menahan rasa takutku, aku berlutut dan meraup sedikit air dengan tanganku. Air itu menetes dari sela-sela jariku. Ular itu menelan kaki katak dalam mulutnya, dan cairan putih meleleh keluar dari kepala katak itu. Air itu payau, dan sedikit bikin mual. Aku berdiri, tetapi tidak tahu pergi ke mana. Aku ingin menangis, dan itulah yang kulakukan. Namun tak ada air mata yang keluar. *** AKU melihat pepohonan, air, katak kuning, ular hitam, perkelahian, ketakutan, dahaga, berlutut, meraup air, minum, mual, aku menangis, tanpa air mata‌ Hey, apa yang kau tangisi, apakah ayahmu mati? Apa ibumu mati? Apa semua keluargamu mati? Aku memutar kepalaku. Aku melihat anak yang mengajukan pertanyaanpertanyaan padaku itu. Aku melihat bahwa ia setinggi diriku. Aku melihat ia tidak mengenakan selempar pakaian pun. Aku melihat kulitnya berkarat. Bagiku itu membuatnya tampak seperti anak besi. Aku melihat bahwa matanya hitam. Dan aku melihat bahwa ia seorang bocah lelaki, seperti halnya diriku.

halaman 11


Katanya, Apa yang kau tangisi, Orang Kayu? Tukasku, aku bukan dibuat dari kayu. Ujarnya, bagaimana pun juga aku akan memanggilmu Orang Kayu. Katanya, Orang Kayu ayolah bermain-main denganku di sana di jalan kereta api. Ia bilang ada banyak hal menarik di sana untuk dilihat, dimakan, dan dimainkan. Aku mengatakan padanya seekor ular telah menelan seekor katak. Ia berkata, biarkan saja, jangan mengganggunya, ular dapat menghisap sumsum anak-anak. Ia membimbingku ke arah jalan kereta api. Rel-rel itu tampak begitu dekat, tetapi kami tak dapat menjangkaunya. Kami berjalan dan berjalan, mengamati dan mengamati, namun sejauh apapun jalan kereta api itu tetap saja serupa; seolah-olah sepanjang waktu kami berjalan, itu-itu juga. Butuh suatu tindakan, tetapi kami akhirnya melakukannya. Pada saat itu kakiku menghentikanku. Aku menanyakan padanya namanya. Katanya, Namaku adalah apapun yang semestinya kau inginkan. Ujarku, kau kelihatan seperti sepotong besi berkarat. Tukasnya, Jika kau bilang aku besi, maka begitulah aku adanya. Kataku, Anak Besi. Ia mengrundel sebagai jawaban dan tertawa. Aku mengikuti Anak Besi naik ke atas ke jalan kereta api. Bantalan jalan itu sangat curam. Aku melihat bahwa rel-rel itu seperti dua ekor naga panjang yang merayap dari apa yang harusnya suatu tempat sangat jauh. Aku membayangkan bahwa jika aku menginjak salah satu dari mereka, ia bakal mulai menggeliat-geliat, dan bahwa ia akan membelitkan ekornya yang kaku tanpa kepala di sekeliling kakiku. Aku menginjak salah satu dengan hati-hati. Besi itu dingin, tetapi ia tidak menggeliat-geliat dan ia tidak mengibaskan ekornya. Aku menyaksikan matahari terbenam di balik gunung. Ia sangat besar dan sangat merah. Sekawanan burung putih hinggap di sisi genangan air. Aku mendengar cericit ketakutan. Anak Besi bilang bahwa kereta datang. Aku melihat roda-roda besi merah, dan batangbatang jeruji besi yang memutarnya. Itu membuatku merasa seakanakan udara yang menderu di bawah roda-roda itu bisa menghisap seseorang ke dalam. Anak Besi melambai pada kereta itu, seolah-olah itu adalah temannya. Rasa lapar mulai menggerogotiku malam itu. Anak Besi memungut sebatang balok besi karatan dan menyuruhku memakannya. Aku bilang aku manusia, bagaimana mungkin aku makan besi? Anak Besi bertanya kenapa manusia tak bisa makan besi. Aku manusia dan aku bisa memakannya. Lihat saja jika kau tak percaya padaku. Aku memperhatikan ketika ia memasukkan balok besi itu ke mulutnya dan—chomp chomp—mulai makan. Kelihatannya, balok besi itu

halaman 12


garing dan getas, dan, tampaknya, sangat gurih. Aku mulai meneteskan air liur. Aku bertanya padanya di mana ia belajar makan besi, dan katanya, Sejak kapan kau harus belajar bagaimana caranya makan besi? Aku bilang aku tak bisa melakukan itu. Dan ia bertanya padaku kenapa tidak. Cobalah itu jika kau tidak percaya aku. Ia mengulurkan setengah balok baja yang belum dimakan dan berkata, Cobalah ini. Aku bilang aku takut aku akan mematahkan gigiku. Ujarnya, Kenapa? Katanya, Tak ada apapun yang lebih keras dibandingkan gigi orang, dan kalau kau mencobanya, kau akan mengerti apa yang kumaksud. Aku mengambil balok besi itu dengan ragu-ragu, mendekatkannya ke mulutku, dan menjilatinya untuk mengetahui bagaimana rasanya. Balok besi itu asin, masam, dan mirip semacam ikan yang diawetkan. Gigitlah, katanya. Aku mencoba menggigit segumpal dan, sebagai kejutan, setiap usahaku berhasil dengan susah-payah. Ketika aku mulai mengunyah, rasa itu mengisi mulutku, rasanya makin enak dan makin enak sampai, sebelum aku menyadarinya, aku telah dengan rakus menghabiskan semuanya. Benar? Aku tidak bohong, kan? Tidak, kau tidak bohong, kataku. Kau anak baik, mengajariku bagaimana caranya makan besi seperti itu. Aku tak perlu minum kaldu dengan sayuran lagi. Katanya, Siapapun dapat makan besi, tapi orang-orang tidak tahu itu. Tukasku, Jika mereka lakukan, mereka tak perlu bercocok tanam lagi, maukah mereka? Katanya, Apakah kau pikir melebur besi lebih mudah daripada bercocok tanam? Sebenarnya, itu lebih sulit. Pastikan kau tidak mengatakan pada orang betapa lezatnya besi, karena kalau mereka tahu, mereka semua akan mulai memakannya, dan di sana takkan ada apapun yang tersisa untuk kau dan aku. Bisakah kau membiarkanku merahasiakan ini? Aku bertanya padanya. Ujarnya, aku pingin mencari seorang teman, karena makan besi sendirian tidak asyik. Aku mengikutinya sepanjang rel menuju ke timur laut. Sejak aku tahu bagaimana caranya makan besi, aku sudah tak lagi takut pada rel-rel itu. Aku bergumam pada diriku sendiri, rel besi, rel besi, janganlah sombong, karena kalau kau sombong, aku akan memakanmu. Sejak aku menghabiskan setengah batang balok besi, aku sudah tidak lagi lapar, dan kaki-kakiku terasa kuat. Anak Besi dan aku sama-sama berjalan menuruni sebatang rel. Kami berjalan begitu cepat sehingga dalam waktu singkat kami mencapai tempat di mana langit telah berubah merah. Tujuh atau delapan tungku sangat besar menyemburkan nyala api ke udara, dan aku bisa mencium bau segar itu, harum besi yang menggoda. Katanya, ‘Di depan atas sana mereka melebur besi dan baja. Siapa tahu, mungkin di sana ada ayah

halaman 13


dan ibumu.’ Aku menjawab, ‘Aku tak peduli mereka ada di sana atau tidak.’ Kami berjalan dan berjalan sampai jalan kereta api terputus mendadak. Kami dikelilingi oleh ilalang setinggi kepala yang menjadi tempat timbunan baja dan besi tua karatan. Sejumlah kereta rusak tergolek di sampingnya di tengah ilalang, muatan besi tua dan bajanya berserakan di di sisinya. Berjalan sedikit lebih jauh, kami melewati kerumunan orang-orang yang berjongkok dan makan di tengahtengah tumpukan besi dan baja. Lidah api dari tungku-tungku peleburan membuat wajah mereka merah terang. Ini waktu makan. Apa yang mereka makan? Bakpao-bakpao daging dan kentangkentang manis dengan telur. Makanan itu mestinya lezat, cara pipipipi mereka mengembung, seolah-olah mereka punya penyakit gondok. Namun bagiku aroma bakpao-bakpao daging dan kentangkentang manis dan telur-telur itu lebih busuk ketimbang anjing kurap, dan itu membuat perutku melilit. Sehingga aku harus berjalan searah hembusan angin untuk menghindarinya. Lalu seorang lelaki dan seorang perempuan dalam kerumunan itu berdiri dan berteriak: “Gousheng!” Mereka membuatku takut awalnya. Tetapi kemudian aku mengenali mereka sebagai ayah dan ibuku. Mereka datang terhuyung-huyung ke arahku, dan tiba-tiba hal ini menyingkapkan padaku apa yang orang takuti. Mereka, setidaknya sama menakutkannya dengan ketiga perempuan tua di “sekolah Taman Kanak-kanak.” Aku bisa membaui aroma busuk pada tubuh mereka, lebih busuk dibandingkan anjing kurap. Maka ketika mereka menggapai ke depan untuk meraihku, aku berbalik dan melarikan diri. Mereka mengejar di belakangku. Aku tak berani memutar kepalaku untuk menoleh ke belakang, tapi aku bisa merasakan jari-jari mereka setiapkali mereka menyentuh kulit kepalaku. Dan saat itulah aku mendengar teman baikku, Anak Besi, berteriak padaku dari suatu tempat di depan: “Orang Kayu, Orang Kayu, lari ke timbunan besi tua!” Aku melihat tubuh merah tuanya sekilas di antara timbunan besi tua, dan kemudian lenyap dari penglihatan. Aku berlari ke timbunan itu, menginjak cetakan-cetakan, cangkul-cangkul, bajak, senapan, meriam, dan benda-benda yang lain ketika aku memanjat ke atas. Anak Besi melambai padaku dari dalam sebuah pipa saluran air. Membungkukkan bahuku dengan cepat, aku menyelinap ke dalam. Di dalam gelap seperti malam, dan aku dikepung oleh bau harum karatan besi. Aku tak bisa melihat apapun, tapi aku merasakan sebuah tangan yang dingin mencekal kuat tanganku, dan aku tahu itu Anak

halaman 14


Besi. Ia berbisik: “Jangan takut. Ikuti aku. Mereka tak bisa melihat kita di dalam sini.” Karena itu aku merayap terus di belakangnya. Aku tak bisa menduga ke mana arah pipa, dengan segala liku-likunya, menuju, jadi aku terus merayap sampai aku melihat sebuah cahaya di depan. Aku mengikuti Anak Besi keluar dari pipa dan menuruni tangga sebuah tank bekas; dari sana kami merangkak naik ke kepala tank. Lima tanda bintang putih tergambar di kepala tank itu, dari mana sebuah laras meriam berbintik-bintik karatan menjolok keluar, mengarah ke satu penjuru. Anak Besi mengatakan ia ingin merangkak ke dalam kepala tank, tetapi lubang pintunya yang berkarat tertutup. Kata Anak Besi: “Ayo kita buka sekrupnya.” Masih bersitekan di atas tangan dan lutut kami, kami memutar pintu itu, membuka semua sekrup berkarat, dengan cepat meloloskan mereka, hingga mereka terlepas. Kami melempar pintu itu jauh-jauh. Kepala tank itu dibuat dari logam lunak, mirip seperti buah persik ranum. Begitu kami berada di dalam, kami beralih pada jok-jok empuk yang lembut. Anak Besi menunjukkan padaku sebuah lubang kecil, yang mana melaluinya aku bisa melihat orang tuaku. Mereka sedang merangkak di atas timbunan besi tua yang agak jauh, melemparkan benda-benda ke sekeliling dan membuat suara gaduh berkelontangan nyaring yang bercampur dengan teriakan menyedihkan mereka: “Gousheng, Gousheng, putraku, keluarlah, keluarlah dan ambillah sejumlah bakpao daging dan kentang manis dan telur…” Mereka tampak seperti orang-orang asing bagiku, dan ketika aku mendengar mereka mencoba membujukku dengan bakpao-bakpao daging dan kentang-kentang manis dan telur, aku mencemooh meremehkan. Akhirnya mereka menyerah mencariku dan berbalik langkah. Setelah merangkak keluar dari kepala tank, kami duduk menunggangi laras meriam, sebuah tempat menguntungkan yang baik untuk mengamati lidah api berkobar-kobar dari tungku-tungku, sebagian dekat dan sebagian jauh, dan semua orang yang berjalan bergegas di sekelilingnya. Mengambil cetakan-cetakan besi, dengan Satu-Dua-Tiga, mereka melemparkan cetakan-cetakan itu ke udara dan kemudian memperhatikan ketika benda-benda tersebut terbelah dua saat menghantam tanah. Mereka lalu meremukkannya berkepingkeping dengan palu-palu besar. Aroma manis dari kikiran besi hangus meluap ke arah kami; perutku mulai bergemuruh Rupanya merasakan

halaman 15


apa yang ada dalam pikiranku, Anak Besi berkata: “Ayo, Orang Kayu, mari kita dapatkan cetakan-cetakan itu. Cetakan-cetakan besi itu enak.” Kami menyelinap ke dalam terang kobaran api, di mana kami memilih sebuah cetakan besar yang bagus, memungutnya, dan melarikannya, sehingga mengagetkan orang-orang yang melihat kami sampai-sampai mereka menjatuhkan palu mereka. Beberapa di antara mereka bahkan berhamburan lari. “Setan-setan besi!” mereka berteriak sambil lari. “Setan-setan besi datang!” Waktu itu kami telah membawanya ke atas setumpuk besi tua dan mulai memecah cetakan itu jadi kepingan-kepingan yang dapat dimakan. Cetakan itu lebih lezat ketimbang balok besi. Selagi kami sedang melahap cetakan besi kami, kami melihat seorang lelaki dengan sebelah kaki timpang dan pistol tersarung di pinggulnya muncul dan menampar orang-orang yang berteriak “setan-setan besi.” “Bangsat,” ia memaki mereka. “Rumor terkutuk kalian timbulkan kekacauan! Seekor rubah dapat berubah jadi setan, demikian pula pohon. Tapi siapa yang pernah mendengar besi menjelma jadi setan?” Menjawab orang-orang itu seolah-olah dengan suara bulat: “Kami tidak bohong, Instruktur Politik. Kami sedang menempa sejumlah cetakan besi ketika sepasang anak besi, tertutup oleh karat, seketika muncul dari gelap, merenggut salah satu cetakan, dan melarikannya. Mereka langsung lenyap.” “Ke mana mereka melarikan diri?” lelaki timpang itu bertanya. “Timbunan besi tua,“ orang-orang itu menjawab. “Kalian penjual rumor pukimak!” tukas lelaki timpang itu. “Bagaimana mungkin ada anak-anak di tempat terpencil ini?” “Itulah sebabnya kami ketakutan.” Lelaki timpang itu menarik pistolnya dan melepaskan tiga kali tembakan ke timbunan besi tua—clang clang clang. Kilau-kilau keemasan memercik dari besi tua. Anak Besi berujar: “Orang Kayu, ayo kita bawa lari pistolnya dan memakannya, apa kau bilang?” Kataku: “Bagaimana kalau kita tak bisa membawa lari pistol itu darinya?”

halaman 16


Kata Anak besi: “Tunggu di sini. Aku akan pergi mendapatkannya.” Anak Besi memanjat turun dengan tangkas dari timbunan besi tua dan merayap di atas perutnya melewati ilalang. Orang-orang yang berada di tempat terang tak bisa melihatnya, tapi aku bisa. Ketika aku melihatnya merangkak berdiri di belakang lelaki timpang itu, aku memungut sebatang pelat besi dan memukulkannya pada cetakan. “Dengar itu?” orang-orang itu berseru. “Setan-setan besi di atas sana!” Bersamaan dengan lelaki timpang itu mengangkat pistolnya untuk menembak, Anak Besi melompat dan merebut pistol itu dari tangannya. Orang-orang berteriak: “Setan besi!“ Lelaki timpang itu jatuh terduduk di atas bokongnya. “Tolong!” ia menjerit. “Tangkap mata-mata itu—“ Dengan pistol di tangan, Anak Besi merangkak ke arahku. “Benar kan?” katanya. Aku bilang padanya betapa hebatnya ia, yang mana membuatnya sangat senang. Ia memotong laras pistol itu dan memberikannya padaku. “Makanlah,” tukasnya. Aku menggigit sepotong. Rasanya seperti serbuk mesiu. Aku meludahkannya dan mengeluh: “Rasanya mengerikan. Ini tidak enak.” Ia memotong sebongkah di atas picu untuk mencicipinya. “Kau benar,” katanya, “ini tidak enak. Aku akan mengembalikan padanya.” Ia melempar pistol itu ke bawah kaki si lelaki timpang. Aku melemparkan laras yang termakan sebagian ke tempat yang sama. Lelaki timpang itu memungut kedua bagian potongan pistolnya, ternganga menatapnya, dan mulai menjerit. Ia melempar bendabenda itu jauh-jauh dan berlari terpincang-pincang secepat yang ia mampu. Dari tempat kami duduk di atas timbunan besi tua kami tertawa terbahak-bahak melihat lucunya cara ia berlari. Dini hari itu seberkas cahaya redup menembus kegelapan ke arah barat daya, disertai oleh suara gaduh yang menderu nyaring. Kereta

halaman 17


lain datang. Kami memperhatikan ketika ia menyemburkan asap tebal sesampai ke ujung rel, di mana ia menabrak kereta lain yang sudah berada di sana. Gerbong-gerbong kereta bertubrukan satu sama lain, berbenturan dengan ribut mereka terguling ke samping rel. Tak ada lagi kereta selepas itu. Aku bertanya ada tidak bagian dari kereta yang enak. Ia bilang roda-roda itu adalah yang terbaik. Jadi kami mulai memakan salah satunya, namun berhenti saat kami separoh jalan mengunyahnya. Kami pun pergi ke tungku-tungku peleburan untuk mencari sejumlah besi yang baru dilebur, tapi tak satu pun yang rasanya seenak besi karat yang biasa kami makan. Kami tidur di atas timbunan besi sepanjang hari, lantas menyulitkan kehidupan para pelebur baja pada malam hari, membuat mereka terbirit-birit ketakutan. Suatu malam, kami pergi untuk menakut-nakuti orang-orang yang sedang menempa cetakan. Melihat sebuah cetakan merah karatan dalam kobaran api salah satu tungku, kami berlari ke sana. Tapi belum sempat kami mengulurkan tangan kami ke atasnya, kami mendengar suara berdesing nyaring tatkala sebuah jeratan jaring jatuh di atas kami. Kami menggigit jaring itu dengan gigi kami, namun tak berhasil bagaimana pun kerasnya kami mencoba, kami tak bisa menggigit putus jeratan itu. “Kita menangkap mereka,� mereka berteriak-teriak gembira, “kita menangkap mereka!� Tak lama setelah itu, mereka mengerik tubuh berkarat kami dengan ampelas. Itu menyakitkan, itu menyakitkan serasa di neraka!***

Catatan Penerjemah: 1. Lompatan Jauh ke Depan: sebuah program replita yang dirancang Mao Tse-Tung untuk mengejar ke!nggalan RRC dengan negara-negara Barat (1958-1961). Program ini meni!kberatkan sektor industri berat. Mao memobilisasi massa bekerja di pabrik-pabrik peleburan baja. Jutaan rakyat kelaparan karena lahan-lahan pertanian di!nggalkan. 2. Nama China anak-anak ini diterjemahkan Howard Goldbla" ke dalam bahasa Inggris menjadi Mu" (Anjing), Lamb (Lampu), Pillar (Tiang), and Beans (Kacang Buncis). Saya mengembalikannya ke dalam bahasa China menjadi Kauw, Ten, Chu, dan Theu, tetapi tanpa menggunakan Hanyu Pinyin (abjad fone!k bahasa China sesuai metode standar pengalihan aksara Hanji ke huruf La!n).

halaman 18


Tentang MO YAN Mo Yan ⩨⸒ adalah peraih nobel sastra 2012. Ia lahir 17 Februari 1955 di Dalan, Gaomi, Shandong dari sebuah keluarga petani. Ia baru berusia 11 tahun ketika Revolusi Kebudayaan meledak di China. Pada tahun 1976, ia bergabung dengan Tentara Pembebasan Rakyat dan mulai menulis selama berdinas sebagai tentara. Pada tahun 1984 ia menerima penghargaan sastra dari majalah Tentara Pembebasan Rakyat dan di tahun yang sama menghadiri Akademi Seni Militer di mana ia pertama kali menggunakan nama Mo Yan, yang dalam bahasa China berarti “jangan bicara”. Selain novel, Mo Yan menulis ratusan cerita pendek dalam bahasa China. Sejumlah novel dan cerpennya itu telah diterjemahkan oleh Howard Goldblatt, profesor sastra dan bahasa Asia Timur dari University of Notre Dame ke dalam bahasa Inggris. Novel-novelnya antara lain lain: Falling Rain on a Spring Night (1981), Red Sorghum Clan, meliputi lima edisi: “Sorghum Wine”, “Sorghum Funeral”, “Dog Road”, “The Odd Dead”, “Red Sorghum” (1987; Inggris: 1993), The Garlic Ballads (1988; Inggris: 1995), The Republic of Wine: A Novel (1992; Inggris: 2000), Big Breasts & Wide Hips (1996; Inggris: 2005), Sandalwood Death ᯝ㚅ೃ Tanxiang Xing) yang diterjemahkan oleh Howard Goldblatt (Norman: University of Oklahoma Press, 2013), Life and Death Are Wearing Me Out (2006; Inggris: 2008), Change (2010), Frog (2011), dan Pow! (2013). Sementara buku kumpulan cerpennya yang telah diterjemahkan ke bahasa Inggris adalah Shifu: You’ll Do Anything for a Laugh (1999; English: 2002).

adalah Big Breasts & Wide Hips (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2011) dan Di Bawah Bendera Merah (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013), serta The Garlic Ballads (Balada Bawang Putih) terjemahan Sunlie Thomas Alexander yang akan segera diterbitkan oleh penerbit yang sama.***

Terjemahan Sunlie Thomas Alexander dari cerpen Mo Yan, “Iron Child” dalam kumpulan cerpen “Shifu, You’ll Do Anything for a Laugh” terjemahan bahasa Inggris oleh Howard Goldbla! (New York: Arcade Publishig, 2011).

Sedangkan karya Mo Yan yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

halaman 19


Cerita-pendek

Setenta Fadas1 oleh Fernanda Rochman Ardhana

Fernanda Rochman Ardhana Kelahiran Jember, 27 Februari 1991. Seorang Mahasiswa Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI). Beberapa karyanya terbit dalam buku antologi bersama puisi dan cerpen, seper! Seremoni Pacar di Pintu Darurat (2015), Mata Matahari (2015), dll. Karyanya juga pernah tercantum di Riau Pos, Metro Riau, Detak Pekanbaru, dan sebagainya.

halaman 20


alam itu tidaklah segelap malam-malam sebelumnya. Di pucuk langit rembulan masih setia menitip senyumnya pu pada bumi yang mulai kehilangan hiruk pikuk. Awan yang pekat dan mendung tak lagi mempermainkannya, menutupi sebagian pendar cahaya yang seharusnya tergerai pada balkon-balkon, atapatap maupun jalanan yang larut dalam pesta kesunyian, seperti harihari sebelumnya. Angin berkesiur di antara celah-celah kehampaan, menyisir berpuluh tikungan jalan, seakan hendak menampar sesudut kota dengan siulannya yang dingin, tiada lagi tertarik menarikan daun-daun palma atau ranting-ranting tabebuya yang bayangnya kian menghilang tergantikan gedung-gedung bertingkat. Semakin larut, orang-orang akan membawa dirinya menuju tempat persemayaman yang telah tersediakan untuk mereka. Menepi pada bilik-biliknya, lalu melabuhi kehidupan asing lainnya yang tercipta dari ribuan khayal masing-masing dan mulai saling bersahut dengkur. Dengan segenap beban yang menghimpit pundak –yang terkadang naik hingga mencapai ubun-ubun— mereka tiada lagi menyisihkan waktu dengan menyediakan sepasang mata berbinar memandang manik-manik malam yang bergelantungan di tiang semesta. Kenangan masa kecil itu telah pudar di pangkuan rimba. Mereka sepertinya juga tiada peduli bahwa malam itu bisa jadi merupakan penghabisan bagi seorang lelaki tua yang menghuni sebuah rumah mungil nan asri yang terletak di pinggiran kota. Dia sedang terpekur menanti kematian dari atas tempat tidurnya dengan wajahnya yang putih pucat, disertai peluh membasah pada sesudut lekuknya yang berkerut. Bila memerhatikan struktur wajahnya, berhias keriput dengan rambut lurus sepantar perempat leher yang dipenuhi uban berwarna putih redup diterpa temaram lampu kamar, dagu yang agak lancip dengan belukar jambang yang jauh dari kesan terawat, serta kearab-araban, menandakan bahwa lelaki itu sudah cukup berumur, dan bila menaksir kepribadiannya, dia sepertinya bukan berasal dari kota itu meski mungkin telah banyak menikmati asam garam kehidupan. Di kamar yang tidak terlalu penuh akan hiasan dinding itu –hanya terdapat tiga lukisan abstrak yang tergantung di masing-masing penjuru– dengan perabotan seadanya menyesuaikan ukuran kamar yang cukup minimalis, –hanya terdapat masing-masing sebuah tempat tidur, meja, kursi, serta almari— lelaki tua itu tidaklah sendirian. Di sampingnya tampak seorang wanita tua yang duduk bersandar pada kursi. Sekilas, dia tampak seumuran dengan lelaki tua itu, dengan gelung rambut beruban serta kulit wajahnya yang putih

halaman 21


ditumbuhi kerutan. Sisa kecantikan masih menyisip pada struktur wajahnya yang latin bercampur keeropa-eropaan itu. Namun, lirik mata sayu, bibir kisut, serta rona keruh tampak membingkai bulat wajahnya, menyokong suatu permasalahan yang begitu mengganggu pikiran dan menguasai batinnya saat ini. Untuk beberapa saat, tiada satupun kata-kata terhempas dari masing-masing mulut pasangan suami istri tersebut, bibir mereka seakan rapat terkatup, meski bukan rasa kantuk yang menyebabkan mereka berdua seakan letih untuk sekedar membuka rahang yang beku. Hingga akhirnya, lelaki tua itu mulai merasakan rasa bosan –akan penantian yang tak kunjung tiba— mulai mendera jiwanya. Dia mulai mengamati keseluruhan ruangan itu, sesekali melirik ke luar jendela lalu memandang raut wajah istrinya yang tampak mengkhawatirkannya. Rupanya dia sedang mencari bahan pembicaraan yang menarik untuk sekedar memecah keheningan itu. Namun meski tiada satupun sesudut ruangan itu luput dari perhatiannya, pikirannya tetap kesulitan untuk menemukan bahan pembicaraan yang tepat. Meski begitu dia berinisiatif melakukannya hingga akhirnya memulai pembicaraan. “Kau tampak sedih, Querida2.” tegur lelaki tua itu sembari memandang ke arah istrinya. “Não sei3, Omar.” keluh wanita tua itu. “Aku hanya memikirkan, seberapa banyak wadah yang harus kupersiapkan untuk menampung airmataku yang jatuh, saat kehilanganmu nanti.” “Florencia ....” lelaki tua yang bernama Omar itu, sejenak kembali terdiam. Dia terharu mendengar penuturan istrinya tersebut. “Aku hanya pergi memenuhi takdirku. Kelak kitapun akan bersama kembali, meski di tempat dan suasana yang berbeda.” ucapnya dengan lembut. “Tetap saja,” timpal wanita tua bernama Florencia itu. “Kita tidak meminta kematian untuk mendatangkan tangis. Namun ia terlalu manja untuk mengiringi salam perpisahan kita, bukan?” “Florencia, apa menurutmu kita benar-benar akan terpisahkan?” tanya Omar dengan mengernyitkan dahinya. “Não sei3, aku benar-benar tak tahu akan hal itu, Omar.” Florencia tampak mendengus kesal. “Tetapi, kau akan mendapatkan yang lebih layak. Tujuh puluh bidadari menemanimu di atas sana, bila mungkin jari-jariku tidak salah menghitungnya. Tuhanmu telah mempersiapkannya untukmu.

halaman 22


Sementara aku ....” “Florencia, kau juga akan menjadi salah satunya.” “Kaupikir, aku tak akan cemburu?” hardiknya dengan ketus. “Mengapa harus?” tanya Omar dengan heran. “Bukankah, kita telah menghabiskan banyak waktu bersama untuk mengikis perbedaan, serupa air yang mampu melubangi bebatuan satu demi satu? Dan hanya satu yang tak mampu kita hilangkan: sebuah keyakinan. Namun aku mempercayaimu sepenuh hati dan cintaku padamu mengalir deras dalam aliran darah di tiap sudut tubuhku.” “Dan jika berhenti, apakah kau akan tetap mencintaiku?” “Claro!4 Itu janji yang sedari dulu telah kuucapkan padamu bukan?” “É mesmo verdade5, Omar Fayed?” Florencia tampak masih kurang puas dengan jawaban suaminya tersebut. “Masihkah kau dapat memegang kata-katamu selayak masa mudamu dulu, saat kita awal mula bertemu di Kairo hingga kini aku masih bersamamu di Sao Paulo?” “Eu juro6, Florencia Cabral!” ujar Omar sembari bersumpah untuk meyakinkan istrinya itu. “Kau masih satu-satunya wanita dalam hatiku. Aku masihlah seseorang yang sama dengan sosok dalam kenangan kita itu. Seorang pemuda Mesir yang begitu tergila-gila pada gadis Brasil nan cantik dan menawan, hingga aku tiba di negeri Voltaire hanya untuk mengejar jejaknya.” “Beruntung kita mengikatnya di ‘Jantung Kota Seni’ itu bukan?” ujar Florencia sembari tersenyum sinis. “Tidak di kota mati seperti Sao Paulo ini.” “Eu não sou7 Gibran, Querida.” timpal Omar dengan mimik yang serius. “Aku menganggap Sao Paulo mempunyai sisi keeksotisan tersendiri. Dan Malouf benar adanya. Ia melihat apa yang tidak dilihat oleh Gibran. Aku juga melihatnya sendiri, Sao Paulo bukan kota mati. Kota ini tumbuh dengan keberagaman jiwa orang-orangnya, termasuk dirimu bukan? Bukankah kau seorang Brasilian, Querida? Dan jiwa seni begitu melekat dalam tubuhmu! Aku melihatnya, seorang seniman lahir dari tanah rahimnya!” Omar begitu bersemangat dalam menuturkan pandangannya itu, yang mana di sisi lain dia mencoba untuk menghibur istrinya tersebut. Sebuah hal yang tersirat dalam pikirnya, setidaknya untuk

halaman 23


memberikan rasa tenang dan sedikit hiburan bagi istrinya yang kelihatan murung. Dan rupanya hal itu menimbulkan reaksi yang cepat dari mimik Florencia. Sebuah senyuman manis –yang entah sekedar dipaksakan— cukup membuat hati Omar menjadi lega. “Karenanya kita bertemu, bukan?” “Sim8, kita adalah pasangan pelukis. Kita telah melukiskan segala hal, apapun. Hanya saja kita benar-benar tidak dapat melukiskan kematian.” ucap Florencia dengan lirih, roman mukanya pun kembali murung. “Florencia ....” Belum sempat Omar melanjutkan perkataannya, tiba-tiba terdengar ketukan dari arah luar pintu, sehingga perhatian kedua orang suami istri itupun berpindah ke arah sumber suara tersebut. “Siapakah yang hendak bertamu di malam selarut ini?” tanya Florencia sembari menggerutu kesal. “Demi Tuhan, tak tahukah ia bahwa kita sedang dirundung duka dan hendak menyongsong salam perpisahan.” “Bilamana itu adalah Azrael?” timpal Omar. “Azrael!” pekik Florencia. Roman mukanya tampak berubah menyiratkan ketakutan. “Simpan rasa takutmu itu, Florencia. Kita semua pasti akan menemuinya. Sambutlah Ia dengan penghormatan yang layak.” perintah Omar. Florencia berusaha menenangkan diri dan mengatur ritme napasnya. Lalu setelah dirasanya cukup tenang, dia pun beranjak dari tempat duduknya dan menyongsong suara ketukan tersebut, yang mana beberapa kali masih terdengar dari balik pintu, seakan sang tamu menanti dengan begitu sabar untuk dibukakan pintu oleh sang tuan rumah. Florencia pun membuka pintu rumahnya sembari menuturkan kata penyambutan, “Meu Senhor9, Azrael ....” Dia tidak melanjutkan kata-katanya dan tertegun ketika melihat sosok tamunya tersebut. Ya, ternyata bukanlah sosok Azrael yang berada di hadapannya kini. Namun sekumpulan wanita berparas jelita yang tampak anggun mengenakan gaun antelas berwarna putih serta memiliki sayap serupa burung nasar berbulu putih bersih yang melekat tepat di punggung. Mereka rata-rata tampak seperti wanita berumur 20-30an, berkulit putih, halus, berambut pirang dan mempunyai sepasang mata yang

halaman 24


begitu indah layaknya kejora. Kecantikan mereka semua hampir tidak mempunyai cela. Wajah mereka seakan memancarkan pesona yang begitu berkilau dan mampu menerangi halaman di depan rumahnya itu, hingga seolah-olah memudarkan cahaya dari lampu jalan yang menyoroti tempat para wanita-wanita jelita itu berkerumun. “Siapa kalian?” tanya Florencia dengan heran. “Kami adalah bidadari. Kami berasal dari surga.” ujar salah satu wanita sembari memperkenalkan diri. “Fada?10” Florencia tampak terkejut mendengar pengakuan wanita tersebut. Dengan melihat penampilan serta fisik, dia sepenuhnya percaya pada penuturan wanita tersebut yang mengaku bahwa mereka semua adalah bidadari surga. Namun pengakuan tersebut justru membuat dirinya menjadi semakin penasaran, “Apa keperluan kalian datang kemari?” “Kami ingin menjemput suamimu, Senhora11. Ia telah ditakdirkan untuk bersanding dengan kami di kehidupan selanjutnya.” “Espera aí!12” potong Florencia. “Bukankah seharusnya itu tugas Azrael?” “Dia tidak akan datang, Senhora. Suamimu adalah orang yang sungguh-sungguh beriman. Harum tubuhnya semerbak tercium hingga taman surga. Dan kami memohon pada Tuhan untuk menggantikan tugas mulia tersebut. Kami ingin segera menemuinya dan membawanya menuju surga.” “Tapi dia suamiku!” “Certo13, Senhora. Selama dia berada di bumi, dia adalah suamimu.” “Jadi kalianlah yang berjumlah tujuh puluh itu?” “Senhora,” Bidadari itu tersenyum. “Sekarang kami memang berjumlah tujuh puluh. Dan mungkin saja, kau kelak akan menjadi salah satu dari kami bila waktumu tiba.” “Aku berbeda keyakinan dengan kalian!” bantah Florencia. “Bahkan, aku berbeda keyakinan dengan suamiku! Namun kami tetap menjalankan prinsip keyakinan kami masing-masing tanpa hendak saling menyinggung!” “Senhora, izinkan kami masuk!” Bidadari tersebut mulai kehilangan kesabaran. Namun Florencia tetap berdiri di depan pintu tanpa bergeser sedikitpun memberi ruang padanya untuk masuk. “Para quê14?!” hardiknya.

halaman 25


“Kalian hendak membawa suamiku! Kalian hendak merebutnya dariku!” tukasnya. “Escuta15 Senhora!” timpal bidadari itu. “Tuhan telah memberikan berkat pada kami serta dirimu. Tuhan telah menggariskannya sejak awal mula Ia menciptakan segala hal. Dan sudah menjadi takdir kami untuk menemani dan membahagiakan suamimu selama ia berada di surga. Bukankah seharusnya kau turut bahagia karena hal itu?” “Feliz16?!” Florencia memandang bidadari itu dengan mata terbelalak seolah-olah terkejut mendengar penuturan bidadari tersebut. “Sim. Berbahagialah,” ujar bidadari itu kali ini dengan sikap sedikit acuh tak acuh. ”Karena suamimu termasuk ke dalam orang-orang yang beriman dan surga telah dihadiahkan padanya.” “Lalu, aku?” “Senhora, aku sudah mengatakannya sebelumnya.” jawabnya dengan agak sedikit jengkel. “Kau akan menjadi salah satu dari kami, bilamana Tuhan kami juga menghadiahkan surga atasnamamu, kelak.” “Bilamana tidak?” Bidadari tersebut menggelengkan kepalanya. “Maka hanya kami.” ujar bidadari tersebut sembari melangkah dan memberi aba-aba kepada kawanannya agar mengikutinya untuk memaksa masuk ke dalam rumah tersebut “Não17! Aku tidak ingin berpisah dengan suamiku! Aku tidak akan pernah mengizinkan kalian masuk!” Florencia menjadi gusar. Dia tetap bersikukuh dengan pendiriannya dan mencoba untuk menghalangi laju para bidadari tersebut dengan merentangkan kedua tangannya pada dahan pintu. Namun sia-sia. Meskipun Florencia berusaha sekuat tenaga untuk menghalangi mereka masuk ke dalam rumahnya itu, rupanya mereka semua tidaklah berwujud layaknya manusia pada umumnya, hingga dengan mudahnya para bidadari-bidadari itu melewati dirinya tanpa perlu bersinggungan dengan tubuhnya. Ya, sosok mereka benarbenar bagaikan tersusun dari partikel-partikel zat yang dapat dengan mudah menembus segala sesuatu yang padat, tidak hanya tubuhnya, namun juga dinding-dinding pembatas rumah. Namun Florencia tidak kehilangan akal, setelah menyadari bahwa

halaman 26


perbuatannya itu sia-sia, dia langsung berlari mendahului para bidadari itu, menuju kamar dan memeluk tubuh suaminya dengan tangan gemetar sembari menangis tersedu-sedu. “Omar! Omar! Mereka hendak membawamu, Omar!” ratapnya. Omar hanya tersenyum mendengar penuturan istrinya tersebut. “Florencia, sudah tiba waktunya aku meninggalkanmu. Tabahlah dan pasrahkan diriku. Anggaplah mereka akan menjagaku sebelum tiba waktumu untuk menyusulku, kelak.” “Ta-tapi, Omar ....” ucap Florencia dengan agak terbata. Dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Hatinya benarbenar berkecamuk, antara perasaan sedih dan tidak rela kehilangan suami yang dikasihinya, bercampur dengan rasa cemburu terhadap para bidadari-bidadari itu, yang mana setelahnya merekalah yang akan sepenuhnya menemani suaminya itu. Dia menyadari bahwa memang kehidupan manusia ada batasnya. Dia menyadari bahwa setiap pertemuan pasti akan berakhir dengan perpisahan. Namun sejujurnya, dia merasa waktu telah berputar begitu cepat dan dirinya sama sekali belum siap. Rasanya baru hari-hari kemarin, dia mengenal Omar di Mesir, menikah di Perancis, hingga memutuskan tinggal di Brasil. Melewati berbagai rintangan dalam kehidupan, menyelami kesedihan maupun kebahagiaan. Berpuluh-puluh tahun sudah –yang dia rasakan sebentar tersebut – dia hanya hidup berdua bersama suaminya tanpa pernah berkesempatan untuk mendapatkan buah hati. Dan sebentar lagi, dia sepenuhnya menyadari bahwa semuanya akan berubah menjadi kemalangan baginya. Dia tidak dapat lagi menemui sosok suaminya, untuk sekedar bercengkerama, bersenda gurau maupun bercinta dengannya. Dia akan hidup sebatang kara! Benar-benar sebuah mimpi buruk! Namun, suaminya rupanya benar-benar tidak mampu memahami perasaannya kali ini. Setelah puluhan menit yang lalu, masih hangat dalam ingatannya Omar sibuk berceracau untuk sekedar menghiburnya. Kini dia hanya sesekali melirik pada Florencia dengan menyunggingkan senyuman manis pada wajahnya. Sepertinya dia lebih tertarik dengan sekumpulan wanita muda berparas jelita yang sekonyong-konyong muncul di hadapannya itu, daripada terus memandang wanita tua berumur dengan keriput di sekujur tubuhnya. Akan tetapi, Omar tidak lupa untuk memberikan salam perpisahan pada istrinya itu. Sebuah ucapan yang memang telah disepakati dan dinantikan bersama sejak jauh-jauh hari oleh keduanya hingga tiba untuk diucapkan di malam yang larut itu,

halaman 27


“Adeus18, Florencia. Iremos encontrar-nos no paraíso19.” bisik Omar dengan lembut. “Não, Omar ....” balas Florencia dengan tak kalah lirih sembari menggelengkan kepalanya. Airmata kian membasahi kedua pipinya. Salah satu bidadari tampak mengulurkan kedua tangannya ke arah Omar dan dia menyongsong uluran itu dengan juga mengulurkan kedua tangannya untuk menggapainya lalu mengukuhkannya. Perlahan, dengan bimbingan bidadari tersebut, ruh Omar mulai bangkit sedikit demi sedikit hingga benar-benar terpisahkan dari tubuhnya. Kini jasadnya yang tiada bertuan lagi, tampak kaku, pucat dan bisu. Sangat kontras dengan mimik wajah ruhnya yang nampak segar dengan tetap memamerkan senyum mengembang, disambut riuh tawa para bidadari-bidadari jelita yang merasa puas karena mampu menyelesaikan tugas mereka dengan baik. “Não, Omar. Não!!!” Jerit Florencia. Dirinya masih tidak rela untuk melepaskan kepergian suaminya itu. Omar hanya sekilas membalikkan badannya untuk kembali memandang istrinya sembari tetap menyunggingkan senyum ke arahnya –yang mana Florencia sama sekali tidak terhibur memandang senyum suaminya tersebut— lalu dia pun mulai melangkah pergi bersama para bidadari yang telah menjemputnya itu. Sementara Florencia tergopoh-gopoh mengikuti langkah mereka dari belakang sembari berusaha meraih tangan Omar, namun begitu terkejutnya dia karena tangan suaminya tersebut sama sekali tidak dapat dia sentuh. Perlahan dia pun ingat bahwa wujud Omar tidak lagi padat seperti dirinya, dia sudah menjadi ruh yang telah sudi meninggalkan jasadnya yang terbujur kaku di dalam kamar. “Jangan tinggalkan aku, Omar! Kumohon! Bukankah kau mencintaiku?!” ratapnya. Hanya ucapan itu yang mampu dikerahkan Florencia sebagai upaya terakhirnya untuk melunakkan niatan Omar menyongsong takdirnya, selebihnya dia merasa tidak mampu berbuat apa-apa lagi dan pasrah melihat sosok suaminya dengan diiringi puluhan bidadari itu, berjalan menjauh dan semakin menjauh, hingga sosok mereka perlahan memudar dan hilang ditelan kegelapan malam. *** Bunyi ketukan terdengar beberapa kali dari balik pintu. Kali ini suara ketukan tersebut terdengar cukup keras dan terkesan kurang ramah, hingga mengagetkan seorang wanita tua yang tampak terbangun dari tidurnya dengan posisi wajah tertelungkup pada

halaman 28


bidang dada jasad seorang lelaki tua. Wajahnya yang keriput tampak sembab dengan kedua kelopak mata menggantung. Roman mukanya terlihat suram, tampak terbias guratan kesedihan membebani rona lekuk wajahnya. Sepertinya, masih membekas dalam ingatannya peristiwa menyedihkan yang baru dilaluinya beberapa jam yang lalu, yang membuat hatinya begitu terluka. Beberapa saat dia termenung, tatapannya kosong tertuju ke arah jasad lelaki tua di hadapannya tersebut. Namun segera dia kembali tersadarkan oleh bunyi ketukan yang semakin lama semakin keras dari arah depan pintu, hingga akhirnya dia pun berdiri lalu berjalan dengan langkah gontai menuju ke arah pintu. Ketika membuka pintu, Florencia tampak pucat pasi memandang sosok yang bertamu itu. Sosoknya begitu mengerikan. Perawakannya tinggi-besar, berdada bidang dan kekar, berkulit hitam dengan raut muka yang terkesan bengis berhiaskan jambang yang kurang terawat, hampir menutupi sesudut wajahnya. Sorot matanya yang agak kemerahan tampak begitu tajam menusuk. Meski serupa dengan para bidadari yang dia temui beberapa jam yang lalu, yang mana sosok tersebut juga memiliki sepasang sayap yang melekat di punggungnya, namun sayap tersebut tidaklah serupa dengan yang mereka miliki, sosok tersebut memiliki sayap yang berbentuk mirip dengan sayap kelelawar. “Com licença20, Senhora. Aku datang untuk membawa suamimu atas perintah Tuhan.” ucap sosok tersebut dengan suara berat. “A-atas perintah Tuhan?” Mimik Florencia berubah menjadi semakin pucat bercampur heran. “Si-siapakah dirimu?” “Aku Azrael. Malaikat Kematian.” ucap sosok itu, memperkenalkan diri. Florencia bergitu terperanjat mendengar pengakuan sosok di hadapannya tersebut. “A-Azrael? Bu-bukankah kau tak akan datang?” Azreal mengernyitkan dahinya, lalu dengan tenang menjawab, “Desculpe21, Senhora. Tuhan tidak memerintahkan siapapun untuk membawa ruh manusia, selain padaku.” Florencia bagaikan tersambar petir mendengar penuturan sosok tersebut. Belum sempat dia memikirkan dan bertanya-tanya akan kejadian yang baru beberapa jam lalu menimpa suaminya, nyatanya kesedihan yang ditanggungnya terlalu berat dan amat mendalam,

halaman 29


hingga tak mampu terbendung lagi. Tubuhnya mulai terhuyunghuyung dan perlahan dia jatuh tak sadarkan diri. Cileunyi, 2015 *** Terjemahan Bahasa Portugis: 1. Setenta Fadas : Tujuh puluh bidadari 2. Querida : Sayang 3. Não sei : Entahlah 4. Claro : Tentu saja 5. É mesmo verdade : Benarkah 6. Eu juro : Aku bersumpah 7. Eu não sou : Aku bukan 8. Sim : Ya 9. Meu Senhor : Tuanku 10. Fada : Bidadari 11. Senhora : Nyonya 12. Espera aí : Tunggu sebentar 13. Certo : Benar 14. Para quê : Untuk apa 15. Escuta : Dengar 16. Feliz : Bahagia 17. Não : Tidak 18. Adeus : Selamat !nggal 19. Iremos encontrar-nos no paraíso : Kita akan bertemu kembali di surga 20. Com licença : Permisi 21. Desculpe : Maaf ***

halaman 30


Cerita-pendek Terjemahan

Kalung Sial oleh Guy de Maupassant

athilde adalah salah satu dari perempuan berparas ru rupawan yang terkadang, seolah karena adanya kesalahan takdir, dilahirkan dalam keluarga pegawai kantoran. Dia tak memiliki mahar, tak memiliki harapan, tak memiliki jalan agar dapat dikenal, dimengerti, dicintai, dan dinikahi oleh pria kaya dan terhormat; dan alih-alih dia membiarkan dirinya dinikahi oleh seorang pegawai rendahan yang bekerja di Kementrian Instruksi Publik. Dia berpakaian sederhana karena dia tak dapat berpakaian dengan baik, oleh karena itu, dia merasa tak bahagia seolah dia telah terpuruk dari tempat di mana dia seharusnya berada; karena bagi wanita tak ada yang namanya kasta ataupun tingkatan; dan kecantikan, keanggunan, dan pesona-lah yang berpengaruh, bukan keluarga. Kecantikan alami, insting untuk bersikap elegan, keluwesan akal, adalah satu-satunya hirarki, dan juga yang membuat wanita biasa menjadi setara dengan wanita hebat lainnya. Dia tak henti-hentinya menderita, merasa dirinya dilahirkan untuk menikmati semua jenis kemewahan. Dia menderita akan kemiskinan tempat tinggalnya, dinding rumahnya yang terlihat melarat, kursinya yang telah usang, dan gordennya yang sangat jelek. Semua hal itu, yang tak akan pernah disadari oleh wanita lain setingkatnya, terasa menyiksa dan membuatnya kesal. Pemandangan orang Breton bertubuh kecil yang melakukan semua tugas rumah untuknya

halaman 31


menggelitik rasa sesalnya sampai putus asa dan selalu mengganggu mimpinya. Dia membayangkan ruang depan yang sunyi, dihiasi oleh permadani Oriental yang tergantung di dinding, diterangi oleh kandil lilin yang terbuat dari perak, ada juga tempat untuk dua pelayan dengan celana panjang selutut yang tertidur di kursi besar untuk menyambut tamu, dibuat mengantuk oleh udara hangat dari alat pemanas. Khayalannya lalu melayang ke ruang tamu yang dihiasi kain sutra, perabot rumah tangga indah yang dapat membuat orang terpana, dan ruang pribadi perempuan yang beraroma centil untuk berbincang setiap jam lima sore dengan teman dekatnya dan dengan orang-orang terkenal, yang membuat semua wanita iri kepadanya. Ketika dia duduk untuk makan malam di depan meja bundar yang ditutupi dengan taplak meja yang tak dibersihkan selama tiga hari, di hadapan suaminya yang membuka semangkuk sup dan mengatakan dengan ekspresi terpesona, “Ah, pot-au feu (sup daging ala Prancis) yang lezat! Aku tak tahu apa lagi yang lebih enak daripada ini,� dia membayangkan makan malam yang lezat, dengan peralatan makan perak, dengan permadani hias yang menggantung di dinding ruangan menggambarkan tokoh-tokoh kuno dan burungburung berterbangan di tengah-tengah hutan dalam dongeng; dan kemudian dia mengkhayalkan sajian lezat yang dihidangkan dengan piring cantik, dan bisikan santun yang selalu kalian dengarkan dengan senyum seperti patung spinx sementara kalian memakan daging ikan trout atau sayap burung puyuh. Dia tak memiliki gaun dan perhiasan, sementara dia tak menyukai apapun selain itu; dia merasa dilahirkan untuk menikmati semuanya. Dia sangat ingin disenangi, membuat orang iri padanya, tampil

halaman 32


mempesona, dan dikenal. Dia pernah memiliki seorang teman dari sekolah biarawatinya dulu, dia kaya dan dia tak suka dengannya sehingga memutuskan untuk tak menemuinya lagi karena dia merasa sangat merana. Namun pada suatu malam, suaminya pulang ke rumah dengan ekspresi riang gembira sambil memegang amplop besar di tangannya. “Ini,” sahutnya, “ini sesuatu untukmu.” Istrinya langsung merobek kertasnya dan menarik sebuah kartu undangan yang bertuliskan: “Kementrian Instruksi Publik dan Madame Georges Ramponneau dengan hormat mengundang Monsiur dan Madame Loisel untuk dapat hadir di istana Kementrian pada Senin malam, tanggal 18 Januari.” Alih-alih menjadi gembira, seperti yang telah diharapkan suaminya, dia melemparkan surat undangan tersebut di atas meja dengan expresi meremehkan lalu bergumam: “Apa yang kau ingin aku lakukan dengan itu?” “Sayang, kupikir kau akan senang. Kau tak pernah pergi ke luar, dan ini adalah kesempatan yang bagus. Aku sudah bersusah payah untuk mendapatkan undangan itu. Semua orang ingin pergi ke sana sementara hanya orang-orang terpilih saja yang diundang, dan mereka tak banyak mengundang pegawai biasa. Semua pegawai tingkat atas akan datang ke sana.” Dia melihat suaminya dengan pandangan jengkel, kemudian dia, dengan nada tak sabaran, bertanya kepadanya: “Dan gaun apa yang kau ingin aku kenakan?” Dia tampak jelas belum memikirkannya, lalu dengan gagap

halaman 33


menjawab: “Tentu saja dengan gaun yang kau kenakan saat kita pergi ke teater. Gaun itu terlihat cantik bagiku.” Dia berhenti berbicara karena terusik melihat istrinya menangis. Deras air mata membanjir turun dengan perlahan dari kedua matanya menuju sudut bibirnya. Dengan gelagapan dia bertanya: “Kenapa? Ada apa?” Namun, dengan usaha keras, istrinya berhasil menakhlukkan kesedihannya, kemudian dia menjawab, dengan suara yang tenang, sementara dia menyapu pipinya yang basah: “Tak ada apa-apa. Hanya saja aku tak memiliki gaun, dan karena itulah aku tak dapat pergi ke pesta ini. Berikanlah undangan ini kepada teman kerjamu yang istrinya memiliki gaun yang cantik.” Suaminya putus asa. Dia lanjut berkata: “Ayolah Mathilde. Berapa harga gaun yang cocok untuk dapat dikenakan di kesempatan lainnya, yang juga terlihat sederhana?” Dia bergeming selama beberapa detik, menghitung dan penasaran kira-kira berapa jumlah yang dapat dimintanya tanpa mengundang penolakan seketika dan keterkejutan dari pegawai kantoran sederhana. Akhirnya dengan ragu-ragu dia menjawab: “Aku tak tahu berapa tepatnya, tapi kurasa aku bisa mendapatkannya dengan empat ratus franc.” Wajah suaminya menjadi pucat karena dia telah menabung uang sebanyak itu agar nantinya dapat digunakannya untuk membeli senapan dan memanjakan dirinya dengan berburu saat musim panas mendatang di daerah Nanterre bersama temannya yang pernah berburu di sana setiap hari Minggu. Tapi dia berkata: “Baiklah. Aku akan memberimu empat ratus Franc. Dan carilah gaun yang cantik.” Hari yang ditunggu semakin dekat, dan Madame Loisel terlihat sedih, gelisah, dan cemas. Walau bagaimanapun gaunnya telah siap. Pada suatu malam suaminya bertanya kepadanya: “Ada apa? Ayolah, kau sudah bertingkah aneh tiga hari terakhir ini.” Kemudian dia menjawab: “Aku kesal karena tak memiliki perhiasan apapun, tak ada satupun batu permata yang kumiliki, tak ada yang dapat kukenakan. Aku pasti akan terlihat seperti orang yang hidup sengsara. Mungkin lebih baik aku tak datang sama sekali.” Dia membalas: “Kau bisa mengenakan bunga alami. Sekarang hal

halaman 34


itu terlihat anggun. Dengan sepuluh franc kau bisa mendapatkan dua atau tiga mawar yang indah.” Itu tak cukup menyenangkan baginya. “Tak. Tak ada lagi yang lebih memalukan daripada terlihat miskin di antara para wanita kaya.” Namun suaminya berteriak: “Bodoh sekali dirimu! Temui temanmu Madame Forestier dan tanyakan padanya apakah kau bisa meminjam perhiasan darinya. Bukankah kau cukup dekat dengannya.” Dia pun berteriak gembira: “Benar juga. Aku tak terpikir hal itu.” Keesokan harinya dia pergi menemui temannya dan menceritakan kesengsaraannya. Madame Forestier pergi menuju lemari pakaiannya yang memiliki pintu kaca, mengambil sebuah kotak perhiasan besar, membawanya kembali, membukanya, lalu berkata kepada Madame Loisel: “Pilihlah, sayang.” Pertama-tama dia melirik beberapa gelang, kemudian kalung mutiara, kemudian salib Venesia, emas dan batu berharga lainnya yang dibuat dengan sangat indah. Dia mencoba beberapa perhiasan di depan kaca, ragu-ragu, tak sanggup untuk berpisah dengannya, untuk mengembalikannya lagi. Dia terus bertanya: “Apa kau punya yang lain?” “Tentu saja ada. Lihatlah. Aku tak tahu apa yang kau suka.” Tiba-tiba dia menemukan, dalam kotak satin hitam, sebuah kalung berlian yang sangat indah; kemudian jantungnya mulai berdetak dengan keinginan yang menggebu-gebu. Tangannya bergetar hebat saat dia mengambilnya. Dia mengenakannya di lehernya, di luar gaunnya yang berleher tinggi, dan terhanyut dalam kegembiraan hanya dari melihat penampilannya. Kemudian dengan ragu-ragu dia bertanya: “Bolehkah aku meminjam ini, hanya ini saja?” “Tentu saja bisa.” Dengan girangnya dia memeluk leher temannya, menciumnya dengan sangat girang, kemudian pergi membawa harta karunnya. Hari pesta itu pun tiba. Madame Loisel sukses besar. Dia terlihat lebih cantik daripada mereka semua, elegan, anggun, tersenyum, dan gembira bukan kepalang. Semua mata lelaki menuju padanya, menanyakan namanya, berusaha berkenalan dengannya. Semua jajaran Kabinet ingin berdansa dengannya. Dia bahkan disanjung oleh sang menteri itu sendiri.

halaman 35


Dia menari dengan mabuk kepayang, sangat bersemangat, dibuat mabuk oleh kenikmatan, melupakan segala hal, dalam riuh kemenangan kecantikannya, dalam kesuksesannya, dalam semua jenis awan kegembiraan yang terbentuk dari semua yang hadir di sana, dari semua kekaguman, dari semua kedengkian, dan dari rasa kemenangan penuh yang terasa sangat manis bagi hati wanita. Dia beranjak pergi jam empat pagi. Suaminya telah tertidur sejak tengah malam di ruang depan kecil dengan tiga pria lain yang istrinya sedang bersenang-senang. Suaminya memakaikannya mantel hangat yang telah dibawanya, mantel sederhana yang mencerminkan hidup orang biasa, yang cerminan kemiskinannya tampak kontras dengan keangunan gaun pestanya. Istrinya menyadari hal ini dan ingin segera berlari agar tak dikomentari oleh wanita lain yang membungkus diri mereka dengan mantel bulu yang mahal. Namun Loisel menahannya. “Tunggu sebentar. Kau akan kedinginan di luar. Aku akan mencarikan kita tumpangan.â€? Tapi dia tak mendengarkan suaminya, dan dengan cepat berlari menuruni tangga. Ketika mereka tiba di jalan, mereka tak dapat menemukan kereta kuda; dan mereka mulai mencari, berteriak kepada kusir yang mereka lihat sedang melintas di kejauhan. Mereka berjalan menuju Seine, dengan putus asa, gemetar karena kedinginan. Akhirnya mereka menemukan satu kereta kuda malam yang seolah tampak malu menunjukkan penderitannya di siang hari sehingga tak pernah tampak terlihat di sekitar Paris sampai malam hari. Kereta itu membawa mereka sampai ke rumah mereka di Rue des Martyrs, dan sekali lagi, malangnya, mereka harus mendaki agar dapat sampai ke rumah mereka. Semua telah berakhir baginya. Sementara bagi suaminya, dia teringat bahwa dia harus tiba di kantor besok jam sepuluh pagi. Dia melepaskan mantelnya yang menutupi pundaknya di depan pintu kaca agar dapat sekali lagi melihat dirinya dalam kemenangan. Namun kemudian dia berteriak. Kalung tersebut tak ada di lehernya! Suaminya yang sudah melepaskan setengah pakaiannya, bertanya: “Ada apa denganmu?â€? Dia menoleh dengan liar ke arah suaminya. “Aku telah‌ aku telah‌ aku telah kehilangan kalung milik Madame

halaman 36


Forestier.” Suaminya segera berdiri. “Apa! Bagaimana bisa? Tak mugkin!” Dan mereka mulai mencari di lipatan gaunnya, di lipatan mantelnya, di dalam sakunya, di manapun. Mereka tak dapat menemukannya. Suaminya bertanya: “Kau yakin kau masih mengenakannya saat meninggalkan pesta?” “Iya, aku masih dapat merasakannya di ruang depan Istana.” “Tapi kalau kau menghilangkannya di jalan, kita pasti sudah mendengarnya jatuh. Pasti tertinggal di kereta.” “Iya. Mungkin. Apa kau ingat nomornya?” “Tak. Dan kau, apa kau tak melihatnya?” “Tak.” Mereka saling bertatapan, termangu menghadap satu sama lain. Kemudian Loisel mengenakan pakaiannya. “Aku harus kembali dengan berjalan kaki,” ujarnya, “menelusuri kembali jalan yang telah kita lewati tadi untuk mencarinya.” Suaminya pun pergi. Dia duduk menunggu di kursi, masih mengenakan gaun pestanya, tanpa tenaga untuk pergi tidur, kebingungan, tanpa semangat, tanpa pikiran. Suaminya kembali jam tujuh pagi. Dia tak menemukan apa-apa. Suaminya kemudian pergi ke kantor polisi, ke kantor surat kabar, untuk menawarkan imbalan bagi yang menemukannya; dia pergi ke perusahaan angkutan—ke manapun, sebenarnya, ke mana saja yang dapat memberikannya harapan walau hanya secuil. Dia menunggu sepanjang hari, dengan kondisi yang masih sama; ketakutan yang menjadi-jadi akan bencana besar ini. Loisel kembali pada malam hari dengan wajah pucat dan hampa; dia tak menemukan apapun. “Kau harus menulis surat kepada temanmu,” sarannya, “katakan padanya kalau kau merusak pengait kalungnya dan saat ini sedang diperbaiki. Itu akan mengulur waktu untuk kita.” Dia menulis sesuai perintah suaminya. Satu minggu kemudian mereka telah kehilangan harapan. Dan Loisel yang telah tampak semakin menua berujar: “Kita mungkin harus mengganti perhiasan itu.” Keesokan harinya mereka membawa kotak penyimpan kalungnya, dan mereka pergi menemui pembuat perhiasan yang namanya

halaman 37


tercantum di dalamnya. Dia melihat buku catatannya agar dapat mengingatnya kembali. “Bukan saya yang menjual perhiasan itu, Madame; saya hanya sekedar menghias kotaknya.� Mereka mencari dari satu pengrajin ke pengrajin yang lain, mencari kalung yang sama, meminta mereka untuk mengingat-ingatnya, hal ini membuat mereka muak akan kekecawaan dan penderitaan. Mereka menemukan sebuah toko di Palais Royal, serangkaian berlian yang terlihat sama persis dengan yang sedang dicari mereka. Harganya empat puluh ribu franc. Namun mereka dapat memilikinya hanya dengan tiga puluh enam ribu franc. Kemudian mereka memohon kepada pembuat perhiasan tersebut agar tak menjualnya selama tiga hari ke depan. Dan mereka pun membuat penawaran bahwa dia harus membelinya kembali dengan harga tiga puluh empat ribu franc jikalau mereka menemukan kalung yang hilang tersebut sebelum akhir Februari. Loisel memiliki delapan ribu franc dari peninggalan ayahnya. Dia akan meminjam sisanya. Dia memang jadi meminjam uang, seribu franc dari seseorang, lima ratus dari yang lain, lima louis di sini, tiga louis di sana. Dia mengeluarkan wesel, berhutang banyak, berurusan dengan rentenir, dan semua jenis pemberi pinjaman. Dia membahayakan sisa hidupnya dan tanda tangannya tanpa mengetahui apakah dia dapat memenuhi itu semua; dan ketakutan akan kepedihan yang kunjung tiba, akan penderitaan kelam yang sebentar lagi menimpanya, akan kemungkinan hidup melarat dan semua siksaan moral yang akan dideritanya, dia pergi untuk membeli kalung itu dengan menaruh tiga puluh enam ribu franc di meja kasir. Ketika Madame Loisel mengembalikan kalungnya, Madame Forestier berkata kepadanya dengan sikap dingin: “Seharusnya kau segera mengembalikannya, mungkin aku membutuhkannya.� Dia tak membuka kotaknya sebagaimana yang ditakutinya. Kalau dia mengetahui bahwa kalungnya telah diganti, apa yang akan dipikirkannya, apa yang akan dikatakannya? Apa dia tak akan menganggap Madame Loisel sebagai pencuri? Madame Loisel tak menyadari keparahan dari kemelaratan hidupnya. Bagaimanapun dia siap melakukan tugasnya dengan sikap kepahlawanan. Hutang mengerikan itu harus dibayar. Dia akan membayarnya. Mereka memberhentikan pelayannya; mereka pindah rumah; mereka menyewa sebuah kamar loteng.

halaman 38


Dia akhirnya menyadari betapa lelahnya mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan berurusan dengan urusan di dapur yang menjengkelkan. Dia mencuci piring, menggunakan kukunya yang elok bak mawar untuk membersihkan mangkuk dan panci yang berminyak tebal. Dia mencuci kain linen yang kotor, pakaian, dan kain lap makan, lalu dijemurnya dengan berjajar; dia membawa air sisa cuciannya melewati jalanan setiap pagi, dan mengangkat air bersih, berhenti sebentar-sebentar untuk bernapas di setiap undakan tangga. Dan berpakaian seperti wanita biasa, dia pergi menuju penjual buah, grosir, tukang daging dengan keranjang di lengannya, menawar, dihina, mempertahankan hidupnya sen demi sen. Setiap bulan mereka harus membayar beberapa tagihan wesel, memperbaharui yang lain untuk mendapatkan waktu lebih. Suaminya bekerja sampai malam membuat salinan akun pedagang, dan saat larut malam dia sering membuat salinan manuskrip dengan imbalan lima sou per halaman. Dan kehidupan seperti ini berjalan selama sepuluh tahun. Setelah sepuluh tahun, akhirnya mereka dapat melunasi semuanya, semuanya, dengan tingkat bunga yang ditetapkan oleh sang rentenir, dan akumulasi dari bunga per bulannya. Madame Loisel terlihat tua sekarang. Dia telah menjadi wanita melarat—kuat, keras, dan kasar. Dengan rambut berantakan, roknya miring, dan tangannya berwarna merah, dia berbicara dengan suara nyaring sambil mengepel lantai dengan desiran air yang keras. Namun terkadang, ketika suaminya di kantor, dia duduk di dekat jendela, dan dia mengingat kembali malam ceria yang telah lama berlalu, saat pesta di mana dia terlihat sangat cantik dan bahagia. Apa yang akan terjadi jika dia tak menghilangkan kalung itu? Siapa yang tahu? Siapa yang tahu? Betapa hidup ini sangat aneh dan selalu berubah-ubah! Betapa kecilnya hal yang dapat membuat kita tersesat atau terselamatkan! Namun pada suatu kesempatan di hari minggu, saat sedang berjalan-jalan di Champs ElysÊes untuk menyegarkan dirinya setelah bekerja keras seminggu penuh, dia tiba-tiba melihat seorang wanita yang sedang menggandeng seorang anak. Dia adalah Madame Forestier, masih terlihat muda, cantik, dan menawan. Madame Loisel merasa tergerak hatinya. Apakah dia akan berbicara kepadanya? Iya, tentu saja. Dan sekarang dia telah melunasi hutangnya, dia akan menceritakan yang sebanarnya kepadanya. Kenapa tak?

halaman 39


Dia berjalan ke arahnya. “Selamat siang, Jeanne.” Wanita tersebut tercengang karena disapa dengan familiar oleh ibu rumah tangga sederhana ini, karena tak mengenalnya sama sekali dia bertanya dengan tergagap: “Tapi madame! aku tak kenal. Anda pasti salah orang.” “Tak. Aku Mathilde Loisel.” Temannya mengeluarkan teriakan kecil. “Oh, Mathilde-ku yang malang! Kau terlihat sangat berbeda!” “Iya, aku mengalami hari-hari yang cukup keras sejak terakhir kali kita bertemu, hari-hari yang cukup malang dan itu karena kau!” “Karena aku! Bagaimana bisa?” “Apa kau masih ingat dengan kalung berlian yang kau pinjamkan kepadaku agar dapat kupakai di pesta kementerian?” “Iya. Lalu?” “Well, aku menghilangkannya.” “Apa maksudmu? Kau membawanya kembali.” “Aku membawakanmu yang sama persis dengan itu. Dan oleh karenanya kami harus membayar hutang kami selama sepuluh tahun. Kau pasti mengerti betapa sulitnya itu untuk kami, kami yang tak memiliki apa-apa. Akhirnya semuanya berakhir, dan aku sangat senang.” Madame Forestier bergeming. “Kau bilang kau membeli sebuah kalung berlian untuk mengganti milikku?” “Iya. Jadi kau tak pernah menyadarinya! Mereka sangat mirip.” Kemudian temannya tersenyum dengan nada riang yang terdengar bangga dan naïf. Madame Forestier, dengan sangat terharu, menggenggam kedua tangan Mathilde. “Oh, Mathilde-ku yang malang. Kalungku tentu saja hanya imitasi. paling mahal harganya lima ratus franc!” *** Terjemahan dari teks berbahasa Inggris oleh Roesli Dekaeri.

halaman 40


Sajak

Irna Novia Damayanti Menjadi Kupu Tafakur Wanita Di Sudut Gang Sepi Kerudung Ungu Fragmen Cerita Matahari Panggung Sore Lelaki Dibalik Malam Sajak Nenek Tua

Irna Novia Damayan" Lahir di Purbalingga, 14 September. Seorang mahasiswa di IAIN Purwokerto dan Santri di Pesantren Mahasiswa An Najah. Ak!f di Komunitas Sastra Santri Pondok Pena. Alamat Jl Moh Besar, Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto Rt 06/04 no 10 Kutasari Baturraden.

halaman 41


Menjadi Kupu

Jika kau kekiri dan aku kekanan Sementara jalan tak memperingatkan kaki Saling berbalik arah Buat apa kau masih menunggu Sekuntum kehangatan mekar Dari tanah tanpa kita sirami Dengan kata dan air yang Mengucur dari pertemuan mata Lepaskan namaku dari tanganmu Aku ingin menjadi kupu-kupu Kemudian kepakan sayapku Menjadi sajak kebebasan

An Najah, 2015

halaman 42


Tafakur

Aku masih terduduk di ruang sepi dan Bersandar pada kenangan yang Datang ketika airmataku lelah untuk kutapaki Rasa yang berpelangi Aku belum pernah memandang hari esok dan Wajah elok yang di simpan jarak dan waktu Sementara jalan berbatu belum kutemukan ujungnya Harus kutempuh meski suara langkah kaki Orang-orang mengajak kejalan yang lain Yang menjauhkan pada wangi doa Yang kurindu sumbernya Masih dalam keramaian cuaca yang berbicara Tentang kemarau dan hujan Aku masih bermusim semi dan semangat Sedang melebat Maka aku akan kembali berjalan Setelah lelah kubunuh Di alam bawah sadarku

An Najah, 2015

halaman 43


Wanita Di Sudut Gang Sepi

Tombak matanya melesat ke mataku Puisi sepi terbaca jelas Dinding hanyalah penjaga tubuhnya yang dikuasai lelah Dia sandarkan kepasrahan pada doa Hari ini dia berhijab Menutupi aurat dan kisah kemalangannya Dia biarkan jalan dan kesunyian mendengarkan Jeritan jiwa yang semakin memanjang Dia tak ingin membuka hijabnya Dan membiarkan dua bibir membuat dosa Lagi

An Najah, 2015

halaman 44


Kerudung Ungu

Kerudung ungu itu tak pernah menjadi puisi indah Tak pernah lagi muncul dari celah pagi Bersama senyum Bersama suaranya yang mengikat pandang untuk Membeli kue-kuenya Di pertigaan rumahmulah Kaki-kaki siksa melangkah Menjemput kesucianmu pergi Lalu merotasi Sekarang kau memakai topeng Untuk menutup kebusukan pada Kata dan tingkahmu Dan membiarkan kerudung ungumu Yang menangis melihat tubuhmu Terjatuh kelumpur siksa pertama yang Kini nasibnya berakhir di tong sampah

An Najah, 2015

halaman 45


Fragmen Cerita Matahari

Rumput akan kembali berwarna hijau ketika Senyummu terbit Maka lepaskanlah malam merenda cinta Bersama bulan Selamatkan warna rumput Yang direnggut keceriaannya Oleh gelap Diamlah Izinkan nurani yang berbicara Menegakan keadilan yang hampir tertimbun Reruntuhan detik jam Mungkin kau ditakdirkan Bersama awan memberi warna wajah semesta

An Najah, 2015

halaman 46


Panggung Sore

Laki-laki itu menggenggam senyum bidadari Pada acara malam saat pantai membaca puisi Berkolaborasi dengan semburat sinar oranye Ikan-ikan menari mengitari air laut dengan suara khasnya Sementara ombak lebih suka menggoda kaki Laki-laki itu sampai Menumpahlah senyum Di udara Menjadi kata-kata yang melangit Bersama wajah bidadarinya dan purnama

An Najah, 2015

halaman 47


Lelaki Dibalik Malam

Lelaki itu tak ingin mata bulan singgah di tubuhnya Sebab akan menjadi lubang dosa yang Mengganggu perjalanan ke rumah Rindu yang paling Lalu dia lebih suka bersembunyi dibalik malam Sambil menikmati garis-garis yang melukis wajah cantik Pujaannya di udara Hari yang tersisih adalah duri baginya Sebab kaki pikirannya tergopah Untuk menyusuri waktu Menemu segudang aktivitasnya Setelah pada kolam harinya Berenang wajah bulan

An Najah, 2015

halaman 48


Sajak Nenek Tua

Nenek tua itu tak ingin membuat Tuhan Sedih sebab tangan dan kaki yang dititipkan Tak digunakan untuk mencari sambungan Detaknya nafas Rambut yang memutih Membacakan puisi kesedikan dengan lantang Sampai terdengar hati nurani Recehan dan senyum mengumpul di tangan Lalu nenek itu membiarkan tangannya menengadah Dan membiarkan rambutnya membaca puisi Sambil menderaskan maaf Kepada Tuhan

An Najah, 2015

halaman 49


Jabat Tangan

Di tengah-tengah jabat tangan itu Ada mawar yang hadir Baunya tercium sampai kehati Tertanam mawar di mata juga Melebat sampai ketika kucium Membuatku mabuk kepayang Dari jabat tangan itu Mengalir sungai kerinduan Dan menjadi banjir Ketika kusebut namamu Di beberapa waktu Kujumpai mozaik Gambar pertemuan kita

An Najah, 2015

halaman 50


Sajak Terjemahan

Paul Verlaine

Kantuk Kelam Kantuk kelam dan berat Menimpa hidupku: Tidur, beriring segala harap Tidur, beriring segala hasrat! Tak lagi ku-kuak-kan apa pun Aku ditinggalkan ingatan Yang baik dan yang buruk O cerita yang menyedihkan! Aku bak buaian Yang dibimbing tangan Dalam gua kelam: Diam, diam....

halaman 51


Arthur Rimbaud

Lamunan Si Miskin Mungkin bilamana nanti bagiku satu malam menunggu Dengan nyaman aku bisa minum-minum Pada satu kota tua Setelah itu aku akan mati dengan lega Tersebab aku sabar. Pabila sakitku hilang Pabila di kocek ada uang Arah mana yang akan kujelang Negeri anggur atau Utara? Ah! Lamunan membuat malu! Sebab kehilangan selalu! Dan pabila aku kembali Jadi kelana seperti dulu Tidak akan lagi terbuka Pondok hijau itu untukku

halaman 52


Guillaume Apollinaire

Jembatan Mirabeau Pada kolong jembatan Mirabeau mengalir Seine Bersama kasih kita Haruskah kembali terkenang Suka-ria selalu datang sehabis derita Walau malam datang dan jam berdentang Hari-hari pergi, aku tertinggal diam Tangan dalam tangan, tinggallah kita berhadapan Sedangkan di bawah Jembatan lengan kita, mengalir Alun pandangan abadi begitu lesu Meski malam datang, jam berdentang Hari-hari pergu, aku tinggal diam

halaman 53


Cinta pergi bagai air ngalir ini Cinta pergi Betapa hidup lamban Dan alangkah kejamnya Harapan Meski malam datang, jam berdentang Hari-hari pergi, aku tinggal diam Hari-hari lewat pekan-pekanpun berlalu Baik masa lampau Maupun kasih tak lagi kembali Di bawah jembatan Mirabeau menmengalir Seina Meski malam datang, jam berdentang Hari-hari pergi, aku tinggal diam.

(Dari antologi Sajak-sajak Modern Perancis Dalam Dua Bahasa. Jakarta: Pustaka Jaya, 1975).

halaman 54


Nobel Sastra 2015

10 Tahun Hidup di Pengasingan Svetlana Alexievich Peraih Nobel Sastra 2015 oleh Dantje S moeis

ukup b banyak hal yang luput dan l menjadi terabaikan selama beberapa bulan ini, bahkan menjadi seakan tidak penting. Padahal mebincangkan dan menebak-nebak siapa peraih Nobel sastra dari tahun ke tahun, merupakan peristiwa besar yang tak pernah lepas dari pembicaraan kami para penggiat sastra yang mangkal di kantin “Teselit” belakang kantor Dewan Kesenian Riau / Akademi Kesenian Melayu Riau. Perbincangan yang menghadirkan para Seniman, Sastrawan, para Budayawan dan tentu saja kami yang sehari-hari bergelut di dunia keredaksian dari sebuah majalah budaya (Sagang) yang alhamdulilah masih terbit secara intens, walau cukup banyak majalah seperti yang kami kelola seakan bermotto “Sekali berarti setelah itu mati”, di Sumatera ini dan di belahan lain pulau di

luar Jawa. Luput dari perhatian yang bukan tak bersebab. Kegelisahan yang mendera akibat bencana asap rutin tahunan yang kali ini lebih dahsyat dalam rentang waktu panjang. Bahkan hingga detik saya membuat tulisan ini, asap masih mendera dan menyesak dada. Namun untunglah kelumpuhan ingatan walau bersifat sementara ini disadarkan oleh dering buzzer telepon sahabat saya Fedli Azis (desk budaya Harian Pagi Riau Pos) yang mengatakan, “Bang.. buat tulisan tentang peraih Nobel Sastra tahun ini!”. Jurnalis Asal Belarusia Svetlana Alexievich Raih Nobel Sastra 2015. Svetlana Alexievich tak hanya dikenal sebagai jurnalis surat kabar lokal maupun aktivis kemanusiaan. Kerap mengkritik

halaman 55


pemerintah, ia pernah menghabiskan hidupnya tinggal di pengasingan selama sepuluh tahun. Sepuluh tahun ia berpindah-pindah tempat tinggal. Mulai dari di Italia, Prancis, Jerman, Swedia, dan negara-negara lainnya sebelum akhirnya kembali lagi ke kota Minsk. “Saya suka dunia Rusia tapi hanya sebatas persoalan kemanusiaan,” ujarnya, Pengumuman Nobel Sastra 2015 diumumkan pada Kamis lalu waktu Stockholm. Akibat penghargaan bertaraf internasional itu Alexievich juga mendapatkan kritikan dari sesama penulis lainnya. “Ia mewakili Rusia tanpa Putin, tanpa bahasa Rusia dan sastranya. Ia penentang pemerintah Rusia dan justru diberikan Nobel,” ucap Oleg Kashin yang berbicara di radio Ekho Moskvy. Sebelumnya, Alexievich pernah memenangkan peghargaan Swedia PEN atas keberaniannya sebagai penulis. Ia telah mengumpulkan wawancara dengan narasumber dari Uni Soviet selama 40 tahun. Tak hanya soal sejarah tapi keberaniannya mengabadikan cerita dalam novelnya. Penulis kelahiran 1948 silam menggunakan metode yang luar biasa dan menulis dengan hati-hati. Kini, ia mendapatkan predikat wanita ke-14 yang meraih Nobel Sastra sekaligus mengalahkan penulis favorit lainnya, Haruki Murakami dari Jepang dan novelis Kenya Ngugi Wa Thiong’o. Svetlana Alexievich, menuduh Rusia telah melakukan invasi atas Ukraina dengan mendukung kelompok separatis di wilayah timur negara. Penulis, yang dianugerahi Nobel untuk ilustrasi kehidupan Uni Soviet, mengatakan

halaman 56

dia menangis saat melihat foto-foto mereka yang ditembak mati selama protes jalanan di Kiev pada Februari 2014 terhadap presiden berhaluan Moskow. Pemberontakan separatis pro-Rusia berikutnya di wilayah timur, telah menewaskan lebih dari 8.000 orang, dipercayanya sebagai hasil dari campur tangan asing (Rusia). “Itu adalah pendudukan, invasi asing,” katanya pada konferensi pers setelah pengumuman kemenangannya, sebagaumana dilansir dari laman Trust.Org, 8 Oktober, 2015. “Saya cinta dunia Rusia yang baik, dunia Rusia yang berorientasi pada kepentingan kemanusiaan, tapi saya tidak mencintai dunia Rusia Beria, Stalin dan Shoigu,” katanya, merujuk pada pemimpin Soviet Josef Stalin, kepala keamanan yang bertanggung jawab untuk pembantaian massal di era Stalin, Lavrenty Beria, dan menteri pertahanan Rusia saat ini, Sergei Shoigu. “Betapa rendahnya mereka membiarkan Rusia tenggelam,” tegasnya. Ukraina dan NATO diketahui telah menuduh Rusia mengirim pasukan dan senjata untuk pemberontak separatis di wilayah timur, sesuatu yang disangkal Rusia. Banyak karya Alexievich yang mengisahkan dampak konflik, termasuk narasi tentang perempuan selama Perang Dunia Kedua dan gambaran perang Uni Soviet di Afghanistan yang digambarkan dari perspektif warga biasa. Alexievich lahir pada 1948 di IvanoFrankivsk, Ukraina. Ayah dan ibunya berasal dari Belarus dan Ukraina. Keluarganya pindah ke Belarus setelah ayahnya menyelesaikan dinas militer. Alexievich belajar jurnalisme di University of Minsk pada 1967 hingga 1972.


Setelah lulus, dia bekerja sebagai wartawan selama beberapa tahun sebelum buku pertamanya, War’s Unwomanly Face, pada 1985 terbit. Dalam wawancaranya yang dikutip laman Guardian, peraih Nobel sastra 2015 Svetlana Aleksijevitj (67) mengaku bahwa dia sangat suka mengamati kehidupan nyata. “Kehidupan nyata itu seperti magnet buat saya, menghipnotis sekaligus menyiksa saya. Saya ingin menangkap semua esensi kehidupan nyata tersebut ke dalam tulisantulisan saya,” ujarnya seraya menambahkan bahwa dia menggunakan mata dan telinganya untuk mendengar dunia. “Dengan begini saya pun bisa merealisasikan semua potensi jiwa dan emosi secara penuh. Dengan cara ini pula, saya pun akhirnya bisa melakukan berbagai pekerjaan dalam waktu bersamaan, baik itu sebagai penulis, wartawan, ahli ilmu sosial, pakar kejiwaan dan juga penceramah,” ujarnya lagi. Svetlana Alexievich, Jurnalis Belarusia yang didaulat sebagai peraih Nobel Sastra 2015. Sara Danius, ketua Swedish Academy, menyebut bahwa karya-karya Alexievich sebagai “monument to suffering and courage in our time”. Sara Danius menganggap Svetlana Alexievich adalah monumen yang mengabadikan penderitaan berbancuh keberanian pada masa kini. Alexievich menjadi perempuan ke-14 yang memenangkan hadiah Nobel sejak pertama kali penghargaan ini diberikan pada 1901. Perempuan terakhir yang menerima hadiah serupa adalah Alice Munro dari Kanada pada 2013. “Karyanya Alexievich berada di antara dokumenter dan novel, sebuah genre yang belum mendapat penghargaan,” ujar Bjorn Wiman, editor budaya di sebuah

harian Swedia, Dagens Nyheter, sebelum penghargaan itu diumumkan. Nama-nama calon peraih hadiah ini dijaga sangat ketat dan, tidak seperti penghargaan sastra pada umumnya, tidak ada longlist atau shortlist. Pada Februari, akademi menyusun daftar rahasia semua nominasi yang diajukan oleh kelompok eksklusif “qualified people” meliputi beberapa profesor dan mantan pemenang. Tahun ini ada sekitar 220 nama. Kemudian pada Mei, daftar tersebut dipangkas menjadi lima nama, yang karyakaryanya dipelajari dengan teliti selama musim panas. Dan kita tahu, pemenangnya kemudian diumumkan pada pertengahan Oktober. Sederet nama seperti, Haruki Murakami dari Jepang, Ngũgĩ wa Thiong’o dari Kenya, Jon Fosse dari Norwegia, John Banville dari Irlandia, dan dua calon dari Amerika Serikat, Joyce Carol Oates dan Philip Roth yang selalu kami bincang dan unggulkan sebagai pemenang Nobel sastra tahun ini, begitu juga nama lain yang digadang-gadang para pemerhati sastera di dunia seperti penyair Rumania Mircea Cărtărescu, penyair Suriah Adonis (Ali Ahmad Said Esber), novelis Italia Umberto Eco, novelis Somalia Nuruddin Farah, dan penyair Nigeria Ben Okri. (The Guardian), sontak menjadi tenggelam setelah kemunculan nama yang legitimate menjadi peraih Nobel sastra tahun ini, dialah Svetlana Alexievich, sang Jurnalis dari Belarusia.*** (Dari berbagai sumber) SPN Dantje S Moeis, Kelahiran Rengat-Inhu-Riau adalah: Perupa, penulis krea!f, redaktur senior majalah budaya “Sagang”, dosen Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), Pekanbaru.

halaman 57


Rehal

Di Balik Keheningan Salju

erit Orhan O Pamuk (lahir di Istanbul, Turki, 7 Juni 1952; Istanbul umur 62 tahun) adalah seorang novelis Turki terkemuka dalam sastrapascamodernis. Ia sangat populer di dalam negeri dan pembacanya di seluruh dunia juga bertambah terus. Sebagai salah seorang novelis Eurasia paling terkemuka, karyakaryanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa. Ia telah mendapatkan banyak penghargaan di dalam negeri maupun internasional. Pada 2005, pemerintah Turki mengenakan tuduhan kriminal terhadap Pamuk setelah ia membuat pernyataan-pernyataan mengenai pembunuhan lebih dari 1 juta orang Armenia dan 30.000 orang Kurdi di Anatolia. Jika terbukti bersalah, Pamuk dapat dipenjara hingga tiga tahun. Pengadilannya dimulai pada 16 Desember 2005, tetapi segera ditunda karena menunggu persetujuan dari Departemen Kehakiman Turki. Tuduhan terhadapnya Ferit Orhan Pamuk atau Orhan Pamuk adalah novelis Turki yang sangat populer dalam sastra pasca-modernis. Karyakaryanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 50 bahasa dan mendapatkan

halaman 58

Judul Buku Penulis Penerjemah Tebal Cetakan Penerbit

: : : : : :

Snow Orhan Pamuk Berliani M. Nugrahani 731 hlm; 13 X 20,5 cm 1, April 2008 Serambi Ilmu Semesta


berbagai penghargaan di dalam negeri dan internasional. Puncaknya, pada tanggal 12 Oktober 2006, Pamuk menggondol Nobel bidang kesusastraan atas karya-karyanya. Ia menjadi pengarang Turki pertama yang memperoleh penghargaan ini. Untuk diketahui, Nobel Sastra diberikan pada pengarang yang “karyanya paling bagus dan memiliki idealisme yang maju” dan karya ini merujuk pada keseluruhan karya si pengarang, bukan kepada karya satuan. Pamuk secara teratur mulai menulis sejak tahun 1974 dengan karya perdana bertajuk Karanlık ve Işık (Darkness and Light) yang menjadi salah satu pemenang Milliyet Press Novel Contest tahun 1979. Novel perdana ini diterbitkan pada tahun 1982 dengan judul Cevdet Bey ve Oğulları (Mr. Cevdet and His Sons) dan memenangkan Orhan Kemal Novel Prize. Selanjutnya ia menulis novel-novel pemenang berbagai penghargaan seperti Sessiz Ev (The Silent House, 1983), Beyaz Kale (The White Castle, 1985), Kara Kitap (The Black Book, 1990), Yeni Hayat (New Life, 1995), dan Benim Adım Kırmızı (My Name is Red, 1998). Novel yang disebutkan terakhir di Indonesia telah diterbitkan Serambi sebagai Namaku Merah Kirmizi (2006). Novel inilah yang kian menjulangkan reputasi Pamuk di kancah literatur internasional. Kar (Snow, 2002), novel ketujuh Pamuk, diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Serambi menjadi “Di Balik Keheningan Salju”. Edisi Prancis novel ini, La Neige, memenangkan penghargaan Prix Medicis Etrange tahun 2005 dan oleh New York Times dinyatakan sebagai salah satu dari Sepuluh Buku Terbaik tahun 2004. Tokoh utama Snow adalah Kerim Alakuşoğlu yang lebih suka dipanggil inisialnya, Ka, seorang penyair yang

masih lajang dalam usianya yang ke-42. Ia meninggalkan Istanbul menuju sebuah kota bernama Kars, dalam sebuah perjalanan di tengah-tengah badai salju. Ka baru datang dari Jerman setelah 12 tahun meninggalkan Turki dan menjadi tahanan politik, kendati ia tidak pernah benar-benar menjadi aktivis politik. Ka adalah seorang pria yang jujur, beriktikad baik, dan melankolis (hlm. 11). Ia bermasalah dengan kebahagiaan, menghindari kebahagiaan karena takut akan kepedihan yang mungkin mengikuti kebahagiaan itu. Sebenarnya Ka datang ke Istanbul hanya untuk menghadiri pemakaman ibunya. Tapi setelah 4 hari di kota itu, ia memutuskan mengadakan perjalanan ke Kars, kota yang ia pernah kunjungi 20 tahun berselang. Ia datang ke Kars dengan tujuan meliput pemilihan walikota yang akan segera berlangsung setelah walikota Kars tewas dibunuh. Selain itu ia bermaksud menguak misteri epidemi bunuh diri yang melanda sejumlah gadis di Kars, salah satunya, gadis dari kelompok ‘gadis-gadis berjilbab’. Seorang teman sekelas Ka dahulu di Istanbul, si cantik Ipek Yildiz, ternyata telah menetap di Kars bersama Turgut, ayahnya yang ateis, dan Kadife -adiknya, mantan model yang telah menjadi pemimpin ‘gadisgadis berjilbab’. Mereka mengelola Hotel Istana Salju. Ipek telah bercerai dari suaminya, Muhtar, yang berambisi menjadi walikota Kars. (Saya tidak setuju dengan sinopsis sampul belakang novel yang menyebutkan bahwa Ka berhasrat untuk menemukan cinta masa lalunya karena dalam novel tidak digambarkan jika Ka pernah jatuh cinta atau menjalin cinta dengan Ipek sebelumnya). Di Kars, Ka menghuni Hotel Istana Salju sambil melakukan investigasi. Seiring

halaman 59


dengan investigasinya, badai salju menutup jalan keluar dari Kars dan membuat kota ini terisolasi.

juga harus melakukan hal yang sama,� demikian keyakinan Sunay Zaim (hlm. 335336). Keyakinan

Kedatangan Kar dalam posisi sebagai jurnalis koran Republican membuat berbagai kalangan penasaran dan ingin tahu motivasi Ka yang sebenarnya. Hal ini membuat hidupnya mau tidak mau berpapasan dengan berbagai karakter seperti pengelola koran lokal Kars (Serdar), anggota kepolisian, prajurit pembela negara sekuler Turki, agen MIT, syekh karismatik bernama Saadettin Cevher, seorang lelaki cacat yang menganggap dirinya sebagai agen Islam tetapi bermental Casanova, murid-murid madrasah aliah yang tengah bergelut dengan cinta dan cita-cita serta seorang seniman teater yang mencoba bangkit dari kegagalan karier masa lalunya. Kars yang terisolasi dalam selimut salju, ternyata bukan tempat yang damai dan bebas teroris seperti yang diungkapkan oleh Kasim Bey, asisten kepala polisi Kars.

inilah yang memanaskan konik yang memang merebak di Kars, kemelut antar agama dan sekularisme serta keruhnya suasana karena keputusan-keputusan negara sekuler Turki. Dan di tengah-tengah panasnya konik ini Ka terjebak, berusaha memperjuangkan kebahagiaan yang ternyata hanya akan mengukuhkan keyakinannya sendiri bahwa kepedihan memang berpotensi membuntuti kebahagiaan.

Diawali dengan peristiwa pembunuhan direktur Institut Pendidikan Kars -Profesor Nuri Yilmaz- oleh seorang ekstremis Muslim yang disaksikan Ka dan Ipek di sebuah toko kue, investigasi Ka berubah menjadi usaha untuk menyelamatkan diri sendiri. Ia mesti melalui rangkaian peristiwa yang akhirnya meledak dalam sebuah kudeta berdarah pada sebuah pementasan teater dan berakhir dengan terbunuhnya seorang seniman teater yang ambisius. “Sejarah dan teater terbuat dari bahan yang sama, seperti dalam teater, sejarah memilih siapa orang yang tepat untuk menjadi pemeran utama. Dan, sama seperti para aktor yang mengerahkan seluruh keberaniannya di atas panggung, sedikit orang yang terpilih sebagai pelaku sejarah

halaman 60

Sebagian besar isi novel dituturkan dari perspektif orang ketiga, dari sudut pandang Ka, sang karakter utama. Tapi, terkadang Orhan Pamuk, sang novelis, menggulirkan cerita dari sudut pandang orang pertama, yakni dari sudut pandang teman lama Ka. Teman Ka berkisah berdasarkan buku catatan Ka dan berbagai sumber yang ia temukan ketika menelusuri kehidupan Ka sampai di Kars, setelah 4 tahun berlalu dan tokoh utama ini tewas dibunuh. Dialah yang menulis novel berjudul Snow ini, menggunakan judul buku Ka yang belum sempat diterbitkan. Narator orang pertama ini yang kemudian diketahui bernama Orhan, tidak lain adalah Orhan Pamuk sendiri dalam novel. Hal ini diperkuat oleh keterangan di bab penutup novel bahwa ia telah menulis novel The Black Book dan memiliki seorang anak perempuan bernama RĂźya, nama yang sama kepada siapa novel ini dipersembahkan Orhan Pamuk. Dalam novel ini, Orhan Pamuk memperlihatkan dirinya sebagai novelis yang senang menggunakan narator spoiler. Narator yang ada dalam novel tak segansegan menceritakan apa yang akan terjadi pada tokoh-tokoh yang ditemui Ka,


sementara dalam ceritanya Ka sendiri belum mengetahuinya. Dan hal ini telah dimulai sejak bab pertama. Yang paling menonjol (dan bikin saya jengkel tapi juga geli) adalah tentang kematian Necip dan salah satu matanya yang akan tertembus peluru. Snow hadir bagaikan reeksi kehidupan bangsa Turki sendiri. Sebuah bangsa yang terbelah antara tradisi, agama, dan modernisasi. Terdapat kalangan yang membenci modernisasi dan pengaruh Eropa, tapi juga ada kalangan yang menyukai dan mendukungnya. Eropa dianggap kaďŹ r dan menjadi impian yang membuat bangsa Turki mengabaikan kebudayaannya sendiri. Pertentangan dua kubu membuat terciptanya perseteruan yang merambat ke dunia politik antara kaum sekuler dan kaum islamis. Dalam novel ini pertentangan diperlihatkan secara jelas melalui kasus pelarangan pemakaian jilbab terhadap siswasiswa perempuan di institusi pendidikan yang antara lain telah menyebabkan seorang gadis berjilbab memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri. Pelarangan ini merupakan keputusan negara sekuler Turki. Hal ini tentu saja mendatangkan kemarahan pada berbagai kalangan Muslim yang mendukung teguh pemakaian jilbab dan rela membela walau harus melakukan tindakan kriminal. Kenyataannya, di Turki, memang tidak leluasa warganya untuk memilih keyakinan yang diinginkan. Lihat saja apa yang membawa Ka bertengger di ujung tanduk. Secara tak terduga, Snow menjadi sebuah thriller politik berbumbu romansa percintaan yang cukup kental. Ka, yang dalam hidupnya berusaha menjauhkan diri dari dunia politik, tak menyangka keputusannya datang ke Kars justru memerangkap dirinya dalam intrik-intrik dunia politik sebuah kota

kecil yang mencekam. Keterlibatan dirinya bahkan menjadi teori atas tewasnya dirinya pada suatu malam di jalanan Frankfurt dan dunia kehilangan puisi-puisi yang ditulisnya di balik keheningan salju Kars. Tapi, meski Snow menjadi sebuah kisah thriller, Orhan Pamuk tidak bermaksud (atau tidak mampu?) membuatnya menjadi thriller yang mengundang penasaran pembaca. Orhan Pamuk menguak kematian Ka terlalu cepat. Saya lebih suka membayangkan kematian Ka baru disingkapkan di penghujung novel. Jika ketahuan di penghujung novel pembaca akan terusmenerus bertanya nasib Ka di Kars, apakah ia akan tewas dalam situasi yang mencekam atau justru selamat dan meninggalkan Kars. Pada titik tertentu Orhan Pamuk menggambarkan betapa keberadaan Ka di Kars membuat ia terjebak di antara hidup dan mati sehingga berpotensi menciptakan ketegangan. Sayangnya sudah ketahuan ia akan lolos dari Kars dan meninggal sekitar 4 tahun kemudian. Sejatinya, Snow adalah novel yang baik, mengusung kisah lokal membumi yang tidak mengada-ada. Kisahnya juga tidak sulit untuk diikuti. Pantaslah kalau novel ini dinobatkan sebagai salah satu buku terbaik oleh media massa tertentu. Hanya saja, untuk bisa menikmati novel ini bagi yang tidak terbiasa dengan gaya penulisan Orhan Pamuk (atau pengarang internasional sejenis) perlu kesabaran untuk menuntaskannya. Kendati gemar spoiler, Orhan bukanlah penulis ringkas. Pembaca mesti bertahan membaca narasinya yang panjang-panjang dan dialognya yang pada beberapa tempat juga panjang-panjang dan terkesan sedang mengkhotbahi pembaca. Gaya penulisan seperti ini di sisi lain memang

halaman 61


memberikan kontribusi yang baik bagi novel. Orhan Pamuk jadi memiliki ruang yang leluasa untuk mengeksplorasi karakterkarakter ciptaannya beserta dengan pikiran dan perasaan mereka. Hal ini berdampak pada eksistensi karakter-karakter yang terasa sangat kuat. Hal yang mengundang penasaran saya adalah 19 puisi yang diciptakan Ka selama 3 hari berada di Kars. Orhan, sang narator orang pertama dalam novel, bisa mengisahkan proses terciptanya puisi-puisi itu setelah 4 tahun Ka mengalami writer’s block. Tapi, tidak ada 1 pun puisi yang dikutip dalam novel (termasuk puisi yang diketahui Orhan dari sebuah video rekaman). Aneh juga jika Ka mencatat detail-detail kejadian yang ia alami beserta proses kreatif puisipuisi tersebut, tapi tidak menulisnya dalam jurnal yang dijadikan salah satu sumber data oleh Orhan, bapaknya Rüya. Manuskrip kumpulan puisi Ka kemudian- diceritakan, mungkin, dibawa pergi pembunuh Ka, sehingga Orhan tidak tahu isinya. Snow (Salju) bagi Kadife dan Ipek adalah tentang ‘betapa indah dan pendeknya kehidupan dan meskipun saling membenci, semua orang memiliki banyak persamaan. Karena itulah salju mempersatukan umat manusia. Salju seolah-olah menjadi selimut yang menyelubungi kebencian, keserakahan, dan kemarahan, dan membuat semua orang merasa berdekatan’ (hlm. 191). Saya rasa inilah yang mau disampaikan oleh Orhan Pamuk pada pembaca. Keberadaan perbedaan di antara manusia bukanlah alasan untuk menciptakan pertikaian dan saling membunuh. Hasil terjemahan edisi Indonesia terbilang bagus sehingga secara pribadi saya bisa membacanya dengan lancar. Hanya

halaman 62

saja, menurut saya nama-nama seperti Hotel Istana Salju, Kedai Teh Teman Bahagia, Pondok Bir Kegembiraan (ada juga Rumah Bir Kesenangan), Jalan Prajurit, Toko Kue Hidup Baru, dan Studio Foto Istana Cahaya sebaiknya tetap memakai bahasa asli. Karena edisi Indonesia ini diterjemahkan dari edisi Inggris, saya yakin pengalihan nama-nama itu dari bahasa Turki telah terjadi dalam proses translasi ke bahasa Inggris. Padahal, menurut saya, lebih tepat jika menggunakan bahasa Turki dan diberi terjemahannya. Saya juga bertanya-tanya soal Lazuardi yang pada beberapa tempat menggunakan nama Biru dan Blue (hlm. 49 & 557). Karena saya tidak membaca edisi Inggrisnya, saya menduga Lazuardi adalah inisiatif penerjemah edisi Indonesia yang sayangnya tidak konsisten. Selain itu, sepertinya novel terjemahan ini masih membutuhkan catatan-catatan tambahan untuk kesempurnaannya. Seperti yang dilakukan Anton Kurnia dalam novel terjemahannya, Lolita (Serambi, Maret 2008), terkadang catatan kaki memang dibutuhkan. Misalnya penjelasan sebutan Bey atau Ham1m, MIT, PKK, atau siapa itu Edward G. Robinson. Sebelum masuk ke dalam novel, kita akan membaca sebuah kutipan yang mengatakan bahwa: “Politik dalam karya sastra adalah sebuah pistol yang ditembakkan di tengahtengah sebuah konser, sebuah tindakan kejam yang mustahil diabaikan” (Stendhal, The Charterhouse of Parma, hlm. 7). Orhan Pamuk telah menembakkan ‘pistol’ ke tengah-tengah novel Snow, sebuah konser penuh warna dari sang bintang yang telah terbit di Timur, yang sungguh sayang untuk dilewatkan. *** (Red. sumber INT.)


Anugerah Sagang 2015

Pengumuman Pemenang Anugerah Sagang 2015 im penilai Anugerah Sagang 2015 mengumumkan peraih Anugerah meng Sagang 2015. Melalui penyaringan dan penilaian tahap akhir ini, akhirnya tim penilai menghasilkan para penerima anugerah tersebut. Untuk kategori seniman/ budayawan Pilihan Sagang, tim penilai memilih Husnu Abadi. Sastrawan yang juga akademisi ini, harus bersaing ketat dengan Junaidi Syam, budayawan dan peneliti yang tunak, serta musisi Rino Dezapati. Bahkan, setelah penentuan skor, ternyata nilai Husnu Abadi dan Junaidi Syam berimbang, sama persis. ‘’Dewan juri akhirnya memutuskan untuk memilih Husnu Abadi. Pada penentuan skor, nilainya memang sama dengan Junaidi Syam. Namun melalui perdebatan panjang tim penilai, akhirnya kita memilih sastrawan yang juga ahli hukum Tata Negara ini,’’ kata Rida,yang juga Chairman Riau Pos Group ini. Untuk kategori buku, juga terjadi persaingan ketat. Pilihan Sagang akhirnya tertuju pada buku Bahtera, sebuah buku kumpulan puisi karya Ahmad Ijazi Abdullah. Skor yang didapatkan pun tak bertaut jauh dengan penilaian angka

yang didapatkan lima nominator lainnya, terutama dengan buku Cerita-cerita Jenaka Yong Dollah, Orientasi Kelisanan dalam Proses, Penciptaan dan Resistensi Budaya Orang Melayu (Marhalim Zaini) dan buku Benda Cagar Bidaya Bergerak; Rokan Hulu (Junaidi Syam dan Yusri Syam). Perdebatan sengit dengan mengeluarkan argumen serta segala referensi juga terjadi dalam menentukan penerima Anugerah Sagang untuk kategori Karya Non-Buku Pilihan. Di kategori ini tim penilai memilih karya dan kreativitas pada kegiatan senirupa PekanbaRuko, sebuah rangkaian pameran dan dialog serta edukasi melalui unjuk-karya para seniman kartun Riau yang tergabung dalam Sikari. Kegiatan senirupa yang satu ini memang mulai bergairah di Riau dan diharapkan Anugerah Sagang dapat lebih memicu dan memacu kreativitas di bidang ini. Sedangkan kategori Institusi/Lembaga Seni Budaya Pilihan Sagang, tim penilai memilih "Sanggar Bathin Galang" dari Desa Bokor, Kecamatan Rangsang Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti sebagai penerima anugerah. Satu-satunya nominator dari luar Pekanbaru ini, ternyata sudah tiga

halaman 63


kali berturut-turut menjadi nominator untuk kategori ini. Sanggar seni ini tunak dalam mengangkat hal-hal yang benarbenar unik dari daerah, namun memiliki getaran yang kuat dalam aktivitasnya, menjangkau jauh ke luar desanya. Sedangkan Anugerah Serantau, tim penilai memilih karya buku Sejarah Melayu karya Dr Ahmad Dahlan, Batam. Ini bukan sesuatu yang baru, jika penerima Anugerah Serantau Pilihan Sagang jatuh kepada non-person. Untuk kategori ini, sebelumnya Anugerah Sagang pernah diberikan kepada Yayasan Panggung Melayu (Jakarta) dan Surya TV (Singapura). Pada penganugerahan kali kedua ini, setelah yang pertama tahun 2010 lalu, Anugerah Sagang Kencana akan diberikan kepada lima seniman/ budayawan yakni

Dukacita

Pimpinan dan Karyawan

Turut berdukacita atas meninggalnya:

Drs. H Yuzamri Yakub MPd. (62 tahun) Pengurus Dewan Kesenian Riau Periode 1998 - 2001 Selasa 6 Oktober 2015, 08.20 WIB, di Rumah-sakit Pertamina, Dumai

1. Ibrahim Sattah (Alm) Sastrawan

Semoga Almarhum diterima di sisi Allah SWT dan keluarga yang ditinggalkan tabah menerima cobaan ini. Amin.

2. Umar Umayyah Ali (Alm) Koreografer 3. dr H Tabrani Rab Budayawan 4. drh Chaidir Budayawan 5. Eri Syahrial (Eri Bob) Musisi *** Riaupos.co

halaman 64


halaman lxv


halaman lxvi


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.