Edisi209

Page 1

Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)

Seks dan Seksualitas Esei: SENI-RUPA MEN-DIALOG-KAN MAKNA oleh Dantje S Moeis Cerita-Pendek Terjemahan: Seorang

Kakek Tua yang Punya Sayap Sangat Besar oleh Gabriel Garcia

Marquez Cerita-Pendek: Rakkeso oleh

Budi Hatees, Aku

(Indonesia) yang Malang oleh Dantje S Moeis

Sajak: A. Warits

Rovi, Saiful Anam Assyaibani, Usman Awang Rehal: Orhan Pamuk di Balik Keheningan Salju

209

l

FEBRUARI 2016

www.majalahsagang.co.id

Cerita-Pendek Mini: Sepenggal

Dongeng Franz Ka!a

halaman hala ha lama la man ma n KU KULITi KULI LITi LI Ti


UU Hamidy

Naskah Melayu Kuno Daerah Riau Besarnya jumlah naskah kuno di dearah Riau telah menggoda perhatian beberapa pihak. Pihak Belanda sendiri seperti H.C. Klinkert pernah tinggal di Riau 2,5 tahun, dan berhasil mendapatkan manuskrip lebih dari 90 buah. Demikian juga perhatian Van de Wall dan Van Eisinga. ...

Harga : Rp.

65.000

Merindu Tunjuk Ajar Melayu Kumpulan Esai Pilihan Riau Pos 2015 ...orang Melayu masih tetap merindukan katakata yang terlontar langsung dari bibir Tenas Effendy. Tak sekadar hanya mengenang, orang Melayu merindukannya dengan segenap jiwa. Tapi semua itu tak mungkin bisa berulang. Perputaran jarum jam tetap sama, tapi waktu tak akan dapat berulang.

Harga : Rp.

45.000

Pelabuhan Merah Kumpulan Puisi Pilihan Riau Pos 2015 .... Dan yang bangkit, yang terbit setiap hari dari kedalaman itu, adalah juga matahari yang membawa cahaya yang lain itu. Matahari boleh sama, tapi cahayanya setiap hari b oleh jadi baru.....

Harga : Rp.

30.000

Tersedia di Toko Buku Sagang Alamat Gedung Graha Pena Riau - Riau Pos Group, Lantai 1 halaman KULITii Jl. H.R. Soebrantas, Km 10,5 Panam - Pekanbaru. Email: umumsagang@yahoo.co.id

B S


DAFTAR ISI

Penerbit: PT. Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Graha Pena Riau, Lantai 8 Jalan H.R Soebrantas KM 10,5 Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810 Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.co.id e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 209 l FEBRUARI 2016 l tahun XVIII

n Seks dan Seksualitas ...................... 2 n Esei SENI-RUPA MEN-DIALOG-KAN MAKNA oleh Dantje S Moeis .............. 4 n Cerita-Pendek Terjemahan Seorang Kakek Tua yang Punya Sayap Sangat Besar oleh Gabriel Garcia Marquez ............... 8 n Cerita-Pendek - Rakkeso oleh Budi Hatees ..................16 - Aku (Indonesia) yang Malang oleh Dantje S Moeis ........................... 25 n Sajak - A. Warits Rovi .....................................31 - Saiful Anam Assyaibani ..................... 37 - Usman Awang .................................... 45 n Rehal Orhan Pamuk di Balik Keheningan Salju.................. 58

Penampilan Mahasiswa FKIP Unri (UKM Batra), pada acara Madah Poedjangga 28 November 2015. Foto Arif

n Cerita-Pendek Mini Sepenggal Dongeng Franz Kafka ........ 63

Perintis: Rida K Liamsi l General Manager: Armawi KH l Wakil General Manager: Kazzaini Ks l Pimpinan Perusahaan: Mega Setara lPimpinan Redaksi: Kazzaini Ks lRedaktur: Armawi KH, Kazzaini Ks, Eriyanto Hady, Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Sutrianto l Pra cetak: Rudi Yulisman l Ilustrator Tetap: Purwanto l Manager Keuangan: Erda YulďŹ . Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@ yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


Tajuk

Seks dan Seksualitas

ANYA ANYAK terjadi salah pengertian tentang makna kata “seks” dan tentan “seksualitas”. Menurut pengertian “seksu PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), “Seks” adalah perbedaan badani atau biologis perempuan dan laki-laki, yang sering disebut jenis kelamin (Ing: sex). Sedangkan “seksualitas” menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas, yaitu dimensi biologis, sosial, psikologis, dan kultural. Seksualitas dari dimensi biologis berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin, termasuk bagaimana menjaga kesehatan dan memfungsikan secara optimal organ reproduksi dan dorongan seksual. Seksualitas dari dimensi psikologis erat kaitannya dengan bagaimana menjalankan fungsi sebagai makhluk seksual, identitas peran atau jenis, serta bagaimana dinamika aspek-aspek psikologis (kognisi, emosi, motivasi, perilaku) terhadap seksualitas

halaman 2

itu sendiri. Dari dimensi sosial, seksualitas dilihat pada bagaimana seksualitas muncul dalam hubungan antar manusia, bagaimana pengaruh lingkungan dalam membentuk pandangan tentang seksualitas yang akhirnya membentuk perilaku seksual. Dimensi kultural menunjukkan perilaku seks menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat. Selain pengertian “seks” dan “seksualitas” secara umum, Jean Baudrillard (lahir di Reims, 20 Juni 1929-meninggal-dunia di Paris, 5 Maret 20017); pakar teori kebudayaan, filsuf, komentator politik, sosiolog, dan fotografer asal Perancis) membahas tentang “seks” dan “seksualitas” dari sudut pandang filsafat, kultural dan sosiologi. Menurut Baudrillard, “Kenikmatan seksual (sesat atau tidak) selalu dimediasi oleh perangkat teknis, dengan proses mekanis, benda nyata, tetapi paling sering fantasi; selalu melibatkan manipulasi


perantara adegan atau gadget. Kenikmatan seksual hanya klimaks; dengan kata lain, ia beroperasi pada panjang gelombang yang sama seperti kekerasan dari perangkat teknis; keduanya dihomogenisasi dengan teknologi dan dikemas menjadi satu objek.” Untuk lebih jelasnya tentang pembahasan “seksual” yang “dikupas” secara ilmu filsafat oleh Baudrillard, dapat dibaca bukunya yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Berahi”, yang diterbitkan oleh Bentang Budaya, 2000. Saya mempunyai buku ini yang kemudian saya pinjamkan kepada seorang sahabat saya. Saya tanyakan kepada kawan saya itu, “Apakah sudah mengerti apa yang ditulis oleh Jean Baudrillard tersebut dalam buku “Berahi” itu?” Kawan saya itu pada mulanya tidak menjawab pertanyaan saya, tetapi saya mengerti. Saya katakan kepada kawan saya itu bahwa, membaca buku seperti buku “Berahi” ini sama dengan membaca buku tasawuf atau belajar ilmu suluk, terasa ada namun tidak terkatakan. Kawan saya itu kemudian menggangguk dan kemudian mulai berbual-bual panjang-lebar. Barangkali, suatu hari, kalau mempunyai duit yang banyak, saya hendak mengajak kawan-kawan untuk membahas “seks” dan “seksualitas” dari segala sudut pandang, misalnya saja, ketika Derrida juga menyebut teori phallogosentrisme, yang memperlihatkan bahwa di samping logosentrisme, tradisi pemikiran Barat ini juga mengidap phallosentrisme. Phallus (yang berarti kelamin-kelamin lakilaki) mengeram sebagai pusat aturan simbolik (symbolic order), dan karena itu kemudian juga memasuki bahasa sebagai struktur, sehingga tradisi berpikir yang dimungkinkannya lalu sangat bias jender, sangat male dominated. Laki-laki dipersepsi

dan mempersepsi diri sebagai pemilik phallus dan karena itu berada di pusat aturan, sementara sebaliknya perempuan dipersepsi dan mempersepsi diri berada di luar pusat aturan (Budiarto Danujaya, 2004). Bingungkan? Jadi, mari berdiskusi tentang “seks” dan “seksualitas, tidak dari sudut perlakuan seks itu sendiri, tetapi menjadikannya, mungkin, menjadi karya puisi, ceritapendek, novel, tari, teater, lukis, dan musik. Kapan ya? ***

,

halaman 3


Esei

SENI-RUPA MEN-DIALOG-KAN MAKNA oleh Dantje

ada setiap pameran seni rupa. Perupa yang memamerkan karya Peru selalu men mendapat tugas tambahan yang sebenarnya tak perlu untuk memenuhi (seakan) tugas tersebut. Sebenarnya tugas kreator (perupa) sudah selesai ketika karya yang digarapnya dia nyatakan selesai pula. Apalagi karya tersebut sudah pula ia pamerkan dan menjadi konsumsi masyarakat untuk dinikmati, dinilai, diamati atau dimaknai. Di dalam “The Death of The Author” esainya Roland Barthes, ia mengatakan mengenai pengaruh teks (dalam konteks

halaman 4

S Moeis

ini, “teks” saya maknai sebagai karya seni rupa) di dalam penciptaan makna. Karya seni rupa adalah pribadi karya tersebut yang berbicara dan bukan pencipta yang berbicara kepada pemerhati. Sehingga dengan demikian karya seni rupa lah yang sedang berbicara yang berkomunikasi kepada pemerhatinya. Oleh sebab itulah setiap pemerhati ketika memaknai sebuah karya seni rupa, tidaklah sedang berinteraksi dengan perupa penciptanya namun sedang menjalin hubungan dengan karya yang sedang dimaknainya. Karya seni rupa muncul di hadapan pemerhati dalam bentuk


seperangkat kode yang mengajak setiap pemerhati untuk bermain-main dengannya di dalam membangun penafsiran. Perupa pencipta tidak hadir di dalam permainan intim ini sebab perupa pencipta “sudah matiâ€? ketika permainan keduanya, karya seni rupa dan pemerhati, sedang berlangsung. Lazim dikenal ada dua cara yang dilakukan karya seni-rupa ketika ia mendialog-kan makna, secara denotatif (yang menunjukkan/yang tampak) dan secara konotatif (makna tambahan/terselubung). Sama seperti pada bahasa tulis, tapi dengan ukuran lebih tinggi, sebuah imajinasi seni-rupa memiliki makna denotatif, dia adalah sebagaimana apa adanya dan kita seakan tidak perlu berusaha keras dan memaksakan diri untuk mengenalinya. Faktor ini kelihatan sederhana sekali, namun tidak dapat diremehkan: di sini letak kekuatan besar dari seni-rupa. Karena seni-rupa dapat memberikan kita sesuatu yang mirip atau dekat sekali dengan kenyataan, ia dapat men-dialog-kan pengetahuan yang tepat teliti yang jarang bisa dilakukan oleh bahasa tulisan ataupun lisan. Sistem-sistem bahasa mungkin berkemampuan untuk mengemukakan dunia ide dan abstraksi yang tidak konkrit, tapi sistem bahasa tidak begitu sanggup untuk menyampaikan terinci tepat tentang realita-realita ďŹ sik. Perihal sesuatu yang bersifat konotatif, makna tambahan atau terselubung pada sebuah karya seni rupa, yang disampaikan kreator melalui tanda-tanda atau kode, Roland Barthes dalam bukunya mengelompokkan kode-kode tersebut menjadi lima kisi-kisi kode, yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kebudayaan.

Kode Hermeneutik, yaitu artikulasi berbagai cara pertanyaan, teka-teki, respons, misteri, penangguhan jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan kata lain, Kode Hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda jawaban lain. Kode Semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas, maskulinitas. Atau dengan kata lain Kode Semantik adalah tanda-tanda yang yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, loyalitas. Kode Simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur, skizofrenia. Kode Narasi atau Proairetik yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi. Kode Kebudayaan atau Kultural, yaitu suara-suara yang bersifat kolektif, anomin, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, legenda. Kita semua seringkali menggunakan makna tetapi sering kali pula kita tidak memikirkan makna itu. Ketika kita masuk ke dalam sebuah aula yang penuh sesak dengan manusia, di sana muncul sebuah makna. Seseorang sedang berbaring bersandar di pangkal sebatamg pohon rindang dengan mata tertutup dan kita mengartikan bahwa ia sedang terlelap tidur atau kelelahan atau dalam kondisi pingsan, atau boleh jadi sedang menjalankan tugas intelijen, mengamati keadaan seputar memperhatikan hal-hal halaman 5


yang mencurigakan. Seseorang tersenyum simpul menerima kehadiran kita dan kita mencari makna; apakah ia sinis menerima kedatangan kita atau ada sesuatu yang mengingatkan dia pada peristiwa kita dan dia di waktu lalu? Seorang ibu memanggil anaknya dengan suara keras, apakah sang ibu bersiap memarahi atau mengingatkan akan sesuatu. Makna dalam satu bentuk atau bentuk lainnya, menyampaikan pengalaman sebagian besar umat manusia di semua masyarakat. Yang disebut makna menurut Saussure (Ferdinand de Saussure. Jenewa, 1857– Vufflens-le-Château, 1913 adalah linguis Swedia yang dipandang sebagai salah satu Bapak Linguistik Modern dan semiotika/ semantikos/semainein) tidak dapat ditemukan pada unsur itu sendiri, melainkan pada keterkaitannya dengan unsur lain. Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol mengacu pendapat James P. Spradley (19331982) adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur: pertama, simbol itu sendiri. Kedua, satu rujukan atau lebih. Ketiga, hubungan antar simbol dengan rujukan. Semuanya itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu, simbol sendiri meliputi apapun yang dapat kita rasakan atau alami. Menggigil bisa diartikan dan dapat pula menjadi simbol kedinginan, takut, kegembiraan atau menahan emosi. Meremasremas sesuatu tanpa sadar, mengerdipkan mata, menganggukkan kepala, menundukkan tubuh, atau melakukan gerakan lain yang memungkinkan, semuanya dapat merupakan simbol. Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas

halaman 6

lingkup makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif. Makna denotatif meliputi hal-hal yaitu mencatat semua tanda visual yang ada. Misalnya, ada gambar manusia, binatang, pohon, rumah. Warnanya juga dicatat, seperti merah, kuning, biru, putih, dan sebagainya. Pada tahapan ini hanya informasi data yang disampaikan. Sementara Saussure mengidentifikasikan makna denotatif sebagai makna-makna yang dapat dipelajari pada fisik benda-benda (prinsip anatomis, material, fungsional). Makna konotatif meliputi semua signifikansi sugestif dari simbol yang lebih daripada arti referensialnya. Dalam tahapan konotatif, kita membaca yang tersirat. Contohnya, gambar wajah orang tersenyum, dapat diartikan sebagai suatu keramahan, kebahagiaan. Tetapi sebaliknya, bisa saja tersenyum diartikan sebagai ekspresi penghinaan terhadap seseorang. Untuk memahami makna konotatif, maka unsur-unsur yang lain harus dipahami pula. Sedangkan catatan Saussure menyebutkan bahwa makna konotatif adalah maknamakna lebih dalam (idiologis, mitologis, teologis) yang melatari bentuk-bentuk fisik. Dalam teori semiotika iklan menganut prinsip peminjaman tanda sekaligus peminjaman kode sosial. Misalnya, iklan yang menghadirkan bintang film terkenal, figur bintang film tersebut dipinjam mitosnya, idiologinya, Image-nya, dan sifatsifat glamour dari bintang film tersebut. Jika dipertimbangkan kualitas denotatif imaji seni-rupa sangat kuat, maka menarik sekali untuk mengetahui bahwa kemampuan konotatif ini juga merupakan bagian dari bahasa seni-rupa. Nyatanya,


sebagian besar dari kemampuan itu berasal dari kesanggupan denotatif seni-rupa. Senirupa dapat menyadap segala macam efek dari seni-seni lainnya, semata-mata karena ia dapat merekamnya. Dengan demikian, maka semua faktor konotatif dari bahasa lisan dapat dimasukkan ke dalam sebuah jalur penyampaian seni-rupa, sedangkan konotasi dari bahasa tulisan dapat dimasukkan ke dalam judul karya. Konon seni-rupa merupakan produk kebudayaan, maka ia memiliki gema yang melampaui apa yang disebut ahli semiologi diegesis-nya yaitu jumlah denotasinya. Orang-orang tradisional tercatat sebagai orang yang berkemampuan mengagumkan dalam pembacaan makna. Para pelaut dalam mengamati alam secara tampak sekaligus mampu memaknai kondisi alam yang terselubung di balik keadaan yang tampak. Dengan melihat langit mereka membaca cuaca yang akan tiba, melihat bintang mereka membaca arah, melihat riak ombak dilautan mereka membaca keadaan yang akan di hadapi dan seterusnya, dan tentu saja ketika penyuka senirupa berdepan-depan dengan sebuah karya seni rupa, akan mendapat apa-apa (makna, makna) yang ada disebalik karya yang ditatap. Namun untuk itu diperlukan bekal ilmu yang bisa didapat dari memperbanyak dialog dengan para sesama penyuka, pemerhati seni rupa dan tentu juga mengasah Intuisi agar berkemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Sepertinya pemahaman itu tiba-tiba saja datang dari dunia lain dan di luar kesadaran. Mudahmudahan, dengan sedikit penjelasan sederhana yang penulis sampaikan di atas, dapat membantu para calon penulis resensi pada sebuah peristiwa seni rupa, bedah

karya, penyuka sekaligus pemakna senirupa, untuk memaknai sebuah karya seni rupa yang ditatapnya melalui sudut pandang yang masing-masing bebas namun berisi argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan, dan otomatis akan lebih memperkaya makna dari sebuah karya seni rupa itu sendiri. Begitu juga, dengan adanya kesempatan yang diberikan kepada para pemerhati untuk masing-masing memaknai yang berarti tidak lagi memikulkan beban tanggung-jawab pemaknaan kepada “hanya� seorang kreator yang sudah menyelesaikan tugas kesenimanan-nya. Kecuali ketika ia mendapat tugas rangkap menjadi pengajar, formal maupun tidak formal. ***

,

halaman 7


Cerita-Pendek Terjemahan

Seorang Kakek Tua Yang Punya Sayap Sangat Besar oleh

halaman 8

Gabriel Garcia Marquez


aat hujan menginjak hari ketiga, mereka sudah membunuh banyak sekali kepiting yang masuk kedalam rumah hingga bany Pelayo harus menyeberangi halaman rumahnya yang becek Pela untuk membuang bangkai-bangkai kepiting ke laut karena anaknya yang baru lahir sakit panas semalam suntuk dan mereka pikir sakitnya disebabkan oleh bau busuk bangkai-bangkai kepiting tersebut. Dunia terasa muram sejak hari Selasa. Laut dan langit menyatu dan warnanya abu-abu. Pasir pantai, yang di malam-malam bulan Maret gemerlap seperti tepung cahaya, kini kelihatan seperti bubur lumpur campur kerang busuk. Walau disiang hari cahaya mentari sangat pudar hingga Pelayo tak tahu pasti apa yang sedang menggeliat-geliat dan mengerang-erang di belakang rumahnya. Pelayo harus melihat dari sangat dekat supaya tahu kalau itu adalah seorang kakek tua yang telungkup di lumpur dan tak bisa bangun walau berusaha sekeraskerasnya karena tak kuat mengangkat sayapnya yang sangat besar. Seperti melihat mimpi buruk, Pelayo dicekam takut dan buruburu pulang mencari Elisenda—istrinya—yang saat itu sedang mengompres anaknya yang sakit panas dan mengajaknya ke halaman belakang. Berdua mereka bingung melihat sesosok tubuh tergolek tanpa daya. Bajunya kumal seperti jembel. Kepalanya hampir gundul, cuma punya segelintir uban dan sedikit gigi. Dalam kuyup dan nestapa seperti ini, kakek tua itu seperti tak pernah punya keagungan apapun. Sayapnya besar seperti elang tapi dekil, setengah gundul dan sepertinya bakal jadi gimbal selama-lamanya karena lumuran lumpur. Mereka mengamatinya sangat lama dan seksama sehingga mereka tak terkejut lagi dan kemudian terbiasa dengannya. Saat diajak bicara, kakek tua itu menjawab dengan bahasa yang asing dan suaranya lantang seperti seorang pelaut. Dan kemudian mereka tak lagi merisaukan sayap yang tak sedap dipandang mata itu dan dengan cerdasnya menyimpulkan bahwa ia adalah satu-satunya korban selamat yang terdampar dari kapal asing yang hancur diterjang badai. Walau sudah punya kesimpulan, tetap saja mereka memanggil seorang tetangga bijak yang tahu segala sesuatu tentang hidup dan mati untuk datang melihatnya. Hanya sekali pandang perempuan itu tahu kalau Pelayo dan istrinya salah duga. “Dia itu malaikat,” katanya. “Sepertinya ia datang kemari untuk mengunjungi anakmu, tapi malaikat malang ini sudah sangat tua hingga angin pun bisa membuatnya jatuh.” Keesokan hari semua orang sudah mendengar berita tentang seorang malaikat berdarah dan berdaging tertangkap di rumah Pelayo. Tapi, tak seperti jalan pikiran si tetangga bijak yang menganggap

halaman 9


malaikat adalah buronan yang lari dari surga karena sudah berbuat salah, Pelayo dan istrinya tak punya hati untuk mementungi malaikat itu sampai mati. Dari siang sampai malam, bersenjatakan pentungan, Pelayo mengawasi malaikat itu dari dalam dapur dan sebelum tidur Pelayo menariknya dari kubangan lumpur lalu menguncinya dalam kandang ayam. Sampai tengah malam, walau hujan reda, Pelayo dan istrinya masih terus membunuhi kepiting-kepiting. Namun, tak lama sesudah itu, si anak bangun tanpa demam tapi justru dengan nafsu makan. Mereka merasa lapang dada dan memutuskan untuk menaruh si malaikat di sebuah sampan bersama dengan bekal makanan dan air untuk 3 hari dan menyerahkan nasibnya kepada lautan bebas. Tapi saat fajar merekah, mereka justru mendapati semua tetangga berdiri di sekeliling kandang ayam bersukaria menonton malaikat. Tanpa rasa hormat sedikitpun mereka melempar-lemparkan makanan dari sela-sela pagar kawat seolah itu adalah binatang sirkus, bukan seorang mahluk gaib. Jam tujuh pagi Romo Gonzaga datang karena kaget mendengar berita aneh tersebut. Saat itu penonton sudah tak sekurang-ajar seperti yang datang saat fajar dan mereka sedang mereka-reka masa depan bagi malaikat tangkapan tersebut. Yang pikirannya sederhana merasa ia harus dinobatkan jadi pemimpin dunia. Yang pikirannya berangasan berpikir kalau ia musti diangkat jadi jendral bintang 5 untuk memimpin dan memenangkan semua perang. Yang suka berkhayal ingin ia dijadikan pejantan untuk mengembang-biakkan ras manusia cerdas dan bersayap yang bisa memimpin jagad raya. Tapi sebelum akhirnya memilih jadi pendeta, Romo Gonzaga adalah penebang kayu nan gagah perkasa. Sesampai di pintu kandang, Romo Gonzaga mengeluarkan buku katekis, membacanya sebentar lalu meminta Pelayo membuka pintu kandang supaya ia bisa lebih jelas melihat si malaikat malang yang kini tampak seperti ayam betina tua raksasa dan dikerubuti ayam-ayam lain yang terkesima. Ia tiduran di pojok kandang sambil membuka sayap lebar-lebar supaya kering dijemur matahari diantara kulit-kulit buah dan sisa makanan yang dilempar-lemparkan oleh penonton yang datang saat fajar. Tak sadar kalau dunia memperlakukan dirinya secara kurang ajar, ia hanya membuka mata dan bergumam tak jelas dengan bahasanya yang asing saat Romo Gonzaga masuk kedalam kandang dan mengucapkan selamat pagi dalam bahasa latin. Pendeta kampung itu mulai merasa curiga sedang menghadapi seorang penipu saat melihat malaikat itu tak tahu bahasa tuhan ataupun sopan santun menyapa pelayan tuhan. Lalu dari dekat ia melihat bahwa malaikat itu sangat

halaman 10


manusia sekali. Baunya tak sedap karena belum mandi, sayapnya bertabur kutu, bulu-bulunya kusut tak karuan karena tiupan angin darat dan ia pun tak tampak mengesankan sebagaimana mestinya seorang malaikat. Lalu Romo Gonzaga keluar kandang dan memberi khotbah pendek pada kerumunan penonton tentang bahayanya menjadi lugu. Romo Gonzaga juga mengingatkan bahwa iblis sering menggunakan tipuan sulap untuk menyesatkan manusia-manusia yang tak waspada. Romo berpendapat kalau sayap bukan faktor utama yang membedakan elang dengan pesawat terbang apalagi untuk menentukan seseorang adalah malaikat atau bukan. Walau begitu ia berjanji untuk menulis surat kepada Uskup supaya Uskup menulis surat kepada Uskup Agung supaya Uskup Agung menulis surat kepada Sri Paus supaya otoritas tertinggi bisa membuat keputusan. Sikap-hati-hatinya lahir dari hati yang tulus. Berita tentang seorang malaikat tertangkap di rumah Pelayo menyebar sangat cepat hingga dalam hitungan jam saja halaman rumah Pelayo sudah ramai seperti pasar dan mau tak mau mereka memanggil aparat bersenjata untuk membubarkan massa yang hampir saja membuat rumah mereka rubuh. Elisenda yang punggungnya encok karena harus menyapu sampah menggunung punya pikiran untuk memasang pagar dan meminta bayaran 5 sen kepada setiap orang yang mau melihat malaikat. Dari jauh pun orang-orang berdatangan mau menonton malaikat. Sebuah rombongan sirkus keliling mampir ke kota itu dan menggelar pertunjukan manusia terbang. Namun tak ada yang perduli karena sayap-sayap mereka tak seperti sayapnya malaikat tapi justru mirip dengan sayap kalelawar dari dunia lain. Orangorang malang paling cacat sedunia berdatangan untuk meminta kesembuhan. Seorang perempuan miskin yang sejak kecil selalu menghitung detak jantungnya dan kini tak bisa menghitungnya lagi karena detaknya bertambah banyak dan banyak dan tak mungkin bisa dihitung lagi, seorang portugis yang tak bisa tidur karena setiap malam diganggu suara bintang-bintang, seorang lelaki yang jika tidur malam akan ngelindur dan mengembalikan setiap hal yang ia lakukan di siang hari, dan banyak penyakit-penyakit lain. Dalam kekacau-balauan yang mengguncang dunia tersebut, Pelayo dan Elisenda merasa capek tapi bahagia karena belum genap seminggu kamar mereka sudah penuh dengan uang sementara peziarah masih mengantri sejauh mata memantang. Hanya malaikat sendiri yang tak ikut heboh. Ia justru sibuk mencari cara supaya nyaman di

halaman 11


kandang tumpangan karena sengsara akibat panas bak neraka yang dihasilkan lampu-lampu minyak dan lilin yang dipasang berjajarjajar di sepanjang pagar kawat. Pada mulanya mereka menyuguhkan kapur barus karena, menurut sang tetangga bijak, itulah makanan bagi para malaikat. Tapi si malaikat menampiknya sama seperti ia menampik makanan-makanan kesukaan Sri Paus yang disugukan oleh para pendosa yang mencari pertobatan. Tapi tak ada yang tahu apakah karena ia malaikat ataukah ia terlalu tua hingga pada akhirnya ia cuma mau makan bubur terong. Satu-satunya mukjizat yang ia miliki adalah kesabaran, khususnya saat hari-hari pertama ketika ayam-ayam mematuki kutu-kutu gemuk yang beranak-pinak di sayapnya dan ketika orang-orang cacat mencabuti bulu-bulunya untuk diusap-usapkan ke anggota badan mereka yang cacat. Orangorang paling baik hati pun melemparinya dengan batu supaya mereka bisa melihatnya berdiri. Walau begitu, mereka hanya bisa sekali saja melihatnya berdiri ketika mereka menyundut punggungnya dengan besi panas yang biasa dipakai untuk mencap sapi karena ia tak bergerak sedikitpun selama berjam-jam hingga mereka mengira ia sudah mati. Ia cuma berdiri kaget, mengomel panjang-pendek dalam bahasa hermetisnya, mencucurkan air mata dan mengepak-ngepakkan sayap beberapa kali yang membuat tai ayam dan debu bulan berterbangan dan menimbulkan badai kepanikan yang seolah bukan berasal dari dunia ini. Meski banyak yang menduga kalau reaksinya karena sakit, bukan karena marah, sejak saat itu mereka tak lagi sembarangan mengganggunya karena mereka sebagian besar sadar kalau sikap diamnya bukanlah sikap seorang jagoan yang sedang sabar menahan amarah, tapi adalah bencana yang sedang menunggu waktu untuk meletus. Romo Gonzaga meredam kekurang-ajaran penonton dengan cara yang dianjurkan oleh pembantu rumah tangganya sambil menunggu kesimpulan akhir tentang sifat dari mahluk tangkapan tersebut. Namun, surat-surat dari Roma tak menunjukkan perhatian serius. Surat-surat itu lebih banyak menanyakan apakah si tangkapan tersebut punya pusar atau tidak, apakah bahasa yang ia pakai ada hubungannya dengan bahasa aramaik, berapa kali ia bisa memasukkan benang ke dalam jarum atau apakah ia cuma seorang kakek tua dari Norwegia yang punya sayap. Surat-surat tak serius itu akan datang dan pergi sampai kiamat datang andai saja suatu peristiwa yang digariskan oleh tuhan tidak mengakhiri penderitaan sang pendeta. Dari beraneka-macam sirkus keliling yang mampir ke kota itu, kebetulan ada yang memamerkan seorang perempuan yang dikutuk jadi laba-laba akibat durhaka pada orang tuanya.

halaman 12


Selain ongkosnya lebih murah daripada ongkos menonton malaikat, penonton juga bisa bertanya apapun tentang wujudnya yang aneh itu atau memeriksa dari ujung kepala hingga ujung kaki supaya yakin dengan kebenaran dari cerita ngeri tersebut. Ia adalah tarantula seram sebesar kambing berkepala gadis perawan yang selalu bersedih. Yang menyentuh hati bukanlah wujudnya yang mengerikan itu tapi duka nestapa nan tulus saat ia menuturkan rincian nasib malangnya. Saat masih kecil, tanpa sepengetahuan orang tuanya, diam-diam ia pergi ke suatu pesta dansa dan dalam perjalanan pulang melintasi hutan lebat selarik kilat yang menakutkan membelah langit. Dari rekahan itu melompatlah sebuah batu neraka yang selanjutnya mengubah dirinya jadi tarantula. Sekarang ia cuma bisa makan bakso daging yang disuapkan oleh orang-orang iba dan berhati mulia. Tontonan seperti itu—penuh dengan kenyataan hidup dan hikmah menakutkan—sudah tentu lebih menarik daripada malaikat sombong yang jarang-jarang mau melirik kearah manusia fana. Apalagi segelintir mukjizat yang ditunjukkan si malaikat malah terasa seperti kesintingan, misalnya orang buta yang tak dapat melihat lagi tapi malah punya tiga gigi baru atau orang lumpuh yang tidak dapat jalan kembali tapi malah hampir menang lotre atau penderita kusta yang boroknya ditumbuhi bunga matahari. Mukjizat yang tak tepat sasaran itu malah jadi lelucon dan menggerogoti reputasi malaikat sedangkan kehadiran wanita tarantula tersebut menghancurkannya hingga tak tersisa. Begitulah bagaimana Romo Gonzaga bisa sembuh total dari penyakit imsomnia dan halaman rumah Pelayo kembali sepi seperti saat hujan turun 3 hari tanpa henti dan kepiting-kepiting masuk ke dalam kamar tidur. Namun demikian, si empunya rumah tak punya alasan untuk bersedih. Dari uang yang terkumpul, mereka bisa membangun rumah bertingkat yang dilengkapi dengan balkon dan taman dan berpagar jaring yang tinggi supaya kepiting tak bisa masuk di musim dingin dan teralis besi supaya si malaikat tak bisa masuk rumah. Pelayo juga mendirikan peternakan kelinci di pinggiran kota dan pensiun dini dari perkerjaannya sebagai hansip. Sementara itu, Elisenda membeli sepatu-sepatu satin tumit tinggi serta baju-baju sutra mengkilat yang biasa dipakai di hari minggu oleh perempuan-perempuan tercantik di kota itu pada jaman itu. Cuma kandang ayam saja yang tak mendapat perhatian. Mereka memang rutin menyiram kandang dengan kreolin atau membakar dupa di dekat kandang, tapi itu bukan untuk menghormati si malaikat tapi untuk mengusir bau tai yang masih terbang kemana-mana seperti hantu dan membuat rumah baru terasa

halaman 13


seperti rumah yang dulu. Pada mulanya, waktu anak Pelayo belajar berjalan, mereka menjaganya supaya tidak mendekat ke kandang ayam. Tapi ketika mereka sudah tak takut lagi dengan malaikat dan sudah kebal dengan baunya dan sebelum si anak punya gigi kedua dan saat pagar kawat hancur tak berbentuk, si anak sudah berkeliaran di dalam kandang. Kepada si bocah, si malaikat sama tak acuhnya dengan semua manusia fana lainnya. Namun si malaikat pun penuh tenggang rasa menerima pelecehan-pelecehan dari anak paling lugu sedunia bagaikan seekor anjing yang sabar dan tak punya pikiran. Mereka sama-sama terjangkit cacar air. Dokter yang merawat si anak tak kuat menahan godaan untuk memeriksa detak jantung si malaikat dan ia mendengar sangat banyak sekali suara-suara mendesing di jantung dan di ginjal si malaikat seolah-olah malaikat itu mustahil hidup dalam kondisi seperti itu. Tapi yang paling mengejutkan adalah logika dari sayapnya. Sayap-sayap itu tampak sangat alami dan ada pada organisme yang sangat manusia sekali hingga sang dokter tak tahu kenapa manusiamanusia lainnya tak bisa punya sayap seperti itu. Saat si anak mulai sekolah, setelah kandang ayam rubuh didera hujan dan panas, si malaikat mulai berjalan terseok-seok kesanakemari seperti jembel tua yang siap mati sewaktu-waktu. Satu saat mereka menghalaunya dengan sapu supaya pergi dari kamar tidur tapi sesaat kemudian mereka sudah melihatnya ada di dapur. Ia seperti ada di berbagai tempat pada waktu yang sama hingga mereka mengira ia sudah berkembang-biak di setiap jengkal rumah. Elisenda yang jengkel dan hilang kesabaran menjerit bahwa sungguh sengsara rasanya hidup di neraka yang penuh dengan malaikat. Si malaikat sendiri kuat jarang makan dan matanya sangat lamur hingga sering ia menabrak tiang. Yang tersisa dari dirinya hanyalah selembar bulu telanjang yang tinggal tulangnya saja. Pelayo berbaik hati memberinya selimut dan membiarkannya tidur di gudang reot di belakang rumah. Baru saat itu mereka tahu bila malam tiba badannya panas dan ia meracau tak tentu suara seperti seorang kakek tua dari Norwegia. Jarang-jarang mereka takut seperti yang mereka rasakan saat itu, takut kalau si malaikat akan mati sementara tetangga bijak pun tak tahu bagaimana cara mengurus jenazah malaikat. Tapi selain lulus dari musim dingin paling bengis yang pernah ia temui, ia pun nampak seperti tumbuh dan berkembang saat musim panas datang. Ia diam tak bergerak di pojok halaman yang paling jauh dari pengamatan orang dan saat bulan Desember datang, beberapa lembar bulu kaku dan besar mulai tumbuh di dua sayapnya. Bulu-

halaman 14


bulu itu bagaikan derita baru yang menambah deritanya menjadi tua. Tapi sepertinya ia tahu kemana arah perubahan itu karena sesudah itu ia bersikap hati-hati supaya tak ada yang memperhatikannya, supaya tak ada yang mendengar kidung laut yang sesekali ia senandungkan di bawah sinar bintang-bintang. Suatu pagi, saat Elisenda sedang mencincang bawang untuk membuat sarapan, angin yang sepertinya datang dari laut bertiup ke dalam dapur. Pelayo pergi ke jendela dan melihat si malaikat sedang mengambil ancang-ancang untuk terbang. Ayunan sayapnya sangat payah hingga ia harus melompat-lompat dan kuku kakinya mencakari petakan tanah yang ditanami sayuran supaya bisa lepas landas dan terbang walau tidak menentu. Silau dengan sinar matahari, sesaat ia lupa mengayun sayap dan kehilangan pijakan di udara dan hampir jatuh menimpa gudang dan membuatnya rubuh. Tapi entah bagaimana ia bisa terbang lagi dan lebih tinggi. Elisenda bernafas lega untuk dirinya sendiri dan untuk si malaikat saat melihatnya terbang melampaui rumah paling ujung, terbang dengan kepak sayap elang pikun. Elisenda mengawasinya. Bahkan ketika selesai mencincang bawang Elisenda pun terus mengawasinya hingga tak bisa lagi melihatnya karena si malaikat itu bukan lagi gangguan dalam hidupnya tapi sebuah bintik imajiner di cakrawala. ***

Diterjemahkan oleh M. Z.

Faizal Riza,

dari judul A very oldman with enormous wings.

,

halaman 15


Cerita-Pendek

Rakkeso Oleh Budi

Hatees

isah yang aku dengar ini tidak masuk akal, tapi aku tidak mungkin mengabaikannya begitu saja. Seorang peneli peneliti benda-benda purbakala seperti aku sudah terbiasa berhadapan den dengan hal-hal yang tak masuk akal, dan tugasku membuat hal-hal yang tak masuk akal itu menjadi masuk akal. Bagaimana pun caranya, aku harus bisa menguraikan hal-hal tak masuk akal itu ke dalam teks ilmiah yang membuat segala sesuatu menjadi rasional ketika siapa saja membaca tulisan itu. Dan, seperti biasa, selalu ada nilai yang bisa diimpun dari hal-hal yang tak masuk akal, dan nilainilai itulah yang aku pungut dan aku pertanggungjawabkan kepada pihak yang membayar kemampuan ilmiahku untuk meneliti bendabenda purbakala. Sebagai orang yang berpendidikan tinggi, yang menghabiskan nyaris seluruh waktu hidupnya untuk mengunjungi situs-situs purbakala di berbagai belahan bumi dan menelitinya untuk mengetahui bagaimana peradaban manusia dibangun, aku tidak terkejut ketika pertama kali mendengar kabar tentang Batu Panyahatan. Gambar batu berbentuk lonjong dengan diameter 30 cm per segi dan tinggi sekitar 100 m itu dikirim seseorang kepadaku lewat pos kilat bersama sekeping disk yang menggambarkan lokasi dan keanehan-keanehan dari batu itu. Pertama kali melihat gambar dan menonton disk itu, pengalaman ilmiahku langsung berkata bahwa bohong adanya semua cerita gaib tentang Batu Penyahatan itu. Tapi pada malam hari selesai menyimak kiriman itu, aku tertidur dan kemudian terbangunan lalu

halaman 16


mendapati diriku berada di sebuah daerah yang kemudian aku tahu bernama Lobu Habiaran. Aku berdiri berhadapan dengan sebuah batu dan seseorang yang tak aku kenal berdiri di sampingku, menatap ke arah yang sama dengan aku. “Di dalam Batu Panyahatan ini aku dipenjara,” kata orang itu. “Sebelumnya, aku lebih dahulu dikerangkeng di dalam tubuh seorang bayi yang lahir dari rahim seorang ibu secara terburu-buru. Aku tak kenal bayi itu karena ia tidak pernah bersemayam di jasadnya. Malaikat-malikat bersayap putih buru-buru membawanya ke sorga dan membiarkan jasad ini teronggok di dalam kuburan seperti cangkang keong yang ditinggalkan pemiliknya dan suatu ketika Ompu Togu Habiaran mengambil cangkang itu dan memaksa rohku untuk menghuninya. “Tentu saja logika akal sehat menyebut hal itu mustahil. Bagaimana bisa roh orang dewasa seperti aku akan bersemayam di dalam tubuh bayi yang belum sempat mengetahui dunia, tapi hal itulah yang terjadi setelah Ompu Togu Habiaran merafal sekian banyak mantra yang menderaku seperti lecutan cambuk berapi. Aku tak tahu, apakah cangkang berupa tubuh bayi itu membesar dan melebar sehingga rohku bisa muat di dalamnya atau rohku yang mengecil menjadi seukuran bayi yang gagal dilahirkan? Yang jelas, sejak itu aku tinggal di dalam tubuh bayi ini, dan tubuh bayi ini kemudian melesat dan tertanam di dalam sebongkah batu berwarna hitam yang keras dan liat. Kau tahu, Ompu Togu Habiaran berpesan sebelum pergi: “Kelak, kau akan keluar dengan sendirinya jika waktunya sudah tiba. Tapi sebelum waktunya tiba, aku memerintahkanmu agar menjadi penjaga untuk ketentraman warga di Lobu Habiaran ini.” “Kelak!? Aku tak pernah bisa memahami logika waktu seperti itu, karena mengandung ketidakpastian dan ketidakjelasan. Aku menuntut Ompu Togu Habiaran agar memberikan kepastian, karena hukuman dalam bentuk apapun selalu mengandung kepastian. Tapi Ompu Togu Habiaran tidak pernah mau memberi kepastian, membiarkanku bertanya-tanya dan menerka-nerka soal waktu kelak itu. Apakah bertahun-tahun, atau beratus tahun? Aku terus menuntut kepastian sambil terus berusaha mencari titik kelemahan dari mantra yang dipakai Ompu Togu Habiaran untuk mengkerangkengku di tempat ini. “Usahaku yang gigih membuatku abai pada perintah Ompu Togu Habiaran agar aku aktif menjaga keamanan dan ketentraman di Lobu Habiaran. Bagiku, perintah itu mengada-ada dan mustahil

halaman 17


aku akan melakukannya, karena seumur hidupku hanya satu keterampilan yang bisa aku lakukan: menciptakan kerusuhan, keonaran, dan penderitaan panjang bagi siapa saja.” Aku tak percaya dengan semua yang aku dengar. Aku kira orang ini mengada-ada. Aku memperhatikannya lebih seksama. Aku baru menyadari, ternyata tubuhnya transparan. Aku mencoba menyentuhnya, tapi tanganku hanya menepis angin. Dia menoleh kepadaku. “Kau meragukan ceritaku?” Suaranya sangat datar. “Aku tahu kau tidak akan percaya, tapi aku sangat yakin hanya kau yang bisa membantu membebaskanku dari hukuman ini. Akulah yang mengirimkan gambar dan disk itu.” “Kau!” Tentu saja aku tidak mempercayainya. “Bagaimana mungkin?” Dia tak menjawab pertanyaanku. Dia malah melanjutkan ceritanya yang terhenti. “Aku lahir dari rahim seorang perempuan yang malang, tapi kemalangannya berubah menjadi energi luar biasa yang mengendon di tubuh kurusku, dan membuat aku terlahir sebagai seseorang dengan kesaktian tanpa tanding. Kemalangan? Ya, kemalangan yang menderanya adalah nasib buruk yang harus ditanggungnya tanpa bisa menolak lantaran dia satu-satunya keturunan Datu Marsingot, orang pintar yang difitnah sebagai pangajii dan bersekutu dengan para jin untuk meruntuhkan kekuasaan Ompu Togu Dihatoguan, leluhur masyarakat marga yang menghuni Lobu Habiaran. Lantaran itu, seumur hidupnya dia selalu dihina oleh warga Lobu Habiaran, dikucilkan dan diperlakukan layaknya anjing kurapan, sehingga perempuan itu selalu bersedih dan memutuskan mengasingkan diri ke sebuah gubuk di dalam Haritte, hutan larangan

halaman 18


di lereng Dolok Sibual-buali. Tak seorang pun warga Lobu Habiaran yang menduga perempuan itu akan berani ke dalam hutan itu karena siapa pun dilarang memasukinya atas nama wasiat Ompu Togu Dihatoguan, dan setelah mereka mengetahui kalau perempuan itu ternyata pergi ke dalam hutan yang angker itu, setiap orang berkeyakinan bahwa perempuan itu tidak perlu lagi dicari karena riwayatnya sudah tamat. “Tak seorang pun pernah keluar dengan selamat dari Haritte. Biarkanlah! Itulah hukuman bagi orang yang berani melanggar pantangan,” kata Mangaraja Pittor, salah seorang hatobangon di Lobu Habiaran. Ada banyak hatobangon di kampung aku, dan setiap hatobangon memiliki suara yang harus dipertimbangkan hatobangon lainnya. Tapi Mangaraja Pittor adalah satu-satunya hatobangon yang layak aku singkirkan dari muka bumi—orang pertama yang harus aku musnahkan—sebagaimana janji yang aku buat dengan Begu Ganjang. “Begu Ganjang, raja dari para begu yang bersemayam di dalam Haritte, jatuh cinta luar biasa kepada ibuku karena penderitaannya yang menyedihkan. Ia kemudian menyaru menjadi seekor ular sanca batik raksasa dan pada suatu malam yang berhujan, ia masuk ke dalam gubuk dimana ibuku sedang tertidur, lalu menyusuf ke dalam mimpi ibuku dan menyetubuhi ibuku di dalam mimpinya. Tanpa disadari ibuku, aku tumbuh di dalam rahimnya di bawah asuhan kekuatan Begu Ganjang yang setiap malam Jumat selalu mampir ke dalam rahim ibuku dan memperkenalkan diri sebagai ayahku, kemudian ia mengajariku berbagai macam kesaktian. “Begu Ganjang yang memberitahu kalau aku kelak akan menjadi manusia sakti yang bisa hidup di alam manusia sekaligus alam jin.

halaman 19


Aku bisa berpindah-pindah di antara dua alam yang berbeda itu kapan aku mau, dan aku harus menciptakan penderitaan panjang bagi golongan manusia yang telah menghina ibuku. Nyaris setahun, tepat ketika bulan sabit berwarna pucat pasi muncul di langit dan tak ada bintang barang sebutir pun, ibuku melahirkannku. Hal pertama yang aku lakukan setelah lahir adalah membunuh manusia pertama yang aku temui, dan manusia itu adalah ibuku. Aku menggerogoti rohnya dengan gigi-gigiku yang runcing, dan ibuku memohon agar aku jangan membunuhnya, tetapi aku tidak memperdulikannya. Aku harus melakukannya karena aku membutuhkan jasad ibuku untuk aku pakai bergerak kemana saja. “Baiklah... baiklah, anakku sayang. Kau ambilah daging ibu dan sempurnakan semua penderitaan yang ibu alami selamaini.” Ibuku, karena dia seorang ibu, bersedia mengorbankan apa saja untukku. Pengorbanannya itu membuatku sangat terpukul. Tapi ayahku, Begu Ganjang, memintaku segera melupakan ibuku dan memerintah beberapa begu agar merawatku. “Begitulah, aku akhirnya hidup seperti kehendak Begu Ganjang. Aku hanya pintar menciptakan penderitaan panjang terhadap manusia, dan aku memulai misi menciptakan penderitaan panjang itu dengan memperlihatkan diri kepada warga Lobu Habiaran sebagai perempuan yang pernah mereka hina. Setiap kali aku datangi rumah seorang penduduk, maka penduduk itu akan memohon dan meminta maaf atas perbuatannya menghina ibuku di masa lalu, dan orang itu berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya itu. Mangaraja Pittor, hatobangon yang sepanjang hidupnya selalu menghinakan ibuku dan pernah suatu malam dia memperkosa ibuku—peristiwa itu menjadi alasan utama bagi ibuku untuk meninggalkan Lobu Habiaran— tak luput dari sasaranku. Aku mendatangi Mangaraja Pittor ke dalam rumahnya, menampilkan sosokku sebagai sosok perempuan yang pernah diperkosanya, dan dia menangis meminta agar aku memaa#an kesalahannya di masa lalu. Tapi aku tidak memberi ampun, malah menghancurkan hidupnya secara perlahan-lahan hingga seluruh keluarganya musnah. Mangaraja Pittor aku matikan secara menyedihkan setelah menyaksikan kematian seluruh anak keturunannya. “Semua warga Lobu Habiaran aku datangi satu per satu, dan aku sengsarakan hidup mereka dengan cara menggerogoti roh mereka. Kadang aku muncul di hadapan mereka dengan wujud tubuh ibuku, tak jarang aku muncul dengan wujud ayahku. Entah siapa yang memulainya, tiba-tiba warga Lobu Habiaran membicarakan aku dan menyebutku sebagai Rakkeso. Aku menyukai nama itu karena

halaman 20


terdengar enak di telinga, dan tidak perlu mencari-cari siapa yang telah membuatkan nama untuk aku. Aku pikir, jika semua warga Lobu Habiaran aku datangi, maka semua orang akan sengsara hidupnya. Tidak seorang pun akan sanggup menandingi kesaktianku dalam menciptakan penderitaan panjang bagi kehidupan mereka. Tapi berpuas diri membuat aku alfa dan lengah. Ternyata, di antara warga Lobu Habiaran, ada orang sakti yang mereka panggil Ompu Togu Habiaran. Dia adalah salah satu raja panusunan bulung yang membangun Lobu Habiaran dan dulu berteman karib dengan Ompu Togu Dihatonguan, juga bersahabat dengan ayahku, Begu Ganjang. “Hubungan mereka memburuk karena perbedaan sudut pandang dalam melihat kehidupan manusia, dan hubungan yang buruk itu semakin buruk ketika suatu hari terjadi pertarungan luar biasa antara ayahku dengan Ompu Togu Dihatoguan. Ayahku yang sakti dan memiliki banyak pengikut dari kalangan jin, yang juga memiliki kesaktian, nyaris mengalahkan Ompu Togu Dihatoguan kalau saja dia tidak mendapat bantuan dari Ompu Togu Habiaran, yang muncul pada detik-detik terakhir pertarungan. Ayahku kalah telak karena tidak menyangka sahabatnya, Ompu Tpgu Habiaran, akan berpihak pada Ompu Togu Dihatoguan, lalu dipaksa keluar dari Lobu Habiaran, dan ayahku sangat kecewa sehingga memutuskan mengembara ke tengah-tengah hutan belantara dan mendirikan kerajaan sendiri di dalam hutan. Selama itulah ayahku menyimpan dendam luar biasa terhadap warga Lobu Habiaran, seluruh anak keturunan raja panusunan bulung Lobu Habiaran. Beberapa kali ayahku berusaha menciptakan penderitaan panjang bagi warga Lobu Habiaran, tetapi usahanya selalu berhasil digagalkan anak keturunan raja panusunan bulung Lobu Habiaran, termasuk Ompu Togu Habiaran. “Ompu Togu Habiaran adalah orang yang sama, yang memutuskan menyepi ke puncak Tor Sibohi setelah berhasil menaklukkan ayahku, dan berjanji kepada diri sendiri akan muncul suatu saat jika ayahku kembali menebarkan malapetaka di Lobu Habiaran. Ketika aku dilahirkan dan menebarkan malapetaka di Lobu Habiaran, Ompu Togu Habiaran yang bukan saja tetap memiliki kesaktiannya tetapi menambahi kesaktian itu dengan ilmu-ilmu agama, mendadak muncul di hadapanku. Konon usia Ompu Togu Habiaran sudah 250 tahun dan ia memutuskan menyepi di sebuah gua dekat air terjun di puncah Tor Sibohi. Meskipun usianya sudah lanjut tetapi ďŹ siknya masih seperti baru berusia belasan tahun dan tenaganya seperti tenaga anak muda yang tak pernah habis karena kesaktiannya yang mahadasyat.

halaman 21


“Aku tak pernah mendengar tentang Ompu Togu Habiaran dan ayahku baru menceritakan tentang orang sakti itu ketika suatu hari Ompu Togu Habiran berhasil mempecundangiku. Ayahku berniat ingin membantu membebaskanku dari betotan Ompu Togu Habiaran, tetapi kesaktian ayahku jauh di bawah Ompu Togu Habiaran, dan ayahku memutuskan pergi meninggalkanku. Ayahku menyaksikan dari jauh ketika Ompu Togu Habiaran menghukum rohku, memenjarakanku di tubuh seorang bayi yang gagal dilahirkan, dan menyimpan tubuh bayi itu di dalam sebuah batu yang diberi nama Batu Panyahatan. “Sejak hukuman itu aku jalani, ayahku tidak pernah muncul dan aku tak tahu lagi kabarnya. Tapi aku tetap melawan. Aku berusaha membebaskan diri.” “Kau tahu, Ompu Togu Habiaran menghardikku karena tidak menjalankan perintahnya untuk menjaga keamanan dan ketertiban Lobu Habiaran. Orang tua yang sakti itu merafal beberapa potong mantra yang membuat dinding batu menyala seperti diletakkan di atas bara api dan kulitku terbakar. Aku meraung-raung karena panas luar biasa itu tidak hanya menghanguskan kulitku tetapi mulai memasuki pori-pori di seluruh tubuhku dan akan membakar jantungku. Aku mohon ampun kepada Ompu Togu Habiaran yang kemudian menyuruhku berjanji akan mematuhi perintahnya. Aku berjanji dan akhirnya Ompu Togu Habiaran membebaskanku dari ancaman api dengan cara merafal mantra. “Di dalam Batu Panyahatan ini aku merasa Ompu Togu Habiaran telah membuatku sangat terhina. Kesaktianku yang luar biasa, yang aku bawa sejak masih di dalam rahim ibuku, dipaksa Ompu Togu Habiaran agar aku gunakan untuk kebaikan warga Lobu Habiaran. Ompu Togu Habiaran memaksa agar aku menjadi alaram yang akan memberitahu seluruh warga Lobu Habiaran apabila ada ancaman yang akan menyengsarakan hidup masyarakat Lobu Habiaran. Misalnya, aku harus memberitahu warga dengan cara berteriak bila hendak datang bencana alam seperti gempa, banjir, kebakaran, dan, bahkan, aku harus memberitahu apabila akan ada wabah penyakit yang menghantam warga. “Mula-mula aku sangat tersiksa dengan tugas itu. Aku melakukannya sambil mengutuki Ompu Togu Habiaran. Tapi lama kelamaan pekerjaan yang tidak aku sukai itu memberi banyak keuntungan padaku, karena warga Lobu Habiaran menjadi sangat tergantung kepadaku. Mereka memuji-mujiku, tak putus-putus mengucapkan terima kasih atas seluruh bantuan yang aku berikan.

halaman 22


Ajaib, setiap kali ada pujian dari mereka, tubuhku selalu menyala seperti ada ribuan obor di dalam sel-selku, membuat aku mirip seperti kunang-kunang yang sering hinggap di permukaan batu. Semakin sering warga Lobu Habiaran memujiku dan berterima kasih atas jasa-jasaku, semakin menyala cahaya di dalam tubuhku. Pujian itu membuat aku ketergantungan karena aku menyukai ketika tubuhku menyala-nyala. Dan, rupanya, warga Lobu Habiaran juga menyukai ketika tubuhku menyala-nyala. Aku tahu soal kesukaan mereka ketika memergoki mereka membawa banyak orang baru ke Lobu Habiaran untuk menyaksikan saat tubuhku menyala-nyala. “Batu bertuah ini menyala-nyala tanpa energy apapun,” kata seorang pemuda bertubuh jangkung, berkulit bersih, dan mengenakan seragam warna oranye bergaris hitam dan putih, kepada lima orang yang datang bersamanya. Kelima orang itu belum pernah aku lihat sebelumnya. Kulit mereka putih, rambut merah seperti terbakar matahari, dan masing-masing membawa sebuah kotak yang mampu mengeluarkan cahaya berkilat. Mereka bergantian berdiri di sampingku, lalu mengarahkan kotak itu dan membuat cahaya berkilat dari kotak itu. Aku suka kilatan cahaya itu dan aku merasa pernah melihatnya ketika tubuh Ompu Togu Habiaran melesat dari hadapanku entah kemana. Aku yakin kilatan yang menyambar itu pastilah Ompu Togu Habiaran yang sedang mengontrol apakah aku patuh terhadap perintahnya atau tidak. “Warga di sekitar menyebut Batu Panyahatan. Ada kisah tentang asal mula batu ini dan warga Lobu Habiaran menyakininya hingga hari ini,” kata laki-laki itu. “Kami sedang berusaha memindah kisah batu ini sebagai cerita rakyat.” “Aku tak suka rencana mereka memindahkanku,” katanya. “Aku lahir di sini, dan tumbuh di Lobu Habiaran ini.” Dia menatapku, lalu menganggukkan kepalanya. “Apa yang kau inginkan dari aku?” tanyaku. Dia menatapku. “Aku tahu kau punya kemampuan membuat benda-benda purbakala tetap pada tempatnya.” Dia melangkah meninggalkan batu. “Kau tahu, aku sudah sangat terhina dengan dipenjara di dalam batu ini. Aku tak ingin terus menerus dihinakan dengan menjadi tontonan orang-orang.” Aku mencoba menjajari langkahnya, tapi aku tak bisa mengerakkan kakiku. Aku berusaha mengangkat kaki, tapi pada saat yang sama tubuhnya mendadak menghilang. Aku berteriak-teriak memanggilnya, dan seseorang berteriak-teriak membangunkanku. *** Sepenggal cerita dari kampung Maymoon halaman 23


Catatan: Rakkeso Dalam tradisi budaya masyarakat Batak berbudaya Angkola— masyarakat marga yang tinggal di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan-- kata “rakkeso� dipakai untuk menyebut sesuatu yang menyebabkan penderitaan manusia tetapi tidak diketahui bentuknya dan bagaimana penderitaan itu terjadi. Rakkeso juga disebut musuh yang tak jelas wujudnya tetapi akibat perbuatannya sangat jelas merugikan manusia. Batu Panyahatan. Adalah batu bertuah yang bisa dijumpai di sejumlah desa di Kecamatan Simangambat, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Masyarakat setempat menyakini, batu ini bisa menyala-nyala dan mengeluarkan suara tangis bayi sebelum terjadi bencana di desa bersangkutan. Begu Ganjang. Diyakini sebagai raja bangsa jin yang menghuni dunia lain dari dunia manusia, dan sering dunia para jin itu ada di lingkungan dunia manusia. Panusunan Bulung . Orang yang mendirikan sebuah perkampungan. Proses berdirinya sebuah kampung di lingkungan masyarakat Batak beradat Angkola melalui proses panjang adu kesaktian dengan para jin penghuni lokasi yang akan dibangun perkampungan.

Budi Hatee Lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 3 Juni 1972. Menulis sajak serbasedikit. Kitab sajaknya, Narasi Sunyi (1996), dan terkumpul dalam sejumlah antologi. Tinggal di Kota Padangsidempuan.

,

halaman 24


Cerita-Pendek

Aku (Indonesia) yang Malang oleh

Dantje S Moeis

ata-ka arif yang selalu diucapkan Tok Osman (almarhum), ata-kata datokku. Bapak dari Emakku yang kusadari kini, bahwa ia dato sangat berharap banyak padaku. “Cucuku, kau harus menjadi cucu yang dapat tok banggakan, jadilah pejuang sejati yang berpegang pada bidal penyemangat, ‘Pegang bara hingga jadi arang, jangan terasa panas dilepaskan’ camkan itu di hatimu. Jadilah budak Melayu sejati yang mampu menepis segala halang rintang dan menjawab segala cabaran yang datang.” “Aduh..mak..aduh” lirih... semakin lama dan terakhir hanya terdengar erangan... puncak ungkapan rasa sakit. Berkali kali, berulang hari. Karena disini Kitab Undang Undang hanya sebagai pajangan tak berarti. Kadang kadang terlintas keinginan untuk cepat mati hingga siksa berkepanjangan seperti ini akan segera berakhir. Ketika hari bezoek tiba dan para kerabat bertanya mengapa dia semakin kurus, pucat dengan gambaran orang yang mengidap penyakit parah? Jawabannya hanya diam tak berkata sepatahpun.

halaman 25


“ Huh, TBC nya semakin parah, terpaksa dia harus di isolasi agar tidak menularkan penyakitnya”. Hanya itu jawaban yang didapat dari para petugas penjaga. Dan ada juga yang berbasa basi dengan jawaban, “anda tidak usah khawatir, kami akan memberikan perawatan yang intensif. Mudah mudahan ia segera sehat dan berumur panjang, ehm…ehm.” Di-isolasi dengan alasan TBC, berarti semakin longgar ruang

halaman 26


gerak, semakin leluasa para lelaki berseragam memaksakan sebuah pengakuan dari orang yang sama sekali tidak mengetahui ujung, ataupun pangkal sebuah kejadian yang berakibat petaka seperti ini. Ngilu tulang rusuk berkepanjangan, bukan lagi sebuah penderitaan. Semburan darah pengiring batuk, berak hitam kencing merah seakan merupakan tahapan antrian dari berbagai bentuk perubahan yang akan tiba, sedangkan seringai galak para pemeriksa bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Segeralah mati, “ ah….. tidak, kalau tidak memberi arti.” Keinginan untuk lekas mati berangsur menjadi padam seiring tumbuhnya sikap perlawanan dan berubah menjadi reaksi antibodi terhadap rasa sakit dari penyebab yang tidak dimengerti. Tak dapat dimengerti, karena secara sadar berada dalam kamar para oposan yang menyumbangkan kritik pada penguasa demi perbaikan negeri kami. Karena sengaja berada ditempat kejadian, meniru modus operandi para pendemo luar negeri. Karena tak tahan melihat kesewenang wenangan penguasa terhadap “Aku (Indonesia) yang Malang”. Dari atap kabin mobil para demonstran, aku lantang berucap memuntahkan kata-kata. “Saudara-saudaraku sebangsa se tanah air…Kita wajib bersyukur dengan kekayaan alam indonesia, namun sangat malu dengan ketidak mampuan kita dalam mengelola sumber daya alam ini. Saya akan sangat setuju bila Presiden mendatang adalah orang yang mempunyai visi kuat untuk menasionalisasi perusahaan tambang asing yang ada di negara ini. Setelah itu tinggal memanggil dan memberdayakan intelektual- intelektual indonesia yang bertebaran di luar negeri, meminta mereka membagi ilmu, waktu dan tenaga untuk membangun bangsa ini.” Tepuk-sorak semakin membahana menyambut kalimat yang meluncur dari mulutku.“ “Perlu kita lihat sejenak kasus penambangan lain di daerah Riau, Aceh dan Sumatera Barat. Penambangan banyak dilakukan oleh rakyat dan sangat tidak ramah lingkungan, akibatnya masyarakat diburu aparat dengan dalih melakukan penambangan ilegal. Seharusnya pemerintah mencarikan solusi pengaturan penambangan ramah lingkungan dengan tetap mempertahankan usaha kerakyatan, bukan malah memburu rakyat, tapi membuka kran investasi untuk investor asing. Kita tentu tidak mau Negeri ini di kuasai asing”. Menarik nafas sejenak dan melanjutkan, “PT. Freeport di tanah

halaman 27


Papua sana.....Pertambangan ini konon telah menghasilkan 7,3 Juta Ton tembaga dan 724,7 Juta Ton emas. Coba kita uangkan jumlah tersebut dengan harga emas sekarang, anggap saja Rp.300.000,-/ Gram. Sehingga 724,7 Juta Ton emas = 724.700.000.000.000 Gram x Rp 300.000. = 217.410.000.000.000.000.000 Rupiah!!!!! ada yang bisa baca nilai tersebut? Harap dicatat saudara-saudaraku, itu hanya untuk emas belum lagi tembaga serta bahan mineral lainnya. Namun alangkah malangnya bukan kita yang mengelola pertambangan ini melainkan mereka para kapitalis asing. Sebenarnya boleh saja negara lain mengelola kekayaan di negeri ini karena alasan teknologi yang belum dimiliki Indonesia. Namun jika sistim bagi hasil dengan prosentase yang adil. Bahkan ketika emas dan tembaga disana mulai menipis ternyata dibawah lapisan emas dan tembaga tepatnya di kedalaman400 meter ditemukan kandungan mineral yang harganya 100 kali lebih mahal dari pada emas, yaitu URANIUM. Bahan baku pembuatan nuklir itu melimpah ditemukan disana. Belum jelas jumlah kandungan uranium yang ditemukan disana, tapi kabar terakhir yang beredar menurut para ahli, konon kandungan uranium di sana cukup untuk membuat pembangkit listrik tenaga nuklir dengan kapasitas yang dapat menerangi seluruh bumi ini!. Freeport mulai banyak menarik perhatian masyarakat setelah terungkapnya berbagai permasalahan dan insiden yang terjadi di wilayah konsesi pertambangan perusahaan tersebut. Berbagai pendapat, baik dari media, lembaga swadaya masyarakat, serta akademisi menyoroti masalah yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan, adaptasi sosio-kultural, keterlibatan aparat, bahkan halhal yang berkaitan dengan politik separatis dari kelompok penduduk asli�. Terjelepok duduk sendiri, dengan posisi tak biasa di sudut ruang pengap berjeruji besi. Persis seperti konon kata buku sejarah, sosok nenek moyang kita pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Tubuhnya kurus. Tulang iganya seakan berlomba untuk tampil ke depan. Tonjolan tulang rusuk, keriput kulit berisi daging sekedar syarat untuk dapat dikatakan sebagai orang, tampaknya tak menghalangi senyum wibawa dengan gurat gurat wajah keras pertanda tegar, hanyut dalam mimpi atau halusinasi. Sepertinya akhir-akhir ini Indonesia kekurangan uang sehingga kesulitan untuk memberikan rakyatnya subsidi BBM dan berniat menaikkan harganya. Alhasil rakyat Indonesia harus kembali mengencangkan ikat pinggang yang sejatinya memang sudah kencang sejak lama. Miskinkah Indonesia? Tentu saja tidak. Karena Negara

halaman 28


ini ternyata punya pertambangan emas terbesar dengan kualitas emas terbaik di dunia. Namanya PT. Freeport. Kembali ke tanah air, ingin membangun negeri dengan bekal yang kudapat dalam pendidikan di negara asing. Empat tahun di negeri orang dengan tata cara berbeda, tetapi pasti tujuannya sama. Empat kali tante Tita binti Osman dan Oom Muhammad Ferdy Rumaropen di negeri bawah air atau negeri kincir angin merayakan verjaardag aku keponakan mereka dengan tart dan tiupan api lilin. Empat kali pula tante Tita dan Oom Muhammad Ferdy Rumaropen mengucapkan selamat “panjang umur” padaku keponakannya yang dapat menyelesaikan studi di negeri tempat tinggalnya dengan tepat waktu. Mulai dari jabang bayi sampai ke bujang tanggung di kampung, Abah dan Emak merayakan ulang tahun anaknya dengan kenduri selamat, diiring doa tolak bala dan setiap kali pula ditutup dengan ucapan selamat “panjang umur” disambung dengan, “semoga berarti bagi agama, orang tua dan masyarakat banyak.” “Apakah ‘verjaardag’ atau doa ‘tolak bala’ tak lagi mempan atau mangkus sebagai upaya menjauhkan sial? Wallahuwalam...” Kenyataannya, belum selesai orasi yang kusampaikan menjelang petang itu, aku diangkut dengan paksa ke sini, ke tempat yang laknat ini. Panjang umur dan “berarti” bagi masyarakat banyak, inilah yang disadari menjadi obat pengebal siksa menjadi tahanan beralasan “Tak jelas.” Untuk itu, “ ya……mati nanti dulu,” karena hidup belum “berarti” bagi masyarakat banyak. Mimpi atau halusinasi tampaknya jalan terus. Segala yang indah indah tergambar jelas di pelupuk mata rapat terpejam. Indahnya gambar pemandangan, saat kunjungan pemimpin yang menomor satukan kepentingan rakyat yang sudah tujuhpuluh tahun merdeka ini, disambut jujur oleh rakyat yang berjejal dibibir trotoar, tanpa harus diancam untuk hadir oleh pak RT, pak lurah ataupun pak camat. Tak perlu wajib berseragam hijau hijau, kuning kuning, merah merah ataupun hitam hitam. Karena yang tiba, adalah pemimpin segala warna “ Aaaaaaaaaah………………” Erang panjang menggema memecah kesunyian subuh, mengejutkan tetangga di sel sebelah. Mengejutkan terduga kasus korupsi yang sedang menonton “film cabul” dengan

halaman 29


petugas di ruang jaga, sedang mimpi dan halusinasi masih berlanjut semakin jauh terbang di awang awang , dihimpit signal berita teve dan radio penguasa. Tersuruk dalam lumpur pijakan sepatu lars ladam berduri. “Tokku sayang…aku cucumu telah jalankan segala pesan yang Tok sampaikan di masa kecilku dulu, selamat jumpa Tok. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Dekap aku Tok, aku rindu..” dan Allahu Akbar, Aaaaahhh…..lalu senyap. Terberitakan… penghianat bangsa, penghina pemimpin bangsa, ketua kelompok pengacau keamanan, mati dalam perawatan intensif para tim dokter, karena mengidap penyakit TBC kronis dalam usia muda dan…….. tak diberitakan, bahwa doa tante Tita binti Osman, oom Muhammad Ferdy Rumaropen, Emak, Abah dan kerabat di kampung Sekip kota Rengat telah terkabul. Aku, Anak keponakan dan kawan mereka yang mati fisik di usia Duapuluh Empat tahun, telah dikaruniai umur panjang dalam kenangan, sepanjang alam masih terkembang, dengan prediket “Aku (Indonesia) yang Malang” tertulis di batu nisan yang kekal merebakkan bau wangi. *** .

halaman 30

,


Sajak

A. Warits Rovi Sepasang Rindu Pada Suatu Sore Potre Koneng* Tamasya Air Banjir Rumah Puisi

A. Warits Rovi Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988 karyanya dimuat di Horison, Seputar Indonesia, Radar Madura, dan sebagainya. Kumpulan antologi; Bulan Yang Dicemburui Engkau (Bandung, 2011). Dialog Taneyan Lanjang (2012). Pales!na: Kota Darah dan Air Mata (2013). dan sebagainya Ak!f di Komunitas SEMENJAK dan membina penulisan sastra di Sanggar 7 Kejora serta mengajar seni rupa di Sanggar Lukis DOA (Decora!on of Al-Huda) sekaligus guru Bahasa Indonesia di MTs Al-Huda II.

halaman 31


Sepasang Rindu

1/ rinduku meliputi jarak secabang jalan yang pernah bunda tapaki dengan satu sepi antara luruh jasad embun subuh hari sampai kering kembali di jam delapan pagi tanpa sebait puisi tanpa kata-kata lagi begitulah aku atas dirimu bunda sebagai perasaan anak atas orang tuanya umpama kembang rekah abai pada akarnya 2/ rinduku lebih dari segala jalan yang ada dan segala cabangnya pasti berakhir padamu dengan sempurna antara gerak pertamamu di rahim bunda hingga kelak kakimu menapak tanah surga dengan beragam puisi dan kata-kata yang terus berpinak mendahului sepi begitulah aku padamu ananda sebagai perasaan orang tua atas anaknya umpama akar yang selalu mengirim kehidupan pada kembangnya Bungduwa’, 11/04/12

halaman 32


Pada Suatu Sore

sore yang mendung di luar kenyataan jasad gerimis yang menukil kidung tiba-tiba ada yang sampai di hatimu membuka langit baru menikmati matahari dari sekerat rindu di luar rumah hujan sempurna membariskan kakinya suka-suka sedang dalam dirimu matahari itu masih cerah orang yang sampai di hatimu itu tersenyum rekah kau di antara hujan dan cinta tak bisa membedakan basah dan redanya. Dik-kodik, 11/04/12

halaman 33


Potre Koneng*

telah merampai dalam kisah batas segala sanjung berakhir di sekitar wajahmu yang cahaya dari zaman yang sunyi pagi-pagi sekali kau menikungkan kidung-kidung ke dalam puisi hingga berabad kemudian dalam puisi ini kau kutemukan menjulur tangan dengan sejumput kembang kuambil kembangmu dengan jemari bergetar rindu kutabur di pekarangan rumah yang lama ditinggal ibu dan samar-samar dari kembang itu kulihat wajah ibu : kembar serupa wajahmu Gapura, 10/04/13

*Putri keraton Sumenep, ibu pangeran Jokotole.

halaman 34


Tamasya Air Banjir

aku beririrng mengalir dari langit yang kau lupakan tiba dalam waktumu untuk berbicara pelan lewat mulut selokan yang kau sumbat dan kau abaikan dalam waktumu itu kau dan aku sebagai dua ritme yang menyatu bergema melupakan istilah bencana berpeluk melupakan garis tangan sendiri menjadi lagu hati hingga tiba pada telinga tersunyi menyesalkan segala nista yang kini baru kau akui kemudian kau dan aku yang sepasang ritme kembali ke cuping waktumu masih dalam rupa lagu hati menyentuh rakit, rusak rumah dan tenda-tenda pengungsian seraya melihat keutuhan pakaian yang tersisa di badan dan lamat aku pindah perlahan pada kedua bola matamu yang terus tertawan mengalir sebagai tangis kehancuran bungduwa’,12/04/12

halaman 35


Rumah Puisi

helmy. kita kembali ke rumah yang tak dikunci yang terbuka untuk setiap irisan kata ketika masuk ke dalamnya kata-kata itu menjelma bantal, sprei, lemari dan kursi berpuisi untuk memar dada kita yang perih : kita biarkan jendela menanggapi sendiri perihal semua ini dari kemurnian waktu yang belum pernah kita campuri biar kita berdiam dengan gumam yang sedang dari helaian rambut, kita kerbai masa lalu yang melatu sebab di sini dari yang kita tunggu ada banyak rindu yang siap menjamu waktu rasanya tak ada lagi masa lalu yang latu berkunjung sebagai tamu dan helmy, di rumah ini sesekali kita susun kenangan dari segi empat kotak pigura silam yang menampilkan masa kanakmu tersenyum membawa bulan untukku Gapura, 10/12/12

halaman 36


Sajak

Saiful Anam Assyaibani Nubuat Yang Tak Sempat Abadi Awal Dari Sebuah Akhir Sebelum Daundaun Jatuh Se!ap Kubaca Puisi

Saiful Anam Assyaibani Lahir di Lamongan 12 Maret 1983. Beberapa karyanya terdokumentasi di Imajinasi Nama (Kostela 2003), Pesta Penyair (DKJT 2009), Negeri Cincin Api (Lesbumi 2011), Kabar Debu (Kostela 2012) dan sebagainya. Menggarap seni pertunjukan “Past Game” Fes!val Seni Internasional 2008 P4TK Seni Budaya Jogjakarta. “Kaum Klepto” dan juga ”The Lagend of Dewi Sri” pada Fes!val Seni Internasional 2010 P4TK Seni Budaya Jogjakarta.

halaman 37


Nubuat

sebelum aku menjadi abu aku adalah amsal kidung agung gereja kemudian menjelma gema dari sebuah lonceng dari sebuah menara di sini, tuhan disalibkan dalam bayangbayang dari sisa senyala lilin di malam kudus sebelum aku menjadi abu aku adalah bilik pengakuan sekaligus penyucian dosa dalam sujud dalam tafakur yang luka maka menyayilah seperti kembala di malam natal saat menggiring dombadomba di penghujung desember yang mencatatkan jejak kelahiran yang disucikan waktu. Lamongan, 25-12-2011

halaman 38


Yang Tak Sempat Abadi

adalah isyarat pantulan cahaya dalam kekosongan jiwa yang sepi meski kita tahu dari mana ia bermula: bukankah cahaya yang terpantul itu adalah nubuat adalah wajah yang tak sempat abadi dari yang abadi dan dalam jiwa yang sepi itu kelak ia berpulang dalam diam dalam sunyi paling penghabisan serupa gurat cahaya tanpa mata MAKA SAAT MATA TERLUPA YANG PADANYA KEKAL TERTINGGAL ADALAH DIRINYA SENDIRI seperti memberi batas antara cahaya dan cahaya wajah dan wajah namun hakikatnya tiada. Lamongan, 2012

halaman 39


Awal Dari Sebuah Akhir

/1/ sebuah almanak, jam dinding dan awal dari sebuah akhir menyeret harihari yang lelah untuk dicatatkan pada kenang sejarah sejarah dari denyut yang digetarkan tanpa nama dimana sesobek malam bagai suara retak sepotong dahan oleh ranting pohon tua yang terlupakan dan sendiri dan sunyi di sudut jejak kecil jarum jam yang terus bergeser

/2/ di ini hari, awal dari sebuah akhir itu adalah nyanyian parau seruling dari perhitungan angka yang tak pernah meleset dari jadwal dari aksaraaksara asing dan beku yang dipungut dari reruntuhan masa lalu sementara harihari dengan sendirinya mencoretkan garisgaris lurus dari diri dari berjudi dengan kebenaran esok memalsukan detikdetik pergantian waktu di tepi jalan raya - sejarah yang riuh

halaman 40


/3/ memandang cermin membaca gurat bayangan yang dipantulkan seperti membaca sebuah peta dalam diri yang gelap dan rapuh hidup tak lebih dari sebuah dongeng yang berakhir sebagai ďŹ ksi terlampau absurd untuk diramalkan terlalu bodoh untuk menghitung jemari di setiap perjalalan waktu sebuah almanak, jam dinding dan awal dari sebuah akhir adalah membetulkan letak jarum jam bila berselisih waktu dengan jejak langkah kita langkah tak berujung tak berarah‌ Lamongan, 31-12-2011

halaman 41


Sebelum Daundaun Jatuh

sebelum daundaun jatuh ada perhentian waktu saat ia harus meneteskan embun di antara hitam-putih gelap dan terang bantaran kabut yang terjebak dalam bayang bayang birahi tubuhnya: tubuh yang kembali menyisakan candu sempatkah daundaun itu jatuh di pelataran sebelum membusuk dan terbakar lantas tumbuh kembali sebagai daun di ranting yang lain maka kemanakah ia akan mengalir ketika waktu akhirnya mati dan sunyi menjadi sepenggal jarak ruang kosong dalam diri

halaman 42


ketika ia berhenti barangkali tak tersisa apaapa selain doa purba dan daundaun kering jatuh dan tersungkur seperti memaknai kehilangan seperti tubuh tanpa bayangan sendiri ia perlahan memahami mengapa jatuh harus kembali ke bumi sendiri ia berusaha menikmati sisa dingin dan sepi ketika waktu membuatnya terus ragu menunggu akhir kepada daun: jika kau ingin jatuh jatuhlah perlahan cintailah bumi pada hening paling sunyi. Lamongan, 2012

halaman 43


Setiap Kubaca Puisi

setiap kubaca selembar puisi seperti ada helaian daun gugur depan pintu mengetuk malam yang sunyi kemudian kuziarahi setiap kata yang terperangkap dalam angin yang tak hentihentinya berbisik lantas kuurai kembali setetes embun dalam debu yang tergeletak sepanjang dermaga sepanjang laut dan muara yang menepi dalam diri barangkali sesuatu puisi membawa arah mata air paling jernih sebelum semuanya terkapar maka semestinya tak ada bayangbayang membentuk sendiri pelayaran sudah berulangulang kueja puisi tapi tetap saja kembali kueja puisi maka kutinggalkan hatiku di dasar lautan hingga kelak ketika deru ombaknya menyentuh kakimu yang telanjang ia akan menyusup ke dalam tubuhmu dan mengendap di dasar jiwamu sebagai keniscayaan. Lamongan, 2012

halaman 44


Sajak

Usman Awang

Dato’ Usman Awang (12 Julai 1929 - 29 November 2001) adalah seorang Sasterawan Negara Malaysia. Terkenal dengan nama penanya Tongkat Warrant, beliau adalah seorang penyair dan ahli drama yang prolifik ketika hayatnya. Usman Awang juga dikenali dengan nama Adi Jaya, Amir, Atma Jiwa, Manis, Pengarang Muda, Rose Murni, Setiabudi, U.A., Zaini dan mungkin lain-lain. Dalam tahun 1991, beliau telah di anugerahi Darjah Kebesaran Dato’ Paduka oleh Sultan Perak Darul Ridzuan yang mendapat gelar Dato’. Sajak yang kami (red.) muatkan di atas dikutip dari internet, Puisi-Puisi Pilihan Sasterawan Negara, DBP 1991 Puisi Baharu Melayu, Antologi Puisi Bintang Mengerdip, DBP, Antologi Duri & Api (Puisi-puisi pilihan Usman Awang).

halaman 45


Suasana

Seorang perempuan bersamfu hijau dari tingkap dapur rumahnya berteriak dan bertanya sambil membungkus Nien Kau lalu tertawa mengangkat tudung periuk wap panas menjulang harum kanji nasi Dan dari rumah sebelah terdengar suara lunak perempuan berbaju kurung menjawab senyum sedang jari-jarinya lincah mengisi ketupat dan sesekali menyudip serunding di kuali segar selera dicecah baunya yang wangi. Dari kejauhan suara-suara muda yang riang pekikan dan tertawa di antara letupan mercun dan kedua ibu saling memandang dan tersenyum tanpa seruan pura-pura dari pentas-pentas politik hati mereka bersalaman dan saling berpelukan atas kesederhanaan rasa dan nasib yang sama. Esoknya kuih pau dan ketupat bertukar pinggan mereka saling menerima dan memberikan kepunyaan dan dari kedua telaga hati berkocak mesra mengucapkan Kong Hee dan Selamat Hari Raya

halaman 46


Puisi Pendek

Keris di atas batu air menjulang buih seribu dagang lalu berapa yang menoleh?

Cinta Ladang Getah

Jika ladang-ladang getah yang kita tumpahkan kasih ini tiada menerima lagi dan terpisah kita akan membunuh ketakutan, sebab bumi adalah terbentang di mana-mana untuk kita menyemai benih kemanusiaan yang telah ternoda Tidak ada yang dapat membunuh cinta ini, tidak ada, sebab pembunuhnya telah mati.

halaman 47


Ibuku

IBUKU mempunyai seribu mimpi Yang dipikulnya tiap hari Sambil menimangku ia pun menyanyi: Timang tinggi-tinggi, Dapur tak berasap, Bila besar nanti, Jangan masuk lokap. Ibuku tidak mengenal buku dan sekolah Tiap pagi terbongkok-bongkok di lumpur sawah Menggaru betisnya yang dikerumuni lintah. Hatinya selalu teringat Suaminya yang mati melarat Setelah dikerumuni lintah darat Ibuku tangannya kasar berbelulang Mengangkat bata-bata bangunan Wajahnya dibedaki debu berterbangan. Ibu tidak pernah mengenal supermarket Tinggal di bilik sempit Upahnya buruhnya sangat sedikit

halaman 48


Ibuku tidak punya TV Tidak berpeluang pula menontonnya Tak pernah mengikuti laporan parlimen Atau ceramah bagaimana menambah jumlah penduduk Tidak pula tahu adanya forum kemiskinan Atau pertunjukan masak-masakan Dengan resepi yang sangat menakjubkan Ibuku setiap pagi berulang ke kilang Bekerja dengan tekun hingga ke malam Mikroskop itu menusuk matanya dengan kejam kaburlah mata ibu diselaputi logam Ibuku tidak tahu tentang hak asasi Apalagi tentang seni dan puisi. Jika ditanya makna melabur Nama-nama saham yang menjanjikan makmur Atau tentang dasar pandang ke timur, Ibu tersenyum menunjukkan mangkuk bubur Yang melimpah kanji beras hancur O ibuku sayang Di negerimu kau menumpang. Sesekali kudengar ibu menyanyi Pantun tradisi caranya sendiri: Siakap senohong, Gelama ikan duri, Bercakap bohong, Tak boleh jadi menteri

halaman 49


Salji Hitam

dedaunan pine di remang bulan merah berjajar mengisi sesak kota bergerak dan bergerak seperti perpohonan di mata macbeth di sini salji lain warna hitam Hitam HITAM

halaman 50


warna paling gagah itulah warnanya tidak gugur dari bintang bukan turun dari langit mengalir dari arus sejarah tulang-tulang HITAM membajai ladang-ladang subur amerika makmur salji hitam HITAM hitam sekali warna gaung gema WE SHALL OVERCOME di selatan di utara di mana saja mengusapi luka-luka sejarah nenek-moyang hari ini sekarang ini paling gemilang salji hitam.

halaman 51


Doa ( Khas untuk puteri-puteri TKC )

Jika malam ini tiada bulan tanah Seremban kau masih tetap bercahaya dari sinar mata dan bening wajah pelajar-pelajar dari istana ilmu Kolej Tunku Kurshiah Hari ini manis belajar dari buku dan suara mesra dari guru bersedialah untuk esok yang menunggu kedatanganmu untuk belajar dari hidup mungkin bahaya dari kemuliaan darjat mungkin air mata dan pedih luka

halaman 52


Tapi apapun arus gelombangnya berdiri di bawah bendera keberanian di bumi kebenaran kemanusiaan laksana permata yang mengukir kehalusan budi Maha wangi istana ilmu bening ombak sambut dan tirai selendang daulat seorang permaisuri keramat seorang wali semoga dalam rahmat dan lindungan Ilahi‌

halaman 53


Bunga Popi

Dari darah, dari nanah yang punah di tanah, rangka manusia kehilangan nyawa disambar senjata, hasil manusia gila perang membunuh mesra, bunga merah berkembang indah minta disembah. Yang hidup tinggal sisa nyawa, penuh derita, kering, bongkok, cacat, tempang dan buta, perang dalam kenangan penuh kengerian, sekarang dalam kepahitan, dalam kesepian. Yang lain kehilangan anak, suami dan kekasih, hilang pergantungan, hilang pencarian, hidup kebuluran, ribuan janda, ribuan kcewa, ribuan sengsara, jutaan anak-anak yatim hidup meminta-minta.

halaman 54


Manusia gila perang telah membunuh segala mesra! perang berlangsung mencari untung tanah jajahan! perang berlangsung membunuh anak dalam buaian! perang berlangsung menghantar lebur nilai kebudayaan! Bunga popi bunga mayat perajurit bergelimpangan, bunga darah merah menyimbah, penuh kengerian. Kami benci pada perang penuh pembunuhan! kami rindu pada damai sepanjang zaman!

halaman 55


Gadis dan Ayat Suci

Suara yang manis dalam bisik daun-daun Beralun lagu Tuhan di sayap angin malam Redup menyusup di bawah langit bertirai sepi Gadis tetangga (simpatiku pada matanya yang buta) Dari sinar hatinya membaca ayat-ayat suci Awan-awan berderetan dalam arakan sejarahnya Di mana lagu dan suara menjangkau pula Semakin tinggi, meninggi tak tercapai mata Disaputnya langit di atas awan berarak Gema merdu meresap mengocak ke bintang terserak Lalu melayah menurun mengusap puncak gunung Melayang manis mencapai bukit-bukit gundul Menurun lagi merendah mencecah hujung pucuk-pucuk Dari ranum dalam kembang-kembang segar senyum Ah, merendah pula ia meratai bumi Tanahair

halaman 56


Semakin malam lagu Tuhan dari bibir syurga (Gadis buta melanjutkan khatam bulan puasa) Membawa para malaikat menjengah dada manusia Hidup yang damai dari keyakinan dan cinta Berdetiklah di hati, meski manusia paling ganas sekali Suara yang manis dalam bisik daun-daun Gadis cacat dan ayat suci beralun Meski tidak melihat, malah itulah pula Kesuciannnya syurga hidup perdamaian manusia Berdetiklah di hati, meski manusia paling ganas sekali

,

halaman 57


Rehal

Orhan Pamuk di Balik Keheningan Salju

erit O Orhan Pamuk atau Orhan Pamuk adalah novelis Turki yang sangat san populer dalam sastra pasca-modernis. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 50 bahasa dan mendapatkan berbagai penghargaan di dalam negeri dan internasional. Puncaknya, pada tanggal 12 Oktober 2006, Pamuk menggondol Nobel bidang kesusastraan atas karya-karyanya. Ia menjadi pengarang Turki pertama yang memperoleh penghargaan ini. Untuk diketahui, Nobel Sastra diberikan pada pengarang yang “karyanya paling bagus dan memiliki idealisme yang maju” dan karya ini merujuk pada keseluruhan karya si pengarang, bukan kepada karya satuan.

Judul Buku Penulis Penerjemah

: Snow : Orhan Pamuk : Berliani M. Nugrahani

Tebal Cetakan Penerbit

: 731 hlm; 13 X 20,5 cm : 1, April 2008 : Serambi Ilmu Semesta

halaman 58

Pamuk secara teratur mulai menulis sejak tahun 1974 dengan karya perdana bertajuk Karanlık ve Işık (Darkness and Light) yang menjadi salah satu pemenang Milliyet Press Novel Contest tahun 1979. Novel perdana ini diterbitkan pada tahun 1982 dengan judul Cevdet Bey ve Oğulları (Mr. Cevdet and His Sons) dan memenangkan Orhan Kemal Novel Prize. Selanjutnya ia menulis novelnovel pemenang berbagai penghargaan


seperti Sessiz Ev (The Silent House, 1983), Beyaz Kale (The White Castle, 1985), Kara Kitap (The Black Book, 1990), Yeni Hayat (New Life, 1995), dan Benim Adım Kırmızı (My Name is Red, 1998). Novel yang disebutkan terakhir di Indonesia telah diterbitkan Serambi sebagai Namaku Merah Kirmizi (2006). Novel inilah yang kian menjulangkan reputasi Pamuk di kancah literatur internasional. Kar (Snow, 2002), novel ketujuh Pamuk, diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Serambi menjadi Di Balik Keheningan Salju. Edisi Prancis novel ini, La Neige, memenangkan penghargaan Prix Medicis Etrange tahun 2005 dan oleh New York Times dinyatakan sebagai salah satu dari Sepuluh Buku Terbaik tahun 2004. Tokoh utama Snow adalah Kerim Alakuşoğlu yang lebih suka dipanggil inisialnya, Ka, seorang penyair yang masih lajang dalam usianya yang ke-42. Ia meninggalkan Istanbul menuju sebuah kota bernama Kars, dalam sebuah perjalanan di tengah-tengah badai salju. Ka baru datang dari Jerman setelah 12 tahun meninggalkan Turki dan menjadi tahanan politik, kendati ia tidak pernah benar-benar menjadi aktivis politik. Ka adalah seorang pria yang jujur, beriktikad baik, dan melankolis (hlm. 11). Ia bermasalah dengan kebahagiaan, menghindari kebahagiaan karena takut akan kepedihan yang mungkin mengikuti kebahagiaan itu. Sebenarnya Ka datang ke Istanbul hanya untuk menghadiri pemakaman ibunya. Tapi setelah 4 hari di kota itu, ia memutuskan mengadakan perjalanan ke Kars, kota yang ia pernah kunjungi 20 tahun berselang. Ia datang ke Kars dengan tujuan meliput pemilihan walikota yang akan segera

berlangsung setelah walikota Kars tewas dibunuh. Selain itu ia bermaksud menguak misteri epidemi bunuh diri yang melanda sejumlah gadis di Kars, salah satunya, gadis dari kelompok ‘gadis-gadis berjilbab’. Seorang teman sekelas Ka dahulu di Istanbul, si cantik Ipek Yildiz, ternyata telah menetap di Kars bersama Turgut, ayahnya yang ateis, dan Kadife -adiknya, mantan model yang telah menjadi pemimpin ‘gadis-gadis berjilbab’. Mereka mengelola Hotel Istana Salju. Ipek telah bercerai dari suaminya, Muhtar, yang berambisi menjadi walikota Kars. (Saya tidak setuju dengan sinopsis sampul belakang novel yang menyebutkan bahwa Ka berhasrat untuk menemukan cinta masa lalunya karena dalam novel tidak digambarkan jika Ka pernah jatuh cinta atau menjalin cinta dengan Ipek sebelumnya). Di Kars, Ka menghuni Hotel Istana Salju sambil melakukan investigasi. Seiring dengan investigasinya, badai salju menutup jalan keluar dari Kars dan membuat kota ini terisolasi. Kedatangan Kar dalam posisi sebagai jurnalis koran Republican membuat berbagai kalangan penasaran dan ingin tahu motivasi Ka yang sebenarnya. Hal ini membuat hidupnya mau tidak mau berpapasan dengan berbagai karakter seperti pengelola koran lokal Kars (Serdar), anggota kepolisian, prajurit pembela negara sekuler Turki, agen MIT, syekh karismatik bernama Saadettin Cevher, seorang lelaki cacat yang menganggap dirinya sebagai agen Islam tetapi bermental Casanova, murid-murid madrasah aliah yang tengah bergelut dengan cinta dan cita-cita serta seorang seniman teater yang mencoba bangkit dari kegagalan karier masa lalunya. Kars yang terisolasi dalam selimut salju, ternyata bukan tempat

halaman 59


yang damai dan bebas teroris seperti yang diungkapkan oleh Kasim Bey, asisten kepala polisi Kars. Diawali dengan peristiwa pembunuhan direktur Institut Pendidikan Kars -Profesor Nuri Yilmaz- oleh seorang ekstremis Muslim yang disaksikan Ka dan Ipek di sebuah toko kue, investigasi Ka berubah menjadi usaha untuk menyelamatkan diri sendiri. Ia mesti melalui rangkaian peristiwa yang akhirnya meledak dalam sebuah kudeta berdarah pada sebuah pementasan teater dan berakhir dengan terbunuhnya seorang seniman teater yang ambisius. “Sejarah dan teater terbuat dari bahan yang sama, seperti dalam teater, sejarah memilih siapa orang yang tepat untuk menjadi pemeran utama. Dan, sama seperti para aktor yang mengerahkan seluruh keberaniannya di atas panggung, sedikit orang yang terpilih sebagai pelaku sejarah juga harus melakukan hal yang sama,” demikian keyakinan Sunay Zaim (hlm. 335-336). Keyakinan inilah yang memanaskan konflik yang memang merebak di Kars, kemelut antar agama dan sekularisme serta keruhnya suasana karena keputusan-keputusan negara sekuler Turki. Dan di tengah-tengah panasnya konflik ini Ka terjebak, berusaha memperjuangkan kebahagiaan yang ternyata hanya akan mengukuhkan keyakinannya sendiri bahwa kepedihan memang berpotensi membuntuti kebahagiaan. Sebagian besar isi novel dituturkan dari perspektif orang ketiga, dari sudut pandang Ka, sang karakter utama. Tapi, terkadang Orhan Pamuk, sang novelis, menggulirkan cerita dari sudut pandang orang pertama, yakni dari sudut pandang teman lama Ka. Teman Ka berkisah berdasarkan buku

halaman 60

catatan Ka dan berbagai sumber yang ia temukan ketika menelusuri kehidupan Ka sampai di Kars, setelah 4 tahun berlalu dan tokoh utama ini tewas dibunuh. Dialah yang menulis novel berjudul Snow ini, menggunakan judul buku Ka yang belum sempat diterbitkan. Narator orang pertama ini yang kemudian diketahui bernama Orhan, tidak lain adalah Orhan Pamuk sendiri dalam novel. Hal ini diperkuat oleh keterangan di bab penutup novel bahwa ia telah menulis novel The Black Book dan memiliki seorang anak perempuan bernama Rüya, nama yang sama kepada siapa novel ini dipersembahkan Orhan Pamuk. Dalam novel ini, Orhan Pamuk memperlihatkan dirinya sebagai novelis yang senang menggunakan narator spoiler. Narator yang ada dalam novel tak segansegan menceritakan apa yang akan terjadi pada tokoh-tokoh yang ditemui Ka, sementara dalam ceritanya Ka sendiri belum mengetahuinya. Dan hal ini telah dimulai sejak bab pertama. Yang paling menonjol (dan bikin saya jengkel tapi juga geli) adalah tentang kematian Necip dan salah satu matanya yang akan tertembus peluru. Snow hadir bagaikan refleksi kehidupan bangsa Turki sendiri. Sebuah bangsa yang terbelah antara tradisi, agama, dan modernisasi. Terdapat kalangan yang membenci modernisasi dan pengaruh Eropa, tapi juga ada kalangan yang menyukai dan mendukungnya. Eropa dianggap kafir dan menjadi impian yang membuat bangsa Turki mengabaikan kebudayaannya sendiri. Pertentangan dua kubu membuat terciptanya perseteruan yang merambat ke dunia politik antara kaum sekuler dan kaum islamis. Dalam novel ini pertentangan diperlihatkan secara jelas melalui kasus


pelarangan pemakaian jilbab terhadap siswasiswa perempuan di institusi pendidikan yang antara lain telah menyebabkan seorang gadis berjilbab memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri. Pelarangan ini merupakan keputusan negara sekuler Turki. Hal ini tentu saja mendatangkan kemarahan pada berbagai kalangan Muslim yang mendukung teguh pemakaian jilbab dan rela membela walau harus melakukan tindakan kriminal. Kenyataannya, di Turki, memang tidak leluasa warganya untuk memilih keyakinan yang diinginkan. Lihat saja apa yang membawa Ka bertengger di ujung tanduk. Secara tak terduga, Snow menjadi sebuah thriller politik berbumbu romansa percintaan yang cukup kental. Ka, yang dalam hidupnya berusaha menjauhkan diri dari dunia politik, tak menyangka keputusannya datang ke Kars justru memerangkap dirinya dalam intrik-intrik dunia politik sebuah kota kecil yang mencekam. Keterlibatan dirinya bahkan menjadi teori atas tewasnya dirinya pada suatu malam di jalanan Frankfurt dan dunia kehilangan puisi-puisi yang ditulisnya di balik keheningan salju Kars. Tapi, meski Snow menjadi sebuah kisah thriller, Orhan Pamuk tidak bermaksud (atau tidak mampu?) membuatnya menjadi thriller yang mengundang penasaran pembaca. Orhan Pamuk menguak kematian Ka terlalu cepat. Saya lebih suka membayangkan kematian Ka baru disingkapkan di penghujung novel. Jika ketahuan di penghujung novel pembaca akan terusmenerus bertanya nasib Ka di Kars, apakah ia akan tewas dalam situasi yang mencekam atau justru selamat dan meninggalkan Kars. Pada titik tertentu Orhan Pamuk menggambarkan betapa keberadaan Ka di Kars membuat ia terjebak di antara hidup

dan mati sehingga berpotensi menciptakan ketegangan. Sayangnya sudah ketahuan ia akan lolos dari Kars dan meninggal sekitar 4 tahun kemudian. Sejatinya, Snow adalah novel yang baik, mengusung kisah lokal membumi yang tidak mengada-ada. Kisahnya juga tidak sulit untuk diikuti. Pantaslah kalau novel ini dinobatkan sebagai salah satu buku terbaik oleh media massa tertentu. Hanya saja, untuk bisa menikmati novel ini bagi yang tidak terbiasa dengan gaya penulisan Orhan Pamuk (atau pengarang internasional sejenis) perlu kesabaran untuk menuntaskannya. Kendati gemar spoiler, Orhan bukanlah penulis ringkas. Pembaca mesti bertahan membaca narasinya yang panjang-panjang dan dialognya yang pada beberapa tempat juga panjang-panjang dan terkesan sedang mengkhotbahi pembaca. Gaya penulisan seperti ini di sisi lain memang memberikan kontribusi yang baik bagi novel. Orhan Pamuk jadi memiliki ruang yang leluasa untuk mengeksplorasi karakterkarakter ciptaannya beserta dengan pikiran dan perasaan mereka. Hal ini berdampak pada eksistensi karakter-karakter yang terasa sangat kuat. Hal yang mengundang penasaran saya adalah 19 puisi yang diciptakan Ka selama 3 hari berada di Kars. Orhan, sang narator orang pertama dalam novel, bisa mengisahkan proses terciptanya puisi-puisi itu setelah 4 tahun Ka mengalami writer’s block. Tapi, tidak ada 1 pun puisi yang dikutip dalam novel (termasuk puisi yang diketahui Orhan dari sebuah video rekaman). Aneh juga jika Ka mencatat detail-detail kejadian yang ia alami beserta proses kreatif puisipuisi tersebut, tapi tidak menulisnya dalam jurnal yang dijadikan salah satu sumber data

halaman 61


oleh Orhan, bapaknya Rüya. Manuskrip kumpulan puisi Ka –kemudian- diceritakan, mungkin, dibawa pergi pembunuh Ka, sehingga Orhan tidak tahu isinya. Snow (Salju) bagi Kadife dan Ipek adalah tentang ‘betapa indah dan pendeknya kehidupan dan meskipun saling membenci, semua orang memiliki banyak persamaan. Karena itulah salju mempersatukan umat manusia. Salju seolah-olah menjadi selimut yang menyelubungi kebencian, keserakahan, dan kemarahan, dan membuat semua orang merasa berdekatan’ (hlm. 191). Saya rasa inilah yang mau disampaikan oleh Orhan Pamuk pada pembaca. Keberadaan perbedaan di antara manusia bukanlah alasan untuk menciptakan pertikaian dan saling membunuh. Hasil terjemahan edisi Indonesia terbilang bagus sehingga secara pribadi saya bisa membacanya dengan lancar. Hanya saja, menurut saya nama-nama seperti Hotel Istana Salju, Kedai Teh Teman Bahagia, Pondok Bir Kegembiraan (ada juga Rumah Bir Kesenangan), Jalan Prajurit, Toko Kue Hidup Baru, dan Studio Foto Istana Cahaya sebaiknya tetap memakai bahasa asli. Karena edisi Indonesia ini diterjemahkan dari edisi Inggris, saya yakin pengalihan nama-nama itu dari bahasa Turki telah terjadi dalam proses translasi ke bahasa Inggris. Padahal, menurut saya, lebih tepat jika menggunakan bahasa Turki dan diberi terjemahannya. Saya juga bertanya-tanya soal Lazuardi yang pada beberapa tempat menggunakan nama Biru dan Blue (hlm. 49 & 557). Karena saya tidak membaca edisi Inggrisnya, saya menduga Lazuardi adalah inisiatif penerjemah edisi Indonesia yang sayangnya tidak konsisten. Selain itu, sepertinya novel

halaman 62

terjemahan ini masih membutuhkan catatancatatan tambahan untuk kesempurnaannya. Seperti yang dilakukan Anton Kurnia dalam novel terjemahannya, Lolita (Serambi, Maret 2008), terkadang catatan kaki memang dibutuhkan. Misalnya penjelasan sebutan Bey atau Ham1m, MIT, PKK, atau siapa itu Edward G. Robinson. Sebelum masuk ke dalam novel, kita akan membaca sebuah kutipan yang mengatakan bahwa: “Politik dalam karya sastra adalah sebuah pistol yang ditembakkan di tengah-tengah sebuah konser, sebuah tindakan kejam yang mustahil diabaikan” (Stendhal, The Charterhouse of Parma, hlm. 7). Orhan Pamuk telah menembakkan ‘pistol’ ke tengah-tengah novel Snow, sebuah konser penuh warna dari sang bintang yang telah terbit di Timur, yang sungguh sayang untuk dilewatkan. *** (Red.INT)

,


Cerita-pendek Mini

Sepenggal Dongeng Franz Ka!a

“A Little Fable� (Jerman: Kleine Fabel) adalah sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Franz Ka#a antara 1917 dan 1923, kemungkinan pada tahun 1920. Cerita pendek ini hanya satu paragraf panjang, tidak diterbitkan pada saat Ka#a masih hidup dan pertama kali muncul di Beim Bau der Chinesischen Mauer (1931). Yang pertama terjemahan bahasa Inggris oleh Willa dan Edwin Muir diterbitkan oleh Martin Secker di London pada tahun 1933. Terjemahan dari teks berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh: Azka Jufvina.

halaman 63


“Malang nian,” sang tikus berkata dalam hati, “bumi ini semakin mengecil. Padahal mulanya tampak begitu besar hingga membuat aku gerun. Aku berlari dan terus berlari. Aku gembira tersebab lorong ini masih lebar dan panjang, tetapi entah mengapa, kemudian dindingdindingnya menyempit begitu cepat dan tak terasa aku sampai dan berada di ujungnya. Di salah satu sudut lorong terpasang jerat yang mau tak mau harus kutuju.” “Kau cuma memerlukan jalan yang baru,” si kucing berkata dan melahapnya hingga habis tak bersisa. ***

,

halaman 64


Seniman, Ramadan, dan Hari Raya Kumpulan Esai Riau Pos 2013 ...agaknya mewakili kerisauan seniman tentang diri dan hari-hari mereka dalam berkarya. Bagi seniman, Ramadan adalah hari-hari yang miskin karya. Hampir tak ada job penampilan seni di hari-hari Ramadan.....

Harga : Rp.

30.000

Muchid Albintani

Dari Lubang kembali ke Lubang (kumpulan kolom) ...konsep ‘lubang’ adalah bagian dari salah satu judul kumpulan tulisan yang mengungkap terkait seputar isu lebaran (idul fitri). Dalam rubrik ‘Segantang Minda’, teristimewa menjelang Lebaran 1443 H yang lalu,...

Harga : Rp.

60.000

Bendera Putih Untuk Tuhan Kumpulan Puisi Pilihan Riau Pos 2014 ..., puisi “penting” bagi koran. Terbaca atau tak terbaca, puisi seperti halaman putih dari hiruk realitas keseharian kita. Kalaupun sepintas orang membaca sebuah judul puisi, lalu ia meninggalkannya, puisi tak akan menyesal menjadi puisi....

Harga : Rp.

B S

30.000

Tersedia di Toko Buku Sagang Alamat Gedung Graha Pena Riau - Riau Pos Group, Lantai 1 halaman lxv Jl. H.R. Soebrantas, Km 10,5 Panam - Pekanbaru. Email: umumsagang@yahoo.co.id


halaman lxvi


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.