Edisi208

Page 1

Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)

208

l

JANUARI 2016

www.majalahsagang.co.id

Di Sudut Rumah Sakit: Herman Nainggolan cerita pendek Alex R. Nainggolan |Cerita-Pendek Terjemahan: Sukar Menemukan Orang Baik oleh Flannery O’Connor | Sajak-sajak: Cahaya Buah Ha!, Arlin Widya SaďŹ tri, dan Imam Budiman | Senirupa: Jean-Michel Basquiat | Tokoh: Lorca, di Suatu Sore Ke!ka Kema!an Mengetuk Pintu | In Memoriam: Penyair Leon Agusta (Ridwan Ilyas) halaman KULITi


halaman KULI KULITii LITi LI Tii Ti


Penerbit: PT. Sagang Intermedia Pers

DAFTAR ISI

SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Graha Pena Riau, Lantai 8 Jalan H.R Soebrantas KM 10,5 Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810 Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.co.id e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,-

n Pernando Pessoa ..............................1 n Cerita-Pendek - Di Sudut Rumah Sakit : herman nainggolan oleh Alex R. Nainggolan ...................... 3 - Sukar Menemukan Orang Baik (A Good Man Is Hard To Find) oleh Flannery O’Connor ...................... 8 n Sajak

No. 208 l JANUARI 2016 l tahun XVIII

- Cahaya Buah Hati .............................. 26 - Arlin Widya Safitri ............................. 34 - Imam Budiman .................................. 44 n Senirupa Jean-Michel Basquiat ..................... 51 n Tokoh Lorca, di Suatu Sore Ketika Kematian Mengetuk Pintu ................................... 54

Penampilan Siswa dan Siswi SMAN 8 Pekanbaru, pada acara Madah Poedjangga 5 Desember 2015 di Graha Pena Riau. Foto Arif

n In Memoriam Penyair Leon Agusta (Ridwan Ilyas) ..................................... 58

Perintis: Rida K Liamsi l General Manager: Armawi KH l Wakil General Manager: Kazzaini Ks l Pimpinan Perusahaan: Mega Setara lPimpinan Redaksi: Kazzaini Ks lRedaktur: Armawi KH, Kazzaini Ks, Eriyanto Hady, Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Sutrianto l Pra cetak: Rudi Yulisman l Ilustrator Tetap: Purwanto l Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@ yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


Tajuk

Pernando Pessoa erda erdapat 100 orang penulis sastra yang dipilih dari hasil survei para editor dari dipi Norwegian Book Clubs, dengan Norwegian Nobel Institute, dari 54 negara yang mereka dianggap sebagai “yang terbaik dan karya paling sentral dalam sastra dunia.” Di antara 100 orang penulis sastra itu adalah Tayeb Salih dengan buku A Season of Migration to the North, Franz Ka!a dengan buku The Complete Stories; The Trial; The Castle, Doris Lessing dengan buku The Golden Notebook , Fyodor Dostoyevsky dengan buku Crime and Punishment; The Idiot; The Possessed; The Brothers Karamazov, Francois Rabelais dengan buku Gargantua and Pantagruel, Günter Grass dengan buku The Tin Drum, Samuel Beckett dengan buku Trilogy: Molloy, Malone Dies, The Unnamable, Giovanni Boccaccio dengan buku Decameron, Yasunari Kawabata dengan buku The Sound of the Mountain, Franz Ka!a dengan buku The Complete Stories; The Trial; The Castle, Federico Garcia Lorca dengan buku Gypsy Ballads, Gabriel Garcia Marquez dengan buku One Hundred Years of Solitude; Love in the Time of Cholera, Jorge Luis Borges dengan buku Collected Fictions, termasuk di dalamnya Pernando Pessoa. Di antara buku pilihan itu Don Quixote yang ditulis oleh Miguel de Cervantes dinilai 50% melebihi buku lainnya, meskipun tidak menurut peringkat penilaian. Di antara 100 orang para penulis itu nampaknya tidak terdapat penulis sastra dari Indonesia. Siapakah Pernando Pessoa? Ia lahir di Portugis dengan nama lengkap Fernando Nogueira António Pessoa pada 13 Juni 1888, dan meninggal-dunia pada 30 November 1935). Pessoa adalah penyair Portugis,

halaman 2

penulis, kritikus sastra, penerjemah, penerbit dan filsuf, para pemerhati sastra menggambarkan Pessoa sebagai salahseorang tokoh sastra paling signifikan dari abad ke-20 dan salah-seorang penyair terbesar dalam bahasa Portugis. Buku Pernando Pessoa yang dipilih dari 100 orang penulis dunia itu adalah The Book of Disquiet yang kalau diterjemahkan kirakira sebagai “Kitab Keresahan”. Buku Pessoa ini telah dipublikasi di Spanyol (1984), Jerman (1985), Italia (1986), Perancis (1988), dan Inggris (1991). The Book of Disquiet ini pada tahun 1991 telah memiliki empat edisi bahasa Inggris dari penerjemah yang berbeda, seperti Richard Zenith (editor dan penerjemah), Iain Watson, Alfred Mac Adam dan Margaret Jull Costa. Di Jerman, buku ini diterjemahkan dengan 16 edisi oleh penerjemah dan penerbit yang berbeda. “In Lisbon there are a few restaurants or eating houses located above decent-looking taverns, places with the heavy, domestic look of restaurants in towns far from any rail line. These second-story eateries, usually empty except on Sundays, frequently contain curious types whose faces are not interesting but who constitute a series of digressions from life.” Di Lisbon ada beberapa restoran atau rumah makan yang terletak di bar yang tampak nyaman, tempat yang sarat, dengan tampilan restoran domestik di kota-kota yang jauh dari jalur rel. Di lantai dua restoran, biasanya kosong kecuali pada hari Ahad, dengan wajah yang tidak menarik yang membuat penasaran yang merupakan serangkaian penyimpangan dari kehidupan.***


Cerita-Pendek

Di Sudut Rumah Sakit :herman nainggolan oleh

Alex R. Nainggolan halaman 3


ku h harus beradadi kota ini selama beberapa hari, mengunjungi seorang paman, yang sebenarnya jarang kutemui. Berada di seor kota yang tidak terlalu ramai dibandingkan dengan Jakarta. Ayah bilang, ia terserang prostat, gangguan kandung kemih, sehingga sulit untuk buang air kecil. Sekali, dua kali, aku memang pernah bertemu dengannya. Perawakan paman yang lumayan tegap, dengan mimik muka yang selalu serius, berkacamata. Kali ini aku berkunjung ke kotanya, tidak terlalu jauh tiga jam naik kereta bisnis dari Jakarta. Maka aku memasuki sebuah kota yang sekali dua kali pernah kukunjungi itu. Memang aku sempat beberapa kali mengunjungi kota tempat tinggalnya, karena kebetulan adikku yang paling kecil pernah mondok di sana. Beberapa kali kukirim SMS pada anaknya yang kedua, Bang Leo. Menanyakan naik angkot apa saja jika sudah tiba di stasiun. Ah, sebenarnya aku juga jarang berjumpa dengannya, hanya sekali dua kali. Tetapi pertemuan terkadang melulu cuma buat pribadi masingmasing. Orang-orang berjumpa hanya untuk menanyakan kabar, dan aku datang juga karena sebuah kabar. Kabar bila pamanku terserang prostat, sehingga harus dioperasi. Sendirian aku dalam gerbong kereta, meninggalkan kesumpekan Jakarta yang penuh debu. Sebentar lagi kereta akan masuk ke stasiun Cirebon. Kota perbatasan antara Jawa Barat dan Tengah. Kota yang cuma transit, yang mengingatkanku pada Bandarlampung, tempatku kuliah. Di mana orang-orang hanya singgah jika memunyai keperluan semata. Dan aku pun mengunjungi kota ini untuk suatu keperluan juga: menjenguk keluarga yang sakit. Kabar terakhir yang kudengar, paman membutuhkan darah segar. Karena operasi pertamanya gagal, masih setengah infus, demikian dituturkan salah seorang saudara di Jakarta. Kabar yang kudengar pula, ia membutuhkan golongan darah O, yang tentunya sama dengan yang kumiliki. Kegagalan operasi itu, lanjut saudara, karena bius yang digunakan hanya setengah saja. Sehingga cuma mematikan syaraf tubuh setengahnya, semestinya operasi menuntut ketenangan, tapi paman malah banyak bergerak, sehingga gumpalan daging yang menyumbat saluran kencingnya tak bisa diangkat. Dari stasiun Cirebon aku naik angkot dua kali, sempat bertanyatanya. Untunglah orang-orang di kota ini ramah dan baik terhadap orang asing. Ditunjukkan di mana aku mesti menunggu angkutan dan menyebutkan nama tempat untuk berhenti. Aku sampai di rumah sakit, hujan turun kecil-kecil. Sedari stasiun tadi hujan terus saja menyumbat udara, menguakkan langit, dan turun dalam rinai

halaman 4


yang kecil-kecil. Aroma dinginnya menguapkan bau tanah sampai ke permukaan hidung, seperti menyengat dengan dingin yang terjerat sampai ke dalam tulang. Aku merapikan diri, memasuki rumah sakit kecil yang bertingkat satu. Baru saja masuk ke dalam ruangan itu, aku seperti dihadapkan pada bau kematian yang menyembul. Ruangan yang panjang dipenuhi lorong. Aku masuk mengisap sebagian masa lalu, mengingat-ingat apakah ada perubahan yang terjadi pada wajah paman. Sudah berapa lama aku tak bertemu dengannya? Setahun, dua tahun? Ah, aku sendiri juga sudah lupa. “Apa kabar, Pedro? Bagaimana perjalanan kereta tadi, menyenangkan?”, suara yang pernah kukenal di masa lalu mengejutkanku. Ia menyodorkan tangan, Leo, anak paman menyapa dengan hangat, aku tergerak untuk menyalaminya. “Ya, kau tahu sendirilah bagaimana pelayanan kereta api di Indonesia. Angkutan yang paling murah di negeri ini. Tetapi lumayan juga, kereta agak sepi, barangkali karena bukan waktu liburan. Bagaimana kondisi paman?” Ia hanya terdiam, mengajak aku masuk ke dalam ruangan. Ruangan itu tak seberapa besar. Masuk ke dalam hanya ada dua buah sofa yang tersusun, satu buah kamar mandi, meja, dan dingin. Kemudian Leo membisikkan sesuatu kepada Ayahnya, tebakku ia mengatakan bahwa aku datang. Tak lama, Paman, melambaikan tangan, meminta aku untuk menjabat tangannya perlahan. Aku menatap dua buah selang infus yang menancap di sekujur tubuhnya. Satu di lengan sebelah kiri, satu lagi ke arah perut yang dibungkus dengan kain sarung. Ruangan itu lumayan sejuk. Tapi akibat terkena rinai hujan dari stasiun tadi, aku menjadi tak akrab dengan sejuknya ruangan yang lumayan dingin. Di sisi ranjang, tertera nama: Herman Nainggolan. Setelah sibuk bercakap-cakap ke sana-ke sini, tentang keluarga di Jakarta. Leo mengajakku keluar ruangan. “Ayolah ke luar di sini terlampau sesak.” Aku menuruti ajakannya. Duduk di bangku panjang, menyaksikan layar televisi yang menerangkan masalah politik, kemiskinan, serta kriminal. Acara bedah kasus. Malam merambat dengan pelan, menanam kelamnya di sekeliling bangku panjang. Aku mengeluarkan sebatang rokok. “Tadi malam, aku panik mencari darah. Ternyata di PMI, kantong darah habis untuk golongan O. Terpaksa aku mondar-mandir ke beberapa rumah sakit, menanyakan cadangan darah. Mana harganya

halaman 5


mahal lagi, untuk satu kantong saja sebesar seratus ribu rupiah.” Aku hanya terdiam. “Kegagalan operasi itu membuat Ayah koma selama beberapa jam. Makanya Ibu panik dan menelepon saudara di Jakarta. Tetapi untunglah, kondisi Ayah sudah berangsur-angsur pulih. Tinggal tahap penyembuhan.” Aku kembali terdiam, mataku menancap pada layar televisi yang menyodorkan gambar-gambar asing. Orang-orang berkerumun, berkumpul, membawa spanduk warna-warni, dengan kalimat pelbagai rupa. “Jadi berapa prostat yang dikeluarkan?” tanyaku “Dua-duanya di saluran tersebut.” Leo menukas, “Apa kau lelah, atau beristirahat di sini?” Aku memilih untuk menjaga paman. Tinggal dan tidur di atas sofa dalam ruangan itu. Sesekali untuk mendiamkan geram yang berputar bersama detak jam, aku menelusuri ruangan rumah sakit. Begitu banyak orang sakit di sini. Dengan orang-orang yang tidur di atas tikar, berjuang melawan kantuk, dan berdoa. Begitu banyak pengharapan yang tumbuh di sini, dengan sekejap. Dan memang maut tak pernah dapat diterka, tak mampu diucapkan. Bisa saja ia datang menyelinap masuk ke pintu setiap ruangan di rumah sakit ini tanpa permisi. Malaikat pencabut nyawa yang hinggap di atap, di lantai, di ranjang, mengunjungi setiap orang, dan siap mengambil ajal. Doa seperti berjenjang. Merayap, semacam biusan yang terlelap. Masih malam, abang Leo, sudah lama meninggalkanku sendiri. Ia ingin membeli obat yang diberikan dokter untuk paman di apotek. Dan malam bergelayut di pundakku, tak bisa kuistirahatkan sisa lelahku siang tadi. Ada beban yang tiba-tiba beranak-pinak menjadi besar, beban yang terasa makin panjang terbetang. Malam hari. Lampu di sepanjang lorong rumah sakit redup. Aroma sakit seperti melutup. Berdenyut, berebut mencari hidup. Hujan masih juga turun, menggores semua ingatan yang bertahuntahun menumpuk di dalam kepalaku. Di ruang runggu pelataran itu, aku merapatkan jaket, menarik resleting sampai ke batas leher. Mendekap tubuhku sendiri, melawan sisa dingin dari hujan. Aku mengenang kembali semuanya, selang-selang infus yang tersusun, menancap di lengan dan badan. Malam ini, aku berjuang lagi, sekadar menggambar silsilah keluarga. Aku menggambarnya dalam sebuah peta yang gelap, acapkali aku memasuki hutan gelap. Menyemaikan nama-nama keluarga, menarik garis, seberapa lama sebenarnya diriku mengenal saudara?

halaman 6


Dan aku tersesat malam ini, di sudut rumah sakit, menampung masa lalu yang berpalung. Aku merasa luka, dan yang kubisa saat ini hanya berdoa. Entah mengapa aku merasa bergantung pada Tuhan. Mungkin aku akan berdoa bagi paman, keluarga, atau juga buat diriku sendiri. Jakarta-Cirebon-Bandarlampung, 2003-2004, Poris Plawad Edelweis 2013

Alex R. Nainggolan Lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, !njauan buku sempat nyasar di Jawa Pos, Padang Ekspres, Surabaya News, Radar Surabaya, Riau Pos, Majalah Sagang Riau, dll. Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila. Beberapa karyanya juga termuat dalam antologi La Runduma (CWI & Menpora RI, 2005), 5,9 Skala Ritcher (KSI & Bentang Pustaka, 2006), Akulah Musi (PPN V, Palembang 2011), Sauk Seloko (PPN VI, Jambi, 2012), Negeri Abal-Abal (Komunitas Radja Ketcjil, Jakarta, 2013) dan sebagainya. Beberapa kali memenangkan lomba penulisan ar!kel, sajak, cerpen, karya ilmiah di antaranya: Radar Lampung (Juara III, 2003), Majalah Sagang-Riau (Juara I, 2003), Juara III Lomba Penulisan cerpen seSumbagSel yang digelar ROIS FE Unila (2004), nominasi Fes!val Krea!vitas Pemuda yang digelar CWI Jakarta(2004 & 2005). Bekerja di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kini berdomisili di Taman Royal 3 Cluster Edelweiss 10 No. 16 Kel. Poris Plawad Kec. Cipondoh Kota Tangerang Banten.

S

halaman 7


Cerita-Pendek Terjemahan

Sukar Menemukan Orang Baik (A Good Man Is Hard To Find) oleh

Flannery O’Connor

an nenek tidak mau pergi ke Florida. Dia ingin menemui ang beberapa kenalannya di East Tennessee dan dia menggunakan be setiap kesempatan yang dimilikinya untuk mengubah pikiran seti Bailey. Bailey adalah satu-satunya putra yang dimilikinya dan sekarang dengannyalah dia tinggal. Bailey sedang duduk di kursinya, melipat bagian olahraga di korannya. “Sekarang, lihat ini, Bailey,” ujarnya, “lihat ke sini, baca ini,” kemudian dia berdiri dengan satu tangan di pinggangnya yang kurus dan satunya lagi mengibas-ngibaskan koran di depan kepala putranya yang telah membotak. “Lihat, orang yang menyebut dirinya sendiri The Misfit ini berhasil meloloskan diri dari penjara federal dan sekarang sedang mengarah ke Florida dan kau baca ini apa yang dia lakukan terhadap orang-orang. Kau baca saja. Aku tidak akan membawa anak-anakku ke arah yang sama di mana ada seorang penjahat berkeliaran. Aku tidak akan dapat menghilangkan rasa bersalahku kalau benar-benar kulakukan.”

halaman 8


Bailey tidak mengalihkan pandangan dari bacaannya, jadi dia berputar dan mencoba untuk mendekati ibu dari cucunya itu, seorang wanita muda yang mengenakan celana panjang, wajahnya selebar dan selugu kubis dan di atas kepalanya terikat sebuah ikat kepala hijau dengan dua ujung yang mencuat seperti telinga kelinci. Dia sedang duduk di sofa, menyuapi si bayi. “Anak-anak sudah pernah ke Florida sebelumnya,” kata sang nenek. “Kalian harus membawa mereka ke tempat lain untuk mengganti suasana sehingga mereka dapat melihat bagian lain dunia ini. Mereka tidak pernah ke East Tennessee.” Ibu anak-anak tersebut tampak tidak menghiraukannya, tapi putra mereka yang berumur delapan tahun, John Wesley, seorang anak berbadan gempal dengan kacamata, berkata, “Kalau nenek tidak mau ke Florida, kenapa tidak tinggal saja di rumah?” dia dan seorang gadis kecil, June Star, sedang membaca majalah humor di lantai. “Nenek tidak akan tinggal di rumah hanya untuk menjadi ratu sehari,” sahut June Star tanpa mengangkat kepala kuningnya. “Ya, dan apa yang akan kalian lakukan jika orang ini, The Misfit, menangkap kalian?” sanggah sang nenek. “Aku akan memukul wajahnya,” jawab John Welsey. “Nenek tidak akan tinggal di rumah walaupun kau beri uang satu juta,” sambung June Star. “Dia tidak mau melewatkan sesuatu. Dia harus pergi kemanapun kita pergi.” “Baiklah nona muda,” sahut sang nenek. “Awas saja kau kalau nanti ingin aku menggelung rambutmu.” June Star berujar bahwa rambutnya sudah ikal secara alami. Esok paginya, sang nenek menjadi yang pertama yang telah masuk ke mobil, siap untuk berangkat. Dia membawa tas hitam besarnya yang terlihat seperti kepala kuda nil di satu sisinya, dan di baliknya dia menyembunyikan sebuah keranjang dengan Pitty Sing, kucingnya, di dalamnya. Dia tidak ingin meninggalkan kucingnya sendirian di rumah selama tiga hari karena dia pasti akan sangat merindukannya dan dia takut kucingnya akan menggosok-gosokkan badannya di salah satu pembakar bensin dan secara tidak sengaja membuatnya sesak napas sendiri. Sementara putranya, Bailey, tidak ingin tiba di motel dengan seekor kucing. Dia duduk di tengah kursi belakang dengan John Wesley dan June Star di kedua sisinya. Bailey, istrinya, dan bayi mereka duduk di kursi depan dan mereka berangkat meninggalkan Atlanta jam delapan lewat empat puluh lima menit dengan meteran jarak di mobil pada angka 55890. Sang nenek mencatat ini karena pikirnya akan menyenangkan

halaman 9


saat dapat mengatakan berapa mil telah mereka tempuh saat mereka pulang nanti. Mereka berjalan dua puluh lima menit untuk dapat sampai di pinggir kota. Sang nenek menyesuaikan duduknya agar nyaman sementara dia melepaskan sarung tangan katun putihnya dan meletakkannya bersama dengan dompetnya dalam rak di depan jendela belakang. Sang ibu masih mengenakan celana panjangnya dan kepalanya masih dilingkari ikat kepala hijau, namun sang nenek mengenakan topi pelaut jerami biru dengan sejumput bunga putih di pinggirannya dan baju biru pelaut dengan titik hitam kecil di sekitarnya. Kerah dan mansetnya berwarna putih dihiasi dengan renda dan di garis lehernya telah dia tempel potongan bunga kain yang berisi bedak. Kalau terjadi kecelakaan, siapapun yang melihat jasadnya di jalan raya akan segera tahu bahwa dia seorang wanita. Katanya dia pikir hari itu merupakan hari yang tepat unjuk berjalan-jalan, tidak terlalu panas juga tidak terlalu dingin, dan dia memperingatkan Bailey bahwa batas kecepatan di jalan tersebut adalah lima puluh lima mil per jam dan bahwa petugas patroli

halaman 10


biasa bersembunyi di balik papan iklan dan rimbunan pohon dan akan mengejarnya bahkan sebelum dia dapat melambatkan laju kendaraannya. Dia menunjuk detil-detil pemandangan yang menurutnya menarik: Gunung Batu; batu granit biru yang di beberapa tempat muncul di kedua sisi jalan; tanah liat berwarna merah cerah dengan sedikit garis-garis keunguan; dan bermacammacam tumbuhan yang berbaris lurus membentuk garis kehijauan di tanah. Pohon-pohon seluruhnya berwarna putih keperakan karena sinar matahari dan yang di tengah-tengahnya terlihat berkilauan. Anak-anak sedang membaca buku komik dan si ibu sudah tertidur. “Ayo cepat lewati Georgia, jadi kita tidak akan banyak melihat pemandangan seperti ini,” pinta John Wesley. “Kalau aku anak kecil,” sahut sang nenek, “Aku tidak akan mengatai negara bagian asalku dengan cara seperti itu. Tennessee punya pegunungan dan Georgia punya perbukitan.” “Tennessee cuma tanah terlantar yang berbukit,” sanggah John Wesley, “dan Georgia juga Negara bagian yang jelek.” “Benar sekali,” sambung June Star. “Zaman nenek dulu,” kata sang nenek, sambil melipat jemarinya yang telah berurat, “anak-anak lebih menghormati negara bagian asal mereka, orang tua mereka, dan semuanya. Orang-orang melakukan hal yang benar saat itu. Oh lihat anak kecil negro yang imut itu!” serunya sambil menunjuk ke anak Negro yang sedang berdiri di depan pintu sebuah gubuk. “Bukankah itu pemandangan yang indah?” tanyanya dan mereka berpaling dan melihat ke si anak Negro dari jendela belakang. Dia melambaikan tangannya. “Dia tidak mengenakan celana,” komentar June Star. “Dia mungkin tidak punya,” jelas sang nenek. “Anak-anak kecil di desa tidak punya benda-benda seperti kita. Kalau aku bisa melukis, sudah kulukis pemandangan itu,” ujarnya. Anak-anak bertukar buku komik mereka. Sang nenek menawarkan diri untuk menggendong si bayi dan si ibu memberikan bayinya kepadanya. Dia mendudukkannya di pangkuannya, menimangnya, lalu menceritakannya apa saja yang telah mereka lewati selama perjalanan. Dia memutar matanya, membengkokkan mulutnya, dan menempelkan wajah tipis kasarnya ke wajah lembut si bayi. Kadang-kadang dia menunjukkan senyumnya dari jauh. Mereka melewati sebuah kebun kapas dengan lima atau enam pemakaman yang dipagari di tengah-tengahnya seperti pulau kecil. “Lihat kuburan itu!” teriak sang nenek sambil menunjuknya.

halaman 11


“Itu tanah pemakaman keluarga. Ada perkebunan juga di sana.” “Mana perkebunannya?” sahut John Wesley. “Lenyap Bersama Angin,” ujar sang nenek. “Ha. Ha.” Ketika anak-anak sudah selesai membaca semua buku komik yang mereka bawa, mereka membuka makan siang mereka kemudian memakannya. Sang nenek makan sandwich dengan selai kacang dan zaitun dan tidak mengizinkan anak-anak membuang kotak dan serbet kertas mereka dari jendela. Ketika tidak ada lagi yang dapat mereka lakukan, mereka bermain tebak-tebakan dengan memilih awan dan yang lainnya harus menebak awannya berbentuk seperti apa. John Wesley memilih awan yang berbentuk sapi dan June Star menebak sapi, tapi John Wesley berkata, tidak, awannya berbentuk mobil, dan June Star berkomentar bahwa dia tidak bermain dengan adil, kemudian mereka saling memukul di depan sang nenek. Sang nenek kemudian menawarkan bahwa dia akan bercerita kalau mereka bisa bersikap tenang. Ketika dia menceritakan sebuah cerita, matanya memutar lalu menggoyangkan kepalanya dengan khidmat sehingga terlihat sangat dramatis. Dia bercerita bahwa ketika dia masih muda, dia pernah didekati oleh Mr. Edgar Atkins Teagarden dari Jasper, Georgia. Dia adalah pria yang berpenampilan menarik dan seorang gentleman dan dia selalu membawakannya semangka setiap sabtu siang dengan inisial namanya terpahat di permukaan buah semangka, E.A.T. Suatu hari, sambungnya, Mr. Teagarden membawa semangka dan tidak ada orang di rumahnya, sehingga dia meninggalkannya di depan beranda kemudian kembali dengan mobilnya ke Jasper, tapi sang nenek tidak pernah menemukan semangkanya, jelasnya, karena seorang anak Negro memakannya ketika melihat inisial E.A.T.! Cerita ini menggelitik John Wesley sehingga membuatnya tak berhenti tertawa, tapi June Star tidak merasa ceritanya lucu. Katanya dia tidak akan menikahi pria yang hanya membawakannya semangka setiap hari Sabtu. Sang nenek yakin kalau dia pasti sudah hidup bahagia jika dulu dia memilih untuk menikah dengan Mr. Teagarden, karena dia seorang gentleman dan pernah membawakannya satu kerat CocaCola saat pertama kali dipasarkan dan telah meninggal beberapa tahun lalu, pria yang sungguh kaya. Mereka berhenti di The Tower untuk membeli sandwich panggang. Sebagian tempat itu diplester oleh semen, sementara sebagiannya lagi dilapisi kayu, dan ada ruang dansa di halaman luar Timothy. Seorang pria gendut bernama Red Sammy Butts mengelola tempat itu dan ada stiker yang ditempel di sekitar gedung dan di sepanjang jalan raya, bertuliskan; CICIPI BARBECUE TERKENAL SAMMY. TIDAK ADA

halaman 12


BARBECUE SEENAK BUATAN RED SAMMY! RED SAM! BOCAH GENDUT DENGAN TAWA BAHAGIA. SEORANG VETERAN! RED SAMMY ADALAH JAGOANMU! Red Sammy sedang berbaring di lantai luar The Tower sementara kepalanya tertutupi di bawah truk, dan ada seekor monyet berwarna abu-abu yang dirantai ke pohon chinaberry kecil, mengoceh tidak jelas di dekatnya. Monyet itu berlari kembali ke pohonnya dan memanjat setinggi mungkin saat melihat anak-anak meloncat keluar dari mobil dan berlari ke arahnya. Di dalamnya, The Tower memiliki ruangan gelap panjang dengan sebuah meja kasir di salah satu ujungnya dan meja-meja di sekitarnya dan lantai dansa di tengahnya. Mereka semua duduk di meja lebar di samping kotak musik, kemudian istri Red Sam, seorang wanita dengan tubuh tinggi kecoklatan dengan rambut dan mata yang lebih terang dibanding kulitnya, datang dan menanyakan pesanan mereka. Sang ibu memasukkan satu koin uang ke dalam mesin musik tersebut dan memainkan “The Tennessee Waltz,” sang nenek berkomentar bahwa nadanya selalu membuatnya ingin menari. Dia bertanya kepada Bailey apakah dia ingin menari dengannya tapi dia hanya menatapnya dengan tajam. Dia tidak memiliki watak secerah ibunya dan perjalanan selalu membuatnya tegang. Mata coklat sang nenek sangat cerah. Dia menggelengkan kepalanya kesanakemari dan berpura-pura seolah dia sedang menari di kursinya. June Star meminta dimainkan musik yang dapat ditarikannya, kemudian ibunya memasukkan satu lagi uang koin dan memainkan sebuah musik lalu June Star berjalan ke lantai dansa dan memulai tarian rutinnya. “Manis sekali dia,” ujar istri Red Sam sambil membungkuk di meja kasir. “Apa kau mau menjadi putri kecilku?” “Tidak, aku sangat tidak mau,” jawab June Star. “Aku tidak ingin tinggal di tempat reyot ini bahkan jika kau menawariku uang satu juta!” lalu dia berlari kembali ke mejanya. “Manis sekali dia.” Ulangnya sambil melebarkan senyumnya dengan sopan. “Apa kau tidak tahu malu?” desis sang nenek. Red Sam datang dan menyuruh istrinya agar berhenti bermalasmalasan dan segera mengerjakan pesanan orang-orang ini. Celana khakinya hanya menutupi sampai pangkal paha dan perutnya bergantungan di atas pingulnya seperti sekantong makanan yang bergoyang-goyang di balik kausnya. Dia mendekat lalu duduk di

halaman 13


meja terdekat di sana kemudian menghembuskan sesuatu yang merupakan suatu kombinasi desahan dan siulan. “Kau tidak bisa menang,” desahnya. “Kau tidak bisa menang,” lalu dia mengelapkan wajah merahnya yang telah dipenuhi keringat dengan sapu tangan berwarna abu-abu. “Kau tidak tahu siapa yang dapat dipercaya zaman ini,” sambungnya. “Bukankah itu benar?” “Pastinya, orang-orang sudah tidak seperti dulu lagi,” ujar sang nenek. “Ada dua orang datang kemari minggu lalu,” kata Red Sammy, “mengendarai mobil Chrysler. Mobilnya sudah usang tapi tetap terlihat bagus dan mereka seperti orang baik-baik. Katanya mereka bekerja di penggilingan dan apa kau tahu, aku membiarkan mereka mengisi bahan bakar mereka secara cuma-cuma. Kalau dipikir-pikir lagi, kenapa aku mau melakukannya?” “Karena kau orang yang baik!” sahut sang nenek dengan cepat. “Iya, mungkin,” ujar Red Sam pelan seolah-olah dia sangat terkejut dengan jawabannya. Istrinya membawakan pesanan mereka, membawa lima piring sekaligus tanpa nampan, dua piring di setiap tangannya dan satu di lengannya. “Tidak ada seorang pun yang dapat kau percaya di dunia ini,” ujarnya. “tidak seorang pun,” ulangnya sambil melihat ke arah Red Sammy. “Apa kau membaca berita tentang penjahat, The Misfit, yang melarikan diri itu?” Tanya sang nenek. “Aku tidak akan terkejut sedikit pun kalau dia tidak menyerang tempat ini,” jawabnya. “Kalau dia tahu tentang tempat ini, aku pasti akan terkejut sekali bertemu dengannya. Kalau dia tahu hanya ada dua sen di kotak uang, aku tidak akan terlalu terkejut kalau dia…” “Cukup sudah,” potong Red Sam. “Bawakan pesanan Coca-Cola mereka,” kemudian istrinya pergi unuk mengambilkan sisa pesanan mereka. “Jarang ada orang yang baik,” ujar Red Sammy. “Semuanya semakin memburuk. Aku masih ingat dulu kita bisa pergi meninggalkan rumah dan membiarkan pintu depan terbuka. Tapi sekarang tidak bisa lagi.” Dia dan sang nenek mulai mendiskusikan masa-masa lalu yang menurut mereka lebih baik. Menurut sang nenek, Eropa-lah yang harus disalahkan sepenuhnya atas apa yang terjadi sekarang. Katanya, Eropa membuat kita menganggap manusia terbuat dari uang dan menurut Red Sam tidak ada gunanya membicarakan tentang hal itu, sang nenek benar. Anak-anak berlari keluar melihat monyet yang

halaman 14


dirantai ke pohon chinaberry. Monyet itu sibuk menangkap lalat di sekitar tubuhnya dan menggigitinya satu per satu seolah-olah itu adalah cemilannya. Mereka melanjutkan perjalan di siang hari yang terik. Sang nenek tertidur sebentar dan terbangun setiap beberapa menit karena dengkurannya sendiri. Di luar daerah Toombsboro dia terbangun dan ingat bahwa dia pernah mengunjungi kebun tua di sekitar sana saat dia masih muda. Katanya rumah itu memiliki enam tiang berwarna putih di depannya dan ada jalan yang dibarisi oleh pohon ek yang mengarah ke sana dan dua anjang-anjang kecil yang terbuat dari kayu di sisi-sisinya di mana kau bisa duduk dengan pasanganmu setelah berjalan-jalan di kebun. Dia masih ingat dengan jelas jalan mana yang harus dilalui untuk sampai ke sana. Dia tahu Bailey tidak mau membuang waktunya untuk melihat rumah tua itu, tapi semakin dia menceritakannya, semakin dia ingin mengunjunginya sekali lagi dan mencari tahu apakah anjangan kembar di depan rumah itu masih berdiri. “Ada pintu rahasia di rumah ini,” katanya dengan nada meyakinkan, tidak mengatakan yang sebenarnya tapi berharap itu benar, “dan sebuah cerita mengatakan bahwa semua perak yang dimiliki keluarga itu disembunyikan di dalamnya ketika Sherman datang tapi tidak pernah ditemukan sampai sekarang.” “Hey!” seru John Wesley. “Ayo kita pergi melihat rumah itu! Kita akan menemukannya! Kita akan melepas semua kayu dan menemukannya! Siapa yang tinggal di sana? Di mana kita harus berbelok? Hey Pop, apa kita bisa ke sana?” “Kita tidak pernah ke rumah yang ada pintu rahasianya!” teriak June Star. “Ayo pergi ke rumah itu! Hey Pop, apa kita bisa mengunjungi rumah dengan pintu rahasia itu?” “Tempatnya tidak jauh dari sini, aku tahu letaknya,” ujar sang nenek. “Perjalanan ke sana tidak akan lebih dari dua puluh menit.” Bailey tetap menatap lurus ke depan. Rahangnya kaku seperti tapak kuda. “Tidak,” sahutnya. Anak-anak mulai berteriak bahwa mereka ingin melihat rumah dengan pintu rahasia itu. John Wesley menendang punggung kursi depan dan June Star menggantung di pundak ibunya dan merengekrengek ke telinganya bahwa mereka tidak pernah bersenang-senang di setiap liburan mereka, mereka tidak dapat melakukan apa yang mereka inginkan. Si bayi mulai menangis dan John Wesley menendang punggung kursi depan dengan sangat keras sampai ayahnya dapat merasakan tendangannya di ginjalnya.

halaman 15


“Cukup!” teriaknya dan menepikan mobil di pinggir jalan. “Apa kalian semua bisa diam? Apa kalian semua bisa duduk sebentar saja? Kalau kalian tidak bisa diam, kita tidak akan bisa ke mana-mana.” “Itu akan sangat berguna untuk mereka,” gumam sang nenek. “Baiklah,” sambung Bailey, “tapi ingat; kita akan berhenti untuk hal-hal seperti ini sekali ini saja. Hanya untuk kali ini saja.” “Jalan tanah yang harus kita lewati berada sekitar satu mil di belakang,” tunjuk sang nenek. “Aku melihatnya saat kita lewat tadi.” “Jalan tanah,” erang Bailey. Setelah mereka berputar dan berjalan mengarah ke jalanan yang tidak diaspal, sang nenek mengingat hal-hal lain yang dimiliki rumah itu, kaca hias di pintu depan dan lampu lilin di ruang tamu. John Wesley berpendapat bahwa pintu rahasianya mungkin ada di perapian. “Kalian tidak boleh masuk ke dalam rumah,” sahut Bailey. “Kalian tidak tahu siapa yang tinggal di sana.” “Sementara kalian semua berbicara dengan penghuni di sana, aku akan berlari ke belakang dan masuk lewat jendela,” usul John Wesley. “Kita akan tetap tinggal di mobil,” kata ibunya. Mereka berbelok masuk ke jalan yang masih bertanah dan mobil mereka melaju di sepanjang pusaran debu. Sang nenek bercerita tentang masa lalu saat belum ada jalan beraspal dan tiga puluh mil adalah perjalanan sehari penuh. Jalanannya berbukit dan ada tikungan-tikungan tajam berbahaya di setiap belokannya. Tibatiba saja mereka telah tiba di sebuah bukit, melihat puncak pohon yang berwarna biru jauh di bawah sana, kemudian mereka sampai di tempat yang dikelilingi oleh pohon berdebu yang seolah menatap mereka semua. “Rumah itu sebaiknya ada di sekitar sini,” Bailey menggerutu, “atau aku akan berbelok memutar.” Jalanan itu terlihat seperti tidak ada seorangpun yang pernah melewatinya selama berbulan-bulan. “Sebentar lagi kita sampai,” kata sang nenek dan tepat setelah dia mengatakannya, sebuah prasangka mengerikan terlintas di benaknya. Pikiran yang sangat memalukan sampai wajahnya berubah menjadi merah, matanya melebar, dan kakinya terlonjak, mengguncangkan kopernya di sudut mobil. Setelah kopernya terguncang, permukaan koran yang diletakannya di bawah keranjang meloncat naik bersamaan dengan sebuah geraman dan Pitty Sing, kucingnya, meloncat ke

halaman 16


pundak Bailey. Anak-anak terlempar ke lantai mobil dan ibu mereka, masih menggendong si bayi, terlempar ke luar dan mendarat di tanah; sang nenek terhempas sampai ke kursi depan. Mobil mereka jatuh ke jurang pendek dan bergelinding memutar sekali lalu mendarat tidak jauh dari tepi jurang di atasnya. Bailey masih tetap di kursi kemudi dengan kucing bergaris abu-abu, kepala putih, dan hidung oranye menggelantung di lehernya seperi seekor ulat bulu. Setelah anak-anak dapat menggerakkan tangan dan kaki mereka, mereka segera merangkak keluar mobil lalu berteriak, “Kita mengalami kecelakaan!” sang nenek meringkuk di bawah dasbor, berharap kalau dia terluka parah sehingga kemarahan Bailey tidak akan meluap sekaligus padanya. Hal memalukan yang dipikirkannya sebelum kecelakaan adalah rumah yang diingatnya dengan jelas itu bukan berada di Georgia tapi di Tennessee. Bailey melepaskan pelukan kucing itu dari lehernya dan melemparkannya keluar jendela sampai terhempas ke sebuah pohon pinus. Kemudian dia keluar dari mobil dan mulai mencari istrinya. Dia sedang duduk bersandar di sisi parit merah sambil menggendong bayinya yang menangis histeris, ada luka sayatan di bawah wajahnya dan pundaknya patah. “Kita mengalami kecelakaan!” anak-anak berteriak kegirangan. “Tapi tidak ada yang tewas,” sela June Star dengan nada kekecewaan saat neneknya merangkak keluar mobil, topinya masih melekat di kepalanya tapi pinggirannya yang telah rusak mencuat dengan sudut yang aneh dan bunga plastiknya tergantung kusut di pinggirnya. Mereka semua duduk di pinggir parit, kecuali anak-anaknya, untuk menghilangkan syok setelah kecelakaan. Mereka semua gemetar. “Mungkin akan ada mobil yang lewat,” kata istrinya dengan suara serak. “Kurasa bahagian tubuhku ada yang terluka,” komentar sang nenek, menekan pinggir badannya, tapi tak ada yang menjawabnya. Gigi Bailey gemeletukan. Dia mengenakan kemeja olahraga kuning dengan gambar burung beo di tengahnya dan sekarang wajahnya berubah sekuning kemejanya. Sang nenek yakin bahwa dia tidak perlu menyebutkan kalau rumah itu ada di Tennessee. Jalanannya terlihat sekitar sepuluh kaki di atas mereka dan mereka hanya dapat melihat puncak pohon di sisinya. Di belakang selokan yang mereka duduki, ada rimbunan pepohonan, tinggi menjulang, gelap, dan lebat. Beberapa menit kemudian mereka melihat sebuah mobil di kejauhan, di puncak bukit, berjalan mendekat dengan pelan

halaman 17


seolah pengemudinya sedang memperhatikan mereka. Sang nenek kemudian berdiri dan melambaikan tangannya secara dramatis untuk menarik perhatian mereka. Mobil itu masih mendekat dengan pelan, kemudian menghilang sebentar di belokan lalu muncul kembali, kini berjalan semakin pelan di puncak bukit yang telah mereka lalui. Itu adalah mobil usang besar berwarna hitam. Ada tiga pria di dalamnya. Mobil itu berhenti tepat di atas mereka dan selama beberapa menit, pengemudinya melihat ke bawah dengan tatapan datar ke tempat di mana mereka sedang duduk, dan tidak berkata apapun. Kemudian dia memutarkan kepalanya dan menggumamkan sesuatu ke dua pria yang lain, kemudian mereka keluar dari mobil. Yang satu lelaki gemuk, mengenakan celana hitam dan kaus merah dengan gambar kuda berwarna perak yang menyembul di depannya. Dia berjalan memutar ke sisi kanan dan berdiri sambil menatap mereka, mulutnya setengah terbuka membentuk seringai lepas. Yang satunya lagi mengenakan celana khaki dan jaket bermotif garis-garis biru dan sebuah topi abuabu yang ditarik sangat ke bawah menutupi sebagian wajahnya. Dia muncul ke sisi kiri, juga tidak mengatakan apa-apa. Sang pengemudi melompat keluar dari mobil dan berdiri di sampingnya, masih menatap mereka. Dia terlihat lebih tua dibandingkan dua pria lainnya. Rambutnya mulai beruban dan dia mengenakan kacamata berantai perak sehingga membuatnya terlihat berpendidikan. Dia mempunyai wajah kusut panjang dan tidak mengenakan kaus apapun. Dia mengenakan celana jins biru yang tercetak ketat di kakinya dan sedang memegang topi hitam dan sebuah pistol. Dua lelaki lainnya juga mempunyai pistol. “Kami mengalami kecelakaan!” teriak anak-anak. Sang nenek mendapat firasat aneh bahwa dia mengenali lelaki yang memakai kacamata itu. Wajahnya terlihat familiar seolah dia telah mengenalnya selama hidupnya tapi tidak dapat mengingat siapa dia. Dia menjauh dari mobil dan mulai turun melewati tanggul di pinggiran tebing, menapakkan kakinya dengan hati-hati agar tidak terpeleset. Kulitnya mengenakan sepatu putih tanpa kaus kaki, dan pergelangan kakinya berwarna merah dan kurus. “Selamat siang,” sahutnya. “Kulihat mobil kalian sepertinya terjungkal dari jurang.” “Kami terjungkal dua kali!” sahut sang nenek. “Sekali,” koreksinya. “Kami melihatnya. Coba nyalakan mobil mereka, Hiram,” katanya dengan pelan kepada lelaki dengan topi abu-abu. “Untuk apa kau memiliki pistol itu?” Tanya John Wesley. “Apa yang akan kau lakukan dengan pistol itu?” halaman 18


“Lady,” kata pria itu kepada ibu mereka, “maukah kau meminta anak-anakmu untuk duduk di dekatmu5? Anak-anak selalu membuatku tegang. Aku ingin kalian semua duduk bersama di sana.” “Kenapa kau memerintah kami?” Tuntut June Star. Di belakang mereka, barisan pepohonan membuka bak mulut gelap yang menganga. “Ayo ke sini,” ajak ibu mereka. “Tuan,” mulai Bailey, “kami sedang mengalami kesulitan! Kami…” Sang nenek memekik. Dia menggopoh badannya agar dapat berdiri lalu menatap pria itu. “Kau adalah The Misfit!” teriaknya. “Aku dapat mengenalimu!” “Benar mam,” jawabnya sambil tersenyum tipis seolah dia senang walaupun dia telah dikenali, “tapi seharusnya lebih baik bagi kalian semua kalau kalian tidak mengenaliku.” Bailey memutar kepalanya dengan tajam dan mengatakan sesuatu kepada ibunya yang bahkan membuat anak-anaknya terkejut. Sang nenek mulai menangis dan wajah The Misfit memerah. “Lady,” katanya, “jangan bersedih. Kadang-kadang lelaki mengatakan sesuatu yang tidak dimaksudkannya. Kurasa dia tidak bermaksud berkata seperti itu padamu.” “Kau tidak akan menembak seorang wanita, kan?” Tanya sang nenek kemudian dia mengeluarkan sapu tangan bersih dari mansetnya dan mulai menyapu matanya dengan itu. The Misfit menusukkan ujung sepatunya ke tanah dan membuat lubang kecil di sana kemudian menutupnya kembali. “Aku benci jika harus melakukannya,” akunya. “Dengar,” sang nenek hampir berteriak, “Aku tahu kau pria yang baik. Kau tidak terlihat seperti pria kebanyakan. Kau pasti datang dari keluarga baik-baik!” “Benar mam,” balasnya, “orang-orang terbaik di dunia.” Ketika dia tersenyum dia menunjukkan barisan gigi putihnya yang kuat. “Tuhan tidak pernah membuat wanita yang lebih baik daripada ibuku dan hati ayahku semurni emas,” lanjutnya. Lelaki dengan kaus merah tebal berjalan ke belakang mereka dengan pistol di pinggangnya. The Misfit berjongkok di tanah. “Awasi anak-anak mereka, Bobby Lee,” perintahnya. “Kau tahu kalau mereka membuatku tegang.” Dia menatap mereka berenam yang berpelukan bersama dan tiba-tiba terlihat malu seakan dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya. “Tidak ada awan di langit,” ujarnya sambil menunjuk ke atas. “Tidak ada matahari tapi tidak ada awan juga.”

halaman 19


“Benar, hari yang indah,” komentar sang nenek. “Dengar,” sambungnya, “kau tidak seharusnya memanggil dirimu The Misfit karena aku tahu kau pria yang baik hati. Aku tahu hanya dengan melihat dirimu.” “Hush!” teriak Bailey. “Hush! Semuanya diamlah dan biarkan aku menangani ini!” dia berpose seperti seorang pelari yang hendak berlari tapi tetap tidak bergerak. “Terima kasih, lady,” ujar The Misfit dan menggambar sebuah lingkaran kecil di tanah dengan pangkal pistolnya. “Butuh setengah jam untuk memperbaiki mobilnya,” sahut Hiram sambil melihat mereka dari balik kap mobil. “Well, kau dan Bobby Lee bisa membawa dia dan anak kecil itu ke sana dengan kalian,” perintah The Misfit sambil menunjuk ke arah Bailey dan John Wesley. “Anak buahku ingin menanyakan sesuatu padamu,” katanya kepada Bailey. “Maukah kau berjalan ke belakang sana, di balik hutan, dengan mereka?” “Dengar,” Bailey memulai, “Kami sedang dalam kesulitan besar! Tidak ada yang tahu tentang ini,” dan suarannya memecah. Matanya sebiru dan sekaku gambar burung beo yang tercetak di kausnya dan tidak bergerak sama sekali. Sang nenek meraih ke atas kepalanya untuk membenarkan pinggiran topinya seolah dia akan ikut dengan mereka ke hutan tapi topinya malah terlepas dari tangannya. Dia tegak menatap topinya dan setelah beberapa saat dibiarkannya jatuh ke tanah. Hiram mengangkat Bailey dengan tangannya seolah dia sedang membantu seorang kakek tua untuk dapat berdiri. John Wesley meraih tangan ayahnya dan Bobby Lee mengikuti mereka dari belakang. Mereka berjalan masuk ke hutan dan sesaat setelah mereka sampai di pinggir hutan, Bailey berbalik dan menahan dirinya sendiri di batang pinus yang telah gersang, kemudian dia berteriak, “Aku akan kembali sebentar lagi, Mamma, tunggu aku!” “Cepatlah kembali!” ibunya melengkik tapi mereka telah menghilang di balik hutan. “Bailey!” panggil sang nenek dengan suara tragis lalu dia melihat The Misfit yang sedang berjongkok di depannya. “Aku tahu kau orang baik,” ujarnya dengan nada putus asa. “Kau tidak seperti orang lain!” “Tidak, aku bukan orang yang baik,” jawab The Misfit setelah beberapa saat seolah dia menimbang-nimbang pernyataannya dengan hati-hati, “tapi bukan juga yang terburuk di dunia ini. Ayahku bilang aku ini peranakan dari anjing yang berbeda dengan kakak dan

halaman 20


adikku. ‘Kau tahu,’ kata Daddy, ‘beberapa orang dapat hidup tanpa bertanya-tanya tentang hidupnya tapi beberapa orang ingin tahu kenapa mereka harus hidup, dan kau adalah salah satu dari orangorang itu. Kau akan menjadi segalanya!’” dia mengenakan kembali topi hitamnya dan melihat mereka sekejap kemudian ke dalam hutan seolah-olah dia telah menjadi malu lagi. “Maaf, aku tidak mengenakan kaus di depan kalian para wanita,” ujarnya sambil membungkukkan sedikit pundaknya. “Kami mengubur pakaian yang kami kenakan saat melarikan diri dan bertahan dengan apa yang ada sampai kami mendapat yang lebih baik. Kami meminjam ini dari orang-orang yang kami temui,” dia menjelaskan. “Tidak apa-apa,” komentar sang nenek. “Mungkin Bailey punya pakaian lebih di kopornya.” “Aku akan langsung mencarinya nanti,” kata The Misfit. “Ke mana kau membawanya?” sang ibu dari anak-anak berteriak. “Daddy juga orang yang jujur,” ujar The Misfit. “kau tidak dapat melawannya. Dia tidak pernah bermasalah dengan pihak berwajib. Hanya sering berurusan dengan mereka.” “Kau juga bisa hidup dengan jujur kalau kau mau mencobanya,” kata sang nenek. “Bayangkan betapa indahnya hidup menetap dan nyaman tanpa harus khawatir bahwa seseorang sedang mengejarmu sepanjang waktu.” The Misfit masih menggaruk-garuk tanah dengan pangkal pistolnya seolah dia sedang memikirkan perkataannya dalam-dalam. “Iya, ma’am, seseorang selalu mengejarmu,” gumamnya. Sang nenek baru sadar betapa kurus tulang pundaknya di balik topinya karena sekarang dia berdiri menatapnya di bawah. “Apa kau sering berdo’a?” tanyanya. Dia menggelengkan kepalanya. Yang dilihatnya hanyalah topinya yang bergoyang di antara tulang pundaknya. “Tidak,” jawabnya. Ada suara tembakan pistol dari arah hutan lalu satu tembakan lagi. Kemudian hening. Kepala sang nenek menggeleng-geleng. Dia dapat mendengar desiran angin yang menyapu melalui puncak pepohonan seperti helaan napas puas. “Bailey!” panggilnya. “Aku pernah menjadi penyanyi rohani,” cerita The Misfit. “Aku hampir pernah menjadi semuanya. Pernah bergabung dengan angkatan darat dan laut, menetap di rumah dan berkeliling dunia, pernah dua kali menikah, menjadi penggali kuburan, bekerja di perlintasan kereta, membajak kebun, terseret tornado, melihat seseorang terbakar hidup-hidup sekali,” kemudian dia menatap

halaman 21


ke arah ibu dari anak-anak itu dan putrinya yang sedang duduk berdekatan, wajah mereka memucat dan mata mereka berair; “Aku bahkan pernah melihat wanita dicambuk,” akunya. “Berdo’alah,” sela sang nenek, “berdo’alah…” “Seingatku aku tidak pernah menjadi anak nakal,” ujar The Misfit hampir dengan suara yang menggema, “tapi suatu hari aku melakukan kesalahan dan dikirim ke penjara. Aku dikubur hidup-hidup,” dan dia menatap mereka agar tetap mendapatkan perhatian mereka dengan tatapan pasti. “Saat itulah kau seharusnya mulai berdo’a,” ujar sang nenek. “Apa yang kau lakukan sampai kau dikirim ke penjara pertama kalinya?” “Menoleh ke kanan, ada tembok,” kata The Misfit, menengadah lagi ke langit yang tak berawan. “menoleh ke kiri, juga ada tembok. Lihat ke atas, ada langit-langit, lihat ke bawah, ada lantai. Aku lupa apa yang telah kulakukan, lady. Aku terus duduk termenung di sana, mencoba mengingat apa yang telah kulakukan dan tidak dapat mengingatnya bahkan sampai sekarang. Kadang-kadang, aku hampir dapat mengingatnya, tapi tidak pernah berhasil ingat seutuhnya.” “Mungkin mereka salah memasukkanmu ke penjara,” komentar sang nenek dengan ragu-ragu. “Tidak,” sahutnya. “Itu bukan sebuah kesalahan. Mereka punya buktinya.” “Kau mungkin telah mencuri sesuatu,” ujarnya lagi. The Misfit menyeringai sedikit. “Tidak ada orang yang memiliki apa yang kuinginkan,” jawabnya. “Dokter kepala di penjara mengatakan bahwa aku telah membunuh ayahku tapi aku tahu itu bohong. Ayahku mati karena serangan flu epidemis dan aku tidak ada hubungannya dengan itu. Dia dikuburkan di halaman gereja Mount Hopewell Baptist, kau bisa pergi ke sana dan melihatnya sendiri.” “Kalau kau mau berdo’a,” ujar sang nenek, “Tuhan akan menolongmu.” “Benar,” jawab The Misfit. “Kalau begitu, kenapa kau tidak mulai berdo’a?” tanyanya dengan gemetar senang tiba-tiba. “Aku tidak membutuhkan pertolongan,” katanya. “Aku baik-baik saja.” Bobby Lee dan Hiram berjalan mendekat dengan santai dari hutan. Bobby Lee membawa sepotong kemeja kuning bergambar burung beo berwarna biru cerah.

halaman 22


“Berikan aku kemeja itu, Bobby Lee,” perintah The Misfit. Kemeja itu melayang ke arahnya dan mendarat di atas pundaknya lalu dia mengenakannya. Sang nenek tidak dapat mengingat kemeja siapa itu. “Tidak, lady,” potong The Misfit sambil mengancingi kemejanya, “Aku yakin melakukan kejahatan bukanlah masalah. Kau bisa melakukan sesuatu atau yang lain, membunuh seseorang atau mengambil ban mobilnya, karena cepat atau lambat kau akan melupakan apa yang telah kau lakukan kemudian dihukum karenanya.” Ibu anak-anak itu mulai membuat suara sesak napas seolah dia tidak dapat bernapas dengan lancar. “Lady,” pintanya, “maukah kau dan anak perempuanmu berjalan ke sana dengan Bobby Lee dan Hiram dan bergabung dengan suamimu?” “Baiklah, terima kasih,” jawab sang ibu pelan. Tangan kirinya bergantung tak berdaya dan dia masih menggendong bayinya, yang telah tertidur pulas, dengan tangan kanannya. “Bantu wanita itu berdiri, Hiram,” perintah The Misfit saat wanita itu berusaha berdiri dari parit, “dan Bobby Lee, kau pegang tangan anak gadis itu.” “Aku tidak ingin berpegangan tangan dengannya,” komentar June Star. “Dia mengingatkanku dengan seekor babi.” Wajah lelaki gemuk itu memerah malu kemudian tertawa lalu menangkap lengannya dan menariknya berjalan ke dalam hutan di belakang Hiram dan ibunya. Sendirian dengan The Misfit, sang nenek sadar dia kehilangan suaranya. Tidak ada awan maupun matahari di langit. Tidak ada apapun di sekitarnya kecuali pepohonan. Dia ingin menyuruhnya berdoa. Dia membuka dan menutup mulutnya beberapa kali sebelum dapat mengatakan apapun. Akhirnya dia dapat berucap, “Tuhan. Tuhan,” artinya, Tuhan akan menolongmu, tapi dari cara dia mengucapkannya, malah terdengar seolah dia mengumpat. “Benar, mam,” ujar The Misfit seolah dia setuju dengannya. “Tuhan menunjukkan semuanya berjalan seimbang. Sama halnya dengan Dia dan aku, kecuali Dia tidak melakukan kejahatan dan mereka dapat membuktikan bahwa aku yang melakukannya karena mereka punya bukti-bukti yang melawanku. Tentu saja,” katanya, “mereka tidak pernah menunjukkan bukti-buktiku. Karena itulah aku akan membuatnya sendiri sekarang. Dulu kita bisa membuat tanda tangan sendiri dan menandatangi semua yang kita lakukan lalu mengambil salinannya. Kemudian kita dapat mengetahui apa yang telah kita lakukan dan kita dapat menunda hukuman dan menyaksikan apakah tanda tangan di salinan dan yang asli cocok, kemudian pada akhirnya kita punya sesuatu untuk membuktikan bahwa kita telah diperlakukan halaman 23


dengan tidak adil. Aku menyebut diriku sendiri The Misfit,” jelasnya, “karena aku tidak dapat membuat kesalahanku sesuai dengan apa yang telah aku jalani sebagai hukuman.” Terdengar jeritan melengking dari arah hurtan, diikuti dengan suara tembakan senjata. “Apakah itu terlihat adil bagimu, lady, bahwa seseorang dihukum berat sementara yang lain tidak dihukum sama sekali?” “Tuhan!” teriak sang nenek. “Kau keturunan orang baik-baik! Aku tahu kau tidak akan menembak seorang wanita! Aku tahu keluargamu juga orang baik-baik! Berdoa’lah! Ya Tuhan, kau tidak boleh menembak seorang wanita. Akan kuberikan kau semua uang yang kupunya!” “Lady,” ujar The Misfit sambil melihat ke kejauhan dalam hutan, “tidak pernah ada mayat yang memberikan penggali kubur imbalan uang.” Kemudian terdengar dua suara tembakan lagi dan sang nenek mengangkat kepalanya seperti panggang ayam turki yang berteriak meminta air dan memanggil, “Bailey, Bailey!” seolah jantungnya akan meledak. “Hanya Tuhan yang pernah membangkitkan yang telah mati,” sambung The Misfit, “dan seharusnya dia tidak melakukannya. Dia menunjukkan segalanya berjalan seimbang. Jika Dia melakukan apa yang dikatakannya, maka tidak ada lagi yang dapat kau lakukan kecuali berserah diri dan menuruti perintah-Nya, dan jika Dia tidak memenuhi janji-Nya, maka tidak ada lagi yang harus kau lakukan kecuali menikmati sisa hidupmu sebaik mungkin dengan membunuh seseorang dan membakar rumahnya atau melakukan hal kejam lain kepadanya. Bukan kesenangan tapi kekejaman,” ujarnya dan kini suaranya hampir terdengar seperti geraman. “Mungkin Dia tidak membangkitkan yang mati,” gumam sang nenek, tidak tahu persis apa yang sedang dikatakannya dan merasa pusing sehingga dia ambruk dalam posisi duduk di pinggir parit dengan kakinya yang melipat di bawahnya. “Aku tidak ada di sana saat itu, jadi aku tidak tahu pasti,” aku The Misfit. “Kuharap aku ada di sana,” ujarnya sambil memukul tanah dengan kepalan tangannya. “Itu salah sekali, karena jika aku ada di sana, aku pasti tahu. Dengar, lady,” katanya dengan nada tinggi, “jika aku ada di sana, aku tahu aku tidak akan menjadi seperti ini.” Suaranya terdengar hampir pecah dan kepala sang nenek segera menjadi jelas. Dia melihat wajah pria itu terlipat dekat dengan wajahnya seolah dia

halaman 24


akan menangis, kemudian sang nenek bergumam, “Tentu saja, kau adalah salah satu anak-anakku!” Dia merengkuh dan menyentuh pundaknya. The Misfit terlonjak ke belakang seolah seekor ular telah menggigitnya lalu menembak sang nenek tiga kali di dada. Kemudian dia menurunkan pistolnya di tanah lalu melepaskan kacamatanya dan mulai membersihkannya. Hiram dan Bobby Lee muncul kembali dari balik hutan dan berdiri di atas parit sambil melihat sang nenek yang setengah duduk dan setengah berbaring di atas genangan darah dengan kakinya bersila di bawahnya seperti anak kecil yang sedang duduk dan wajahnya tersenyum menengadah ke langit tak berawan. Tanpa kacamatanya, mata The Misfit melingkar merah, pucat, dan terlihat tak berdaya. “Angkat dia dan lemparkan ke tempat di mana kalian melempar yang lainnya,” perintahnya sambil mengangkat kucing yang menggosok-gosokkan badannya di kakinya. “Dia cerewet sekali, kan?” komentar Bobby Lee sambil turun melewati parit dengan bernyanyi. “Dia seharusnya bisa menjadi wanita yang baik,” ujar The Misfit, “jika saja ada seseorang yang menembaknya di setiap menit hidupnya.” “Menyenangkan sekali!” sahut Bobby Lee. “Diamlah Bobby Lee,” kata The Misfit. “Bukan ini kesenangan sejati di dunia.”*** Diterjemahkan oleh Aditara Hendra dari cerita pendek berbahasa Inggris “A Good Man Is Hard To Find).

S

halaman 25


Sajak

Cahaya Buah Ha! Gadis dan lautDoa Keseratus Seseorang yang terlelap, memandangmu, bersama mimpi Kita di Jembatan Penang Cahaya Arti tatapmu Teman Doa Sendirimu Mengejar Layang Susu dan Puisi

Cahaya Buah Ha! Bergiat di Komunitas Paragraf dan guru di SDN 65 Pekanbaru. Membaca puisi pada beberapa event di Tarung Penyair se-Asia Tenggara di Anjung Cahaya Kota Tanjung Pinang (2011), Aksi Panggung Penyair Perempuan Riau (2011). Hari Puisi di taman budaya Padang (2015) dan sebagainya. Sajak-sajaknya dimuat di Riau Pos, Batam Pos, Indopos dan lain-lain, juga termaktub dalam buku antologi bersama seper! Ayat-Ayat Selat Sakat (2013), Bendera Pu!h Untuk Tuhan (2014), Pelabuhan Merah (2015) dan sebagainya.

halaman 26


Gadis dan laut :Diar Adalah laut dan gadis yang memandang rindu yang tancap Gelombang angin dan bebatuan Dari arah laut dan mereka yang sama mengikatkan layar burung sesekali melaju kau gadis sendirimu dan laut serupa rahasiamu sesekali ombak mendekat menyerpih hujung jilbabmu yang cerah pagi memulai naik dan rona wajahmu

halaman 27


Doa Keseratus

Ketika mereka mulai menggali Tubuhmu atau kenangan Orang-orang memilih bungkam Ingatmu pada suatu hari bahwa telah jauh Tiada sesiapa Di sisimu pagi atau bayang malam Menunggu Mereka dengan doa yang keseratus Terbang bersisian Entah itu Air mata Atau derai hujan yang menghunjam Menjatuhkan diri dalam berat yang sungguh Menimpa Sesak yang kau tanyakan Dari arah yang jauh Entah itu masih terasa Mereka memanggilmu Mengingatmu Tapi seakan tiada Kau tetap sama Dengan tubuh dan galian Engkau sungguh takut Entah esok atau bila akan berakhir

halaman 28


Seseorang yang terlelap, memandangmu, bersama mimpi

Di setiap simpang mereka terus berjalan dirimu dan sepasang sayap sesekali menjauh dan dekat adalah rindu yang asing Seseorang yang terlelap memandangmu bersama mimpi Setelah ini hari-hari kau titip kelopak bunga yang satu siapa tahu

halaman 29


Kita di Jembatan Penang Cahaya

Jauh dari seberang Prai atau Bayan Lepas kita menjatuhkan sauh dari kapal yang melintas dan bus-bus yang bertamasya di atasnya sesekali senandung angin memecah kicau burung yang hinggap di sisian pohon yang hijau duhai..rindu Di saat yang sama senyum kita dan semuanya bersiap dan berlanjut

halaman 30


Arti tatapmu Adakah yang mengerti pada angin Yang menghempas diri tetap saja rindu genap Pada bayang bulan mengaca seseorang beranjak arti tatapmu

halaman 31


Teman :Rf Kosong Sebuah teman

Doa Sendirimu Ting.. kau.. bebunyi diantara lupa doa sendirimu

halaman 32


Mengejar Layang bocah di pesisir mengejar layang doa diangin tali lawan

Susu dan Puisi Untuk membeli susu kau harus dahulu mengirim puisi doa kau gantung... pada koran Sabtu entah Minggu “susu si galih akan segera habis�

S

halaman 33


Sajak

Arlin Widya Safitri Ia Segenggam Pasir Aku Selipkan Rindu Dalam Ransel Secangkir Kosong Malam Ini Hujan Sepi Gerimis Senja Air Mata Langit Rona Perempuan Arlin Widya Safitri. 18 Juni 1986. Tinggal di Bandung. Menulis cerpen dan puisi. Cerpen yang berjudul “Yang Tergusur” di muat di Republika (2012) dan antologi puisi “Wirid Angin” bersama 11 penyair Majelis Sastra Bandung (2012).

halaman 34


Ia Segenggam Pasir

Pesona kemilaunya di bawah matahari tersapu air laut menambah kemayu tubuhnya menunggu ombak berkeluh resah sukma seseorang riak riak ombak menepikan diri Ia segenggam pasir menyimpan kata kata yang tak pernah usai jari jari kecil menggenggam erat butir butir pasir berjatuhan melukiskan satu huruf Tak ada yang menghapus jejak ia bersenandung dan kembali butir butir pasir berjatuhan Bandung, 2012

halaman 35


Aku Selipkan Rindu Dalam Ransel

Rentetan rindu berderai percik kesunyian Salam hati yang guntai menjamah ranah asing Seakan melupa jalan pulang menuju rumah Tersekap dalam kebisuan kaki dan tangan lunglai Berbisik pada angin yang berpulang Memutari jalanan sendu menepi ke hulu Senyap kepungan imajinasi mengeja senja di pelupuk mata sendu, berderai. Ingin tak ingin kelak bertemu di sudut desa Akuu selipkan rindu dalam ransel, menyapa. Bandung, 2012

halaman 36


Secangkir Kosong

Derasnya waktu menyapu cerita – cerita kecil di sudut pelupuk senja yang memudar tak berharga segenggam pasir tanpa berlian membeli gemerlapnya kehidupan hanya tergeletak di ujung jalan Tertinggal kereta kehidupan menuju gemerlap kerlap-kerlip yang menyilaukan hasrat hanya menepi di sudut senja Air mata pun mengering mungkin menguap ke langit dan memang tak akan jatuh ke bumi Hanya ada secangkir kosong yang tak dapat menghilangkan dahaga tenggorokan melilit hampir melengkung setengah menyangga keterasingan melupan arah jalan pulang menuju rumah kecilku Tasikmalaya, 2012

halaman 37


Malam Ini

Seperti malam ini yang dijamah badai matahari deras hujan menambah lembab ruang kosong angin berhembus kencang bertalu-talu mematahkan tangkai hati Hendaknya kau sadari masih aku merindu air mata yang kau sajikan selama singgahi ruang kosong Mungkin suatu hari saat tak singgahi lagi ruang kosong yang pengap kau menemani bunga di taman kecil dan aku dalam pelukan hangat matahari Bandung, 2012

halaman 38


Hujan

Semenjak dirimu diamdiam memeluk sepi, wahai hujan kutitipkan sinaran semu jambu padamu adakah karenamu? Gemericik air yang selalu membasahi bumi memberi kesejukkan pada ranting pepohonan Tak ada hitungan tertunda menghapus sedu sedan ingin aku melihat pelangi Bandung, 2012

halaman 39


Sepi

Malam selalu setia menemani kerlip bintang disana ada alunan kidung dari sebuah kisah mengantarmu menuju padang yang begitu lengang Ingin aku melintasi kota seakan menujumu dengan kereta yang tak lagi membawa luka hati

Aku mengerti ada jarak menujumu tetaplah menanti sudah kutitipkan senja padamu Bandung, 2012

halaman 40


Gerimis Senja

Suara lirih membisikkan sayup getir hati senyap tak bernyawa bersemayam di relung hati menjadi senandung kelam dalam bayang bayang yang terlupakan Gerimis senja kali ini merapat bayang bayang menjelma hembusan angin menyelinap dalam imaji memintal peluh menjamah ruh ruh yang merapuh Duh, gelisah menguap menjadi awan di langit menemui semesta alam mengabarkan kisah kisah mengisi kekosongan hari hari yang berlari Dengarlah oh dengarlah suara angin kian menyapa saat gerimis senja Bandung, 2012

halaman 41


Air Mata Langit

Harapan semu membuai angan layu bulan sebelum berkembang sejuta mimpi meleleh ke lantai terbakar bara api hanya tangan tangan kecil memunguti tetesan mimpi yang tak berbingkai Pisau menancap tajam di ujung sukma mengiris perih luka luka tanpa penawar terasa ngilu memar hingga tulang iga Kering kerontang tubuh tubuh terlunta menemukan ruh dari terbit fajar hingga senja berganti malam langkah kian merapuh menelusuri jarak yang kian menjauh

Air mata langit membasahi bumi yang tidak lagi ramah begitu penuh amarah bergejolak di ruang hati membelah sukma hingga menjadi kepingan berserakan di atas tanah Bandung, 2012

halaman 42


Rona Perempuan

Gemulai indah lekukan irama pesonamu memancarkan sinaran kerlap kerlip memasung hati api yang tak pernah padam selalu digenggam dalam jemari jemari lentik aduhai Kain membungkus indah aura gadismu melelehkan pandangan kumbang kumbang yang bermain mengajak menari-nari di taman kecil suguhkan semerbak bunga merekah jiwa Pucuk berkembang mengikuti hembusan angin melambai sekejap mengembara ke utara sampai di negeri pengasingan mengadu nasib menggadaikan tubuh tubuh lunglai yang mulai meremuk tergerus deras waktu Sampai kini ronamu tetap memerah di dalam sukma Bandung, 2012

S

halaman 43


Sajak

Imam Budiman Balada Gubuk Kariangau Lagu Perjalanan Tulang Ikan Upacara Puisi-Puisi Banih – Banih Gambut Setelah Lima Menit Imam Budiman Lahir pada tanggal 23 Desember 1994, Loa Bakung, Samarinda, Kal!m. Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beberapa cerpennya terhimpun di Kalimantan Selatan Menolak untuk Menyerah (Disbudparpora Kabupaten Banjar, 2015), Kalimantan Rinduku yang Abadi (Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2015), Pelabuhan Merah (Sagang Intermedia Riau Pos, 2015) dan sebagainya. Beberapa cerpen dan puisi-puisinya juga di muat di Riau Pos, Sumut Pos, Banjarmasin Post, dan sebagainya.

halaman 44


Balada Gubuk

“ I imagine you are home. And your room, all alone. And you open your eyes into mine. Everything feels better.�

-Gary Lightbody, ‘The last time’

aku masih menjadi rupa gubuk yang berharap sekali, nanti, suatu ketika kau kunjungi kau bisa saja membawakan buah-buahan dari ladangmu; ladang airmata setiap hari, kau mungkin hanya sekadar berlalu, menoleh sebentar, kemudian bergegas mengantar sedemikian kerang laut yang kau cari di celah bebatuan pesisir sedang aku tentu saja kehilangan rasa, dalam gubukku, sebab edelweeis mulai ikut-ikutan merajuk sekalipun kabut dan hujan sedinihari, merupakan jelma rasa tak sukamu yang kian meretas dan berpencar-hamburan aku masih saja menjadi rupa gubuk yang ingin sekali, entah kapan suatu ketika nanti kau kunjungi 2015

halaman 45


Kariangau

di ambang dermaga ini, kau pernah berkisah tentang selatmu yang sudah sekian lama tak ada satu pun kapal maupun perahu yang tandas berlabuh ke lidah pantai hanya kapal-kapal penarik batu bara yang sekadar mendedah lewat di tanahmu, terdengar kabar bahwa darah dan arus sungai berada satu jalan dengan sampan nelayan-nelayan miskin cekikik anak-anak yang berlompatan dari batang dan ibu-ibu yang membasuh luka deritanya amis dan anyir! 2015

halaman 46


Lagu Perjalanan

di luar, kaca busway yang kutumpangi kian mengembun pepohonan basah, pun dedahannya yang gelisah lantas, bisikmu: rindu kita terlalu latah perjalanan kali ini, bisa saja kucuri napas hujan tanpa rela aku berbagi kepada siapa yang menengadah kuyup basah ini, kutempuh sendiri untuk siapa pun yang kerap masih memikirkan untung-rugi, hati siapa yang tak bersinggungan? 2015

halaman 47


Tulang Ikan

tulang ikan kulempar ke bawah meja dua kucing memperebutkan, saling cakar kulempar seorang purnama ke langit dua lelaki berseteru, saling tikam-menikam tak perlu membodohi diri sendiri kita dapat memungut purnama lain di selembar daun kelor 2015

halaman 48


Upacara Puisi-Puisi

pohon putih, serupa peti kayu yang diimbuhi bunga-bunga padma tenanglah, sedang kumandikan puisimu dari kata sekadar dan picisan jejak kaki orang dulu. jejak yang selalu menyebutkan nama lengkapnya dengan api dan sembilu aku mencintai puisi-puisimu yang terbuat dari semak air 2015

halaman 49


Banih – Banih Gambut

banih mayang kuning itu masih terlalu dini untuk menanti kering dari sekelebat bilik-bilik darah atau melihat dirinya dijatuhi hujan yang sudah tak terhitung banih mayang seumur itu masih belum mengerti dirinya dilacurkan pada api untuk maksud apa dan ia juga tak tahu ke mana air mata mesti tumpah erat banih mayang memeluk setali duka sedang kunang-kunang bercorak aroma sawah hanya menjadi pendar-pendar lampu yang putus 2015

Setelah Lima Menit

setelah lima menit, kau pulang dan undur berpamit sebelum bulan menghamburkan apapun diperanakkan ; sawo, ilalang, kijang, peperangan rajam tetapi sepintas, lantas kita lupa bertukar madu 2015

S

halaman 50


Senirupa

Jean-Michel Basquiat

“I Start a picture and finish it, I dont think about art. While I work, I try to think about love” (Jean Michel Basquiat) “Saya Mulai gambar dan menyelesaikannya, saya tidak berpikir tentang seni. Sementara saya bekerja, saya mencoba untuk berpikir tentang cinta “.

eanean-Michel Basquiat Lahir 22 Desember Dese 1960 Brooklyn, New York, U.S-Meninggal 12 Agustus 1988 (umur 27) Manhattan, New York, U.S, anak emas dunia seni pada era 1980an. Awalnya ia menarik perhatian dengan karya mural (lukisan dinding)nya yang unik dan istimewa Gaya Abstraction, figuration dengan Gerakan politik Neo-expressionism, primitivism

Karyanya ditandai dengan sentuhan yang enerjik dan bebas serta penggunaan warna-warna berani yang menarik perhatian melalui pesan sosialnya yang kuat. Karirnya terputus secara tragis, tetapi karya seninya tetap mengesankan hingga saat ini. Jean-Michel Basquiat adalah seorang seniman berkebangsaan Amerika Serikat. Dia mulai debutnya sebagai seorang

halaman 51


Int

seniman grafiti di Kota New York pada 1970-an dan berkembang menjadi seorang pelukis ekspresionis dan neo-primitif. Sepanjang karirnya, Basquiat berfokus pada “dikotomi sugestif,” seperti kekayaan versus kemiskinan, integrasi terhadap segregasi, dan pengalaman batin versus luar. Karya Basquiat yang dimanfaatkan merupakan sinergi perampasan, gambar puisi, dan lukisan, yang dikawinkan dengan teks dan gambar, abstraksi dan figurasi dan informasi sejarah dicampur dengan kritik kontemporer. Memanfaatkan komentar sosial sebagai “batu loncatan untuk kebenaran yang lebih dalam tentang individu”, lukisan Basquiat kadang menyerang struktur kekuasaan dan sistem rasisme. Sementara puisinya yang akut menohok ranah politik dan langsung dalam kritik mereka terhadap kolonialisme dan ekspresi dukungan untuk perjuangan kelas bawah. Jean-Michel Basquiat, lahir setelah kematian saudaranya, Max. Dia adalah anak kedua dari empat bersaudara dari Matilda Andrades dan Gerard Basquiat. Ia memiliki dua adik perempuan, Lisane dan Jeanine. Pada September 1968, ketika Basquiat berumur delapan tahun, dia

halaman 52

ditabrak mobil saat bermain di jalan. Lengannya patah dan ia menderita luka, akhirnya menjalani splenektomi. Orang tuanya berpisah tahun itu dan ia beserta saudara-saudara perempuannya dibesarkan oleh ayah mereka. Keluarga mereka tinggal di Boerum Hill, Brooklyn, selama lima tahun, kemudian pindah ke San Juan, Puerto Rico pada tahun 1974. Setelah dua tahun, mereka kembali ke New York City. Lalu ketika dia berumur sebelas tahun, berulang kali ibunya masuk-keluar dirawat di rumah sakit jiwa. Pada umur 15 tahun, dia lari dari rumah, tidur di bangku-bangku taman di Washington Square Park, ditangkap dan dikembalikan kepada ayahnya oleh petugas. Basquiat keluar dari Sekolah Edward R. Murrow di kelas sepuluh. Ayahnya pada sau saat mengusirnya, kemudian dia tinggal dengan teman-teman di Brooklyn. Kondisi itu memaksa dirinya membiayai diri sendiri dengan menjual T-shirt (kaos oblong) dan kartu pos buatan sendiri. Februari 1986, setelah dia malang melintang di dunia seni rupa, wajahnya muncul di sampul The New York Times Magazine. Ketika Basquiat dan Diaz mengakhiri pertemanan mereka, Proyek SAMO berakhir pula. Ini terekspresikan pada


dinding bangunan SoHo berbunyi “SAMO is dead”, tahun 1979. Ketika Andy Warhol meninggal dunia pada tanggal 22 Februari 1987, Basquiat menjadi semakin terisolasi, kecanduan heroin dan depresi. Akhirnya Basquiat meninggal pada 12 Agustus 1988 karena overdosis heroin di studio seninya di New York City. Basquiat dikebumikan di GreenWood Cemetery Brooklyn.

seniman grafiti, Basquiat sering memasukkan kata-kata ke dalam lukisannya. Sebuah periode menengah dari 1982-an hingga 1985 fitur multi-panel lukisan dan kanvas individu dengan bar tandu terbuka, permukaan padat dengan menulis, kolase dan citra. Tahuntahun 1984-85 juga merupakan periode utama kolaborasi Basquiat-Warhol. Secara umum, karya-karya mereka tidak diterima dengan baik oleh para kritikus. Sebuah sumber referensi utama yang digunakan oleh Basquiat sepanjang karirnya adalah buku Anatomi Gray, yang diberikan ibunya di rumah sakit saat usia tujuh tahun. Buku itu berpengaruh dalam penggambaran anatomi manusia internal, dan bermacam-macam gambar dan teks. Sumber utama lainnya adalah Henry Dreyfuss Simbol Sourcebook, catatan Leonardo Da Vinci, dan Brentjes African Rock. Basquiat sering mencoret-coret beberapa potongan kemudian dipamerkan, menggunakan pensil warna di atas kertas dengan gaya longgar, spontan, dan kotor seperti lukisannya. Karyanya di semua media menampilkan daya tarik anak kecil dengan proses penciptaan. Kidah hidup Basquiat pernah diangkat ke layar lebar dengan judul sama pada tahun 1996, yang dibintangi oleh Jeffrey Wright. *** (Red. Dari berbagai sumber)

Kajian tentang Basquiat Fred Hoffman mengeluarkan hipotesis bahwa Basquiat mendasari dirinya sendiri sebagai seorang seniman dengan “kemampuan bawaan untuk berfungsi sebagai sesuatu seperti oracle, penyulingan persepsinya terhadap dunia luar ke esensi mereka, dan pada gilirannya, melindungi mereka keluar melalui tindakan kreatif.” Selain itu, melanjutkan aktivitasnya sebagai

S

halaman 53


Tokoh

Lorca, di Suatu Sore Ke!ka Kema!an Mengetuk Pintu

Mask and Music, Sketch by Federico Garcia Lorca. Int

alam penggalan baris puisinya yang berjudul “Kematian Antonito el berj Camborioâ€? Camb (Muerte de Antonito el Camborio), Lorca memanggil dirinya sendiri. Antonito sang tokoh dalam puisi lantas mati ditangan eksekutor yang menembakkan tiga peluru tajam menembus tubuhnya, dan Lorca yang memasukkan diri kedalam puisi menyaksikan percikan darah pada koin kehidupan yang seketika berhenti berputar: three spurt of blood and he died in proďŹ le. Bait mencekam tersebut

halaman 54

terangkum dalam kumpulan puisi Lorca yang paling terkenal, Romansa Gitana (Romancero Gitano), memberikan kejutan bagi para pembaca yang tidak asing dengan karya dan riwayat kehidupan Lorca sebuah keterkejutan yang berasal dari satu hal: bahwa melalui bait penutup puisi tersebut, Lorca seakan menuliskan kematiannyan sendiri mati tertembus peluru di tangan pasukan nasionalist. Paska kematiannya, rejim Jenderal Franco menempatkan nama Lorca dalam


pusaran politik dengan mengubur karyakaryanya selama rejim tersebut berdiri dan baru dapat beredar kembali paska kematian Franco tahun 1975. Selain itu, terdapat upaya pengerdilan terhadap Lorca namanya lantas diidentikkan sebagai penyair oposisi usang yang kalah perang. Namun semua upaya tersebut menghadapi kegagalan total karena karya-karya Lorca yang monumental berbicara lebih lantang daripada rejim yang merepresinya, sehingga walaupun dilarang beredar di Spanyol, puisi dan dramanya dipelajari di berbagai negeri, dan Lorca bahkan diakui sebagai salah satu penyair yang mengangkat kembali gaya puisi ritmis spanyol. Penyair yang memiliki nama lengkap Federico del Sagrado Corazon de Jesus Garcia Lorca, lahir di Granada sebuah kota yang menjadi pertemuan budaya spanyol, arab dan gipsi, menjadikan Granada memiliki kekuatan magis yang menanamkan gairah akan keindahan dalam diri Lorca. Selain berkah dari kota kelahirannya, Lorca yang terlahir dari sebuah keluarga kaya mendapatkan pendidikan terbaik, termasuk seni, yang didapatkannya kemudian ketika ia dikirim untuk belajar di Madrid disini, ia bergabung dengan Residencia de Estudientes yang dikenal sebagai tempat berkumpulnya seniman terkemuka Spanyol diantaranya Luis Bunuel, Salvador Dali, Miguel de Unamuno, Alfonso Reyes, juga Juan Ramon Jimenez. Residencia de Estudientes sendiri kemudian dikenal sebagai pusat kebudayaan yang melahirkan Generation of 27, yaitu sebuah gerakan kebudayaan, yang walaupun terdiri dari seniman lintas genre, namun berpijak pada visi yang sama: membangun jembatan antara budaya folklore Spanyol

dengan tradisi avant-garde Eropa sebuah upaya yang pada akhirnya menghasilkan campuran khas yang ditemukan pada seni Spanyol kontemporer. Lorca adalah salah satu ďŹ gur utama dalam Generation of 27, disini ia mendapatkan guru dan kawan yang sangat mendukung dalam mengeluarkan bakat seninya, baik dalam musik ataupun puisi namun, karena pertemanan (semi erotis) yang berakhir tragis dengan Salvador Dali, Lorca kemudian menyangkal pengaruh dari lingkaran elit Madrid ini, dan menyatakan bahwa guru terbaiknya dalam musik dan puisi adalah para Gipsy di jalanan Granada. Mungkin apa yang dinyatakan oleh Lorca adalah benar, karena kemudian dunia mengenalnya sebagai salah satu penyair gipsy terbaik melalui Romancero Gitano kumpulan puisi yang diterbitkan pada 1928 ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Gypsy Ballads. Dalam antologi ini Lorca berhasil merangkum sejarah Gipsy dalam alur-alur baitnya yang magis. Dalam antologi ini Lorca seolah terlahir kembali sebagai Gipsy yang bernyanyi, lalu setelahnya menangis. The moon goes through the sky holding a child’s hand. Inside the forge the shouting gypsies weep. The air maintains its watch, watching, watching.. (Ballad of the Moon, the Moon) Bulan melewati langit memegang tangan anak. Di dalam bengkel berteriak gipsi menangis.

halaman 55


Udara bertahan untuk menontonnya, menonton, menonton .. (Balada Bulan, Bulan) Seperti Ballad of the Moon, the Moon, Lorca dalam Romancero Gitano banyak berbicara tentang rembulan rembulan berwajah kekanakan yang emosional, seakan terlalu banyak menyaksikan tragedi bagi usianya yang belum seberapa. Namun kisah tragis yang diuraikan Lorca memiliki bentuk yang unik karena dalam Romancero Gitano, Lorca menggunakan ritme lagu rakyat Granada yang menjadikan puisinya: puisi yang bernyayi, sebuah kondisi yang menjadikan penerjemahan puisi Lorca kedalam bahasa apapun mendekati upaya yang sia-sia. Kekuatan bentuk inilah yang mengukuhkan Lorca sebagai penyair paling ritmis di Spanyol. Namun, adalah sebuah kegagalan apabila Lorca hanya dikenali dari satu sisi. Kemapanannya sebagai penyair tidak lantas membuatnya puas dengan sebutan: penyair gipsy lagi-lagi ia menyangkal sebutan yang di”hadiah”kan khalayak bagi dirinya. Didorong oleh kekecewaannya terhadap respon publik dan kegagalan kisah cintanya, tahun 1929 Lorca memutuskan untuk pergi ke Amerika dan disanalah Lorca menghasilkan sebuah karya yang merupakan “kebalikan” dari Romancero Gitano sebuah kumpulan sajak berjudul Poets in New York. Dalam antologi ini puisinya tidak bernyanyi, tapi tersesak diantara himpitan tembok-tembok pencakar langit. Walaupun secara sosial Lorca diterima baik di kalangan seniman dan sastrawan New York, ia tetap merasa sendirian dan emosi inilah yang ia tumpahkan dalam kumpulan puisinya. Selain melalui puisi, upaya lain untuk mengusir kerinduannya akan Granada ia salurkan melalui eksplorasi

halaman 56

musik “kulit hitam” yang ia sandingkan dengan musik Gipsy di Andalusia. Setahun kemudian, kerinduan tersebut terbayar ketika ia kembali ke Spanyol dan ditunjuk sebagai Direktur Teater Rakyat oleh Pemerintahan Republik yang baru berdiri teater bukanlah hal baru bagi Lorca karena selain musik dan puisi, bakat lainnya adalah membuat naskah drama. Dibekali dengan berkah alamiah dan visi ideal, dunia teater di Spanyol mengalami perkembangan pesat di bawah komando Lorca. Melalui kelompok teaternya La Barraca, Lorca berniat untuk mengembalikan selera [seni] yang telah hilang dari mata dan telinga rakyat Spanyol, dan hadirlah beberapa drama paling terkenal gubahan Lorca: Asi que pasen cinco anos (When Five Years Pass, 1931), Bodas de Sangre (Blood Wedding, 1934), Yerma (1934), dan Dona Rosita la Soltera (Dona Rosita the Spinster, 1935). Hal menarik dari naskah drama yang dihasilkannya adalah: Lorca seakan memberontak terhadap kelasnya sendiri borjuis konservatis yang berpendidikan tinggi dan lebih banyak berbicara atas nama petani dan buruh tentang beban ekonomi dan norma sosial yang cenderung mengada-ngada. Sehingga melalui naskahnya tersebut, Lorca berhasil menjadikan drama kembali diterima oleh masyarakat luas, sebagai sebuah suara yang mewakili rakyat dan bukan hanya santapan mewah kalangan elit. Periode ini menjadi salah satu periode paling produktif bagi Lorca diluar periode Residencia de Estudientes. Selain naskah drama, Lorca menghasilkan sejumlah kumpulan puisi yaitu: The Tamarit Divan (1931-1934), Seis Poemas Gallegos (Six Gicilian Poems, 1935) Llianto por Ignacio Sanchez Mejias (Lament for Ignacio


Sanchez Mejias, 1935) dan kumpulan puisi terakhirnya Sonetos del Amor Oscuro (Sonnets of Dark Love, 1936). Puisi-puisi yang ditulis Lorca dalam kurun waktu ini menjadi begitu gelap Tamarit Divan penuh dengan tragedi, sedangkan Sonnets of Dark Love secara implisit berbicara tentang sisi homoseksualitasnya yang berulang kali harus ia tempatnya jauh di sudut gelap ruangan. Begitu juga dalam Lament for Ignacio Sanchez Mejias, Lorca menyajikan gambaran kematian yang begitu nyata: at five in the afternoon, after that death and only death, at five in the afternoon. Namun walaupun ia telah meninggalkan nyanyian gipsynya jauh dibelakang, puisi-puisi (gelap) Lorca tetap memiliki tempat tersendiri dalam bangun sastra Spanyol dan dunia, bersama dengan pengakuan tinggi terhadap naskah-naskah dramanya. Keberhasilan Lorca dalam mengawal teater rakyat, beriringan dengan kekuasaan rejim republik yang memberinya ruang dan ketika memasuki tahun 1936, perang sipil yang membayangi Spanyol terpaksa mengakhiri karir Lorca dan kelompok teaternya. Mendung politik ini kemudian menyeret Lorca kedalam posisi yang kurang menguntungkan, namanya menjadi erat dikaitkan dengan rejim Republik, dan Lorca tahu: ketika Nasionalist di bawah Franco menang, ia harus mencari perlindungan. Pada pertengahan Agutus 1936, Lorca lantas kembali ke tanah kelahirannya, Granada. Dan dari sini, kisah tentang Lorca harus kita tarik kembali delapan tahun kebelakang kedalam bait puisi yang ia tulis tentang kematian seorang bocah tidak bersalah Antonito el Camborio. Lorca yang bebas dalam visi ideal seorang seniman ditangkap atas tuduhan sebagai

antek republik pada suatu sore di sebuah rumah milik kawannya, Luis Rosales seorang Falange, yang diharapkan dapat memberikan perlindungan. Tapi tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi kematian termasuk pengaruh politik seorang kawan, sehingga Lorca yang apolitik ditarik keluar dan tiga hari kemudian ia menghadapi eksekutornya yang memberinya tiga butir peluru persis seperti yang diterima Antonito. Hingga saat ini kubur Lorca tidak pernah ditemukan, kematiannya hanya berasal dari keterangan rejim nasionalist yang telah mengeksekusi Lorca dan menangkap penulis lain yang masuk kedalam golongan “martir republik” diantaranya Rafael Alberti, Jose Bergamin, León Felipe, Luis Cernuda, Pedro Salinas, Juan Ramón Jiménez, dan Bacarisse. Pembunuhan terhadap para figur seniman ini menjadi salah satu kesalahan terbesar Franco karena dunia kemudian menghujatnya habis-habisan. Namun diluar penghilangan dan kematian Lorca yang tetap misteri, ingatan tentangnya selalu muncul kembali ketika puisi-puisinya dibacakan puisi yang akan selalu bergema di langit Granada. Sedang kekerasan yang dialaminya sebagaimana yang ia tuliskan dalam sajaknya biarlah mengalir senyap di aliran sungai Guadalquivir. Dan kita, walaupun tenggelam dalam duka berkepanjangan atas tragedi yang menimpa sang pujangga akan senantiasa mengenangnya pada setiap balada indah tentang rembulan dan gitar. *** (Red. Dari berbagai sumber)

S halaman 57


In Memoriam

Penyair Leon Agusta (Ridwan Ilyas)

Int

Lahir/meninggal: di Desa Sigiran, daerah pinggiran Danau Maninjau, 5 Agustus 1938Padang,10 Desembar 2015 (77 tahun) Pasangan: Margaret Rose Glade Agusta Anak: Paul Agusta Buku: Gendang pengembara: kumpulan puisi

halaman 58


eon Agusta adalah sastrawan Indone Indonesia. Ia pernah menjadi guru SGB Bengkalis, pemimpin Bengkel SG Teater Padang, dan anggota Dewan Kesenian Jakarta. Ia mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat. Penyair yang merupakan salah satu komponen penanda tangan Manifes Kebudayaan pada 1964, Leon Agusta meninggal dunia, Kamis(10/12/2015) sore. Penulis buku kumpulan puisi ‘Gendang Pengembara’ itu mengembuskan napas terakhir di Padang, Sumatera Barat dalam usia 77 tahun. Kabar meninggalnya sastrawan yang bisa digolongkan dalam Angkatan 70 tersebut telah beredar di media sosial. Kabar tersebut antara lain disampaikan oleh sastrawan Damhuri Muhammad. “Berita Duka; telah meninggal dunia, penyair Leon Agusta, pada pukul 16.20. Posisi jenazah saat ini di Padang, Sumbar,” demikian twit Damhuri sekitar 30 menit yang lalu setelah Leon menghembuskan nafas terakhir. Salah seorang putra Leon Agusta, sutradara dan aktor Paul Agusta membenarkan kabar tersebut. Paul menuturkan, sepuluh hari lalu, sang ayah minta diantarkan “pulang” ke tanah kelahirannya. Paul tentu tak menyangka bahwa kepulangan tersebut akan menjadi yang terakhir. “Jenazah almarhum dimakamkan di Padang. Semua telah dimaa!an, sebab kita pernah bahagia,” ujar Paul sambil mengutip salah satu baris puisi dari sang ayah. Sejak beberapa tahun belakangan, Leon Agusta memang diketaui kerap sakit dan beberapa kali dirawat di rumah sakit. Namun, pada 2012, beberapa hari setelah dirawat

di Rumah Sakit Cikini, Jakarta Pusat, Leon sempat terlibat dalam sebuah pementasan Teater Puisi di Taman Ismail Marzuki. Dalam pentas bertajuk ‘Kapal Penyeberangan Hukla’ tersebut, Leon tampil membacakan puisi-puisinya. Pentas kolaborasi antara Afrizal Malna, Jefri Andi Usman dan Iwang Noorsaid tersebut memang diangkat dari puisi-puisi Leon. Kini, rupanya ‘kapal penyeberangan hukla’ telah mengantarkan sang penyair ke tempat peristirahatan yang terakhir. Pernah duduk sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta, Leon Agusta lahir di Singiran, Maninjau, Sumatera Barat, 5 Agustus 1938. Pada 1976-1977 ia menjadi bagian dari rombongan sastrawan Indonesia yang mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat. Dari program tersebut, Leon melahirkan buku kumpulan puisi ‘Di Sudut-sudut New York Itu’. Buku kumpulan puisi terbaru Leon Agusta terbit pada 2012 berjudul ‘Gendang Pengembara’. *** (Red. Dari berbagai sumber)

Leon Agusta Leon Agusta (Ridwan Ilyas) lahir di Desa Sigiran, daerah pinggiran Danau Maninjau, 1938. Pernah mengiku! Interna!onal Wri!ng Program di Iowa University, tahun 1976 dan 1978. Karya-karyanya, berupa puisi, cerpen, esei, dan novel, dimuat di berbagai media massa, termasuk Horison, dan diterbitkan dalam sejumlah buku antologi. Walaupun usianya sudah kepala enam, Leon masih ak!f menulis puisi, dan mengiku! berbagai forum sastra di dalam dan luar negeri.

halaman 59


Puisi-puisi Leon Agusta Jalan Raya Ibu Kota

Kudengar topan menggertak dan angin menerjang “Apakah belum lagi siap; aku tak akan pernah siap” Bahkan untuk tidur Tapi aku tertidur juga Diayunkan deru cemas Dinyanyikan jeritan badai Sampai pagi yang pucat Membangunkanku “dalam tidur, mimpi buruk selalu mengejarku” Pagi hari Musim tampak memanjang oleh cahaya yang rebah Dari timur Dan kabut masih kental mendekap jendela Kutatap Koran pagi yang terhantar lemas di atas meja “Cinta kekaksihku lenyap di jalan raya” “Dendam kekasihku berkeliaran di jalan raya” Aku cemas sebab aku belum kemas untuk menyempatnya Di senja penghabisan; di jaringan jalan raya ibu kota Berdebaran aku menunggu begitu gairah Mendengar nyanyian dan bisikannya Walau mimpi buruk selalu mengejar

halaman 60


Dari Suatu Masa

“Mungkin, masih ada yang tersisa dari prahara selain kitab suci dan puisi,� katamu, sembari bergegas pergi Aku tak begitu sadar, apa pernah mengucapkannya Gerangan berapa kali atau mungkin tak pernah Tapi kenapa ada yang mendengar dan mengingatnya Aku ingin mengatakan, kau mungkin benar Ketika kau melangkah, meningggalkan pagar terbuka Aku kira kamu masih akan menoleh sejenak. Kau pun berangkat, meninggalkan suatu masa yang pincang Menuju sebuah zaman lain yang belum bernama

halaman 61


Ketika Langit dan Bumi Tak Lagi Terbayangkan

Apakah aku terlihat siang atau kabut atau debu-debu Tak tahulah. Sungguh tak lagi terbayangkan Tapi barangkali ketika itu di suatu senja yang asing Aku pernah punya wajah buat dikenal. Wajahku Barangkali ketika itu aku hendak mengenangnya Sebagai tanda dari perkenalan yang diterima Sebagai tanda dari percintaan yang selesai buat mencipta Atau barangkali pernah pula ada perkenalan yang lain Namun segalanya jadi lupa. Tak lagi terpikirkan. Pula Bagaimana aku kan tahu sekiranya masih ada saat dan ketika Masih meniti nafas dalam kesendirian yang lemas indera Bahkan maut pun tak tersapa dan cinta pun tiada bangkit Cuma, ada perasaan kehilangan yang melaju. Melaju. Kehilangan di daerah pengasingan. Terhantar di sini Dalam segala tak lagi punya warna atau ungkapan Ketika langit dan bumi tak lagi terbayangkan

halaman 62


Catatan Hukla Mei 2008

Puluhan ribu senja tenggelam Dalam kabut remang-remang labirin Sejak terlihat ada pohon tumbuh di atas kertas Dulunya kabur namun kini tampak rimbun Menjelma jadi taman impian Daun-daun berguguran jadi dendang kata-kata Di atas kertas-kertas resmi, dalam aneka risalah Memuat pasal demi pasal dan ayat demi ayat Maka terjadilah Bibit tumbuh bersemi di negeri nusa-antara Lebat buahnya berjatuhan di negeri tetangga Pasal-pasal tak sakral Ayat-ayat pun tak suci Hanya taman Yang terlarang Kini genderang mulai riuh bertalu Barisan gelombang menderu berpacu Tanpa bimbang dan ragu Gemertap maju menyerbu Hukla, ke taman impian menuju

halaman 63


Kisah Burung-Burung Beo

Burung beo di dalam sangkar itu Dulunya adalah seorang ďŹ losof Konon kata orang dia juga seorang ahli hukum Bertahun-tahun dalam hidupnya dia telah dengan gigih Mengajarkan kejujuran dan keadilan bagi rakyatnya Hingga, setelah melalui perjalanan yang panjang Dia sampai di satu tikungan berbukit batu. Ia teramat letih. Dan seseorang pun datang Membisikkan sesuatu kepadanya Kemudian, mereka menghilang di balik tikungan itu Lama sekali tak ada kabar tentang sang ďŹ losof Gema suaranya pun sudah menghilang Sampai suatu hari orang-orang mulai mendengar cerita Tentang burung-burung beo yang tinggal dalam sangkar emas Gemuk-gemuk dan sangat manja, tapi sangat pendendam Konon, seekor diantaranya adalah ďŹ losof itu Kini, bila anakku Hukla Inna Alyssa mendengar Orang-orang bicara lembut penuh petunjuk dan ajaran Segera saja ia menutup kedua telinganya Dan menatap dengan jelas kemudian wajahnya pucat pasi Melihat banyaknya burung-burung beo menyamar jadi ďŹ losof

S

halaman 64


halaman lxv


halaman lxvi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.