Edisi210

Page 1

Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)

Esei: Disertasi Pui!k

210 MARET 2016 www.majalahsagang.co.id l

Senirupa: Cara-pandang

Mohamad Sobary

Este!k Seni Rupa

Raih Predikat Sangat Memuaskan dan ATAKA oleh Hasan Junus (1941-2012)

Modern Indonesia Dari Sisi Sejarah oleh M. Agus Burhan (kurator)

Cerita-Pendek: Menjejak Langit oleh Zuarman

Rehal: Seno Gumira Ajidarma

Ahmad, Daun Terakhir oleh O. Henry, Pesawat

Terbang dan Putri Yang Ter!dur oleh Gabriel Garcia Marquez Sajak: Dantje S Moeis - Hariyono Nur Kholis Cahaya Buah Ha! - Kholil D. Rahman - A"la József

Kembali Luncurkan

“Sepotong Senja untuk Pacarku” dan Membangun Surga Opini: Alasan Dee

Menerbitkan Buku Sendiri Peris wa Budaya:

H Rida K Liamsi (Datuk Seri Lela Budaya) halaman KULITi


UU Hamidy

Naskah Melayu Kuno Daerah Riau Besarnya jumlah naskah kuno di dearah Riau telah menggoda perhatian beberapa pihak. Pihak Belanda sendiri seperti H.C. Klinkert pernah tinggal di Riau 2,5 tahun, dan berhasil mendapatkan manuskrip lebih dari 90 buah. Demikian juga perhatian Van de Wall dan Van Eisinga. ...

Harga : Rp.

65.000

Merindu Tunjuk Ajar Melayu Kumpulan Esai Pilihan Riau Pos 2015 ...orang Melayu masih tetap merindukan katakata yang terlontar langsung dari bibir Tenas Effendy. Tak sekadar hanya mengenang, orang Melayu merindukannya dengan segenap jiwa. Tapi semua itu tak mungkin bisa berulang. Perputaran jarum jam tetap sama, tapi waktu tak akan dapat berulang.

Harga : Rp.

45.000

Pelabuhan Merah Kumpulan Puisi Pilihan Riau Pos 2015 .... Dan yang bangkit, yang terbit setiap hari dari kedalaman itu, adalah juga matahari yang membawa cahaya yang lain itu. Matahari boleh sama, tapi cahayanya setiap hari boleh jadi baru.....

Harga : Rp.

30.000

Tersedia di Toko Buku Sagang Alamat Gedung Graha Pena Riau - Riau Pos Group, Lantai 1 halaman KULITii Jl. H.R. Soebrantas, Km 10,5 Panam - Pekanbaru. Email: umumsagang@yahoo.co.id

B S


DAFTAR ISI Penerbit: PT. Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Graha Pena Riau, Lantai 8 Jalan H.R Soebrantas KM 10,5 Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810 Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.co.id e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 210 l MARET 2016 l tahun XVIII

Pembacaan puisi dari buku Sun!ng "Tahu apa kau tentang perempuan" oleh Kunni Masrohan! saat Malam Madah Poedjangga di Kaliandra Mee!ng Room Graha Pena Riau. Sabtu (16/1/2016). Foto: MHD.AKHWAN

n Jiwa ..................................................... 2 n Esei - Disertasi Puitik Mohamad Sobary Raih Predikat Sangat Memuaskan ..... 3 - ATAKA oleh Hasan Junus (1941-2012) ......................................... 5 n Cerita-Pendek Menjejak Langit oleh Zuarman A ...... 8 n Cerita-Pendek Terjemahan - Daun Terakhiroleh O. Henry ............14 - Pesawat Terbang danPutri Yang Tertidur oleh Gabriel Garcia Marquez ............19 n Sajak - Dantje S Moeis .................................. 26 - Hariyono Nur Kholis .........................31 - Cahaya Buah Hati ............................. 35 - Kholil D. Rahman ............................. 43 n Sajak Terjemahan Attila József ...................................... 50 n Senirupa Cara-pandang Estetik Seni Rupa Modern Indonesia Dari Sisi Sejarah oleh M. Agus Burhan (kurator) ........ 55 n Rehal Seno Gumira Ajidarma Kembali Luncurkan “Sepotong Senja untuk Pacarku”............................................ 58 n Opini Alasan Dee Menerbitkan Buku ............ Sendiri............................................... 60 n Peristiwa Budaya H Rida K Liamsi Datuk Seri Lela Budaya .....................61 n Rehal Membangun Surga ........................... 63

Perintis: Rida K Liamsi l General Manager: Armawi KH l Wakil General Manager: Kazzaini Ks l Pimpinan Perusahaan: Mega Setara lPimpinan Redaksi: Kazzaini Ks lRedaktur: Armawi KH, Kazzaini Ks, Eriyanto Hady, Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Sutrianto l Pra cetak: Rudi Yulisman l Ilustrator Tetap: Purwanto l Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@ yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


Tajuk Jiwa ahwa karya musik yang sempurna ahwa, adalah merasuki jiwa pendengarnya, adal karya sastra yang sempurna kary adalah mewakili jiwa pembacanya, karya lukis dan karya tari yang sempurna adalah juga mewakili jiwa penglihatnya, atau penontonnya. Apakah jiwa? Jiwa atau jiva (bahasa Sanskerta) menurut Wikipedia membuat tafsiran yang bermakna “benih kehidupan”, bagian yang bukan jasmaniah (immaterial) dari seseorang. Biasanya jiwa dipercaya mencakup pikiran dan kepribadian dan sinonim dengan roh, akal, atau diri, jiwa hidup terus setelah seseorang meninggal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata jiwa memiliki arti roh manusia (yang ada di di tubuh dan menyebabkan seseorang hidup atau nyawa. Jiwa juga diartikan sebagai seluruh kehidupan batin manusia (yang terjadi dari perasaan, pikiran, anganangan, dan sebagainya). Dalam khasanah Islam jiwa disebut nafs (soul, psyche), nyawa dan lain-lain. Pengertian nafs yang pertama adalah yang menggabungkan kekuatan marah dan nafsu syahwat pada manusia. AlGhazali, berdasarkan pengetahuan tasawuf menyebutnya sebagai nafsu, yang merupakan pokok yang menghimpun sifat-sifat tercela dari manusia; sedangkan pengertian yang kedua lathifah ( yang halus). Menurut AlGhazali bahwa al-nafs, al-aql, al-qalb, alruh bisa saja bermakna satu, yaitu alLathifah al-ruhaniyah atau al-lathifah alrabbaniyah. Hal ini merupakan substansi jiwa yang sebenarnya, yaitu sesuatu yang halus (lathifah) ketuhanan (Rabbaniyah)

halaman 2

dan kerohanian (Ruhaniyah) murni. Dalam kajian suluk disebut “alam bosa dipokocik, alam kocik dihabisi, tingga alam dalam diri, mano alam dalam diri?” Alam besar (makrokosmos) diperkecil (mikrokosmos), alam kecil dihabisi, tinggal alam dalam diri, manakah alam dalam diri? Atau siapakah alam dalam diri itu? Apa pentingnya memaknai pengertian atau hal ihwal mengenai jiwa atau nafs ini bagi seniman, terutama kreator (komposer, penyair, koreografer, pelukis) atau seniman pemain musik, penari, dan lain-lain? Sebabnya adalah penciptaan karya seni menurut Al-Hujwiry (nama lengkapnya Abul Hassan Ali Ibn Usman al-Jullabi alHajveri al-Ghaznawi, ulama sufi abad ke-11), adalah berdasarkan (menurut) jiwa (nafs) dan yang menikmatinya adalah jiwa (nafs). Karena itu, menurut Al-Hujwiry, golongan yang mengharamkan musik disebutnya sebagai tidak mempunyai jiwa (nafs), yaitu bukan manusia dan bukan pula binatang, Al-Hujwiry membuat pertanyaan, jadi siapa? Pada sisi yang lain, hal yang berhubungan dengan jiwa (nafs) ini, Kresna (Krishna), sebagai Gowinda (nama lain Krishna sebagai pengembala sapi) pemain seruling yang sangat mahir, mempunyai nasehat kepada para pemain musik, yakni: mainkanlah musik dengan jiwamu, niscaya orang akan mendengarkan (juga dengan jiwanya). Karena itu, wahai para seniman, dan para pengelola seni dan seniman, sepatutnya (seyogianya) kita berkesenian kembali dengan “jiwa” (nafs), sehingga ladang kebudayaan kita akan tumbuh subur, tanpa hama.***


Esei

Disertasi Pui k Mohamad Sobary

Raih Predikat Sangat Memuaskan

udayaw udayawan Mohamad Sobary memperkenalkan memp pembaruan dalam penulisan disertasi secara puitik di Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia dalam disertasinya bertajuk Perlawanan Politik dan Puitik (Ekspresi Politik Petani Temanggung). Dalam ujian meraih gelar doktor yang dilangsungkan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI Depok, Jabar, Selasa, Fentiny Nugroho MA, PhD sebagai penguji mengatakan baru kali ini sebuah disertasi ditulis dengan kepala, tangan dan hati. “Ini disertasi pertama kali yang ditulis dengan head, hand and heart. Saya mengapresiasi pembaruan penulisan disertasi seperti ini,” katanya dalam sidang ujian doktor yang dipimpin Dekan FISIP UI Arie Setiabudi Soesilo. Pujian serupa diberikan Prof Dr Gumilar

Rusliwa Somantri, yang juga penguji disertasi. Menurut Gumilar, disertasi Mohamad Sobary menghadirkan pendekatan baru dalam penulisan disertasi, yang ditulis dengan semangat berpuisi. Namun, tambahnya, penulisan disertasi yang demikian dapat menimbulkan kekhawatiran akan banyaknya intepretasi peneliti terhadap fakta di lapangan sehingga tidak menghadirkan realitas yang diteliti. Dalam menjawab kekhawatiran penguji tentang banyaknya intepretasi atas fakta lapangan itu, Sobary mengatakan, yang dibeberkan adalah apa yang disuguhkan oleh petani tembakau di temanggung yang ditelitinya. “Tak ada yang disampaikan melampaui apa yang disajikan dalam fakta-fakta di lapangan,” katanya. Dalam orasi ringkasnya menjelang sesi

halaman 3


tanya jawab, Sobary yang meraih predikat sangat memuaskan dalam mempertahankan disertasinya itu menguraikan latar belakang penelitiannya terhadap petani tembakau Temanggung yang mulai terancam dengan kuluarnya UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang bertujuan mengendalikan produk olahan tembakau. “Keterancaman itu melahirkan perlawanan petani. Perlawanan itu dilakukan lewat aksi puitik. Puitik di sini tidak sebatas dalam wujud puisi. Tapi dengan berbagai wujud seperti tari, ritual penyalaan dupa, persembahan warna warni bunga,” katanya. Sobary mengatakan penelitiannya terhadap petani tembakau di Temanggung bertujuan memperoleh informasi mengenai kompleksitas gerakan perlawanan petani dengan meninjau latar belakang dan mendalami ekspresi ideologis, gagasan, perasaan dan sikap maupun segenap tindakan para petani itu. Menurut Sobary, petani melakukan perlawanan bukan semata untuk merebut kembali hak-hak hidup mereka sebagai wujud perjuangan politik untuk kesejahteraan yang hanya berlaku di dalam suatu komunitas kecil, sekecil Kabupaten Temanggung, tapi tanpa disadari tuntutan mereka untuk memperoleh keadilan dalam kebijakan publik sehingga menjadi semakin luas, yaitu untuk memperjuangkan secara lebih substansial pelaksanaan demokrasi di negeri ini. Sobary menambahkan, petani telah memperlihatkan bahwa tradisi agung yang terakumulasi dalam mitologi, nilai-nilai puitik dan ingatan kolektif bisa menjadi senjata perlawanan terhadap kekuatan negara dan industri. “Pertarungan itu masih berlanjut, belum

halaman 4

diketahui pemenangnya,” kata Sobary yang menulis esai-esai klasik puitik dalam “Kang Sejo Melihat Tuhan” itu. Prof Dr Bambang Shergi Laksmono yang bertindak sebagai promotor dalam kesempatan itu mengatakan: “Pak Sobari tak perlu dipromosikan lagi. Lalu apa tugas saya sebagai promotor? Saya bukan promotor tapi saksi atas perjalanan dan pergulatan Pak Sobary meneliti.” Hadir dalam kesempatan itu antara lain tokoh angkatan 66 Harry Tjan Silalahi, mantan Menteri Pendidikan Malik Fajar, ekonom Sri Edi Swasono, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, dan Rektor UIN Jakarta Komaruddin Hidayat.*** (INT.)

e


Esei

ATAKA oleh

Hasan Junus (1941-2012)

eb eberapa orang guru yang telah bertungkus lumus dan berhempas putu las menuntun para siswa mereka memperkenalkan, berakrab dan menggauli sampai menyatukan diri dengan kesusastraan seperti yang dilakukan oleh Musa Ismail, Hafney Maulana, MT Siallagan, dan lain-lain seyogianya perlu mendapat perhatian masuyarakat sastra dan masyarakat umumnya. Setidak-tidaknya para siswa yang sudah diarahkan dan dituntun ke gelanggang kesusastraan itu dapat muncul dan lahir sebagai penyair belia atau pengarang karyakarya yang dikenal sebagaui ‘’chicklit’’ atau ‘’teenlit’’ sebagaiamana yang berlangsung di bagian negeri kita terutama di Jakarta dan di beberapa kota besar di Pulau Jawa.

NAMA lengkap Ataka ialah Ahmad Ataka Awwalul Rizqi. Anak Taufiqurrahman, pegawai sebuah lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta. Tinggal di Jalan Turonggo No. 27, Pakuncen, Kecamatan Wirobrajan. Umurnya 14 tahun. Siswa SMPN 5 Yogyakarta. Ada dua sosok manusia yang mempengaruhi Ataka sampai menjadi seorang pengarang chicklit atau teenlit, karya sastra yang dikarang dan diperuntukkan bagi mereka yang belum dewasa. Pada mulanya karya chicklit atau teenlit dikarang oleh orang yang sudah dewasa, kemudian umur pada pengarang karya jenis ini menurun sampai pada setingkat SMA, dan terus menurun pada usia SMP, bahkan ada juga yang SD halaman 5


atau setingkat itu. Pada usia semuda itu Ataka telah berhasil melahirkan karya berjudul Misteri Pedang Skinhead 660 halaman. Karena karya ini akan diterbitkan pengarangnya sebagai trilogy, jadi kelak kira-kira tebal karya ini menjadi 3 kali 660 halaman, maka Ataka dapat dipandang sebagai pengarang chicklit (teenlit) dan juga pengarang novel monster yang ukuran tebalnya lebih dari 1000 halaman. Tak dapat disangkal bahwa Ataka ialah orang muda pertama yang mencapai gelar seperti itu. Ada dua tokoh yang sangat berpengaruh pada kepengarangan Ataka. Tokoh pertama ialah guru bahasa Indonesia di sekolah SMPN 5 di Yogyakarta yaitu Yosepha Niken Sasati. Tokoh kedua ialah Faiz Ahsoul, salahseorang aktivis Akademi Kebudayaan Yogya yang adalah sebuah komunitas penulis usia muda di Yogyakarta. Ibu guru Yosepha berpengaruh karena dia mengajarkan bahasa Indonesia, sedangkan Faiz Ahsoul karena bimbingan intelektual yang diberikannya. Karena mereka pernah memancing di sebuah sungai kecil Ataka lalu melukiskan Sungai Tak Bernama dalam karyanya. Riwayat kepengarangan Ataka tidak lengkap kalau tidak disertai dengan kisah ia meraih juara kedua Olimpiade Fisika di Semarang. Dengan uang sebesar 4 juta rupiah itu ia membeli laptop seharga 6,95 juta. Kekurangan hampir 3 juta rupiah itu dipenuhi oleh ayahnya. Maka jadilah Ataka seorang pengarang muda yang menjanjikan. Ataka tak pernah merasakan dinginnya salju, karena ia belum pernah menjejakkan kaki di Eropa. Tapi perjalanan fisik tidak sama dengan pengembaraan rohani. Nuansa Eropa dalam karyanya ialah hasil pengembaraan rohani. Tapi Ataka juga menghasil-

halaman 6

kan karya yang berjejak di bumi atau beraroma local; dua karya yang pantas disebutkan ialah Kenangan di Bumi Rencong dan Bulan Sabit di Langit Parang Tritis. Ataka tidak sendiri. Sederetan nama yang muda yang berkarya dapat disebutkan seperti Nabila Nurkhalisah Harris, Ali Riza, Sri Izzati, Sha Sha, Melisa dan lain-lain melengkapi taman para penulis berusia muda ini. Dr Murti Bunanta mengkhawatirkan para penulis usia muda ini hendaklah dijaga agar pertumbuhannya tidak terganggu. Dia membandingkan dengan para pemenang lukisan Asia yang setelah dewasa langsung menghilang. Tapi pertanyaan kita di sini dan kini mengapa pengarang berusia muda kita belum lahir seperti yang sudah hadir di Yogyakarta dan ibukota? Tentulah seyogianya kita harus memikirkan kenapa sampai hari ini di daerah kita belum muncul seorang sastrawan ‘’chicklit’’ atau ‘’teenlit’’ yang meyakinkan sebagaimana dicontohkan oleh sederetan nama-nama yang tercantum di atas. Sebagai langkah-langkah awal hadirnya Ataka, Nabaila Nurkhalisah Harris, Ali Riza, Sha Sha, Melisa, dan lainnya patut benar diperkernalkan seluas-luasnya kepada para siswa yang berat berminat kepada kesusastraan di sini sebelum meningkat pada perkenalan kepada sastrawan seluruh negeri kita, lalu seterusnya berkenalan dan bergaul dengan sastrawan dari segala penjuru dunia. Pada awalnya hendaklah terbina suatu pilihan bebas di kalangan para siswa dari sekolah apapun. Jenis fiksi yang menjadi pilihan seorang siswa mungkin saja fiksi yang bermuatan kisah kriminal atau juga dikenal dengan cerita detektif. Dalam kawasan ini kesusastraan dunia memiliki George Simenon yang cukup luas membangkitkan perhatian bahkan seorang André Gide yang


adalah seorang sastrawan Perancis yang sangat terkenal lagi pula peraih Hadiah Nobel. Dalam lingkungan sastra Indonesia di Riau cerita detektif diolah oleh tak kurang oleh sang pelopor Soeman Hs. Perlu dicatat karya Soeman Hs Percobaan Setia sampai-sampai diterjemahkan ke Bahasa Sunda yang dikenal sebagai Tjotjoba. Karya bahasa Melayu / Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Sunda, Jawa, Madura, dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia lainnya merupakan suatu peristiwa budaya ayang unik dan menarik. Kajian pada bisang ini terlihat belum terlalu banyak menarik perhatian. Khusus tentang diterjemahkannya beberapa karya Soeman Hs ke bahasa Sunda jejak masa lalunya dapat dicari dari dikirimnya seorang guru dari Bandung Raden Marta Atmaja untuk belajar bahasa Melayu dengan pendeta budaya Raja Ali Haji di Pulau Penyengat. Ia membawa Kitab Pengetahuan Bahasa kembali ke Bandung. Untuk mendalami hal ini Jan van der Putten dan Al Azhar telah menerbitkan surat-surat Raja Ali Haji yang juga berisi hal tersebut dalam buku Dalam Berkekalan Persahabatan Suratsurat Raja Ali Haji Kepada Von de Wall, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2007.

mengibarkan bau yang harum di sekitarnya maka tak dapat tiada semua itu berpunca dari upaya tuan-tuan dan berpuncak pada apa yang bernama kesusastraan. Pada mulanya adalah perhatian, dan pada akhirnya ialah karya sastra *** (Red. Tulisan di atas pernah dimuat di harian pagi Riau Pos Edisi Ahad 13 Mei 2007 )

e

Pilihan bebas itu bisa saja pada jenis kisah-kisah yang lain misalnya cerita silat atau cerita kungfu atau karate, cerita Western atau cerita koboi, cerita hantu atau periperi. Dari kawasan dan gelanggang inilah kelak calon-calon pengarang itu diarahkan sampai memiliki suatu visi yang orisinal dan yang inovatif. Untuk mencapai pergaulan sastra yang total maka para guru yang berdedikasi seperti nama-nama yang telah tertera di atas seyogianya diberi semangat agar terus berbuat tanpa jemu. Kelak apabila hadir seorang sastrawan yang cemerlang bersinar dan mengibas dan

halaman 7


Cerita-Pendek

Menjejak Langit oleh

halaman 8

Zuarman Ahmad


am ampir satu jam Aku tertidur di lift. Ketika bangun Aku tiada lagi melihat kawan-kawan sesama musisi yang hendak naik ke lantai tujuh sebuah hotel tempat kami menginap di Kualalumpur. Ketika Aku melihat tanda angka yang berwarna merah di dinding lift menunjukkan angka 6622, Aku merasa terkejut. Seingatku hotel tempat kami menginap sementara di Kualalumpur sebelum melanjutkan perjalanan ke Tanjungmalim, hanya mempunyai sembilan tingkat. Aku menekan tombol perintah nomor tujuh, tetapi tidak keluar angkanya, dan lift tidak menunjukkan akan turun ke lantai tujuh. Aku menekan tombol lift angka tujuh sekuat-kuat tenaga dan upaya namun tidak juga keluar angka tujuh itu. Aku mulai putus asa. Seperti hilang akal, baru Aku ingat untuk menekan tombol yang bertuliskan bell sebagai tanda emergency. Tapi, setelah berkali-kali aku menekan tombol bertuliskan bell, tidak ada juga pertolongan dari pihak hotel. Aku mulai pasrah dan duduk di lantai lift karena mulai letih. Sontak, Aku melihat di dinding lift menunjukkan angka 6666, dan tiba-tiba lift mendadak berhenti. Aku mulai was-was. Perasaanku tidak menentu dan ketakutan mulai menimpa diriku. Untung Aku mulai sadar dari perasaan ketakutan dan mulai membaca ayat Kursyi sebanyak mungkin. Aku tak mau menekan tombol perintah untuk membuka lift, karena Aku tak mau menanggung resiko yang tidak terduga. Setelah beberapa menit kemudian pintu lift terbuka dengan sendirinya. Aku melihat seberkas cahaya yang sangat terang masuk seperti hendak menelan lift tempatku berada. Aku mengira diriku akan hancur terbakar oleh cahaya yang sangat menyilaukan itu. “Sampailah ajalmu”, pikir hatiku. Namun, setelah cahaya itu membalut diriku, perasaanku menjadi tenang dan damai rasanya. Aku melihat dua orang perempuan yang tidak aku lukiskan kecantikannya diiringi dua orang lelaki sangat tampan berdiri di depan pintu lift. Mereka menyilakan diriku untuk keluar dari lift. Entah bagaimana, Aku hanya menurut saja perintah dua orang perempuan yang tak terkira cantiknya itu dan dua orang lelaki sangat tampan itu. Aku keluar dari lift. “Salam. Semoga tuan selamat, dan selamat datang ke tempat Antara Impian dan Kenyataan”, ucap keempat orang yang menyambutku itu bersamaan, seperti lagu dengan nada yang sangat harmoni yang belum pernah aku dengar dalam chorus orkestra manapun. “Alam Menjejak Langit?” pikir hatiku. “Tempat apa pula ini”, kata hatiku lagi. Aku mencubit lengan kiriku, namun terasa sakit. “Berarti

halaman 9


Aku bukan dalam keadaan bermimpi”, suara hatiku lagi. “Tuan berada dalam alam nyata, bukan impian”, kata seorang perempuan yang memakai baju warna hijau lumut yang cantiknya tiada terlukiskan itu yang berdiri di sebelah kanan di antara mereka berempat itu. “Mereka mengetahui suara hatiku”, kataku lagi dalam hati. “Aku mau dibawa kemana?” ucapku kepada mereka berempat itu. “Kepada penguasa alam Menjejak Langit”, kata dua orang lelaki sangat tampan bersamaan. “Berapa lama lagi perjalanan kita hingga sampai ke tempat penguasa alam Menjejak Langit?” kataku agak tersendat-sendat. “Kalau di tempat kalian di bumi mencapai perjalanan seribu kilometer lagi”, kata seorang lelaki sangat tampan yang memakai baju putih. Dalam perjalanan menuju ke tempat penguasa alam Menjejak Langit, Aku menjumpai pepohonan di kanan kiri jalan yang merendah hampir mencecah tanah yang kami injak. Anehnya, jalan tanah yang kami lalui tidak seperti tanah yang ada di bumi, tetapi seperti berjalan di atas lautan beku yang berwarna biru kehijauan. Anak-anak sungai yang tidak dapat dilukiskan keindahannya mengalir di kiri kanan jalan yang kami lalui, dan airnya yang sangat jernih. Rasa hausku makin menjadi-jadi dan ingin rasanya Aku meminum air anak sungai itu. “Kami tidak boleh melakukan apa yang tidak diperintahkan. Nanti tuan akan diberi air minum ketika sudah sampai di penguasa alam Menjejak Langit”, kata lelaki sangat tampan yang memakai baju biru. “Kita sudah sampai”, kata perempuan yang memakai baju hijau lumut yang berjalan di sebelah kiriku. Aku melihat istana yang menjulang tinggi dibalut cahaya sehingga tiada lagi terlihat puncak istana itu karena penuh dengan cahaya. Tiba-tiba pintu gerbang istana itu terbuka. “Salam, salam, salam, selamat datang di tempat alam Menjejak Langit. Kamu boleh menikmati seluruh apa yang ada di tempat ini”, kata suatu suara yang keluar dari dalam istana itu diiringi cahaya berbagai-bagai warna yang seakan-akan membalut tubuh kami berlima. “Masuklah”, sahut suara itu lagi. “Saudara boleh masuk”, kata kedua perempuan sangat cantik yang tak dapat dilukiskan itu mengiringiku. Aku masuk ke dalam istana itu. Kulihat seluruh ruangan bercahaya.

halaman 10


Bau harum yang tiada pernah kuhirup selama hidupku. Seketika tujuh orang perempuan muda yang sangat cantik melebihi kedua orang perempuan yang membawaku dari lift keluar dari balik tabir, dan seorang perempuan menyuguhkan kepadaku segelas minuman dalam sebuah piala emas yang memancarkan cahaya. Aku mengambil gelas itu dan meminum airnya. Rasa haus ku menjadi hilang dan Aku bahkan merasa kenyang serta merasakan nikmat yang tiada dapat kuceritakan. “Tidak semua orang dapat masuk dan merasakan kenikmatan tempat alam Menjejak Langit ini”, suatu suara tiba-tiba bersipongan ke seluruh ruangan. ‘Aku mengucapkan terimakasih kepada penguasa alam Menjejak Langit, yang telah membawaku ke sini. Aku ingin mengajukan pertanyaan. Untuk apakah Aku dibawa ke tempat ini?” “Kamu dibawa ke tempat ini untuk membalas kebajikan yang pernah kamu lakukan”, suara penguasa alam Menjejak Langit, yang dari tadi belum pernah Aku lihat rupanya. “Kebajikan apakah yang pernah Aku lakukan? Setahuku Aku berbuat sekedar apa yang harus Aku perbuat. Dan, setahuku Aku mempunyai banyak dosa yang Aku sendiri lupa berapa banyaknya”, kataku apa adanya. “Kamu tiada perlu mengetahuinya. Tugasmu hanyalah menjalani hidup dan kehidupanmu seperti apa yang kamu katakan tadi, yakni apa yang harus aku perbuat”, kata suara tanpa rupa itu. “Apakah Aku akan kembali ke tempat asalku, atau...?” “Ya, kecuali kamu sudah sampai ke tempat yang abadi, kamu tidak dapat kembali lagi ke dunia asalmu”. “Sekarang sudah saatnya kamu kembali ke dunia asalmu. Apakah permintaanmu?” “Aku tidak meminta apa-apa”, jawabku sekenanya. “Kamu menyimpan pertanyaan dalam hatimu. Katakanlah!” “Semenjak Aku dibawa ke sini dan berbicara dengan Tuanku, Aku belum melihat rupa Tuanku”, kataku akhirnya setelah aku tahu suara tanpa rupa itu mengetahui apa yang tersirat di dalam hatiku. “Aku mempunyai perjanjian dengan diriku sendiri sampai suatu waktu. Apa yang tersirat dalam hatimu tentang Aku, itulah Aku”. “Siapakah Tuanku?” kataku lagi tidak menyia-nyiakan kesempatan. “Aku adalah apa yang tergambar dalam hatimu, Aku adalah apa yang menurut sangkamu”, kata suara tanpa rupa itu singkat.

halaman 11


“Apakah kamu ingin berjalan-jalan dan melihat bangunan, taman, sungai, dan segala keindahan alam Menjejak Langit?” kata suara tanpa rupa itu. “Setelah berjumpa dengan Tuanku, apakah Aku masih mempunyai keinginan dengan yang lain?” kataku seadanya. “Kamu telah mengenal dirimu”, kata penguasa alam Menjejak Langit itu. “Sekarang kamu boleh kembali ke tempat asalmu”, sambung suara tanpa rupa itu. “Terimakasih, Tuanku telah berkenan membawa diriku ke sini”. Aku keluar dari istana alam Menjejak Langit, diiringi oleh tujuh orang perempuan muda yang cantiknya tidak dapat diucapkan dengan kata-kata. Sampai di luar istana Aku dibawa kembali oleh dua orang perempuan yang cantiknya tiada terkira dan dua orang lelaki sangat tampan sampai ke tempat lift hotel tempat ku menginap yang masih berada di tempat Aku keluar tadi. Sebelum masuk ke dalam lift, Aku tak lupa memasukkan ke dalam saku celanaku sebuah batu berukuran kecil yang aku pungut tanpa setahu keempat orang yang mengantarkan aku kembali ke depan lift. Aku masuk ke dalam lift dan menekan tombol angka tujuh lantai hotel tempat Aku dan kawan-kawan menginap. Terlihat angka tujuh menyala berwarna merah di dinding lift. Beberapa saat kemudian lift berhenti dan pintunya terbuka. Aku keluar dari lift, dan kulihat Aku memang telah berada di lantai tujuh tempat aku menginap. Aku menuju ke kamar tempat kawan-kawanku telah dari tadi istirahat setelah Aku tertinggal di dalam lift. Sampai di dalam kamar, kawankawan musisi terlihat tidur dengan pulas. Ketika mereka bangun, Aku menceritakan kejadian tentang diriku. Dan, mereka semuanya tertawa terbahak-bahak, gelak merahai, terkial-kial, kelihatannya mereka menyangka aku berbohong dan mengarang-ngarang cerita. “Kata Bapak tadi ketika di dalam lift, terdesak mau kencing. Jadi, kami menyangka Bapak pergi kencing ke WC lantai tujuh ni”, kata Ifen Piul yang memanggilku dengan sebutan Bapak, karena kawankawan musisi dalam rombongan yang dibawa Tuan Haji Khalid untuk rekaman Album Melayu Asli di UPSI Tanjungmalim merupakan mahasiswaku semasa masih belajar. “Kalau kalian tidak percaya, ini Aku membawa sebuah batu dari alam Menjejak Langit itu”, kataku tidak mau dikatakan berbohong. “Itu mungkin batu yang keluar dari kencing Bapak tadi”, kata Sukron tiba-tiba.

halaman 12


“Berarti Bapak dah sehat dari penyakit kencing batu�, kata Eman dan Budi sembari tertawa terkial-kial. Aku pun ikut tertawa, gelak merahai, terkial-kial ... ***

Zuarman Ahmad Pemusik, composer, arranger, pensyarah / pengajar musik Akademi Kesenian melayu Riau (AKMR), penulis cerita-pendek, redaktur Majalah Budaya Sagang, penerima Anugerah Seniman Pemangku Tradisi Prestasi Seni/Musik 2005, Penerima Anugerah Sagang 2009.

e

halaman 13


Cerita-Pendek Terjemahan

Daun Terakhir oleh

O. Henry

Cerita-Pendek O.Henry dengan judul asli “The Last Leaf” (1907) yang cukup banyak diterjemahkan keberbagai bahasa di Dunia ini, termasuk ke bahasa Indonesia. Mengapa demikian? Yang jelas menurut kami bahwa CeritaPendek ini sangat berunsur psikologi (kejiwaan), kekuatan karya seni rupa dan pengorbanan. Karya ini juga memberikan peringatan keras kepada para dokter untuk tidak memberikan ultimatum yang memutus harapan hidup dari seseorang pasien yang ditanganinya. Dengan dasar itulah kami, redaksi majalah budaya “Sagang” memuat kembali terjemahan dari cerita ini dan membuat kesimpulan bahwa, salah satu unsur untuk mengatakan bahwa karya cerita itu baik dan bernilai adalah; Bahwa cerita itu bermuatan unsur manfaat, pengkayaan batin bagi para pembacanya disamping faktor lain tentunya. Selamat membaca. (Redaksi).

halaman 14


reen reenwich sebuah Desa di pinggiran kota New York, dapat dikatakan sebagai kampung seniman, karena sebahagian dika besar penduduk yang bermukim di sana adalah seniman besa produktif. Diantaranya Sue dan Johnsy, mereka tinggal di apartemen yang merangkap sebagai studio seni. Kamar mereka di lantai atas sebuah bangunan tua di sana. November adalah puncak dari musim dingin, namun ada sesuatu yang sangat dingin, asing dan tak terlihat, para dokter menyebutnya Radang Paru-paru, ia mengintai kota, menjangkiti setiap orang dengan jari dinginnya. Jari dingin Radang Paru-paru juga menyentuh Johnsy. Dia sangat sakit, berbaring di kasurnya dan tidak bergerak sama sekali. Dokter mengunjunginya setiap hari tapi Johnsy tidak kunjung membaik. Suatu pagi, dokter berbicara pada Sue di luar kamar Johnsy, “Saya tak kuasa lagi menolongnya,” kata dokter, “dia teramat sedih dan putus asa, tidak punya harapan hidup. Sebelum dia benarbenar “pergi”, seseorang harus membuatnya gembira lagi. Apa yang membuat dia tertarik?” “Dia seorang seniman,” jawab Sue, “dia ingin menggambar teluk Naples.” “Melukis!” kata dokter, “Itu tidak akan membantunya!” Sue frustasi dan kecewa dengan kabar ini, tidak tau apa yang harus dilakukan untuk menolong Johnsy. Paling tidak membuat ia bergembira menjelang “kepulangan”. Sue pergi ke ruang kerja dan menangis, kemudian berjalan dengan rasa percaya diri ke dalam kamar Johnsy dengan papan gambarnya, sambil bersiul bernada jazz. Johnsy bergumam di kasurnya dengan muka menatap ke jendela. Sue berhenti bersiul, mengira Johnsy tertidur. Sue merangkai papan dan mulai menggambar ilustrasi sebuah cerita majalah. Ketika Sue mensketsa figur seorang pahlawan, Koboi Idaho, dia mendengar suara pelan, beberapa kali diulang. Dia pergi secepatnya ke sisi ranjang. Mata Johnsy terbuka lebar. Dia melihat keluar jendela dan menghitung mundur. “Duabelas,” katanya, dan beberapa saat kemudian, “sebelas,” kemudian, “sepuluh,” dan “sembilan,” dan lalu, “delapan” dan, “tujuh,” hampir bersamaan. Sue melihat keluar jendela, bingung apa yang sedang dia hitung di sini? Di sana lahan gundul, hanya terlihat lapangan suram dan sisi kosong dari rumah bata berjarak duabelas kaki. Tua, anggur ivy

halaman 15


tua dengan akar busuk yang menjalar, memanjat setengah ke atas di dinding bata. Hawa dingin musim gugur yang melanda anggur sampai rangka tangkainya yang melekat, hampir hilang, ke bata yang runtuh. “Ada apa, Sayang?” Tanya Sue. “Enam,” kata Johnsy, hampir berbisik, “Mereka jatuh sangat cepat sekarang, tiga hari yang lalu mereka berjumlah hampir ratusan. Kepalaku sakit ketika aku menghitung mereka, tapi sekarang mudah. Mereka jatuh satu demi satu. Hanya tinggal lima sekarang,” “Lima apa, Sayang? Katakan padaku.” “Daun di anggur ivy. Ketika yang terakhir jatuh aku harus “pergi” juga. Aku tahu itu terjadi setelah tiga hari. Tidakkan dokter memberitahumu?” “Oh, aku tidak mendengar omong kosong macam itu,” Sue berbohong, dengan cemo’oh, “apa hubungan daun ivy tua itu dengan kesehatanmu? Tidurlah,” kata Sue, “aku harus memanggil Behrman naik untuk menjadi model sebagai penambang pertapa tua. Aku akan pergi agak lama. Jangan bergerak sampai aku kembali.” Behrman tua adalah seorang pelukis yang tinggal di lantai dasar bangunan yang sama. Dia enampuluh tahun dan selalu bermimpi melukis sebuah mahakarya, sialnya sampai sekarang dia tidak dapat memenuhi mimpinya. Sue menemukan Behrman sedang duduk di apartemennya yang redup. Dia mengatakan padanya kondisi Johnsy. Behrman tua, dengan mata merahnya, berteriak menghina atas imajinasi konyol tersebut. Johnsy sedang tidur ketika mereka naik ke lantai atas. Sue mendorong kap lampu ke bawah ambang jendela, dan mengisyarakatkan Behrman ke ruangan lain. Di sana mereka mengintip ke luar jendela dengan

halaman 16


takut-takut ke anggur ivy. Hujan es telah jatuh, bercampur dengan salju. Ketika Sue bangun pada pagi selanjutnya, ia menemukan Johnsy tidak berdaya, matanya terbuka lebar menatap corak hijau. “Dorong ke atas, aku ingin melihatnya,” bisiknya. Dengan letih Sue mematuhinya, “Ini satu yang terakhir,” kata Johnsy. Ini akan jatuh hari ini, dan aku akan jatuh di saat yang sama.” “Sayang, Sayang!” kata Sue, mencondongkan muka dekilnya ke bantal, “Pikirkan aku, jika kau tidak memikirkan dirimu. Apa yang harus kulakukan?” Johnsy tidak menjawab. Daun diam di tanaman anggur sepanjang hari. Malam itu, ada lebih banyak angin dan hujan. Ketika cahayanya cukup Johnsy menyuruh kelambu diangkat. Daun ivy masih di sana. “Aku sudah jadi perempuan modoh, Sue,” kata Johnsy, “aku menginginkan mati tetapi daun terakhir tetap di tanaman anggur untuk memberiku pelajaran. Tolong bawakan aku sup sekarang,” “kau tau Sue, aku berharap suatu hari bisa menggambar Teluk Naples.” Dokter mengunjungi gadis itu suatu siang, “Lekas sembuh untuk temanmu,” katanya, “dia mulai membaik. Sekarang saya harus ke bawah. Saya mau mengunjungi Tn. Behrman. Dia juga mengidap Radang Paru-paru. Saya harus mengantarnya ke rumah sakit.” Besoknya, dokter mengatakan pada Sue, “Dia lepas dari bahaya. Kau menang. Jaga asupan makanan dan kesehatannya sekarang itu saja,” dan siangnya Sue datang ke kasur tempat Johnsy berbaring, merasa lega sambil merajut sebuah syal wol, “aku harus mengatakan sesuatu padamu, Sayang,” katanya, “Tn. Behrman meninggal karena Radang Paru-paru hari ini di rumah sakit. Dia sakit hanya dua hari. Perawat menemukannya pada pagi hari pertama di ruangannya di lantai bawah. Sepatu dan bajunya basah dan dingin seperti es batu. halaman 17


Mereka tak dapat membayangkan dia berada di malam yang sangat mengerikan. Kemudian mereka menemukan lampu pelita, masih menyala, dan sebuah tangga telah berpindah dari letak semula, dan beberapa kuas berhamburan, dan papan palet dengan warna hijau dan kuning yang bercampur di sini, dan lihat di luar jendela, Sayang, daun ivy terakhir di dinding. Tidakkan kau bayangkan itu tidak pernah bergerak atau berpindah ketika angin bertiup. Ah, Sayang, ini karya besar Behrman dia menggambar daun palsu itu di sana, di sebuah malam ketika daun terakhir sebenarnya gugur. ***

Terjemahan dari teks berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Sudalisman Yulis

e

halaman 18


Cerita-Pendek Terjemahan

Pesawat Terbang dan Putri Yang Ter dur oleh

Gabriel Garcia Marquez

Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh: Gina Syawali, dari terjemahan berbahasa Inggris “Sleeping Beauty and the Airplane�, Edith Grossman dalam kumpulan cerpen STRANGE TABLETGRIMS

halaman 19


Perempuan itu sempurna, cantik dan luwes, dengan kulit lembut warna roti dan mata seperti buah cherry muda, hijau dan rambut hitam lurus membelai pundak, ia memiliki paras cantik yang sempurna. Mengenakan pakaian sangat halus: jaket bulu lynx, bahagian atas dari sutra alami dengan bunga-bunga lembut, celana panjang katun, dan sepatu bergaris tipis warna bougenvile. “Ini perempuan tercantik yang pernah kulihat,” pikirku saat melihat gadis itu melintas dengan langkah macan betina yang mengendap-endap. Saat itu aku sedang berada di dalam antrian check-in di Bandara Charles de Gaulle, Paris, untuk tujuan New York. Ia sosok sempurna karya yang maha kuasa. Muncul sekilas dan lesap menghilang di tengah hiruk-pikuk terminal. Tepat pukul sembilan pagi saat itu. Salju turun sepanjang malam, lalu lintas lebih padat dari biasanya di jalan-jalan kota, merambat di jalur antarkota, di mana truk-truk gandeng berbaris di bahu jalan dan mobil-mobil mengalir di permukaan salju. Namun, di dalam bandara tetaplah musim semi. Aku berdiri di belakang perempuan Belanda tua yang menghabiskan hampir satu jam untuk bertelagah dengan petugas, tentang berat sebelas kopernya. Saat mulai bosan itulah aku melihat sosok sekilast yang membuat nafasku tertahan, dan karenanya aku tidak tahu bagaimana pertelagahan berakhir. Kemudian petugas tiket menyadarkan lamunanku dengan suara sengitnya. Sambil meminta maaf, aku menanyakan kepadanya apakah ia mempercayai cinta pada pandangan pertama. “Tentu saja,” kata perempuan itu. “Mustahil ada cinta jenis lainnya.” Ia terus mengarahkan matanya ke layar komputer dan menanyakan apakah aku lebih suka di smoking area atau yang bebas asap rokok. “Yang mana saja,” kataku dengan suara yang kubuat sengit, “asalkan tidak bersebelahan dengan sebelas koper.” Ia menyampaikan rasa terima kasihnya dengan senyum melayani tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. “Tabletih mana,” katanya, “tiga, empat, atau tujuh.” “Empat.” Ia tersenyum penuh kemenangan. “Selama lima belas tahun saya bekerja di sini,” katanya, “Anda orang pertama yang tidak memilih tujuh.” Ia menulis nomor kursi di boarding pass-ku dan mengembalikannya bersama dokumen-dokumenku, lalu memandangku untuk kali pertama dengan matanya yang berwarna cherry muda, sebuah hiburan sampai aku bisa melihat si Cantik lagi. Kemudian ia memberi tahu

halaman 20


bahwa bandara baru saja ditutup dan semua penerbangan ditunda. “Berapa lama?” “Terserah Yang Maha Kuasa” katanya sambil tersenyum. “Radio memberitakan tadi pagi bahwa ini akan merupakan badai salju terbesar tahun ini.” Ia keliru, Ini yang terbesar abad ini. Tapi di ruang tunggu kelas satu, musim semi begitu murni sehingga mawar-mawar plastik di vas dan bahkan musik murahan terasa luhur dan menenteramkan sebagaimana yang diinginkan penciptanya. Tiba-tiba terpikir olehku bahwa mestinya inilah tempat yang cocok untuk si Cantik dan aku mencarinya di ruang tunggu lain, sempoyongan oleh kenekatanku sendiri. Tetapi hanya kujumpai orang-orang biasa, kebanyakan para lelaki yang membaca koran berbahasa Inggris sementara istriistri mereka memikirkan orang lain sembari memandangi pesawatpesawat yang di-azab salju, es di mana-mana, dan landasan pacu yang morat-marit. Menjelang tengah hari tidak ada tempat duduk tersisa dan udara gerah tak tertahankan. Aku keluar untuk menghirup udara segar. Di luar kulihat pemandangan yang mengerikan. Segala macam orang memadati ruang tunggu dan mereka berserakan di koridor yang penuh sesak, bahkan di tangga, berbaring di lantai dengan hewan mereka, anak-anak mereka, dan barang bawaan mereka. Hubungan dengan kota juga terganggu, dan istana plastik ini, yang menyerupai kapsul ruang angkasa sangat besar, teronggok di tengah badai. Aku tidak habis-habisnya memikirkan bahwa si Cantik juga pasti berada di suatu tempat di tengah gerombolan-gerombolan orang-orang yang lesu dan fantasi tersebut mengilhamiku dengan keberanian baru untuk menunggu. Ketika saat makan siang tiba, kami menyadari bahwa kami karam. Antrian memanjang tak berkesudahan sampai keluar dari tujuh restoran, kafetaria, bar-bar kecil dan dalam waktu tak sampai tiga jam semuanya tutup karena makanan dan minuman lesap tak bersisa. Anak-anak, yang untuk sesaat tampak tak ada bedanya dengan semua anak lain di muka bumi, mulai menangis serentak dan bau ternak mulai meruap dari kerumunan orang-orang. Inilah waktu untuk naluri. Di tengah orang-orang yang berebut, satu-satunya yang aku bisa dapatkan adalah dua cangkir terakhir es krim vanili di toko anak-anak. Para pelayan menaruh kursi-kursi di atas meja begitu para pelanggan pergi, sementara aku pelan-pelan saja menikmati es krim di dekat meja kasir, memandangi diri sendiri di cermin dengan cangkir karton kecil es krim terakhir dan sendok karton terakhir, dan

halaman 21


berpikir tentang si Cantik. Pesawat ke New York, yang dijadwalkan pukul sebelas siang, baru berangkat pukul delapan malam. Saat aku masuk pesawat, para penumpang kelas satu sudah duduk di tempat masing-masing, dan seorang pramugari menunjukkan kursiku. Di dekat jendela, si Cantik sedang mengatur duduknya dengan kecakapan seorang pelancong yang berpengalaman. “Kalau sampai kutuliskan hal ini, pastilah tak akan ada yang percaya,� pikirku. Dan aku mengucapkan salam terbata-bata yang ia tidak dengar. Ia mengatur letak duduknya seakan-akan menetap di sana bertahun-tahun, meletakkan segala sesuatu secara rapi dan apik, sampai-sampai tempat duduknya tampak begitu teratur seperti rumah idaman, yang segala sesuatu berada di tempat yang tepat. Sementara itu, seorang pelayan membawakan untuk kami miuman pembuka. Aku mengambil segelas dan akan menyodorkannya kepada si Cantik, tetapi kupikir waktunya tidak tepat. Karena ia hanya meminta segelas air putih dan ia berpesan kepada pelayan, mula-mula dalam bahasa Perancis yang tak terpahami dan kemudian dalam bahasa Inggris yang sedikit lebih lancar, agar tidak membangunkannya selama perjalanan dengan alasan apa pun. Suaranya yang serius dan hangat terdengar murung. Saat pelayan memberinya air, si Cantik meletakkan kotak rias dengan tembaga di setiap sudutnya, mirip koper nenek-nenek di atas pangkuan, mengambil dua butir tablet keemasan dari tempatnya yang juga berisi tablet-tablet lain berbagai warna. Ia melakukan segala sesuatunya secara tertib dan khidmat, seolah-olah tidak pernah mengalami kejadian tak terduga sejak lahir. Akhirnya ia menurunkan penutup jendela, merendahkan sandaran kursi, menyelimuti dirinya sampai pinggang tanpa melepas sepatu, mengenakan masker tidur, mengubah posisinya jadi memunggungiku, dan kemudian tidur tanpa jeda sama sekali, tanpa menghela nafas, tanpa berubah posisi sedikit pun, selama delapan jam nonstop ditambah dua belas menit waktu penerbangan ke New York. Ini penerbangan yang menggairahkan. Aku selalu meyakini bahwa tidak ada yang lebih indah di alam ini selain wanita cantik dan mustahil bagiku untuk berpaling sesaat saja dari pengaruh makhluk dongeng yang lelap di sebelahku. Pelayan lenyap begitu kami mulai terbang dan digantikan oleh pramugari kaku yang mencoba membangunkan si Cantik untuk menyerahkan kepadanya kotak perlengkapan cuci muka dan earphone untuk mendengarkan musik. Aku mengulangi pesan yang disampakan oleh si Cantik kepada pelayan, tetapi

halaman 22


pramugari ini berkeras ingin mendengar sendiri dari mulut si Cantik apakah ia juga tidak menginginkan makan malam. Pramugari harus memastikan pesan tersebut, dan dengan nada meremehkan ia mengatakan kepadaku bahwa si Cantik tidak mengalungkan tanda “do not disturbâ€? di lehernya. Aku hanya dapat tersenyum kecut. Aku makan sendirian, mengatakan dalam hati semua ucapan yang akan kusampaikan kepadanya seandainya ia terjaga. Tidurnya tidak berubah sama sekali sehingga sempat terlintas di benakku rasa cemas jangan-jangan tablet yang ditelannya tadi bukan tablet untuk tidur melainkan tablet untuk mati. Setiap kali meneguk minuman aku mengangkat gelas dan bersulang. “Untuk kesehatanmu, hai Cantik.â€? Ketika makan malam usai lampu-lampu diredupkan dan ďŹ lm diputar tidak untuk siapa pun dan kami berdua terpisah di dunia gelap. Badai terbesar abad ini sudah berakhir, dan kami menembus malam yang amat besar dan jernih di atas Atlantik, pesawat seperti tak bergerak di antara bintang-bintang. Kemudian aku menatapnya, sangat teliti, selama beberapa jam, satu-satunya tanda kehidupan yang bisa kukenali adalah baying-bayang mimpi yang melintas di dahinya seperti uap air di atas danau. Di lehernya terlilit kalung sangat halus sehingga nyaris tak tampak di kulitnya yang keemasan, telinganya yang sempurna tidak ditindik, kuku-kukunya memerah segar dan di tangan kirinya ada cincin polos. Karena ia paling-paling baru dua puluh tahun, aku menenteramkan diri dengan pikiran bahwa itu bukan cincin kawin melainkan tanda berpacaran saja. “Melihatmu tidur, tenteram, damai, setia menolak, murni, sedekat itu dengan tanganku yang terbelenggu,â€? pikirku di puncak buih sampanye, menirukan puisi apik Gerardo Diego. Kemudian kuturunkan sandaran kursiku sejajar dengan sandaran kursinya, dan kami berbaring bersama, ha... lebih dekat ketimbang suami istri di ranjang. Suhu nafasnya sehangat suaranya, kulitnya menghembuskan nafas sangat halus sehingga hanya tercium aroma kecantikannya. Rasanya luar biasa, di musim semi lalu aku membaca novel bagus Yasunari Kawabata tentang para borjuis kuno dari Kyoto yang membayar mahal untuk melewatkan waktu semalaman mengamati gadis-gadis paling cantik di kota mereka, telanjang dan terbius, sementara di ranjang yang sama para borjuis itu disiksa oleh cinta. Mereka tidak boleh membangunkan atau menyentuh gadis-gadis itu, bahkan mencoba pun tidak boleh, karena inti dari kesenangan tersebut adalah melihat mereka tidur. Malam itu, saat aku memandangi si Cantik sedang pulas, tidak hanya aku jadi memahami kesenangan orang-orang pikun itu, tetapi benar-

halaman 23


benar mengalaminya. “Siapa sangka,” pikirku, keterpurukanku diperburuk oleh sampanye, “bahwa aku akan menjadi orang Jepang kuno di masa kini?” Kupikir aku tertidur beberapa jam, dihajar oleh sampanye dan ledakan tanpa suara di film, dan kepalaku agak pusing ketika bangun. Pergi ke kamar kecil. Dua kursi di belakangku wanita tua dengan sebelas koper berbaring berantakan, seperti mayat di ladang pembantaian. Kacamata bacanya, dengan rantai manik-manik berwarna-wani, jatuh di lantai, dan sesaat aku terpuruk pada perilaku buruk untuk tidak mengambilkannya. Setelah terbebas dari pengaruh sampanye, aku memandangi diriku sendiri, tampak buruk dan hina, di cermin, dan takut bahwa kehancuran oleh cinta bisa sedemikian mengerikan. Pesawat tibatiba terguncang dan kemudian meluruskan jalannya dan terus melaju dengan kecepatan penuh. Tanda “Kembali ke Tempat Duduk Anda” menyala. Aku bergegas keluar dengan harapan bahwa turbulensi yang dikirimkan Tuhan itu bisa membangunkan si Cantik dan ia memelukku karena perlu mencari perlindungan kepadaku untuk mengatasi ketakutannya. Dalam langkah tergesa-gesa, hampir saja aku menginjak kacamata si wanita Belanda dan alangkah gembiranya jika itu terjadi. Namun aku kembali lagi, memungut kacamata itu, dan meletakkannya di pangkuan sang pemilik dengan rasa syukur yang muncul tiba-tiba karena ia tidak mendahuluiku memilih tempat duduk nomer empat. Si Cantik tetap pulas tak tertaklukkan oleh goncangan turbulensi. Ketika pesawat kembali stabil, aku sangat tergoda untuk mengguncangnya dengan dalih tertentu, karena yang kuinginkan pada satu jam terakhir penerbangan adalah melihatnya bangun, bahkan sekalipun ia akan sangat marah, sehingga aku bisa merasa lega dan mungkin kembali muda. Tetapi aku tidak sanggup melakukannya. “Sialan,” aku mencemooh diriku sendiri dalam hati. “Kenapa aku tidak terlahir sebagai Taurus!” Ia terbangun sendiri pada saat lampu pendaratan menyala dan ia cantik dan segar seolah-olah baru saja tidur di kebun bunga. Saat itulah aku menyadari bahwa, seperti pasangan yang sudah lama menikah, orang-orang yang duduk berdampingan di pesawat bisa tidak saling mengucapkan salam satu sama lain ketika mereka bangun. Begitu pula si Cantik. Ia melepas maskernya, membuka matanya yang

halaman 24


cemerlang, menegakkan sandaran kursi, menyingkirkan selimut, mengibaskan rambutnya, meletakkan kotak rias ke pangkuannya dan bersolek secara cepat yang sesungguhnya tidak diperlukan, yang menghabiskan cukup waktu untuk tidak melihatku sampai pintu pesawat dibuka. Kemudian ia memakaikan jaket bulu ke tubuhnya yang maha elok, nyaris jatuh saat melewatiku dan mengucapkan maaf sekadarnya dalam bahasa Spanyol Amerika Latin, berlalu tanpa mengucapkan selamat tinggal atau setidaknya terima kasih atas segala yang telah kubuat untuk perjalanan kami atau aku menyenangkan dan menghilang di terik matahari hutan bangunan pencakar langit kota New York. ***

e

halaman 25


Sajak

Dantje S Moeis Tudung Saji Bala Tahun Ke Tahun

Dantje S Moeis Lahir di Rengat Indragiri Hulu Riau. Seorang pekerja seni, dosen pada AKMR Pekanbaru. Puisi-puisinya pernah di muat pada berbagai media cetak dan pada buku-buku antologi antara lain; Kumpulan Puisi Penyair Riau (Yayasan Kine Club Pekanbaru), Syair Tsunami (Balai Pustaka Jakarta) dan lain-lain

halaman 26


Tudung Saji

Tudung Saji hanyut terapung bertenggek pada tunggul lapuk menghanyut ditimpa hujan yang menikam kita dengan warna abu-abu. Modernkah kita? Mengumpulkan kehidupan yang ditakik dari resa beribu yang datang jadi budaya Di luar hujan sinis tertawa mengejek seperti seekor burung hitam kegirangan di taman negeri yang menghapus tanda “Bunda� jauh “Sanak� tiada

halaman 27


Tudung Saji hanyut terapung Bersulamlah gambar hai dengan benang Ada hasrat ingin mengembalikan pulang Mudik arus laut lebar tak lagi terenang Hujan berhenti Tudung Saji dan tunggul semakin jauh Tak membasuh abu-abu kita kembali menjadi putih Sendiri berdiri, di jernih malam dengan tubuh tak bertanda seperti kita menunggu saatnya bala tiba yang mendurhaka pada pusaka Tudung Saji bekas penutup si asam pauh Hanyut terapung Di tengah laut tak tau kemana Atau Melayu kah kita...? Pekanbaru, akhir 2015

halaman 28


Bala Tahun Ke Tahun

Kemarau panjang adalah waktu yang menggoncang Memerah langit, memerah bulan, memerah bintang Yang berekor panjang menjuluk langit sepi diam Kami pun diam di dalam sesak kelambu jerebu Menonton daya dan yang memperdaya Pada gambar televisi tertutup asap dan kabel-kabel kaku berselimut kabut Di bawah matahari musim kemarau tatap mengendap perlahan Menguak semak hitam yang tinggal ranting tak berdaun Seperti “tuala� tua disengat hawa yang tak ada guna Sungguh sakit karena masih dapat merasakan detak jantung

halaman 29


Namun selalu bayangan jauh lebih nyata dari jiwa Karena di depan mereka yang banyak memerlukan dana Tubuh nurani mengangkasa dan tak lagi istimewa Dengan mulut tertutup menahan jerebu seperti tahun-tahun lalu Pekanbaru, akhir 2015

e

halaman 30


Sajak

Hariyono Nur Kholis Sesudah Sepi Langit Tenang Jejak Tanah Suara Hujan Suara Tanya Pedalaman

Hariyono Nur Kholis Lahir di Gapura, Sumenep, 21 Agustus 1992, sebuah kota kecil di ujung !mur pulau Madura. Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kini bergiat di Komunitas Sastra Rudal dan karya puisinya dimuat di berbagai media, baik lokal maupun nasional.

halaman 31


Sesudah Sepi

Sesudah sepi tampak ketidakmampuan untuk berdiri disetiap tepian jalan kota ini Yogyakarta, 2014

Langit Tenang

Selepas burung hinggap diberbagai reranting sambil berbagi segala cerita Juga selepas derita uap air dan angin Yogyakarta, 2015

halaman 32


Jejak Tanah

Inilah catatanku dalam diam Sebelum nasib menggaris lain Trotoar sunyi oleh tamu yang aku jumpai Dijadikan lahan antre Wajah-wajah telah beruba dari uang recehan Ke wajah uang blasteran. Batu cadas pemahat sejarah Rapu menjadi keping bara Pada belantara yang tak sempat aku pikirkan Pecahan-pecahan huruf berserakan dijalanan dinding-dinding pembuat kebisuan. Yogyakarta,2015

halaman 33


Suara Hujan

Suara hujan malam itu mengetarkan jantungku Membiarkan aku meresapi kerisauan dipojok kamar Sekali mengancam kilatnya lewat celah jendela Mencoba menyeretku keluar dari sisa kantukku Yang tak kunjung usai Yogyakarta, 2015

Suara Tanya Pedalaman

Dimana ketenangan yang sesungguhnya Pada jejak leluhur, atau pada sebongka gedung yang garang Mungkinkah di tepi kali, di lereng bukit Merajut bersama akar ubi jalar. Yogyakarta, 2015

e

halaman 34


Sajak

Cahaya Buah Hati Doa Keseratus Gadis dan laut Seseorang yang terlelap, memandangmu, bersama mimpi Kita di Jembatan Penang Cahaya Teman Mengejar Layang Arti tatapmu Susu dan Puisi Doa Sendirimu

Cahaya Buah Ha! bergiat di Komunitas Paragraf dan guru di SDN 65 Pekanbaru. Membaca puisi pada beberapa event seper!: Temu Taman Budaya Nasional 2010, Hijrah di Purnama, Event Satelit Ubud Writers and Readers Fes!val di Balai Bahasa Propinsi Riau (2010), Tarung Penyair se-Asia Tenggara di Anjung Cahaya Kota Tanjung Pinang (2011), Hari Puisi di taman budaya Padang (2015), dan sebagainya. Sajak-sajaknya dimuat di Riau Pos, Batam Pos, Indopos dll, juga termaktub dalam buku antologi bersama seper! Ayat-Ayat Selat Sakat (2013), Bendera Pu!h Untuk Tuhan (2014), Pelabuhan Merah (2015) dan sebagainya, !nggal di Pekanbaru

halaman 35


Doa Keseratus

Ketika mereka mulai menggali Tubuhmu atau kenangan Orang-orang memilih bungkam Ingatmu pada suatu hari bahwa telah jauh Tiada sesiapa Di sisimu pagi atau bayang malam Menunggu Mereka dengan doa yang keseratus Terbang bersisian Entah itu Air mata Atau derai hujan yang menghunjam Menjatuhkan diri dalam berat yang sungguh Menimpa Sesak yang kau tanyakan

halaman 36


Dari arah yang jauh Entah itu masih terasa Mereka memanggilmu Mengingatmu Tapi seakan tiada Kau tetap sama Dengan tubuh dan galian Engkau sungguh takut Entah esok atau bila akan berakhir

halaman 37


Gadis dan laut :Diar

Adalah laut dan gadis yang memandang rindu yang tancap Gelombang angin dan bebatuan Dari arah laut dan mereka yang sama mengikatkan layar burung sesekali melaju kau gadis sendirimu dan laut serupa rahasiamu sesekali ombak mendekat menyerpih hujung jilbabmu yang cerah pagi memulai naik dan rona wajahmu

halaman 38


Seseorang yang terlelap, memandangmu, bersama mimpi

Di setiap simpang mereka terus berjalan dirimu dan sepasang sayap sesekali menjauh dan dekat adalah rindu yang asing Seseorang yang terlelap memandangmu bersama mimpi Setelah ini hari-hari kau titip kelopak bunga yang satu siapa tahu

halaman 39


Kita di Jembatan Penang Cahaya

Jauh dari seberang Prai atau Bayan Lepas kita menjatuhkan sauh dari kapal yang melintas dan bus-bus yang bertamasya di atasnya sesekali senandung angin memecah kicau burung yang hinggap di sisian pohon yang hijau duhai..rindu Di saat yang sama senyum kita dan semuanya bersiap dan berlanjut

Teman :Rf

Kosong Sebuah teman

halaman 40


Mengejar Layang

bocah di pesisir mengejar layang doa diangin tali lawan

Arti tatapmu

Adakah yang mengerti pada angin Yang menghempas diri tetap saja rindu genap Pada bayang bulan mengaca seseorang beranjak arti tatapmu

halaman 41


Susu dan Puisi

Untuk membeli susu kau harus dahulu mengirim puisi doa kau gantung... pada koran Sabtu entah Minggu “susu si galih akan segera habis�

Doa Sendirimu

Ting.. kau.. bebunyi diantara lupa doa sendirimu

e

halaman 42


Sajak

Kholil D. Rahman Surat rindu untuk seorang Kenangan Hujan Surat Kepada Malam Surat Kepada Kampung Halaman Surat Kepada Alam

Kholil D. Rahman (Khalilurrahman). Lahir di Sumenep 27 April 1998. Tulisannya dipublikasikan diantaranya: Jawa Pos, radar Madura, majalah kuntum, dll. ( peserta penyair negri poci 6 tegal )

halaman 43


Surat rindu untuk seorang

Kutulis surat rindu ini pada saat air laut tenang Bulan terang menemaniku seorang Tanpa ia ketahui aku masih saja merindu seorang Hingga dini hari datang Mungkin surat ini tetap kupegang Di dalamnya akan kutulis sebuh sajak Bertaburan duka yang terpendam Aroma wewangian yang sampai saat ini tak henti hilang Dan senyum manismu tertulis erat dalam ingatan Sungguh bukan karena aku kesepian Tapi hati, yang berulang-ulang Untuk menyuruhku membuat sebuah surat untukmu seorang Maka, terimalah surat dari lelaki yang jangan-jangan kau lupakan Untuk menembus dosanya yang tersangkut di sela-sela kehidupanya. Bicabbi 2015

halaman 44


Kenangan Hujan

Hujan ini adalah dimana bertemunya kerinduan Yang dari dulu selalu kita nantikan Dimana tanah kering menjadi basah Dimana hati sedih menjadi bahagia Disitulah kita ada Pada saat hujan Stasiun tugu 2015

halaman 45


Surat Kepada Malam

Aku ingin menjadi malam yang membuatmu ketakutan gemetar lalu berpelukan hingga sampai pada apa yang Tuhan rahasikan. Bicabbi 2015

halaman 46


Surat Kepada Kampung Halaman

Kampung halaman adalah laut Yang menenggelamkan rindu dan kenangan, Esok, sebelum matahari terbit kita Selalu mempunyai rencana untuk menziarahi kuburan Dan memaaf-maa#an pada sesepuh kita yang berbaring rapuh.

2/ Kampung halaman adalah telaga yang menenggelamkan rindu dan dendam, Tempat kembali segala luka peluru yang mencengkram

halaman 47


3/ Aku ingin pulang dengan beribu senyuman Ingin rasanya lekas berjumpa dengan sanak teman Membagi dendam dan luka yang berlalu Ingin kulepas segala resah yang berbau tanah rantau Karena aku harus terbangun dari pulau Yang menidurkanku dalam kemabukan.

4/ Aku merindukan Kampung halaman Dimana ibu selalu setia mencatat ragam ceritaku yang tertinggal Tanpa mengeluh kapan akhir semua berlalu.

halaman 48


Surat Kepada Alam

Beri aku lautan yang tak bergelombang Atau angin yang pelan kabutnya Supaya kau tahu Bahwa aku memang nyata ada untuk tersiksa. Bicabbi 2015

e

halaman 49


Sajak Terjemahan

Attila József

Attila József Lahir di Budapest, 1905. Dipandang sebagai penyair Hongaria terbesar Abad ke-20. Kumpulan puisi pertamanya muncul pada 1922. Masuk Universitas Szeged mengambil jurusan sastra Perancis dan Hongaria namun dipaksa keluar karena puisinya yang revolusioner, “Dengan Hati yang Murni”. Ia melanjutkan studinya di Wina dan Paris hingga kembali ke Budapest pada 1927. Ia keluar dari Partai Komunis pada 1930, dan menulis karya-karya terbaiknya sampai ia memutuskan bunuh diri dengan membiarkan tubuhnya digilas kereta api barang di Balatonszárszó pada 3 Desember 1937. (red) Sajak di atas terjemahan dari teks berbahasa Inggris oleh: Nurman Syams Azhar

halaman 50


Kartu Pos dari Paris

Sang pelindung tak pernah muncul di pagi hari, di Paris keluarga Bertha dipanggil Jeanette, dan bahkan di tempat tukang pangkas rambut kau dapat membeli lilin, bayam atau suzette Sepanjang lebuh raya Saint Michel enam puluh gadis tak bebaju berdendang ke angkasa. Di dalam Notre Dame begitu dingin; untuk nonton pemandangan, harus bayar lima franc. Menara Eiel tiarap lelap di malam hari, disurukkan selimut kapas kabut dari bulan. Jika kau seorang gadis, para polisi mungkin akan memberimu ciuman. Tak ada kakus duduk di kamar mandi laki-laki. (1927)

halaman 51


Duhai Eropa

Duhai Eropa benua kaya dengan perbatasan, dan di setiap perbatasan, para pembunuh berkeliaran. Jangan berikan aku kesempatan menangis untuk seorang gadis yang akan melahirkan dua tahun dari sekarang. Jangan berikan aku kesempatan berduka karena aku lahir sebagai orang Eropa. Aku, bersaudara dengan beruang-beruang liar, akan kehilangan daya tanpa kebebasan. Kutulis sajak ini untuk menghiburmu. Laut naik menerjang ke atas karang, dan sebuah meja, terbalik utuh, mengambang di atas alun awan. (1927)

halaman 52


Ibu

Dengan kedua tangan ia menggenggam cangkir besar di suatu hari Minggu, dan dengan senyum abu-abu ia duduk sebentar di sabur-limur senja. Di dalam nampan jatah saus kecil ia bawa pulang makan malamnya dari orang kaya di tempat ia kerja. Aku terus berpikir, ketika akan pergi tidur, si orang kaya itu pastilah makan semangkuk penuh. Ibuku perempuan mungil, meninggal muda sekali, seperti nasib para perempuan tukang cuci: kaki mereka bergetar menghela bakul berisi kain kepala mereka pening karena uap panas seterika.

halaman 53


Sedangkan gunung-gunung, punya tiang gantung cucian sendiri. Tanjung mereka dibuat dari uap panas. Dan bila terjadi perubahan cuaca, untuk mendaki tersedia anak-anak tangga. Kulihat dia saat rehat menyeterika. Tubuhnya yang rapuh semakin kurus dan keropos, dan akhirnya patah oleh Sang Pemodal. Pikirkanlah ini, sahabat-sahabatku kaum papa. Dia menjadi bungkuk karena cucian padahal usianya masih sangat muda. Di dalam mimpi-mimpinya ia memakai rok kerja tanpa noda dan tukang susu tak tahan untuk menyapanya. (1931)

e

halaman 54


Senirupa

Cara-pandang Este k

Seni Rupa Modern Indonesia Dari Sisi Sejarah oleh M.

Agus Burhan (kurator)

ara-pandang senirupa modern Indoaranesia dipengaruhi konteks nesi sosiokultural yang terlihat dalam sosi pandangan atau konsep para seniman, seperti tercermin pada gaya periode maupun gaya pribadi. Cara-pandang estetik suatu periode menjadi tesis yang disepakati bersama sesuai konteks sosiokultural yang berkembang. Setiap kemunculan

tesis, berpotensi membawa negasi dan kontradiksi yang akan menjadi antitesis dan sintesis, sebelum akhirnya menjelma menjadi tesis baru. Secara dialektikal, seni rupa modern Indonesia memperlihatkan sedikitnya lima Cara-pandang estetik. Pertama, aal abad ke-20 sampai akhir 1930-an, berkembang pandangan romantisme eksotis Mooi Indie serta

halaman 55


perkembangan seni lukis Bali Baru yang berasal dari inovasi lukisan wayang tradisional gaya Kamasan. Pandangan itu mencerminkan citra para pelukis Belanda, pelukis priyayi pribumi, masyarakat Belanda, dan Indo yang berada dalam setting zaman dan kebudayaan kolonial feodal. Mereka memuja konversi keharmonisan dan nilai ideal, yang dalam lukisan berupa keindahan pemandangan alam dalam gayanaturalisme dan impresionisme. Lukisan-lukisan Mooi Indie dapat dilihat pada karya-karya Du Chattel, Locatelli, Willem Ho#er, Ernest Dezentje, Le Mayuer, Pirngadi, Abdullah Suriosubroto, Basuki Abdullah, Wakidi, Wahdi, dan lain-lainnya. Kedua, tahun 1938-1965 melalui para seniman masa Persagi singga Lekra, berkembangan Cara-pandang estetik kontektualisme kerakyatan. Cara-pandang ini dipengaruhi oleh perubahan social lewat konteks-konteks politik. Semangat nasionalisme dan kemerdekaan sangat berpengaruh pada perubahan estetika dalam seni lukis. Periode ini diwarnai keinginan seniman merepresentasikan realitas kehidupan rakyat dan mencari nilai keindonesiaan dalam seni rupa. Visi nasionalisme dan penolakan romantisme eksotis oleh Persagi menjadi gerakan antitesis melawan kemapanan seni lukis Mooi Indie. Seni lukis dipakai untuk mengungkap kehidupan dan perasaan jiwa rakyat yang dalam sampai yang revolusioner. Hal itu dapat dilihat pada karya-karya Sudjojono, Hendra Gunawan, Aandi, Trubus Sudarsono, Amrus Natalsya, Djoni Trisno, Itji Tarmizi, dan lain-lainnya. Ketiga, pada paruh kedua 1960-an hingga tahun 1980-an, Cara-pandang estetik humanisme universal menguat. Seni rupa

halaman 56

membebaskan penciptaan dari pengaruh politik. Penghargaan pada kesadaran pribadi dan kebebasan berekspresi mendorong penjelajahan individual untuk melahirkan ungkapan bentuk yang beragam. Di samping itu, pengaruh modernisasi dan pembangunan sangat signiďŹ kan pada sifat-sifat karya. Proses kreatif personal melahirkan berbagai ungkapan yang menitikberatkan perasaan dan emosi (liorisme). Beberapa fenomena visual memunculkan cirri sifat intuitif, imajinatif, dekoratif, dan non formal improvisatiris. Seni abstrak merupakan gaya paling dominant dalam periode ini. Keragaman itu dapat dilihat pada karya-karya Achmad Sadali, A.D. Pirous, SriHadi, Popo Iskandar, Fadjar Sidik, Widayat, Zaini, Nashar, Rusli dan lain-lainnya. Keempat, sejak tahun 1974, muncul Cara-pandang estetik kontektualisme pluralistis. Masalah sosio actual dianggap lebih pemting dari pada keharuan sentiment pribadi seniman. Gerakan Seni Rupa Baru muncul dengan Cara-pandang estetik yang melawan bentuk seni rupa personal dan liris. Cara-pandang it uterus berkembang, sehingga tahun 1980-an mulai menjadi sintesis berbagai bentuk seni rupa kontemporer Indonesia. Beberapa cirri Cara-pandang yang diajukan yaitu melalui proses kreatif yang analitik, kontektual, dan partisipatoris. Mereka juga menghancurkan batas-batas seni murni, seni tinggi dan seni rendah, serta sikap plural nilai dalam ungkapan. Dalam karya-karyanya ada upaya kuat untuk menampilkan kekongkretan baru lewat berbagai macam medium dari teknik kolase, pemanfaatan ready made, seni instalasi, environment art, hingga performance art. Media realisme


juga dipergunakan dengan teknik fotograďŹ s sehingga mencapai super realis. Karya-karya dengan medium tidak terbatas menjadi cirri ungkapan seniman GSRB, yaitu pada Jim Supangkat, F.X. Harsono, Nyoman Nuarta, Bonyong Muni Ardhi, Dede Eri Supria, dan lain-lainnya. Kelima, adalah Cara-pandang Sistesis Baru. Akhir abad ke 20 sampai kini. Dalam kurun waktu 1980 sampai 1990-an, terjadi polarisasi lirisisme dan nonlirisisme dalam seni rupa Indonesia. Di antara dua kutub, ada beberapa perupa moderat mencati jalan lain menyerap kedua sikap itu. Mereka mengganti kanvas dengan material-material baru untuk mencapai Kekongkretan baru, namun tidak menolak pandangan lirisisme. Gejala itu merupakan benih sintesis, meskipun belum mendapat dukungan. Ada juga karya-karya bentuk lama muncul dengan kecenderungan surealisme, abstrak ekspresionisme, dan gaya lainnya. Banyaknya perupa muda

yang menggunakan ungkapan multi media, tidak hanya besikukuh pada konsep estetik dan pandangan social seperti kelompok Seni Rupa Baru, tetapi bebas dan tidak berpihak. Bahasa lirisisme masih sering dipakai, namun mereka juga melakukan performance art dan membuat seni instalasi dan video art. Di samping itu, mereka tidak melihat fenomena sosial hanya dari kebenaran searah yang berpihak. Contoh tipikal dalam kecenderungan ini adalah pada karya Heri Dono, Dadang Christanto, Tisna Sanjaya, Marida Nasuition, Hendrawan Riyanto, dan lain-lainnya. Di lain pihak, para perupa muda yang berawal dari lirisisme mulai bosan dengan kehalusan, imaji personal dan esoteric, dan ketumpulan pada respon social. Dalam kecenderungan ini banyak variasi yang dibuat. Mulai dari komentar sosial lewat berbagai gaya, dengan tetap memanfaatkan symbol-simbol tradisi, atau sampai pada sifat yang provokatif pada public seperti karya-karya Kelompok Taring Padi.*** (Sumber INT.)

e

halaman 57


Rehal

Seno Gumira Ajidarma Kembali Luncurkan

“Sepotong Senja untuk Pacarku�

halaman 58


Penulis dan pengarang ternama Indonesia, Seno Gumira Ajidarma, kembali merilis novelnya yang berjudul ” Sepotong Senja untuk Pacarku”. “Buku ini diterbitkan untuk kedua kalinya. Semula hanya cerpen saja yang kemudian agak populer sehingga orang sering menyalin nama tokoh menjadi nama pacarnya. Dalam konteks itu, buku dicetak kembali dengan nama tokoh dikosongi,” ujar Seno di auditorium Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta Pusat, Sabtu. “Dicetak ulang barang kali orang masih suka. Mudah-mudahan pembaca senang,” sambung dia. Seperti diketahui, buku ini memiliki komposisi enam belas variasi yang dibagi ke dalam tiga bagian. Dikatakan, di bagian pertama memuat “Trilogi Alina” yang terdiri dari “Sepotong Senja untuk Pacarku”, “Jawaban Alina” dan “Tukang Pos dalam Amplop”. Kemudian pada bagian kedua, disajikan kisah ; “Peselancar Agung”, terdiri dari sepuluh cerita, serta bagian terakhir “Atas Nama Senja” yang terdiri dari tiga cerita. Ketiga bagian masih erat kaitannya dengan senja.

dalam buku-buku kumpulan cerita. Pada 2002 Gramedia Pustaka Utama menerbitkan buku berjudul “Sepotong Senja untuk Pacarku” yang dilengkapi dengan “Jawaban Alina” dan “Tukang Pos dalam Amplop”, serta cerita-cerita lainnya. Uniknya, pada edisi kedua penerbit menyediakan surat cinta di dalam buku. Surat itu dicetak khusus dengan ruang kosong yang bisa diisi nama siapa pun yang tercinta. Buku itu juga dikemas lengkap dengan amplopnya. Buku “Sepotong Senja untuk Pacarku” edisi terbaru terbit kembali di toko buku dan toko buku online mulai 25 Februari. Buku setebal 226 halaman itu dibanderol dengan harga Rp85.000.*** (INT)

e

Saat ditanya mengapa memilih senja sebagai tema utama, Seno balik bertanya “Apakah ada orang yang menganggap senja itu tidak indah?”. Demikian pula dengan pilihan kata yang dipakai dalam cerpen untuk menggambarkan senja, Seno mengaku hanya mengikuti imajinasi di kepala. “Sepotong Senja untuk Pacarku” pertama kali terbit sebagai cerita di harian Kompas, Minggu, 9 Februari 1991. Cerita ini kemudian banyak dimuat di

halaman 59


Opini

Alasan Dee Menerbitkan Buku Sendiri Ke Ketika menulis novel pertama Supernova Supern 15 tahun silam, Dewi “Dee” Lestari memilih untuk menerbitkan sendiri ketimbang memberikan karyanya pada penerbit besar. Rupanya ini didasari keinginan Dee untuk menerbitkan karyanya tepat pada ulang tahunnya yang jatuh pada 20 Januari. “Saya ingin menghadiahi diri sendiri, hadiah dari Dee 25 tahun untuk Dee 9 tahun” kata Dee dalam “15 Tahun Supernova: Bintang Jatuh Hingga Embun Pagi” di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Minggu. “Motivasinya memang sangat naif,” imbuh salah satu anggota trio vokal “Rida Sita Dewi (RSD)” yang dikenal pada 90-an. Ketika berusia sembilan tahun, Dee punya impian bisa melihat buku karyanya dipajang di toko buku. Setelah melewati perjalanan panjang dan berbagai penolakan, misalnya kalah di perlombaan menulis, Dee yang kala itu berusia 25 tahun menggarap Supernova. “Impian lama saya terusik, saya punya intuisi judul ini bisa (mengabulkan impian),” ujar dia.

halaman 60

Bila menyerahkan proses pencetakan buku pada pihak lain, Dee yakin dia tidak bisa menerbitkan tepat pada tanggal yang diinginkan karena naskahnya baru selesai hanya beberapa bulan sebelumnya. Berbekal tabungan pribadi, dia mencetak buku “Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh” sebanyak 5.000 kopi, sebuah langkah berani karena saat itu buku dikategorikan laris ketika sudah terjual sebanyak 3.000 kopi. Namun, Dee mengaku tidak tahu menahu mengenai seluk beluk penerbitan buku. Ia bahkan tidak paham jumlah tersebut tergolong sedikit, sedang atau banyak untuk ukuran penerbitan novel Indonesia.“Saya melakukan hal inkonvensional karena saya tidak tahu apa yang saya lakukan,” imbuh Dee yang mulai bekerjasama dengan penerbit sejak 2009. Tahun ini Dee mempersembahkan buku keenam “Inteligensi Embun Pagi” sebagai pamungkas dari buku-buku Supernova sebelumnya, yakni “Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh” (2001), “Akar” (2004), “Petir” (2004),” Partikel” (2012), dan “Gelombang” (2014). *** (red. Dari beberapa sumber)


Peristiwa Budaya

H Rida K Liamsi

Datuk Seri Lela Budaya INT

embaga Adat Melayu Riau (LAMR) memb memberi gelar adat kepada Rida K Liam Liamsi alias Ismail Kadir dengan sebutan Datuk Seri Lela Budaya, Rabu (16/3/2016). Gelar tersebut diberikan kerena pengabdian Rida, terutama dipandang dari sudut kebudayaan, melintasi berbagai hal, baik waktu maupun tempat. Acara Penabalan Gelar Adat Melayu Riau kepada Tuan H Rida K Liamsi, dilaksanakan di Balai Adat Melayu Riau selain dihadiri oleh hampir semua ketua dan pengurus LAM Riau, juga dihadiri Pelaksana Tugas (Plt)

Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman, kepala dinas, biro di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau, ketua adat, tokoh masyarakat, agama, dan lain-lain. Gelar tertinggi ini sebelumnya pernah diberikan hanya kepada beberapa orang, antara lain Susilo Bambang Yudhoyono, Syarwan Hamid, dan Sultan Hamengkubuwono IX, tentu saja dengan beragam sebutan. Rida K Liamsi adalah seorang pengkarya dan tokoh budaya yang amat disegani. Dalam kesibukannya yang luar biasa, baik di dalam maupun di luar negeri, ia masih halaman 61


INT

sempat menulis karya sastra,. Untuk itu, ia juga cukup dipandang sejak lama. Ketika Majalah Sastra Horison menjadi kiblat dari karya sastrawan Indonesia tahun 1970-an, Rida K Liamsi juga telah memunculkan karyanya. Novelnya yang terlah terbit adalah Bulang Cahaya yang mendapat apresiasi dari kritikus sastra di berbagai daerah di Indonesia, bahkan hingga ke negara-negara ASEAN. Karya yang lain adalah buku puisi Tempuling, Perjalanan Kelekatu, Rose, dan sebuah autobiografi, Ombak Sekanak, dan serta beberapa karya lainnya. Selain itu, lelaki kelahiran Dabo Singkep, Kepulauan Riau, 17 Juli 1943, ini, adalah penggerak kegiatan sastra dan budaya yang sulit dicari padanannya di Riau. Rida penggagas dan penggerak Anugerah Sagang

halaman 62

yang hingga tahun ini telah mencapai tahun ke-20. Yayasan Sagang yang menggerakkan Anugerah Sagang juga “menghidupkan” Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) yang sempat nyaris tutup setelah terbelit persoalan dana. AKMR, menurut Rida dalam sebuah kesempatan, harus menjadi tonggak pendidikan kebudayaan di Riau, dan untuk itu harus tetap hidup. “AKMR harus tetap hidup, harus tetap jalan. Dia harus menjadi tonggak pendidikan kebudayaan di Riau,” ujar Rida yang menjadi Ketua Dewan Penyantun Yayasan Sagang. *** (Riau Pos.co)

e


Rehal

Membangun Surga

Judul Buku: Membangun Surga Bagaimana Hidup Damai di Bumi Agar Damai Pula di Akhirat Penulis: Achmad Chodjim Penerbit: Serambi Cetakan: Juni 2015 Tebal: xii + 372 halaman ISBN: 978-602-290-032-0 Harga: Rp. 69000

halaman 63


Meraih Surga dengan Kedamaian di Bumi 01.39 Penerbit Serambi Ahmad Suhendra Surga menjadi tempat yang diharapkan setiap orang muslim. Setiap orang hanyut dalam arus khayalan tentang surga. Tapi terkadang dari obsesi khayalan surga itu menjadikan orang buta terhadap hakikat kebenaran. Tindakan terorisme dan kekerasan atas nama agama menjadi salah satu bukti yang tak dapat dielakkan. Padahal, hakikat kehidupan surgawi merupakan hasil dari sebuah pencapaian-pencapaian untuk berjumpa dengan Tuhan. Buku bertajuk Membangun Surga ini tidak berkisah tentang kenikmatan surga. Seperti bidadari, sungai-sungai madu, susu, arak, dan seterusnya sebagaimana dilukiskan dalam al-Quran dan hadis. Buku karya Achmad Chodjim ini menyodorkan kiat-kiat untuk hidup di alam surgawi. Sehingga, surga tak lagi sekadar alam impian, tapi dapat kita rasakan sejak saat kita hidup di dunia ini. Surga merepresentasikan kedamaian hidup. Meraih surga adalah meraih kedamaian. Sebab itu, mendapatkan surga di akhirat kelak harus membangun surga di bumi. Bumi ini sejatinya rahim bagi kehidupan selanjutnya. Tindakan berbau anarkhis dengan embel-embel surgawi adalah hal yang absurd. Buku setebal 372 halaman ini menyuguhkan cara meraih jiwa yang tenteram dan membangun kehidupan surgawi itu. Penulisnya mengajak keluar dari perangkap jebakan kehidupan duniawi sekaligus menuntun ke jalan keselamatan dan kedamaian sejati. ***

e halaman 64

Pimpinan dan Karyawan

Mengucapkan Selamat Kepada:

Rida K Liamsi atas Gelar Adat Melayu Riau:

Datuk Seri Lela Budaya oleh Lembaga Adat Melayu Riau di Balai Adat Melayu Riau, 16 Maret 2016


Seniman, Ramadan, dan Hari Raya Kumpulan Esai Riau Pos 2013 ...agaknya mewakili kerisauan seniman tentang diri dan hari-hari mereka dalam berkarya. Bagi seniman, Ramadan adalah hari-hari yang miskin karya. Hampir tak ada job penampilan seni di hari-hari Ramadan.....

Harga : Rp.

30.000

Muchid Albintani

Dari Lubang kembali ke Lubang (kumpulan kolom) ...konsep ‘lubang’ adalah bagian dari salah satu judul kumpulan tulisan yang mengungkap terkait seputar isu lebaran (idul fitri). Dalam rubrik ‘Segantang Minda’, teristimewa menjelang Lebaran 1443 H yang lalu,...

Harga : Rp.

60.000

Bendera Putih Untuk Tuhan Kumpulan Puisi Pilihan Riau Pos 2014 ..., puisi “penting” bagi koran. Terbaca atau tak terbaca, puisi seperti halaman putih dari hiruk realitas keseharian kita. Kalaupun sepintas orang membaca sebuah judul puisi, lalu ia meninggalkannya, puisi tak akan menyesal menjadi puisi....

Harga : Rp.

B S

30.000

Tersedia di Toko Buku Sagang Alamat Gedung Graha Pena Riau - Riau Pos Group, Lantai 1 halaman lxv Jl. H.R. Soebrantas, Km 10,5 Panam - Pekanbaru. Email: umumsagang@yahoo.co.id


halaman lxvi


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.